• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Putusan - Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Eksistensi PT Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013

permohonan pengujian UU Pilpres dilakukanoleh Effendy Gazali. Ph.D. M.P.S.I.D. M.Si atas nama Aliansi Masyarakat Sipil yang meminta agar pemilihan Legislatif mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan Pilpres harus dilakukan secara serentak. Sehingga Pemilu yang selama ini dilakukan 2 kali pencoblosan disatukan menjadi 1 kali pencoblosan. adapun alasan konstitusional yang dimohonkan baru dan berbeda dari pengujujian sebelumnya yaitu Hak Warga Negara untuk Memilih Secara Cerdas dan Efisien pada Pemilu Serentaksesuai yang diamanatkan UUD NRI Tahun1945 khususnya Pasal 22E12ayat (1) yang berbunyi, “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2)yang berbunyi, “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggotaDewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan WakilPresiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

95

Benni Inayatullah. Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat. Harian Jurnal Nasional. 2008. Kamis 11 September 2008. hlm. 60

70 Hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada pemiluserentak ini berkaitan dengan konsep Political Efficacy dimana warga Negaradapat membangun Peta Check and Balances dari Pemerintahan Presidensialdengan keyakinannya sendiri. Sedangkan hak warga negara untuk memilih secaraefisien pada pemilu secara serentak ini terkait dengan penggunaanwaktu, energi, biaya warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya yang lebih terjamin dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak.

Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan dalil-dalil (funamentum petendi) yang secara garis besarnya ialah sebagai berikut:

a. Sistem Pemerintahan yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Dalam sistem presidensial jabatan Presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif. Karenanya tidak relevan mengaitkan dukungan Parpol kepada Presiden. Oleh sebab itu sebetulnya secara teoritis sistem presidensial tidak mengenal Pemilu yang terpisah antara Pilleg dan Pilpres, lebih-lebih mempersyaratkan presidential thereshold yang begitu tinggi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres;

b. Menurut Teori Presidential Coattail Effect; dalam Pemilu serentak, pemilih cenderung memilih partai atau gabungan partai yang mengusung Capres pilihannya. Dengan demikian akan tercipta keselerasan antara kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif sehingga Pemilu serentak pun dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat.

c. Pemilu serentak lebih memungkinkan tercapainya political efficacy, yaitu kemampuan menentukan hasil politik, dimana Pemilih dapat menentukan akan memilih partai mana dan Capres mana, baik yang sama antara Capres dan partai pengusungnya (straight ticket)maupun beda antara Capres dan partai politik yang dipilihnya (split ticket). Hal mana sulit terjadi dalam Pemilu terpisah karena belum tentu Capres pilihannya dapat menjadi peserta Pilpres karena mungkin partainya tidak memenuhi presedential thereshold;

d. Bahwa dalam pelbagai penelitian telah terbukti bahwa Pemilu serentak dapat lebih menjamin efisiensi dan efektivitas, baik dari segi anggaran maupun persentase penggunaan hak pilih serta konstelasi politik yang terbangun setelahnya;

e. Pemilu serentak dapat menghemat anggaran negara, karena semakin banyak penyelenggaraan Pemilu maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, utamanya gaji/honor penyelenggara Pemilu yang porsinya lebih dari 65% dari seluruh anggaran Pemilu;

71 f. Berdasarkan perhitungan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah, jika Pilpres dan Pilleg dilakukan serentak maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam 7 hal;

1) Pemutakhiran data pemilih (tidak perlu dua kali kecuali terjadi Pilpres putaran kedua);

2) Sosialisasi;

3) Perlengkapan TPS;

4) Distribusi logistik;

5) Perjalanan dinas

6) Honorarium (65% dari total anggaran Pemilu);

7) Uang lembur.

Dengan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres yang serentak, anggaran untuk Pemilu dapat dihemat antara Rp. 5-10 Triliun.

g. Melalui penelusuran sejarah perubahan ketiga UUD NRI 1945 dalam upaya menggali maksud ketentuan Penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 23E ayat (1) dan (2), ditemukan fakta bahwa memang kehendak perumus amandemen UUD melalui PAH I BP MPR ialah agar Pemilu dilaksanakan secara serentak (Pilleg dan Pilpres). Bahkan dalam risalah sidang PAH I tersebut muncul kata-kata “Pemilu serentak” dan “Pemilu 5 kotak (kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).

Adapun permohonan untuk menguji Undang-Undang Pilpres dengan UUD NRI 1945 secara lengkap sebagai berikut:

1. Bahwa PEMOHON memohon kepadaMahkamah untuk melakukan pengujianPasal 3 ayat (5). Pasal 9. Pasal 12 ayat (1) dan (2). Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112Undang-Undang Pilpres terhadap Pasal 4ayat (1). Pasal 6A ayat (2). Pasal 22E ayat(1) dan ayat (2). Pasal 27 ayat (1). Pasal28D ayat (1). Pasal 28H ayat (1). danPasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945

2. Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa salah satu kewenangan

72 Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

3. Bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD NRI 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. oleh karena itu setiap ketentuan undangundang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945 (constitutie is de hoogstewet). Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka PEMOHON berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian: 1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang- Undang Pilpres (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan UUD NRI 1945, 1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Pilpres (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan pemilu seterusnya.

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

73 Berdasarakan putusan diatas Mahkamah Konstitusi mengumumkan mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang duduk perkaranya menyampaikan bahasan tentang pemilu serentak namun di tahun 2019, hal ini didasarkan pertimbangan pemohon diantaranya 96:

1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis, dimana pemohon bahkan menginventarisasi akan dapat terjadi 4-5 kali politik transaksional ini dalam Pemilu, yaitu sebagai berikut : Pada saat mengajukan calon anggota legislative; Pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Treshold; Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden (jika harus terjadi dua putaran pemilu);Pada saat pembentukan kabinet; Pada saat membentuk koalisi di DPR .

2. Biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, dimana klaim pemohon adalah mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, yaitu 1 Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa Timur.

3. Politik uang yang marak sebagai salah satu unsur dari politik transaksional tersebut diatas , yang berimplikasi pada korupsi Politik

4. Sistem pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif selama ini telah mengakibatkan tidak tegakkannya atau tidak diperkuatnya sistem Presidensial .

Namun dari berbagai hal yang menjadi penjelasan pemohon terdapat yang dengan tidak terlalu memiliki alasan kuat permohonannya seperti pembuktian politik transaksional, kunjungan informal atau lobby antara petinggi politik dan beberapa hal lainnya, Disisi lain, pemohon memberikan argumen pertimbangan yang ilmiah dan sulit dibantah yakni berkaitan dengan efesiensi yang timbul jika pemilu serentak dilaksanakan, kejelasan original intent dari pemohon tentang Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 yang di bahas dengan komperhensif serta alasan alasan melalui pendekatan ilmu lain yang meyakinkan. Perubahan mekanime yang signifikan ini menjadi sejarah baru untuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sarana demokrasi dalam meraih kedaulatan rakyat ini memang

74 sudah selayaknya dikembangkan dan ditinjau dalam rangka memenuhi amanat rakyat dan konstitusi yang ada. Pelaksanaan Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI 1945 mengenai pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden awalnya memang tidak ditafsirkan sebagai pemilu secara serentak. Sehingga, pelaksanaan antara pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu legislatif dilaksanakan secara terpisah.

Berdasarkan Putusannya No. 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014, MK mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian. Yang dikabulkan ialah terkait permohonan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Sedangkan yang tidak dikabulkan ialah permohonan pengujian Pasal 9 yang mengatur PT, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan legal policy yang diberikan/didelegasikan oleh UUD (Pasal 22E ayat [6]) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, oleh karenanya MK tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili legal policy tersebut.

Sebelum sampai pada amar atau diktum putusan, tentu saja ada pertimbangan hukum yang merupakan ratio decidendi (latar belakang lahirnya suatu putusan) atas lahirnya suatu amar putusan. Dalam pertimbangan hukum yang kemudian menjadi dasar dikabulkannya permohonan pemohon mengenai Pemilu serentak, MK mendasarkannya pada tiga pertimbangan pokok, yaitu:

1. kaitan antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial;

2. original intent dari pembentuk UUD NRI 1945; dan

3. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Terhadap pertimbangan pertama, pada pokoknya MK menyatakan bahwa tidak terdapat kaitan/relevansi antara Pemilu yang diadakan terpisah dengan sistem presidensial. Dalam sistem Presidensial, jabatan dan keberlangsungan pemerintahan yang dipimpin Presiden tidak tergantung dari dukungan parlemen sebagaimana halnya dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, norma hukum yang memisahkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD NRI 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilu yang dimaksud oleh UUD NRI 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Terhadap pertimbangan kedua, pada pokoknya MK menyatakan bahwa makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD NRI 1945 ialah penyelenggaraan Pilpres yang dilakukan serentak dengan Pilleg. Hal tersebut dapat diketahui melalui penelusuran risalah sidang dan keterangan PAH I BP

75 MPR pada sidang tahunan MPR tahun 2001. Pada saat itu muncul gambaran teknis dari para perumus bahwa penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan “serentak”, “Pemilu 5 kotak (DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota).”Dengan demikian, berdasarkan penelusuran terhadap original intent dari perumus perubahan UUD, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pilleg.

Terhadap pertimbangan ketiga, pada prinsipnya MK menegaskan bahwa Pemilu serantak memang akan lebih efisien sehingga akan menghemat uang negara sebagaimana yang didalilkan Pemohon.

Melalui pertimbangan hukum diatas, sampailah MK pada amar putusan yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagaian, yang pada intinya mengabulkan Permohonan Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential Thereshold. Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu- Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu 2019 mendatang.

Didalam Putusan MK ini, terdapat Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, beliau menjelaskan :97Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan, “Pasangan calon Presiden danWakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik pesertapemilu sebelum pelaksanaan pemilu.” Kemudian Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 menentukan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan WakilPresiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” Aturan-aturan tersebut dirumuskan pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang juga menghasilkan norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Pemilu diselenggarakanuntuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” yang dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945, “Ketentuan lebihlanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang”; Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif UUD NRI 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara

97

76 pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka(opened legal policy) pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan mekanismeterbaik tata cara pemilu, termasuk dalam penentuan waktu antarsatupemilihan dengan pemilihan yang lain.

Selain itu, aturan PTsebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU 42/2008 yang berbunyi, “PasanganCalon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemiluyang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen)dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suarasah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidendan Wakil Presiden” juga merupakan kebijakan hukum terbuka yang padaprinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihanumum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres. Bila pembentukUndang-Undang menginginkan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpresdilaksanakan serentak, maka PT tetap dapat diterapkan.

Sebaliknya threshold tersebut juga dapat dihilangkan bila Presiden dan DPR sebagai lembaga politik representasi kedaulatan rakyat menghendakinya.Pelimpahan kewenangan secara delegatif (delegatie van wetgevingsbevoegheid)kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengatur tata cara pelaksanaanPilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu memang perludilaksanakan karena terdapat hal-hal yang tidak dapat dirumuskan secaralangsung oleh UUD NRI 1945 karena sifatnya yang mudah untuk berubah atau bersifatterlalu teknis. Selain itu, merupakan suatu kebiasaan bahwa ketentuan dalamsuatu UUD adalah sebagai aturan dasar yang masih bersifat umum sehinggapengaturan yang bersifat prosedural dan teknis dilaksanakan denganpembentukan Undang-Undang;98

Sebelumnya pengaturan PT pernah dimohonkan pengujiannyaPengujian UU Pilpres diputuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 51-52- 59/PUU-VI/2008 tentang Pengusulan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Oleh

98

77 Partai Politik Dan Pelaksanaan Pemilu Presiden Setelah Pemilu Legislatif.Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 merupakan gabungan dari tiga perkara mengenai permohonan pengujian Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) terhadap UUD NRI 1945 yang diajukan oleh: (1). Saurip Kadi sebagai perorangan warga negara Indonesia (Perkara Nomor 51/PUU-VI/2008); (2). Partai Bulan Bintang sebagai Partai Politik peserta Pemilu Tahun 2009 dengan Nomor Urut 27, yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilu (KPU), sesuai Keputusan KPU Nomor 149/SK/KPU/Tahun 2008 tanggal 9 Juli 2007 tentang Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 (Perkara Nomor 52/PUU- VI/2008); serta(3). DPP Hanura, PKN PDP, DPP PIS, DPP PB, DPP PPRN, DPP RepublikaN sebagai perorangan dan badan hukum (Perkara Nomor 59/PUU- VI/2008).

Masalah utama dalam perkara ini adalah konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 yang menentukan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD; serta Pasal 9 UU 42/2008 yang menentukan bahwa pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima per seratus) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. didalam amar putusannya mahkamah konstitusi

Dalam Amar Putusannya Mahkamah Kontitusi Menyatakan menolak permohonan Pemohon I (Saurip Kadi), Pemohon II (Partai Bulan Bintang), dan Pemohon III (Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara) untuk seluruhnya.99. secara lengkap berbunyi (1) norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD N RI Tahun 1945, legal policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD N RI Tahun 1945 dan tata cara Pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945 sebagai kebijakan

99

78 legislasi dan kebijakan threshold yang didelegasikan dalam pelaksanaan pemilu; (2) tidak ada korelasi logis dengan pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan syarat tersebut berarti proses demokrasi diserahkan rakyat yang berdaulat; (3) dukungan awal dalam pilpres karena hasil pilpres terhadap capres dan wapres terpilih telah didukung oleh rakyat melalui partai politik dalam pemilu; dan (4) delegasi kewenangan terbuka yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sehingga tidak bisa dibatalkan oleh MK meskipun ketentuan PT sebagai isi dari UU Pilpres dinilai buruk karena substansi undang-undang yang dinilai buruk tidak selalu inkonstitusional. Berdasarkan putusan tersebut. berarti bahwa sesungguhnya pengaturan mengenai PT merupakan suatu norma yang dapat dinilai buruk meskipun tidak bersifat inkonstitusional karena PT merupakan pelaksanaan amanat konstitusi Pasal 6A ayat (2), Pasal 6 ayat (5) junctis Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945. Namun demikian, dalam putusan MK terdapat dissenting opinions.100

Tiga Hakim Konstitusi yang mengemukakan dissenting opinion (pendapat berbeda) sebagai berikut:101

Apabila Mahkamah konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara- perkara sebelumnya (misal Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009) dalam penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) yang cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent, seyogianya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU 42/2008, sudah sangat terang benderang (expressis verbis) bahwa Pembentuk UUD NRI 1945 menghendaki agar: frasa“sebelum pelaksanaan pemilu” yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tidak dapat dipisahkan dari pengertian pemilu sebagaimana

100

Shanti Dwi kartika, PT Dalam Revisi UU Pilpres, Info Singkat DPR Vol. V, No. 14/II/P3DI/Juli/2013.

101

Ikhtisar Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi 2008-2009,Sekretariat Jenderal dan KepaniteraanMahkamah Konstitusi, Jakarta,2010, hlm.78-79

79 dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945, yaitu pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD sebagai satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya (electoral laws and electoral processes) oleh “suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” [vide Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945]. Bahkan, undang-undang yang mengatur Pemilu pun cukup satu yang mencakup pengaturan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, tidak seperti yang dipraktikkan pada Pemilu 2004 ada UU 12/2003 (Pemilu Legislatif) dan UU 23/2003 (Pemilu Presiden) yang kemudian untuk Pemilu 2009, UU 12/2003 diganti dengan UU 10/2008 dan UU 23/2003 diganti dengan UU 42/2008. Argumentasi bahwa karena menurut Pasal 3 ayat (2) UUD NRI 1945 MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, maka logikanya MPR yang anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu [vide Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945] sudah harus terbentuk terlebih dahulu sehingga Pemilu Legislatif harus didahulukan dari Pemilu Presiden terlalu menyederhanakan masalah, karena penyelenggaraan Pemilu secara serempak tidak berarti bahwa anggota DPR dan anggota DPD yang juga otomatis anggota MPR tidak dapat dilantik lebih dahulu (misalkan sesuai dengan kalender Konstitusional Lima Tahunan sejak tahun 1999 setiap tanggal 1 Oktober) dari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden (setiap tanggal 20 Oktober lima tahun sekali). Argumentasi bahwa penyelenggaraan Pemilu Legislatif lebih dahulu dari pada Pemilu Presiden sudah merupakan konvensi ketatanegaraan juga sulit untuk diterima, karena baru akan berlangsung dua kali (tahun 2004 dan rencananya 2009);

Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik ataugabungan partai politik peserta Pemilu yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 sebenarnya sudah sangat jelas maksudnya dan tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan hukum (legal policy). Demikian 79 Ikhtisar Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 2008-2009

80 pula “PT” dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, sebab dukungan yang luas akan diwujudkan dengan Pilpres secara langsung oleh rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (1) juncto Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 mengenai keterpilihan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus meraih suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sejatinya, apabila Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serempak dalam waktu yang bersamaan sebagaimana secara implisit terkandung dalam Pasal 22E ayat (2) juncto Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, maka mutatis mutandis ketentuan “PT” dalam Pasal 9 UU 42/2008 kehilangan relevansinya. Dengan demikian, Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UU 42/2008 bertentangan dengan sumber legitimasinya, yaitu Pasal 6A ayat (2) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945, sehingga sudah selayaknya apabila Mahkamah menyatakan Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terakhir, pengajuan ppengujian terhadap uu 42 tahun 2008 setelah adanya Putusan Mahkamah konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pemilu dilakukan serentak dimohonkan olehh Yusril Ihza Mahendra. Beliau Mengajukan gugatan terhadap norma Pasala 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat2 dan Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres terhadap Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat 1,2,dan 3 UUD NRI 1945.102

Yusril berpendapat pemilu hanya dilakukan sekali dalam lima tahun, sehinga terpisah antara pemilihan anggota legislatif (Pileg) dan Pilpres. Sehingga calon setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan

102

81 Pileg, selain itu, Yusril berpendapat Pilpres yang diselenggarakan setelah Pileg. Selain itu, Yusril berpendapat Pilpres yang diselenggarakan setelah Pileg. Hanya ada dalam sistem parlementer bukan Republik. Selanjutnya beliau menjelaskan dengan adanya pemilu serentak maka adanya Pasal 9 UU Pilpres soal ambang batas presiden (PT) secara tidak langsung tidak berlaku.

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-Undang

Dokumen terkait