• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Pendidikan Islam dalam Buku “La Tahzan”

BAB II BIOGRAFI BIOGRAF

DESKRIPSI PEMIKIRAN

C. Isi Buku “ La Tahzan ” tentang Nilai Pendidikan Islam 1 Nilai Pendidikan Islam Secara Umum

2. Nilai Pendidikan Islam dalam Buku “La Tahzan”

Pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakini.

Buku “La Tahzan” karya „Aidh Al-Qarni, mengajak pembaca agar

tidak menyesali kehidupan, tidak menentang takdir atau menolak dalil- dalil dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Kandungan nilai-nilai pendidikan

Islam dalam buku “La Tahzan”, yaitu tentang nilai pendidikan i‟tiqodiyah

yaitu nilai yang berkaitan dengan tingkah laku, etika (akhlak) yang bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji (pembinaan terhadap remaja/pemuda Islam). Nilai disini menunjukkan pada sesuatu yang terpenting dalam keberadaan manusia, berharga atau asasi bagi manusia. Oleh karena itu, bila dilihat dari pendidikan Islam nilai merupakan jalan hidup yang berproses pada wilayah ritual dan berdimensi eskatologis diajarkan perlunya penghayatan nilai-nilai Ketuhanan.

Manusia memerlukan bimbingan serta tata cara ibadah yang baik, berdoa yang benar, berperilaku yang baik dan sebagainya. Proses pembentukan nilai dikelompokan menjadi 5 tahap, yaitu:

a. Tahap receiving (menyimak), seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenomena-fenomena, sedia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena.

b. Tahap responding (menanggapi), seseorang sudah dalam bentuk respons yang nyata.

Jadi tahap pertama dan kedua lebih bersifat aktivitas fisik biologis dalam menerima dan menanggapi nilai.

c. Tahap valuing (memberi nilai), seseorang sudah mampu menangkap stimulus itu atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek.

d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization), seseorang mulai mengatur sebuah sistem nilai dari luar untuk diorganisasikan (di data) dalam dirinya sehingga sistem nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dirinya.

e. Tahap karakterisasi nilai (characterization), ditandai adanya ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisir sistem nilai yang diyakini dalam kehidupan secara mapan dan konsisten (Karthwohl dalam Lubis, 2011: 19).

Sebagaimana telah dijelaskan, Al-Qorni secara implisit menawarkan beberapa metode pendidikan Islam, antara lain:

a. Melalui pergaulan

Pergaulan memiliki peran yang amat penting bersifat edukatif, pendidik harus mampu mengkomunikasikan nilai-nilai luhur agama, baik cara jalan diskusi ataupun tanya jawab. Sebaliknya, bagi pembaca mempunyai banyak kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak dipahami. Sehingga wawasan mereka tentang nilai-nilai agama tersebut akan diinternalisasikan dengan baik. Pergaulan yang erat akan menjadikan kedua merasa tidak ada jurang diantara keduanya. Melalui pergaulan yang demikian remaja/peserta didik yang bersangkutan akan merasa leluasa untuk mengadakan dialog dengan guru/orang yang lebih mengetahui. Cara tersebut akan efektif dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai agama.

b. Melalui pemberian suri tauladan

Merupakan sarana pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan mengkomunikasikan nilai-nilai agama. Konsep suri tauladan yang ada dalam pendidikan berbentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Melalui contoh-contoh tersebut nilai-nilai luhur agama akan

diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Pada hakikatnya di lembaga pendidikan dan dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan suri tauladan, karena sebagian besar dari pembentukan pribadi seseorang adalah dari keteladanan yang diamati dari seseorang yang lebih tua. Jika di rumah, keteladanan tersebut di terima dari kedua orang tua dan orang-orang dewasa dalam keluarga. Begitu pula keteladanan yang di terima dari lingkungan di sekitar. Oleh sebab itu, sebagai seorang pendidik/orang-tua hendaknya mampu menampilkan akhlak karimah sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

c. Melalui ajakan dan pengamalan

Nilai-nilai luhur agama Islam yang diajarkan bukan untuk dihafal menjadi ilmu pengetahuan (kognitif), akan tetapi untuk dihayati

(afektif) dan diamalkan (psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari.

Islam adalah agama yang menyerukan kepada pemeluk untuk mengerjakan sehingga menjadi umat yang beramal shaleh. Menurut teori pendidikan terdapat metode yang bernama learning by doing yaitu belajar dengan mempraktekkan teori yang telah dipelajari, dengan mengamalkan teori yang dipelajari akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga mampu diinternalisasikan. Hasil belajar terletak dalam psikomotorik yaitu mempraktekkan ilmu yang dipelajari seperti nilai luhur agama di dalam praktek kehidupan sehari-hari.

d. Metode nasihat, dengan pemberian nasehat ini seseorang dibekali dari

pengalaman-pengalaman orang lain dalam rangka memperbaiki diri (Al-Qorni, 2004:25).

e. Metode muhasabah, sama halnya dengan introspeksi diri. Setiap manusia dianjurkan untuk senantiasa merenungkan apa yang telah diperbuat untuk menghindarkan diri dari kelalaian dan dilanjutkan dengan bertaubatan atau memohon ampun atas segala dosa yang sudah dilakukan (Al-Qorni, 2004:84).

f. Metode mengisi kekosongan yaitu metode dengan memanfaatkan waktu luang. Dimana waktu luang yang dimiliki diisi dengan kegiatan yang positif sehingga menjadikan diri ini juga dalam kondisi yang baik (Al-Qorni, 2004:47).

g. Metode melalui peristiwa-peristiwa, diceritakan sebuah kisah baik kisah pada masa kini maupun kisah masa lampau pada zaman Nabi dan sahabat terdahulu. Hal ini diharapkan supaya dapat mengambil hikmah dan inti sari atas peristiwa yang terjadi (Al-Qorni, 2004:36, 158).

h. Metode penilaian diri yaitu ketepatan seseorang di dalam menempatkan diri sesuai dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya. Nilai diri seseorang tidak ditentukan oleh banyak harta dan rupa yang menawan, melainkan dari akhlak yang ditampilkan dalam keseharian (Al-Qorni, 2004:174).

i. Metode penerimaan qadha dan qadar, seseorang yang memiliki iman akan menerima dengan rela hati setiap pemberian dari Allah baik itu pemberian yang baik atau jelek sekalipun. Dengan adanya kerelaan

hati seseorang akan hidup jauh dari rasa cemas dan kekurangan (Al- Qorni, 2004:86, 351).

j. Metode „uzlah, adalah sejenak mengasingkan diri. Yang dimaksud

„uzlah disini adalah mengasingkan diri dari segala bentuk kejahatan

dan kemubahan yang berlebihan yaitu semua hal yang melalaikan

manusia dari kebaikan dan ketaatan. Dengan ber‟uzlah maka dada

menjadi lapang dan terkikis semua kesedihan (Al-Qorni, 2004:287). k. Metode ketauladanan orang lain, metode tauladan ini seseorang bisa

mencontoh perbuatan positif dari orang lain dan metode ini salah satu metode paling efektif dalam pendidikan (Al-Qorni, 2004:115).

l. Metode hiwar/dialog, metode ini ada pendidikan afektif yang mengundang ulang suatu kesan ke arah sasaran tertentu untuk mengarah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dialog ini mempunyai dampak psikologis yang dalam. Ia menanamkan ke dalam jiwa rasa ingi tahu, syukur kepada Allah, disamping rasa taat untuk menjalankan segala perintah Allah (Al-Qorni, 2004:92, 97, 104).

Tujuan pendidikan Islam yang tertuang dalam buku “La Tahzan”, meliputi: tercapainya berbagai kemampuan (seperti: kecakapan jasmani, pengetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu sosial, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan dan jasmani rohani). Kemudian inti dari tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan ajaran Islam. Hal ini nampak bahwa tujuan yang sebenarnya adalah untuk hidup seimbang, bahagia dunia dan akhirat. Manusia sebagai khalifah di muka bumi akan terdorong untuk melakukan pengelolaan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk

kesejahteraan hidup bersama dengan yang lainnya. Adanya pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan manusia yang sempurna, mampu mengamalkan ajaran Allah, meliputi: akal, hati maupun keterampilan agar bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat guna meraih kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat.

Materi pendidikan Islam yang termuat dalam buku “La Tahzan”,

sebagai berikut: a. Ketuhanan

Aspek ketuhanan atau keimanan merupakan segi terpenting dalam pendidikan Islam, karena tujuan pertama dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang beriman kepada Allah. Iman bukan sekedar ucapan atau pengakuan belaka. Iman merupakan kebenaran yang jika masuk ke dalam akal akan memberi kepuasan akli, jika masuk ke dalam perasaan akan memperkuatnya, jika masuk ke dalam iradah atau keinginan (will) akan membuatnya dinamis dan mampu menggerakkan. Dalam Al-Qur'an ada ayat yang mengisyaratkan hal ini, yaitu:













Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah

orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada

jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar” (QS.

Tiang pendidikan berdasar Ketuhanan adalah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah Swt, meyakini pertemuan dengan- Nya dan hisab-Nya, mengaharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksa- Nya. Hati adalah satu-satunya pegangan yang dapat ditunjukkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya pada hari kiamat sebagai sarana bagi keselamatannya.

b. Kesempurnaan dan kelengkapan

Hakikatnya pendidikan Islam mementingkan keseluruhan aspek-aspek ini dan ingin mewujudkan semua macam pendidikan secara utuh. Yang demikian itu karena pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmani, akhlak dan ketrampilan. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan senang atau susah maupun dalam keadaan damai dan perang; dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahit. Oleh karena itu, perlu diperhatikan pendidikan itu berjuang dan pendidikan kemasyarakatan, sehingga seorang muslim tidak terasing hidup dari masyarakat sekitarnya. Sesungguhnya kesempurnaan dan kelengkapan yang menyeluruh adalah ciri khas Islam baik dalam bidang akidah, ibadah dan hukum.

Sub bab ini peneliti akan memaparkan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung yakni nilai religius, percaya diri dan nilai cinta ilmu. a. Nilai religius

1) Iman adalah kehidupan

“Orang-orang yang sesungguhnya paling sengsara adalah mereka

selamanya akan berada dalam kesengsaraan, kepedihan,

kemurkaan dan kehinaan” (Al-Qarni, 2004:25).

Hal ini dapat dijelaskan kepada setiap pembaca untuk menghindarkan diri menjadi orang miskin dan krisis pada hal keimanan. Maksudnya, kata miskin dan krisis adalah kekosongan rasa percaya akan eksistensi Tuhan dalam hati manusia. Sehingga, diibaratkan dengan orang yang tidak punya uang, ketika uang tidak ada di genggaman tentu ada rasa khawatir, resah, gelisah dan sebagainya. Berikut juga dengan orang yang tidak memiliki iman di dalam dirinya, meskipun tampak terlihat baik-baik saja, namun hatinya terasa kering dan kosong. Di jelaskan pula bahwa orang yang tidak memiliki iman akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Thaha ayat 124:





Artinya: “dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka

Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”.

Jika dengan Tuhan-nya yang menciptakan manusia, mereka tidak meyakini dan menyembah-Nya maka inilah yang menunjukkan awal kerapuhan karakter dalam diri setiap manusia, dalam hal keyakinan atau iman saja jika tidak di miliki maka tentunya seseorang akan merasa bingung, selalu

mempertanyakan sebuah hakekat, sebab ia tidak memiliki pondasi atau aturan-peraturan yang dapat di jadikan pedoman untuk keberlangsungan hidup di dunia. Sehingga, dampaknya sangat potensial sekali untuk memiliki karakter yang buruk dalam suatu hal sebab kosong dan keringnya hati tanpa dasar keimanan. Para ulama salaf menjadikan amal sebagai unsur keimanan. Oleh sebab itu, iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang. Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Dzahi (https://www.academia.edu/Wiwin, makalah tentang iman, ilmu dan amal diakses 2 Februari 2017). Keyakinan hati, perkataan lisan dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada termaklub dalam firman Allah QS. Al Fath ayat 4:



 

  Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam

hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi (yang dimaksud dengan tentara langit dan bumi ialah penolong yang dijadikan Allah untuk orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-binatang, angin taufan dan sebagainya,) dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Keimanan adalah hal yang paling mendasar yang harus dimiliki seseorang. Allah memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya.

2) Cukuplah Allah Menjadi Pelindung Kami dan Allah adalah Sebaik- baik Pelindung

“Menyerahkan semua perkara kepada Allah, bertawakkal

kepada-Nya, percaya sepenuhnya terhadap janji-janji-Nya, ridha dengan apa yang dilakukan-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, dan menunggu dengan sabar pertolongan dari-Nya merupakan buah keimanan yang paling agung dan sifat paling mulia dari seorang mukmin. Dan ketika seorang hamba itu tenang bahwa apa yang akan terjadi itu baik baginya dan ia menggantungkan setiap permasalahannya hanya kepada rabb nya, maka ia akan mendapatkan pengawasan, perlindungan, pencukupan, serta

pertolongan dari Allah” (Al-Qarni, 2004:36).

Bab ini menjelaskan bahwa ketika seorang hamba telah benar-benar yakin dengan cara mengembalikan semua yang terjadi padanya baik itu perkara yang menyenangkan maupun menyedihkan maka, Allah akan mencukupkan bagi hamba tersebut dalam pengawasan, perlindungan, pencukupan, dan terlebih lagi pertolongan-pertolongan Allah yang terkadang tidak kita sadari kehadirannya. Dalam sebagian hadits yang bersumber dari Rasulullah Saw disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang memohon perlindungan kepada Allah sekali,

niscaya Allah akan melindunginya pada hari itu” (Al-Falahi,

2003:123). Dalam buku rahasia dan keajaiban takwa menjelaskan, bahwa setiap hari iblis mengirimkan pasukannya sebanyak 360 pasukan yang menyesatkan orang mukmin. Oleh karena itu, jika orang mukmin memohon kepada Allah, niscaya Allah akan melihat hatinya sebanyak 360 kali dan setiap pandangan-Nya akan membinasakan setiap setan-setan tersebut. Bayangkan, saat Allah

selalu mengawasi kita setiap detiknya agar kita terhindar dari godaan - godaan syetan yang selalu mencegah kita untuk senantiasa beribadah kepada Allah, maka sungguh tenang setiap hati orang yang berlindung kepada Allah.

Oleh karena itu, hubungan bab ini dengan nilai religius adalah dengan keistiqomahan seorang hamba dalam dirinya untuk selalu bergantung kepada Allah dan percaya bahwa Allah akan melindunginya maka hal tersebut menjadikan seseorang memiliki karakter religius.

3) Jangan Bersedih, Karena Rabb Maha Pengampun Dosa dan Penerima Taubat

“Selama hamba itu bertaubat, meminta ampunan dan menyesali

perbuatannya, maka Allah akan mengampuninya” (Al-Qarni,

2004:84).

Bab ini berisi anjuran kepada setiap hamba yang beriman, apabila suatu saat ia melakukan sebuah kesalahan maka, segeralah menyesali perbuatan salah tersebut dan bersegera minta ampunan kepada Allah SWT. Manusia itu tempatnya salah dan lupa Sehingga, ketika manusia berbuat salah baik itu karena tidak sengaja ataupun di sengaja sekalipun, itu memang sudah kodrat mereka. Manusia banyak sekali membuat kesalahan yang membuat sesama merasa terganggu atau bahkan tidak menyukai. Jika terjadi sampai seperti itu, berarti ia tidak menyesali

perbuatannya, ia terus melakukan kesalahan dan perbuatan- perbuatan jelek berkali-kali.

Ditinjau dari sisi sosial, orang yang sudah kelewat batas melakukan kesalahan-kesalahan pasti tidak disukai orang lain, walaupun saat itu, ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf, terkadang hati manusia masih tidak menerima. Dan tentu, pikiran dan hati orang yang berbuat salah tidak akan nyaman dan merasa malu. Namun, Allah SWT berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 53:







Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui

batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa (dalam hubungan ini lihat Surat An Nisa ayat 48) semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat ini menurut peneliti, Allah mengkhususkan firman-Nya bagi orang-orang yang melampaui batas. Allah memberikan kemurahan-Nya bagi mereka yang telah berbuat salah, lalu hendak bertaubat namun masih ragu dan takut akan ketidakpedulian Allah sebab perbuatan-perbuatan jeleknya. Oleh karena itu Allah mengatakan, Jangan berputus asa, sehingga selama nafas masih di kandung badan, kesempatan bertaubat tetap ada dan terbuka. Kemurahan Allah kepada hamba-Nya

sangat besar, tidak malukah kita yang setiap hari berbuat salah dan dosa? Bab ini berhubungan dengan nilai karakter religius yang mana bagi setiap orang yang merasa putus asa sebab terpuruk dan terpenjara oleh perbuatan tidak baik di masa lalu. Kemudian ia menyesalinya, maka benar, Allah pasti akan menerima taubat setiap hambanya yang mau bersungguh-sungguh.

4) Berbaik sangkalah Kepada Rabb

“Ibnu al-Wazir dalam bukunya yang terkenal, -Qawashim,

mengatakan bahwa harapan terhadap rahmat Allah akan selalu membukakan pintu harapan bagi diri seorang hamba, akan menguatkannya untuk melakukan ketaatan, dan membuatnya semakin antusias dalam melakukan amalan-amalan sinah dan bersegera untuk melakukan kebaikan. Ini benar. Sebab, tidak semua jiwa akan menjadi baik kecuali dengan mengingat rahmat, ampunan, taubat, dan kesabaran Allah. Karena sikap Allah yang demikian baik, maka mereka pun mendekatkan diri kepada-Nya, dan berusaha keras untuk melakukan kebaikan” (Al-Qarni, 2004:141).

Bab ini penulis memberikan stimulus kepada pembaca bahwa ketika seseorang dihadapkan pada sebuah persoalan yang rumit, musibah, atau ketidakpuasan terhadap sesuatu, maka yakinlah Allah memberikan sebuah pelajaran berharga dan hikmah- hikmah yang terpendam di dalam kejadian-kejadian tersebut. Dalam urusan berprasangka baik, tidak hanya lazim kepada sesama makhluk saja, kepada Allah kita harus lebih besar dan lebih kuat melakukannya. Sebab, kehendak Allah bergantung kepada prasangka setiap hambanya. Ketika di beri cobaan oleh Allah mencobalah berprasangka baik dengan cara memikirkan

bahwa setiap cobaan dari Allah mengandung hikmah yang besar serta nikmat yang banyak. Maka dari itu, hubungannya dengan nilai karakter religius dalam bab ini adalah seseorang akan lebih yakin dan patuh kepada Allah sebab prasangkanya yang selalu positif kepada Allah.

5) Jangan Bersedih Selama Anda Beriman Kepada Allah

“Keimanan adalah rahasia di balik kerelaan, ketenangan dan

rasa aman. Sebaliknya, kebingungan dan kesengsaraan selalu mengiringi kekufuran dan keraguan. Sering saya (al-Qarni) melihat orang-orang pandai-bahkan jenius- yang jiwa mereka hampa dari cahaya risalah. Sehingga pernyataan-pernyataan mereka terhadap hal sangat menyakitkan. Saya (al-Qarni) menjadi tahu bahwa dengan keimanan, manusia akan dapat menggapai bahagia. Sebaliknya, dengan kebingungan dan keraguannya dia

menjadi sengsara” (Al-Qarni, 2004:147).

Al-Qarni dalam bab ini menjelaskan bahwa keimanan merupakan sebab munculnya rasa tenang, dan aman. Sebab, orang yang memiliki iman merasa bahwa dirinya akan terus dilindungi oleh Dzat yang menguasai seluruh isi dunia ini, Dzat yang berada di atas segalanya, oleh karena itu ia merasa aman dan tenang. Kemudian, Al-Qarni berkata bahwa beliau seringkali mendapati orang yang pintar secara ilmu (umum), namun kurang ainya sebab terkesan dogmatis, doktriner, dan sebagainya. Sehingga, mereka memandang sebelah mata namun hati mereka terus mencari sebuah kebenarannya. Akhirnya seperti orang bingung walaupun ia pintar. Peneliti pernah mendengar ucapan dari seorang guru, bahwa kita hidup di dunia ini memerlukan 2 ilmu. Namun,

utamakan dulu sebab ilmu dunia atau perkara dunia akan mengikuti. Sehingga, kaitan antara nilai karakter religius dengan bab ini adalah jangan bersedih atau merasa minder dengan orang yang memiliki kita. Apalagi hanya ingin mendapatkan sebuah pekerjaan.

6) Iman: Obat Paling Mujarab

“Salah seorang psikiater terkenal, Dr. Carl Jung, pada halaman 206

dari berjudul The modern Man In Search of Spirit, orang-orang dari berbagai negeri berperadaban datang menemui saya untuk berkonsultasi. Saya telah mengobati ratusan pasien dan sebagian mereka berusia setengah baya, yakni 35 tahun ke atas. Dan tak seorang pun diantara mereka yang tidak mengembalikan persoalannya kepada agama sebagai pandangan hidup. Maka, bisa saya (al-Qarni) katakan bahwa setiap dari mereka yang jatuh sakit karena kehilangan apa yang telah diberikan agama kepada orang-orang yang beriman. Dan, jika belum mampu mengembalikan keimanannya yang sejati, maka

tidak akan bisa disembuhkan” (Al-Qarni, 2004:158).

Pada bab ini penulis mengutip pengalaman seseorang yang telah menyembuhkan pasien-pasiennya selama 30 tahun. Sakit yang di derita tiap pasien bukan sakit secara fisik, melihat buku yang di kutip oleh penulis, peneliti meyakini bahwa sakit yang di derita pasien adalah sakit secara psikis, misalkan perasaan yang tidak tenang, merasa cemas, kawatir dan sebagainya. Oleh karenanya, al-Qarni mengatakan bahwa orang yang telah istiqomah melakukan apa yang di perintah dalam agamanya, kemudian suatu saat ia lalai, maka hilanglah ketenangan itu. Ia akan se mbuh apabila keistiqomahannya dijalani kembali. Sehingga, kecemasan itu pasti akan hilang dan hidup menjadi

tenang sebab apa yang dijalaninya dahulu telah di temukan kembali.

Keterkaitan bab ini dengan nilai religius adalah seseorang yang istiqomah menjalankan apa yang memang sudah diyakini dan merasa tenang saat melakukannya, maka lakukan dengan berkelanjutan. Sebab, jika suatu ketika tidak melakukannya,