• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

7. Nilai Perusahaan

Jika nilai barang yang dibeli sesuai dengan nilai uang yang dibayar, orang inggris mengatakan, “Good value for money”. Dalam kehidupan yang berkeadaban tinggi, penjual tidak boleh memberikan barang yang nilainya tidak setimpal dengan nilai uang. Nilai barang yang lebih rendah dari nilai uang akan merugikan pembeli. Jika kondisi ini terus menerus dilakukan oleh penjual yang sama, cepat atau lambat barang dagangannya tidak akan laku.

Peribahasa “good value for money” berlaku juga bagi jasa pelayanan.

Kualitas pelayanan yang lebih rendah dari harga yang dipatok tidak sesuai dengan pesan peribahasa “Good value for money”. Dalam kenyataan sehari-hari, begitu banyak pembelian barang dan jasa yang tidak sesuai dengan nilai uang yang dibayar. Karena itu, setiap orang seyogiyanya memeriksa terlebih dahulu barang yang hendak dibeli sebelum membayar agar tidak kecewa di kemudian hari.

Pembelian perusahaan lebih rumit lagi. Pembeli yang ingin sukses harus mempelajari dengan cermat perusahaan yang hendak diambil dan berusaha memahami valuasi dengan baik sebelum mengambil keputusan.

Biasanya, ada tim khusus yang dibentuk untuk melakukan pemeriksaan secara seksama perusahaan yang hendak dibeli, dalam bahasa teknisnya disebut “due diligence”.

Tim due diligence setidaknya terdiri atas tiga kelompok profesi, yaki akuntan publik, praktisi hukum, dan appraiser atau penilai. Akuntan publik diperlukan untuk menelisik laporan keuangan, praktisi hukum untuk memeriksa aspek legal, dan penilai berkopentensi untuk menaksir nilai aset. Dari pendapat ketiga kelompok profesi itu ditentukan nilai perusahaan yang layak, baik present value maupun future value. Merger, akuisisi, dan konsolidasi perusahaan membutuhkan valuasi yang akurat.

Valuasi terhadap perusahaan publik yang sahamnya tercatat di bursa efek jauh lebih mudah dibanding perusahaan tertutup. Karena sesuai perintah undang-undang, perusahaan terbuka wajib full disclosure atau transparan. Tidak boleh ada fakta materiil yang ditutup-tutupi. Perusahaan terbuka juga wajib menyampaikan semua perkembangan dan rencana aksi kepada publik dan umumnya lebih baik dalam pelaksanaan good corporate governace (GCG) atau tata kelola perusahaan.

Dengan tingkat keterbukaan dan pelaksanaan GCG yang lebih baik, harga saham yang tercata di bursa efek sedikit banyaknya mencerminkan kinerja fundamental dan prospek usaha emiten. Valuasi terhadap listed companies sedikit banyaknya terefleksi pada pergerakan harga saham di bursa efek. Nilai kapitalisasi pasar atau market capitalization adalah nilai dari sebuah listed company yang selalu dijadikan rujukan dalam setiap transaksi. Kapitalisasi pasar merupakan hasil kali jumlah saham dengan harga saham di bursa efek.

Seperti harga saham yang bergerak naik dan turun, nilai kapitalisasi pasar sebuah perusahaan terbuka juga fluktuatif, bergantung pada kinerja fundamental perusahaan, perkembangan ekonomi dan sosial politik, serta persepsi masyarakat. Persepsi pasar sangat mempengaruhi keputusan investor dalam membeli saham yang tercatat di bursa efek.

Faktanya, banyak saham di bursa efek yang tingkat harganya tidak mencerminkan kinerja fundamental. Karena itu, emiten disyaratkan untuk terus-menerus memberikan informasi secara berkala kepada investor dan segera menyampaikan kepada publik setiap rencana aksi korporasi agar

harga saham sesuai dengan kinerja fundamental perusahaan (Djaja, 2017:

8-10).

Saat melakukan investasi, investor mengharapkan nilai investasi itu naik atau minimal sama dengan nilai kompensasi atas risiko yang diambilnya, dengan mempertimbangkan nilai waktu (time value of money) investasi tersebut. Hal itu berlaku untuk semua jenis investasi termasuk obligasi, saham, instrumen keuangan bank, properti, komoditas, atauapun instrumen investasi lainnya.

Topik mengenai penilaian (valuation) menjadi pusat agenda manajemen. Manajemen dan nilai perusahaan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Menaikkan nilai perusahaan merupakan amanat yang harus dipegang oleh manajemen dalam menjalankan fungsi perusahaan. Untuk menaikkan menaikkan nilai perusahaan, diperlukan pendekatan yang lebih terstruktur. Manajemen perlu mengetahui terlebih dahulu bagaimana memetakan, menciptakan, mengukur, hingga akhirnya dapat merealisasikan nilai perusahaan tersebut.

Penilaian adalah proses mendefinisikan, mengkuantifikasi, dan menjustifikasi variabel-variabel terkait untuk menghitung nilai perusahaan.

Penilaian ini berfungsi sebagai pertimbangan khusus dalam menentukan keputusan-keputusan investasi, pendanaan, dan dividen (Djaja, 2017: 3-4).

Nilai Perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan menurut Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar (Juwita, 2016: 4).

Tujuan jangka panjang perusahaan adalah memaksimumkan nilai perusahaan sekaligus untuk pertumbuhan perusahaan dalam menghadapi tantangan-tantangan dan pesaing yang ada. Pertumbuhan perusahaan bukan hanya sekedar mampu bertahan namun mampu mengembangkan berbagai aset dan potensi perusahaan secara maksimal sehingga nilai perusahaan bisa meningkat. Sehingga apabila suatu perusahaan dianggap memiliki nilai maka perusahaan itu berharga atau dalam artian memiliki prospek masa depan. Optimalisasi nilai perusahaan yang merupakan tujuan

perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan fungsi manajemen keuangan, dimana satu keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan.

Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi pula kemakmuran pemegang saham. Sehingga jika nilai perusahaan tinggi maka kemakmuran pemilik pun akan tinggi, karena nilai perusahaan yang tinggi menggambarkan harga saham yang tinggi dan optimalnya kinerja perusahaan. Nilai dari perusahaan tidak hanya bergantung pada kemampuan menghasilkan arus kas, tetapi juga bergantung pada karakteristik operasional dan keuangan dari perusahaan.

Sehingga nilai perusahaan menggambarkan seberapa baik atau buruk manajemen mengelola kekayaannya, hal ini bisa dilihat dari pengukuran kinerja keuangan yang diperoleh (Susanti, 2016: 150).

Nilai perusahaan adalah nilai yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar modal. Dalam penelitian ini nilai perusahaan di ukur dengan nilai price to book value (PBV). PBV adalah perbandingan antar harga pasar saham dengan nilai buku per saham. Harga pasar saham yang digunakan adalah harga yang berdasarkan closing price pada akhir tahun pelaporan perusahaan (Sunarsih & Mendra, 2012). PBV diformulasikan sebagai berikut :

PBV=

1. Intellectual Capital dan Pengungkapan Intellectual Capital a. Intellectual Capital (IC)

Perhatian perusahaan terhadap pengelolaan intellectual capital beberapa tahun terakhir ini semakin besar. Hal ini disebabkan adanya kesadaran bahwa intellectual capital merupakan landasan bagi perusahaan untuk unggul dan bertumbuh. Kesadaran ini antara lain ditandai dengan semakin seringnya istilah knowledge based company muncul dalam wacana bisnis. Istilah tersebut ditunjukkan terhadap perusahaan yang lebih

mengandalkan pengelolaan IC sebagai sumber keunggulan dan longterm growthnya.

Knowledge based company adalah perusahaan yang diisi oleh komunitas yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan.

Komunitas ini memiliki kemampuan belajar, daya inovasi, dan kemampuan problem solving yang tinggi. Ciri lainnya adalah perusahaan ini lebih mengandalkan knowledge dalam mempertajam daya saingnya, hal ini digambarkan dengan semakin mengecilnya investasi yang dialokasikannya untuk physical goods, sementara untuk IC (soft factor) mendapat alokasi investasi yang semakin besar (L.Tobing, 2010).

Hingga saat ini definisi intellectual capital seringkali dimaknai secara berbeda. Sebagai sebuah konsep intellectual capital merujuk pada modal-modal non fisik atau modal tidak berwujud (intangible asset) atau tidak kasat mata (invisible) yang terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan.

Pada PSAK No. 19 sebelum revisi, dinyatakan bahwa berdasarkan eksistensinya aktiva tak berwujud dikelompokkan dalam dua kategori yaitu aktiva tidak berwujud yang eksistensinya dibatasi oleh ketentuan tertentu, misalnya hak paten, hak cipta, hak sewa, franchise yang terbatas, lisensi dan aktiva tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak terbatas dan tidak dapat dipastikan masa berakhirnya, seperti merk dagang, proses dan formula rahasia, perpetual franchise dan goodwill (IAI, 2002).

Sedangkan edisi revisi IAI (2002), definisi seperti dijelaskan pada paragraf diatas yaitu aset tidak berwujud adalah aset non moneter yang tidak memiliki bentuk yang digunakan untuk mendukung operasi perusahaan dimana aktiva tersebut harus memiliki sifat, keteridentifikasian, pengendalian dan manfaat ekonomi. Yang didalamnya mengandung penjelasan bahwa aset atau sumber daya tidak berwujud disebutkan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, mengetahui mengenai psar dan merek dagang (termasuk merek produk atau brandnames) (Susanti, 2016: 151).

Menurut (Ikhsan, 2018) modal intelektual merupakan modal yang sesuai dalam semua organisasi berbasis pengetahuan. Modal intelektual merupakan interaksi dari modal manusia (human capital), modal pelanggan (customer capital), dan modal structural (structural capital).

Keberhasilan suatu organisasi yang berbasis pengetahuan tergantung pada dua faktor : pertama, karyawan yang kompeten dan kedua manajemen yang baik. Dua perusahaan dengan pendekataan manajemen karyawan yang berbeda tetapi serupa akan mencapai hasil-hasil yang berbeda dengan sepenuhnya.

Adapun definisi modal intektual dijelaskan sebagai berikut:

a. Modal intelektual bersifat elusive, tetapi sekali ditemukan dan dieksploitasi akan memberikan organisasi basis sumber baru untuk berkompetisi dan menang (Bontis, 1996).

b. Modal intelektual adalah istilah yang diberikan untuk mengkombinasikan aktiva tak berwujud dari pasar, property intelektual, infrastruktur dan pusat manusia yang menjadikan suatu perusahaan dapat berfungsi (Brooking, 1996).

c. Modal intelektual adalah materi intelektual (pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini merupakan suatu kekuatan akal kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna.

d. Modal intelektual adalah pengejeran penggunan efektif dari pengetahuan (produk jadi) sebagaimana berposisi terhdap informasi (bahan mentah).

e. Modal intelektual dianggap sebagai suatu elemen nilai pasar perusahaan dan juga market premium.

Kategori pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan karyawan (human capital), pengetahuan yang berhubungan dengan pelanggan (customer capital), dan pengetahuan yang berhubungan dengan perusahaan (structural capital).

Ketiga kategori tersebut dapat membentuk suatu intellectual capital bagi perusahaan.

a. Customer capital merupakan suatu hubungan yang harmonis yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik berasal dari pemasok yang berkualitas, pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan dari perusahaan yang bersangkutan, hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun hubungan perusahaan dengan masyarakat sekitar. Customer capital muncul dari berbagai bagian luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.

b. Human capital mencerminkan suatu kemampuan kolektif agar dapat menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada di dalam perusahaan untuk dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keahlian (skill), kemampuan melakukan inovasi dalam menyelesaikan sebuah tugas yang terdiri dari nilai perusahaan, kultur, dan filsafat.

c. Structual capital merupakan kemampuan organisasi dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk dapat menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan seperti sistem operasional perusahaan, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki oleh perusahaan (Lestari, 2016: 29).

Dalam penelitian ini pengukuran Intellectual Capital berdasarkan model hasil modifikasi lanjutan VAIC™ yang dikembangkan oleh Pulic (1998) yang bernama Extended VAIC™ Plus , dimana menurut ulum (2014) pada model ini taksonomi IC ditempatkan pada posisi yang lebih tepat. Intellectual Capital diukur berdasarkan value added yang diciptakan oleh Human Capital (VAHU), Structural Capital (STVA), Relational Capital (CC), dan Capital Employed (CE) Perpaduan dari keempat value added tersebut disimbolkan dengan E-VAIC™ Plus.

Keunggulan metode VAIC™ adalah karena data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dari berbagai sumber dan jenis perusahaan (Tan, 2017). Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio tersebut adalah angka-angka keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari

laporan keungan perusahaan (Ulum, 2017: 122). Begitu juga halnya dengan metode E-VAIC™ Plus. Data yang dibutuhkan juga bisa didapatkan melalui annual report perusahaan.

Gambar 2. 1 Formulasi E-VAIC Plus

Sumber : Ulum (2014)

b. Pengungkapan Intellectual Capital

Tujuan pengungkapan intellectual capital adalah untuk meningkatkan efektivitas internal dari operasi perusahaan. Pengungkapan modal intelektual dalam suatu laporan keuangan sebagai suatu cara untuk mengungkapkan bahwa laporan tersebut menggambarkan aktifitas perusahaan yang kredibel, terpadu serta “true and fair” (Rahmawati, 2015:

100).

Hasil penelitian Healy dan Palepu (1993), Welker (1995), dan Botosan (1997) mengindikasikan bahwa pengungkapan modal intelektual yang makin tinggi akan memberikan informasi yang kredibel atau dapat dipercaya, dan akan mengurangi kesalahan investor dalam mengevaluasi harga saham perusahaan, sekaligus meningkatkan kapitalisasi pasar (Widarjo, 2011: 161).

Ulrich (1998) memberikan lima alasan mengapa IC merupakan isu dan asset penting bagi perusahaan, yakni:

1. IC merupakan satu-satunya kekayaan perusahaan yang bernilai (appreciable). Aset lain seperti bangunan, pabrik, peralatan, mesin dan sebagainya harus di depresiasi begitu asset tersebut digunakan, sedangkan modal intelektual justru bertambah begitu digunakan. Modal

intelektual dapat dianggap sebagai berjumlah infinitive karena modal ini justru akan bertambah baik secara kuantitatif maupun kualitatif apabila modal ini di manfaatkankan. IC mengikuti ketentuan jumlah positif (positive sum rule), sehingga ia tidak tunduk pada hukum ekonomi yang didasarkan pada konsep keterbatasan sumberdaya.

2. Pekerjaan yang berhubungan dengan pengetahuan semakin bertambah jumlahnya. Hal tersebut diindikasikan oleh semakin banyaknya lapangan kerja yang muncul dari sektor jasa. Perekonomian jasa tumbuh pesat secara langsung dalam industri jasa seperti ritel, investasi, informasi, pendidikan, konsultasi, dan hiburan; serta secara tidak langsung dalam industri maufaktur tradisional seperti otomotif, barang dalam kemasan, dan peralatan instalasi. Pada umumnya jasa bertumpu pada jalinan relasi yang didasari kompetensi dan komitmen individu.

Oleh sebab itu, arti penting IC semakin meningkat seiring pertumbuhan perekonomian jasa.

3. Personil dengan IC tinggi menjadi volunteer, karena sebagai yang terbaik mereka memiliki peluang besar untuk mencari kesempatan kerja di sejumlah perusahaan (Drucker, 1997). Bukan berarti mereka bersedia bekerja secara cuma-cuma (tanpa bayaran), namun mereka memiliki banyak pilihan tempat kerja sehingga mereka menjadi volunteer di perusahaan tertentu. Komitmen para volunteer cenderung terbentuk karena ikatan emosional mereka pada suatu perusahaan. Mereka lebih tertarik pada aspek makna dan tantangan pekerjaan ketimbang pada imbalan finansial. Para karyawan yang memiliki mindset seperti umumnya lebih gampang pindah ke perusahaan lain.

4. Banyak manajer yang mengabaikan atau kurang menyadari pentingnya intellectual capital. Intensitas persaingan dan maraknya kebijakan downsizing serta delayering menyebabkan tuntutan, tekanan, dan stres kerja meningkat drastis. Bila hal itu tidak diimbangi dengan perbaikan kualitas kehidupan kerja, maka akan banyak karyawan berbakat dan berpotensi tinggi yang tidak betah dan memilih pindah perusahaan.

5. Sebagian besar investasi pada IC yang dilakukan saat ini salah fokus.

Dibawah bendera “corporate citizenship”, banyak eksekutif senior yang membicarakan isu-isu pekerjaan dan keluarga. Program semacam itu menyiratkan bahwa setelah semua urusan bisnis dirampungkan, barulah disediakan waktu untuk keperluan citizenship karyawan. Padahal IC justru merupakan isu bisnis yang terpenting. Sumber daya manusia adalah asset yang paling menentukan keberhasilan dan kegagalan perusahaan.

Tumpukan data dan timbunan informasi yang tidak terstruktur bukan intellectual capital karena ia tidak memberi nilai tambah apapun bagi perusahaan. Demikian juga dengan kumpulan orang-orang pandai dalam perusahaan. Mereka bukan capital perusahaan bila mereka, dengan kepandaiannya, tidak memberikan nilai tambah apapun bagi perusahaan (Nasih, 2011: 198).

Kemudian Mousavi dan Takhtaei (2012: 268) mengklaim bahwa pasar modal mungkin akan mengalami kerugian dalam beberapa cara jika informasi tentang modal intelektual tidak dilaporkan, diantaranya yaitu : 1. Pemegang saham minoritas mungkin kurang beruntung, karena mereka

biasanya tidak memiliki akses informasi tentang asset tak berwujud yang biasanya hanya dibagi dalam pertemuan pribadi dengan investor yang lebih besar.

2. Insider trading mungkin terjadi jika manajer secara internal memiliki informasi tentang aset tak berwujud yang diketahui oleh investor lain.

3. Likuiditas pasar modal dan meningkatnya permintaan terhadap saham-saham perusahaan dipicu oleh luasnya pengungkapan tentang aset tak berwujud.

4. Volatilitas dan bahaya penilaian yang salah dari perusahaan meningkat, yang menyebabkan investor dan bank menempatkan tingkat risiko yang lebih tinggi pada organisasi.

5. Biaya modal meningkat, karena diantaranya tingkat risiko lebih tinggi ditempatkan pada perusahaan.

Oleh karena itu, Pengungkapan Intellectual Capital (ICD) sangat penting bagi pasar modal dan stakeholder eksternal dalam rangka meningkatkan pemahaman mereka tentang posisi kompetitif perusahaan (Ulum, 2017: 259).

Dalam penelitian ini ICD-In (Intellectual Capital Disclosure Indonesia) digunakan sebagai ukuran dalam menganalisis pengungkapan intellectual capital pada laporan keuangan perusahaan. Komponen ICD yang diadopsi dalam penelian ini merupakan modifikasi skema yang dibangun oleh Guthtrie et al (1999), yang merupakan pengembangan dari definisi IC yang ditawarkan oleh Sveiby (1997). Modifikasi dilakukan dengan menambahkan beberapa item yang diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-431/BL/2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam skema ini, IC dikelompokkan dalam 3 kategori yang terdiri dari 36 item, 15 diantaranya adalah item modifikai, diberi kode (M) (Ulum, 2017: 174-177).

Tabel 2. 1

Item Pengungkapan Intellectual Capital

Kategori Item Pengungkapan Skala

Human Capital 24. Jumlah karyaan (M) 25. Level pendidikan 44. Analisis kinerja keuangan

komprehensif (M)

46. Struktur permodalam (M) 0-1 Pengungkapan informasi intellectual capital dalam laporan tahunan diberi bobot sesuai dengan proyeksinya, kode numeric yang digunakan adalah sebagai berikut :

0 = item tidak diungkapkan dalam laporan tahunan;

1= item diungkapkan dalam laporan tahunan (Ulum, 2017 : 170).

Rasio tingkat pengungkapan modal intelektual dari masing-masing perusahaan diperoleh dengan membagi total skor pengungkapan pada setiap perusahaan dengan total item dalam indeks pengungkapan modal intelektual. Formula yang digunakan adalah :

Score = ( ∑

Dokumen terkait