• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.4 Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Instrumen Gamelan

Rudiansyah, dkk., (2015: 2) mengatakan bahwa ada 14 instrumen yang sering digunakan dan menjadi bagian terpenting dalam sebuah pementasan gamelan. Istrumen yang dimaksud adalah kendhang, peking, saron, demung, gong, kempul, bonang, kethuk, kenong, gender, gambang, rebab , siter, dan suling. Setiap instrumen tersebut mengandung nilai-nilai budi pekerti yang perlu diperhatikan oleh penabuh (Yudoyono, 1983:87-130). Berikut uraian tentang 7 instrumen gamelan beserta nilai-nilai budi pekertinya:

a. Seruling menjadi salah satu instrumen tiup dari bambu yang masuk ke dalam tetabuhan halus. Di pulau Jawa disebut dengan nama suling yang merupakan kependekan dari kata “su” atau nafsu dan “ling” atau eling (ingat). Artinya menahan nafsu dan ingat. Seruling berfungsi sebagai penghias lagu pokok. Maka dari itu, seruling ditiup pada sela-sela instrumen lainnya dimainkan. Seruling ditiup dengan nada yang lebih tinggi dan meliuk-liuk, sementara instrumen lain dibunyikan secara biasa mengikuti tempo dan irama gendhing. Berdasarkan arti namanya, seruling mengandung nilai budi pekerti tentang pentingnya menahan nafsu dan harus selalu ingat kepada Tuhan agar hidupnya terarah pada kebaikan dan hati menjadi tentram.

b. Siter dalam masyarakat Jawa dikenal dengan nama “celempung”. Nama tersebut berasal dari kata “cepet” (cepat) + “lempeng” (lurus dan jujur) +

“rampung” (selesai). Maksudnya apabila suatu usaha dilakukan dengan cepat, lurus dan jujur, maka akan tercapai suatu tujuan yang maksimal.

Bentuk siter berupa bangun trapesium dengan bentang-bentang dawai

12 kawat atau ekor kuda diatas kotak kayu yang telah diberi lubang suara.

Cara membunyikannya dengan dipetik menggunakan jari-jari (ibu jari) tangan kanan dan kiri secara cepat dan berulang-ulang. Konsepsi bangun trapesium diambil dari bentuk tumpeng yang mengambarkan 3 tingkatan pemerintahan. Bagian I (atas) = raja, bagian II (tengah) = pertahanan negara, dan bagian III (bawah) = pelaksana kehidupan sosial-ekonomi.

Dalam permainannya, pemain siter menduduki pada bagian I yaitu sebagai penabuh. Oleh karena itu, pemain siter terlatih untuk memiliki sikap kepemimpinan.

c. Kendhang merupakan salah satu instrumen gamelan yang berbentuk seperti tabung. Instrumen kendhang terbuat dari kayu dengan tutup tabung dari kulit binatang. Membunyikan kendhang tidak membutuhkan pemukul seperti instrumen lain, akan tetapi dengan mengandalkan kemahiran jari dan telapak tangan kanan maupun kiri. Kendhang berasal dari kata “ken”

(kendali) dan “dhang” (padhang) yang berati terang. Kendhang bertugas mengendalikan tempo dan irama setiap gendhing. Oleh karena itu, penabuh kendhang terlatih untuk mengendalikan keinginan pribadi.

d. Rebab adalah instrumen gamelan berdawai yang masuk ke dalam kelompok tetabuhan halus. Masyarakat Jawa menganggap bentuk rebab menyerupai orang yang sedang bersemedi (duduk bersila). Ujung rebab digambarkan sebagai hubungan manusia dengan Tuhannya. Adapun cara penggesekannya menunjukkan bagaimana seseorang bertindak dan bersikap dengan sesamannya. Nilai budi pekerti yang dilatikan kepada pemain rebab adalah nilai rohaniah tentang pentingnya manusia berelasi dengan Tuhan dan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.

e. Bonang merupakan salah satu instrumen pukul pada gamelan yang terbuat dari perunggu dan tergolong ke dalam tetabuhan keras. Bonang berasal dari kata “Nong (menunjukkan arah di situ) – Nang (menunjukkan arah di sini)”. Dari asal kata “nong-nang”, bonang memiliki fungsi sebagai petunjuk arah dari suatu gendhing. Fungsi bonang juga dapat dilihat dari cara memegang alat pemukulnya yaitu dengan jari telunjuk yang terlihat

13 seperti orang menuding atau menunjukkan arah. Oleh karena itu, penabuh bonang terlatih untuk selalu berkonsentrasi.

f. Gong adalah instrumen pukul dari perunggu yang mempunyai ukuran paling besar di antara instrumen lainnya. Gong berarti besar seperti bentuk dan bunyinya. Akan tetapi dapat berarti gegandulaning urip atau tempat bergantungnya hidup. Arti tersebut menunjukkan cara pemasangan gong dengan posisi miring dan mengantung pada gawangan dari kayu. Gong berfungsi sebagai penentu batas gendhing dan penentu irama dasar.

Dibandingkan dengan instrumen lain, gong paling sedikit dimainkan. Oleh karena itu, penabuh gong terlatih untuk selalu sabar dan konsentrasi . g. Kethuk merupakan salah satu instrumen pukul dalam gamelan yang masuk

ke kelompok tetabuhan keras. Bentuknya menyerupai instrumen bonang, akan tetapi menggunakan ukuran yang lebih tinggi (besar) dan jumlah hanya dua. Ketuk berasal dari kata “kecandak” (tertangkap) dan “mathuk”

(sesuai). Pembunyian ketuk jarang-jarang, namun lebih sering jika dibandingkan dengan gong dan kenong. Kethuk memiliki tugas pokok untuk memainkan irama dasar yang digunakan sebagai patokan untuk kenong dan gong. Oleh karena itu, penabuh ketuk dilatih untuk selalu konsentrasi.

Untuk memperjelas uraian tersebut, maka peneliti menyajikan dalam bentuk tabel. Berikut merupakan tabel nilai-nilai budi pekerti yang terkandung dalam instrumen gamelan:

Tabel 2.1 Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Instrumen Gamelan No Instrumen Gamelan Nilai Budi pekerti

1 Seruling Religius

2 Siter Kepemimpinan

3 Kendhang Mengendalikan diri

4 Rebab Religius

5 Bonang Konsentrasi

6 Gong Kesabaran dan konsentrasi

7 Kethuk Konsentrasi

14 Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap instrumen yang dimainkan mampu membantu penabuh mengembangkan sikap religius, kejujuran, kesabaran, konsentrasi, dan kepemimpinan.

Nilai-nilai budi pekerti tersebut dilatihkan kepada penabuh pada saat memainkan instrumen gamelan. Pada bagian pertama prototipe buku yang disusun peneliti, dimuat lima penjelasan instrumen gamelan beserta nilai budi pekerti yang terkandung, yaitu instrumen kendhang, rebab , gong, bonang, dan kethuk .

2.1.5 Nilai-nilai Budi Pekerti dalam Memainkan Gamelan

Memainkan gamelan dapat melatih seseorang untuk memiliki budi pekerti (Fitriani, dkk., 2014: 176-179). Budi pekerti yang dilatih dalam memainkan gamelan diantaranya sikap kerjasama, religius, kedisiplinan, ketekunan, tanggung jawab, kesabaran, konsentrasi, dan sopan santun. Berikut penjelasan tentang sikap yang dilatih dalam memaikan gamelan:

a. Kerjasama merupakan suatu usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Mangunhardjana, 2016:93).

Saat memainkan gamelan, penabuh dilatih untuk bekerjasama menyelaraskan nada sesuai notasi gendhing yang sedang dimainkan agar menghasilkan alunan musik yang indah. Selain itu, sikap kerjasama juga dilatihkan ketika penabuh bergotong-royong mengangkat dan menata perangkat gamelan sebelum dan sesudah pementasan.

b. Religius berarti bersifat keagamaan atau berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan adanya kekuatan adikodrati (KBBI, 2008:

1159). Dalam memainkan gamelan sikap religius dilatihkan melalui doa bersama sebelum dan sesudah memainkan gamelan. Selain itu juga dilatihkan melalui gendhing-gendhing Jawa yang bernilai keagamaan seperti “Lir-Ilir” dan “Padhang Mbulan”. Kedua gendhing tersebut mengandung nilai agama yang mengingatkan kepada manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan berbuat kebaikan.

c. Kesopanan merupakan cara bertingkahlaku seseorang terhadap orang lain di khalayak umum yang dianggap baik dan diterima oleh masyarakat (Mangunhardjana, 2016: 81). Dalam memainkan gamelan setiap penabuh

15 dilatih untuk memiliki sikap kesopanan dengan menjalankan tatacara yang ada. Herawati (2007: 9-10), tatacara yang harus diperhatikan oleh penabuh diantaranya, 1) berjalan dengan laku dhodok saat memasuki area gamelan, 2) tidak melangkahi instrumen gamelan, 3) dan mengikuti kaidah duduk rapi yaitu dengan bersila (laki-laki) serta bersimpuh (perempuan).

d. Kesabaran adalah bersedia untuk menanggung rasa tidak nyaman saat berusaha mencapai tujuan (Mangunhardjana, 2016: 78). Dalam memainkan gamelan penabuh tidak dapat memukul istrumen dengan sesuka hati, melainkan harus sesuai jenis gendhing dan notasi instrumen yang dimainkannya. Oleh karena itu, memainkan gamelan dapat melatih seseorang untuk memiliki sikap kesabaran.

e. Konsentrasi memiliki arti sebagai pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal (KBBI, 2008: 725). Dalam memainkan gamelan penabuh dilatih untuk dapat bersikap konsentrasi. Penabuh harus fokus terhadap notasi gendhing dan mendengarkan bunyi instrumen lain yang menjadi patokan untuk meneruskannya. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam memukul istrumen yang menjadi tanggung jawabnya.

f. Kedisiplinan berarti berpegang pada prinsip berpikir dan berbuat (Mangunhardjana, 2016: 125). Sikap kedisiplinan dalam memainkan gamelan tercermin ketika penabuh datang tepat waktu pada saat latihan maupun akan pementasaan gamelan. Sikap disiplin juga dilatihkan pada saat pelatih memberikan materi, yaitu penabuh tidak diperbolehkan untuk memukul instrumen.

g. Ketekunan dalam KBBI (Poerwadarminta, 2005: 917) adalah kesungguhan dalam bekerja. Sikap ketekunan dalam memainkan gamelan tercermin ketika penabuh bersungguh-sungguh untuk mengikuti latihan. Selain itu juga terlihat ketika penabuh bersungguh-sungguh menghafalkan notasi suatu gendhing.

h. Tanggung jawab adalah melaksanakan tugas dengan baik dan siap mempertanggungjawabkan hasil dari pelaksanaan tugasnya (Mangunhardjana, 2016: 128). Dalam memainkan gamelan, setiap

16 penabuh harus bertanggung jawab untuk memiankan instrumennya. Oleh karena itu, penabuh tidak hanya berdiam dan melihat temannya memainkan. Sikap tanggung jawab juga dilatihkan ketika menata instrumen gamelan. Penabuh harus menata instrumen gamelan sesuai dengan tempatnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa memainkan gamelan dapat melatih kebiasaan-kebiasaan baik kepada orang yang mempelajarinya. Kebiasaan baik yang dilatihkan adalah sikap kerjasama, religius, kedisiplinan, ketekunan, tanggung jawab, kesabaran, konsentrasi, dan kesopanan. Penjelasan mengenai delapan nilai budi pekerti dalam memainkan gamelan dimuat pada bagian pertama prototipe buku yang disusun peneliti.

2.1.6 Instrumen Gamelan Kethuk

Kethuk merupakan salah satu instrumen gamelan pukul dari perunggu (logam) yang masuk ke dalam kelompok tetabuhan keras. Bentuk fisik menyerupai instrumen bonang, akan tetapi menggunakan ukuran yang lebih tinggi dan besar. Alat pemukulnya juga sama seperti alat pemukul bonang yang terbuat dari kayu dengan bagian ujung dilapisi benang tebal. Kethuk diletakkan dengan posisi telungkup pada dua utas tali yang direntangkan diatas rancakan. Cara memainkannya dengan dipukul dan menahan alat pukul di atas permukaan kethuk, sehingga bunyi yang dihasilkan tidak bergaung. Jumlahnya hanya ada dua, satu berlaras pelog dan satu berlaras slendro.

Tabel 2.2 Sistem Tangga Nada dalam Gamelan Jawa No Sistem Tangga Nada Tangga Nada

Kethuk berasal dari kata “kecandak” (tertangkap) dan “mathuk” (sesuai) yang berarti tertangkap sesuai dengan waktunya. Hal tersebut menunjukkan

17 bahwa pembunyiannya jarang-jarang sesuai dengan notasi gendhing. Akan tetapi lebih sering jika dibandingkan dengan gong dan kenong, sehingga bunyi kethuk digunakan sebagai patokan untuk kenong dan gong untuk meneruskannya. Penabuh kethuk teratih untuk selalu fokus terhadap notasi gendhing dan mendengarkan bunyi kempul yang menjadi patokan untuk meneruskannya. Dalam suatu gendhing jenis biasa (landrang dan ketawang) kethuk dipukul sebelum dan sesudah bunyi kempul dan kenong. Yudoyono (1984: 125) kombinasi (selang-selingnya) dengan kempul dan kenong:

Gambar 2.1 Gendhing Landrang

Tabel 2.3 Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Memainkan Kethuk No Nilai 1 Pikiran Kognitif Menghafalkan notasi gendhing dan

letak setiap nada.

2 Sikap Afektif Fokus mendengarkan bunyi kempul saat mengiringi gendhing jenis biasa (landrang dan ketawang).

3 Perilaku Psikomotor Membunyikan kethuk dengan tepat sesuai dengan notasi gendhing yang dimainkan.

Berdasarkan tabel di atas peneliti mengaitkan aspek nilai-nilai budi pekerti, nilai-nilai pendidikan karakter, nilai-nilai memainkan kethuk:

konsentrasi. Nilai budi pekerti yang dilatihkan pada saat memainkan instrumen “kethuk” adalah konsentrasi. Kaitan yang dilihat dari aspek pikiran dan kognitif yaitu kemampuan untuk menghafalkan notasi gendhing dan letak

18 setiap nada. Kaitan yang dilihat dari aspek sikap dan afektif adalah fokus mendengarkan bunyi kempul saat mengiringi gendhing jenis biasa (landrang dan ketawang). Kaitan yang dilihat dari aspek perilaku dan psikomotor yaitu membunyikan kethuk dengan tepat sesuai dengan notasi gendhing yang dimainkan.

2.1.7 Cerita Bergambar

Cerita bergambar sering disebut juga dengan cergam. Rothlein dan Meinbach (dalam Adipta, dkk., 2016) tentang cerita bergambar “a picture storybooks conveys it’s message through illustrations and written text; both elements are equally important to the story”. Ungkapan tersebut, meneragkan bahwa buku bergambar adalah buku berisi pesan yang diilustrasikan menggunakan gambar dan tulisan. Gambar dan tulisan yang digunakan akan membentuk satu kesatuan cerita yang utuh, sehingga kedua hal tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan saling bergantung satu dengan yang lainnya. Gambar-gambar dalam cerita bergambar dapat memperkuat isi cerita yang akan disampaikan kepada pembaca. Selain itu juga dapat menambah keindahan buku yang menjadi daya tarik dikalangan anak-anak untuk membacanya. Cerita bergambar terdiri dari dua macam yaitu berwarna dan tidak berwarna. Cergam berwarna memiliki tujuan untuk menarik keinginan anak agar senang membaca buku. Adapun cergam yang dibuat dengan tidak berwarna berguna untuk mengasah kreatifitas anak dalam mewarnai gambar-gambar yang ada di cergam.

Hurlock (dalam Faizah, 2009) mengatakan bahwa anak usia SD menyukai cerita bergambar. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya, (1) dapat membantu anak dalam memecahkan masalah pribadi dan sosialnya, (2) menarik imajinasi, (3) ceritanya mudah dipahami, bahkan anak yang kurang mampu membaca dapat memahaminya lewat gambar-gambar, (4) kebanyakan menceritakan tentang kehidupan sehari-hari. Tema-tema yang diangkat sebagai bahan cerita bergambar umumnya berhubungan dengan pengalaman pribadi. Pengangkatan tema tersebut bertujuan untuk memudahkan pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan perasaan serta tindakannya melalui perwatakan tohoh utama.

19 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita bergambar adalah sebuah buku cerita pendek yang pada umumnya mengangkat tema berhubungan dengan pengalaman pribadi, ditulis menggunakan bahasa sederhana dan mudah dipahami serta dilengkapi gambar-gambar menarik untuk memperjelas isi cerita. Pada bagian kedua prototipe buku yang disusun peneliti dimuat cerita bergambar tidak berwarna dengan judul “Memainkan Kethuk Melatih Konsentrasi”.

2.1.8 Literasi

Literasi berhubungan erat dengan kegiatan membaca dan menulis (Wiedarti, 2016:7). Kemampuan membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar dalam berpikir. Melalui membaca seseorang dapat menggali informasi, mempelajari pengetahuan, memperkaya pengalaman, mengembangkan wawasan, dan mempelajari segala sesuatu. Keterampilan tesebut wajib dikuasai oleh peserta didik dengan baik sejak dini.

Negara Indonesia telah melewati masa krisis kemelekan aksara, namun yang menjadi tantangan baru adalah rendahnya minat baca masyarakat (Wiedarti, 2016:1). Permasalahan tersebut terjadi diberbagai kalangan pelajar mulai dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi (PT). Rendahnya minat baca disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, (1) lingkungan yang kurang mendukung kebiasaan membaca, (2) rendahnya daya beli buku, (3) minimnya jumlah buku di perpustakaan sekolah, (4) dan model pembelajaran di kelas yang secara umum tidak memaksakan peserta didiknya untuk mencari informasi dari lain sumber.

Dalam upaya mengatasi rendahnya minat baca dikalangan pelajar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan suatu Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai organisasi pembelajaran. Gerakan ini melibatkan seluruh warga sekolah (Wiedarti, 2016:7). Warga sekolah yang dimaksud adalah kepala sekolah, guru, peserta didik, tenaga kependidikan, dan orang tua murid. Keikutsertaan orang tua peserta didik menjadi penting untuk menciptakan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca yang terjadi di lingkungan keluarga akan memberikan dampak positif kepada anak. Apabila orang tua mempunyai kebiasaan membaca, maka pada hakikatnya anak-anak

20 akan meniru kebiasaan orang tua. Sebaliknya, jika orang tua tidak mempunyai kebiasan untuk membaca maka anak juga akan meniru, sehingga minat baca yang dimiliki anak rendah.

GLS diwujudkan dengan pembiasaan membaca buku non-pelajaran selama 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai (Wiedarti, 2016:7).

Peserta didik dapat membaca buku fiksi maupun non-fiksi yang tersedia di Perpustakaan Sekolah ataupun buku non-pelajaran yang dibawa dari rumah.

Gerakan literasi sekolah bertujuan untuk menumbuhkan minat baca serta meningkatkan keterampilan membaca peserta didik. Bertambahnya minat baca dan keterampilan membaca peserta didik akan berdampak baik pada pengetahuan. Gerakan literasi juga memiliki tujuan umum yaitu menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 mengatakan bahwa materi baca yang disarankan untuk kegiatan literasi adalah yang berisi tentang nilai-nilai budi pekerti berupa kearifan lokal, nasional dan juga global. Hal tersebut disampaikan kepada peserta didik secara bertahap sesuai dengan perkembangannya. Salah satu kearifan budaya lokal yang mengandung nilai-nilai budi pekerti adalah gamelan. Sejalan dengan hal ini, peneliti mengembangkan prototipe buku pendidikan budi pekerti dalam memainkan instrumen gamelan kethuk untuk SD yang dilengkapi dengan cerita bergambar tidak berwarna.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan bacaan yang disarankan menjadi materi literasi adalah buku yang berisi tentang nilai-nilai budi pekerti berupa kearifan lokal, nasional dan global. Salah satu kearifan budaya Indonesia berupa alat musik tradisional yaitu gamelan. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mengembangkan prototipe buku pendidikan budi pekerti dalam memainkan instrumen gamelan kethuk untuk SD yang dilengkapi cergam berjudul “Memainkan Kethuk Melatih Konsentrasi” . 2.1.9 Hasil penelitian yang relevan

Penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai nilai-nilai budi pekerti dalam memainkan gamelan, dan pemanfaatan cergam untuk anak

21 SD. Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini terurai sebagai berikut:

Penelitian pertama dilakukan oleh Oktavia Fitriani Isnaini, dan Uswatun Khasanah pada tahun 2014, No. 2, Vol. IX, berjudul “The Implementation Of Character Education In Seni Karawitan (Sekar) Extracurricular Activities In SD Negeri Kauman” dikatakan bahwa implementasi pendidikan karakter dalam ekstrakurikuler seni karawitan di SD Negeri Kauman dilaksanakan melalui sikap dan tingkah laku baik yang harus dilakukan oleh siswa sebelum, saat, sesudah bermain gamelan dan menyanyikan gendhing Jawa.

Pada dasarnya permainan gamelan banyak mengandung nilai-nilai luhur yang penting untuk diajarkan kepada anak. Nilai-nilai budi pekerti dalam memaikan karawitan diantaranya nilai kebersamaan (kerjasama), kepemimpinan, kesabaran, tanggung jawab, kesopanan, cinta budaya, keagamaan (religius), kehalusan, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, konsentrasi, toleransi, kegembiraan, dan pendidikan yang dapat menumbuhkan jiwa karakter baik.

Penelitian kedua dilakukan oleh Nuri Asih Pratiwi dan Rosalina Susila Purwati pada tahun 2017, No.2, Vol. 3 dengan judul “Pembentukan Karakter Melalui Pembelajaran Ekstrakurikuler Karawitan di SD Dayu Gadingsari Sanden Bantul”. Dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa strategi pembentukan karakter melalui pembelajaran ekstrakurikuler karawitan dilakukan melalui pembiasaan dan latihan rutin kepada anak. Pembiasaan rutin dalam karawitan ditanamkan dengan membiasakan sikap dan cara berdoa yang khidmat dan benar, membersihkan pendopo sebelum latihan dimulai, serta menata instrumen gamelan dan menggembalikan tabuh ke tempatnya. Melalui pembiasaan tersebut, siswa terbiasa untuk bersikap, berbicara, dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang ada tanpa melanggar hak orang lain.

Melalui latihan rutin dalam karawitan juga dapat membentuk karakter siswa menjadi lebih peka terhadap orang lain. Oleh karena itu, nilai-nilai karakter yang terbentuk melalui ekstrakurikuler karawitan adalah nilai religius, jujur, disiplin, kerjasama, cinta tanah air, tanggung jawab, toleransi, kreatif, dan komunikatif.

22 Penelitian ketiga dilakukan oleh Hendra Adipta, Maryaeni, & Muakibatul Hasanah, tahun 2016, No. 5, Vol. I. Dalam jurnal pendidikan: teori, penelitian, dan pengembangan yang berjudul “Pemanfaatan Buku Cerita Bergambar Sebagai Media Bacaan Siswa SD”. Dalam jurnal, dikatakan bahwa penggunaan buku cerita bergambar (cergam) cukup optimal dan efektif untuk menambah pemahaman siswa maupun menarik minat siswa dalam pembelajaran SD. Alasannya, usia SD berada dalam tahap operasional konkret. Pada tahap tersebut, anak memaksimalkan seluruh indranya, seperti pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan untuk mendapatkan suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Oleh karena itu, cergam menjadi media alternatif guru untuk kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.

Ketiga literatur penelitian tersebut menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang berkaitan dengan prototipe buku pendidikan budi pekerti dalam memainkan gamelan. Ketiga penelitian yang dilakukan masih terbatas pada penjelasan nilai-nilai budi pekerti dalam karawitan dan pemanfaatan cergam untuk siswa SD. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan prototipe buku pendidikan budi pekerti dalam memainkan instrumen gamelan kethuk untuk SD yang menghasilkan prototipe buku berjudul “Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Gamelan” yang dilengkapi cergam “Memainkan Kethuk Melatih Konsentrasi”. Berikut bagan hasil penelitian yang relevan.

23 Gambar 2.2 Penelitian yang Relevan

2.2 Kerangka Berpikir

Penyebaran kuesioner kepada 15 siswa yang mengikuti ekstrakurikuler karawitan dan wawancara kepada dua praktisi gamelan memberikan informasi bahwa dalam memainkan gamelan ada nilai-nilai budi pekerti yang dilatihkan kepada penabuh. Diantaranya adalah sikap kerjasama, sopan, tanggung jawab, dan religius. Sikap kerjasama tercermin saat memainan gamelan yang harus dilakukan secara bersama-sama. Sopan tampak dari etika atau perilaku para penabuh dalam permainan gamelan.

Tanggung jawab tampak dari masing-masing instrumen gamelan yang memiliki fungsi dan cara membunyikan yang berbeda-beda. Religius tercermin saat berdoa bersama sebelum dan sesudah memainkan gamelan

Nilai-nilai budi pekerti yang terkandung dalam memainkan gamelan tersebut baik digunakan untuk membentuk karakter anak yang sebaiknya

PENELITIAN SEBELUMNYA

Juguntorowati (2017)

“Prototipe Buku Pendidikan Budi Pekerti dalam Memainkan Instrumen Gamelan Kethuk untuk SD”

Oktavia Fitriani,

24 ditanamkan pada anak sejak dini. Apabila hal tersebut diajarkan kepada anak sejak usia SD, maka anak diharapkan dapat memahami dan membiasakan diri untuk melakukan perilaku baik dalam kehidupan sehari-harinya hingga dewasa. Hal tersebut dapat diajarkan melalui kearifan budaya lokal yang mengandung nilai-nilai budi pekerti seperti halnya gamelan. Adapun sarana pengenalan berupa buku memainkan gamelan untuk SD saat ini belum tersedia. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mendesainkan produk berbentuk prototipe buku yang berisi informasi tentang nilai-nilai budi pekerti yang terkandung instrumen gamelan kethuk untuk SD.

2.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian teori tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur pengembangan “Prototipe Buku Pendidikan Budi Pekerti dalam Memainkan Instrumen Gamelan Kethuk untuk SD”?

1. Bagaimana prosedur pengembangan “Prototipe Buku Pendidikan Budi Pekerti dalam Memainkan Instrumen Gamelan Kethuk untuk SD”?

Dokumen terkait