• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

1

EKSISTENSI

PRESIDENTIAL THRESHOLD

PASKA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

14/PUU-XI/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

RAHMAD RAMADHAN NIM : 100200367

DEPARTEMEN TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

2

EKSISTENSI

PRESIDENTIAL THRESHOLD

PASKA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

14/PUU-XI/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Rahmad Ramadhan

NIM : 100200367

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN TATA NEGARA

Dr. Faisal Akbar, SH, MH NIP. 195909211987031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Armansyah, SH, MH Drs. Nazaruddin, SH, MA

NIP. 195810071986011002 NIP. 19550611980031004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

3 ABSTRAKSI

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU) untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun, didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) mengakibatkan perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Hal ini jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia.

Dalam menyusun Skripsi ini digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013.

Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 mengenal ketentuan Ambang Batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan Presidential Threshold (PT). PT ini digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang tujuannya untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja secara efektif di Indonesia. Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian (Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusipun mengeluarkan putusan-putusannya beberapa kali hingga terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan Pemilu Serentak di Indonesia pada tahun 2019.

Kata kunci: Pemilu Presiden, Presidential Threshold (PT),

(4)

4 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah karena berkat, kasih, dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Presidential Threshold Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orangtua dan kakak , penulis yakin skripsi ini menjadi sesuatu yang dinantikan . Ini juga menjadi kesempatan penulis untuk berterima kasih kepada mereka berdua, atas dorongan finansial dan

moral penulis dapat menimba ilmu dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan,S.H.,M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara.

6. Bapak Armansyah, SH,MH., selaku Dosen Pembimbing I penulis.

7. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Dosen Pembimbing II penulis. 8. Bapak Boy Laksamana, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing Akademik

selama menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

(5)

5 10. Teristimewa untuk orangtua terkasih Mamaku Rosmina Harahap atas kasih sayang serta didikan yang diberikan. Kakak Darma Afni Hasibuan atas semangat dan dukungan yang tanpa habis-habisnya.

11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Reza, M.Ikhsan, Arija, Dyna, Rahmad hidayat, Priawan, Dwi, Henny, Marta atas dukungan dan kebersamaan selama perkuliahan.

12. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Beasiswa Bidikmisi ( GAMADIKSI) USU, atas rasa saling tolong-menolong layaknya keluarga selama ini. 13. Teman-teman BTM Aladdinsyah, S.H dari beragam stambuk, yang telah

memberikan semangat dan dukungannya.

14. Teman-teman Buletin Lintas Almamater, atas pengalaman berharga di bidang jurnalistik di Fakultas hukum.

15. Teman-teman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) , atas pengalaman

melakukan pengabdian masyarakat di beberapa sekolah.

16. Teman-teman USU Studen Market ( Stumart) dan Klub Progresif,

semoga semakin banyak orang yang merasakan pengalaman Enterpreneurship dan Berinovasi dalam bentuk tulisan dan menjadi solusi sederhana masalah di Indonesia.

17. Teman-teman Se-Indonesia, atas informasi, persahabatan dan semangat untuk menjadi lebih baik untuk masa depan diri dan Negara yang sangat dicintai.

18. Seluruh Keluarga Lembaga Yayasan Pusaka Indonesia, telah memberikan ilmu praktik hukum dan peduli masalah hukum yang nyata disekitar kita 19. Teman-teman satu rumah selama menempuh perkuliahan, Bang Riki,

Bang Bustami, Coky, Agung,Beni dll

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan

saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2015

(6)

6 DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan D. Keaslian Penulisan

E. Tinjauan Kepustakan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II DEMOKRASI DAN SISTEM PEMERINTAHAN

A. Konsepsi Demokrasi Konstitusional

B. Sistem Pemerintahan

1. Sistem Parlementer

2. Sistem Presidensial

3. Sistem Campuran

C. Sistem Pemilihan Umum

D. Partai Politik Dan Sistem Kepartaian 1. Partai Politik

2. Sistem Kepartaian

(7)

7 BAB III SISTEM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NRI 1945

A. Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Perubahan UUD NRI 1945

B. Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia menurut UUD 1945 Sesudah Perubahan UUD NRI 1945

C. Konsep Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial di Indonesia

BAB IV EKSISTENSI PRESIDENTIAL THRESHOLD PASKA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/ PUU-XI/2013

A. Putusan- Putusan Mahkamah Konstitusi serta Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran

(8)

3 ABSTRAKSI

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU) untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun, didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) mengakibatkan perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Hal ini jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia.

Dalam menyusun Skripsi ini digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013.

Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 mengenal ketentuan Ambang Batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan Presidential Threshold (PT). PT ini digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang tujuannya untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja secara efektif di Indonesia. Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian (Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusipun mengeluarkan putusan-putusannya beberapa kali hingga terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan Pemilu Serentak di Indonesia pada tahun 2019.

Kata kunci: Pemilu Presiden, Presidential Threshold (PT),

(9)

8 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi merupakan hukum tertinggi di suatu negara. Konstitusi berfungsi sebagai pegangan atau pedoman untuk menjalankan tata pemerintahan di suatu bangsa. Adapun bentuk konstitusi ada yang tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis di Indonesia disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sedangkan konstitusi tidak tertulis seperti konvensi kenegaraan. Indonesia dalam perkembangan konstitusinya sudah terjadi perubahan selama 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya Undang - Undang Dasar tahun 1945 (UUD NRI 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan berlaku kembalinya UUD NRI 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.1

Sistem pemerintahan merupakan salah satu hal yang diatur dalam Konstitusi. Usep Ranawijaya mendefinisikan sistem pemerintahan merupakan

sistem antara hubungan eksekutif dan legislatif.2 Pendapat serupa juga dikemukakan Jimly Asshiddiqie, sistem pemerintahan terkait dengan pengertian regeringsdaad. yaitu penyelenggaraan pemerintahahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif. Adapun bentuk sistem pemerintahan dikemukakan Sri Soemantri dengan tiga bentuk varian sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan Parlementer, sistem pemerintahan Presidensial, dan sistem pemerintahan Campuran.3 Sistem pemerintahan parlementer didasarkan landasan parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi. sistem pemerintahan Presidensial artinya Presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi juga kepala Negara serta memiliki kekuasaan dibidang legislatif dan yudikatif serta sistem

1

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 98.

2

Usep Ranawijaya dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 24.

3

(10)

9 campuran yang berarti sistem yang berusaha mencari titik temu antara sistem pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan Parlementer.

Sejarah ketatanegaraan Indoenesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 kemerdekaan, Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pemerintahan. Indonesia terus mencari suatu bentuk yang ideal. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 menganut

sistim pemerintahan “quasi Presidensial”. Alasannya karena dilihat dari sudut

pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagiman dikatakan lebih lanjut:4

Jadi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahannya adalah Presidensil, karena Presiden adalah eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Dilihat dari sudut pertanggungan jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain – kepada siapa Presiden bertanggung jawab – maka sistem pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut “quasi Presidensil”

Kekuasaan Presiden di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan

yang dikatakan menganut sistim pemerintahan “quasi Presidensial” memiliki tiga

kekuasaan sebagai yakni, sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai mendataris MPR.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merubah sistem pemerintahan Indonesia. Dengan perubahan ini Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Jika pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memiliki kelemahan yakni cenderung

sangat „executive hevy‟ maka setelah perubahan hal ini tidak terwujud lagi, perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 telah menganut sistem pemeritahan Presidensil yang dapat menjamin stabilitas pemerintah.5

Dalam sistem pemerintahan Presidensil yang diadosi oleh Undang-Undang Dasar 1945 menurut Jimly Asshiddiqie memiliki lima perinsip penting, yaitu:(1) Presiden dan

4 Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5, (Jakarta:

Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180; sebagaimana dikutip pula dalam A. Hamid S Attamimi, Op. Cit., hlm. 125-126;

(11)

10 Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

Indonesia dalam sejarah konstitusinya pernah menganut sistem

pemerintahan berupa sistem parlementer, sistem Presidensial dan sistem campuran. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 Indonesia melakukan

purifikasi sistem pemerintahan Presidensial. Adapun bentuknya : (1) mengubah proses pemilihan Presiden/ Wakil Presiden dari pemilihan dengan sistem perwakilan (mekanisme pemilihan di MPR) menjadi pemilihan secara langsung ; (2) membatasi periodisasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden; (3) memperjelas mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden/ Wakil Presiden; (4) larangan bagi Presiden untuk membubarkan DPR; (5) memperbarui atau menata ulang eksistensi MPR; dan (6) melembagakan mekanisme pengujian undang-undang (Judicial Review).6

Salah satu hal yang menarik tentang purifikasi sistem Presidensial di Indonesia diatas yaitu pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Adapun hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan. “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak “ menjadi Pasal 6 A UUD NRI 1945 yang menyatakan :

6

(12)

11 (1). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung

oleh rakyat.

(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu

(3). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden

(4). Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5). Tata cara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Bila dicermati pengaturan Pilpres di atas semakin menguatkan pilihan Indonesia ke dalam sistem politik Demokrasi dalam Sila Ke-4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dikuatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”. Hal ini semakin menguatkan konsep demokrasi yakni “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Adapun perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam Negara Demokrasi dilaksanakan dengan adanya Pemiihan Umum (Pemilu). Pemilu ini menjadi

wadah kedaulatan rakyat untuk berpartisipasi memilih dan memberikan haknya kepada orang lain untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan Negara. Di

(13)

12 kedaulatan rakyat. keabsahan pemerintah, dan pergantian pemerintahan secara teratur. 7

Indonesia adalah negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, karena itulah rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Dimana Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan peran konstitusional kepada partai politik sebagai peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan, serta Pasal 6A ayat (2) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu langsung dilaksanakan pertama kali pada tahun 2004 kemudian tahun 2009 dan 2014 sesuai dengan amanat Pasal 22E UUD NRI 1945 untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Adapun UUD NRI 1945 telah meletakkan dasar mengenai pemerintahan

demokratis dengan mengamanatkan Pemilu berkala. Hal ini diatur dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB Pasal 22 E dengan judul “PEMILU”. Adapun bunyi Pasal 22 E, yaitu ;

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah adalah partai politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umumdiselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

7

(14)

13 (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

Didalam pelaksanaannya, ketentuan Pemilu di UUD NRI 1945 didelegasikan lebih lanjut didalam Undang-Undang. Contohnya, persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 diatur lebih lanjut dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). UU No. 42 Tahun 2008 ini jugalah yang menjadi aturan yang lebih khusus mengatur Pilpres tahun 2009 dan 2014 yang baru dilaksanakan.

UU No. 42 Tahun 2008 yang menjadi ketentuan Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia, hingga kini masih memiliki permasalahan sehingga dibutuhkan Revisi UU Pilpres antara DPR, Akademisi, maupun Masyarakat. Adapun diantaranya mengenai ketentuan yang mengatur tentang syarat Pencalonan

Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 mengenai ketentuan ambang batas calon Presiden atau diistilahkan Presidental Threshold (PT).

Adapun pengertian PT adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. 8

PT merupakan ketentuan tambahan mengenai Pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa :

”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.”

Secara tekstual, Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan Presiden dan Wakil

8

(15)

14 Presiden. Namun, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilu. Hal ini dikarenakan Partai politik sebagai pilar demokrasi dan penghubung antara pemerintahan Negara (The state) dengan Warga Negaranya (The citizens).

Bila dikaji lebih dalam sebenarnya kebijakan PT terkait dengan kebijakan ambang batas parlemen atau Parlementary Threshold yang menggantikan Electoral Threshold.9 PT ini menjadi salah satu cara Penguatan sistem Presidensial melalui penyederhanaan partai politik.10 Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan didalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif.

Namun, didalam perjalanannya Pasal 9 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menjadi payung hukum ketentuan PT yang berbunyi :

“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”11

menjadi sebuah permasalahan, hal ini ditanggapi diantara pakar hukum di Indonesia. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Dr. Saldi Isra berpendapat bahwa aturan PT sebesar 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah Pemilu sebagai syarat bagi partai politik untuk mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden (Pilpres) adalah Inkonstitusional.12 Pendapat lain juga dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra”

9

Janedri M. Ghaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Pres, 2012 hlm.33

10

Nazaruddin, Kebijakan Multipartai Sederhana Dalam Undang-Undang Pemilu, Jakarta, 2009, Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1, juni 2009

11

Pasal 9 Undang- Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres.

12

Setkab MPR, Prof Saldi Isra : Presidential Thresold

(16)

15 “Presidential Threshold yang terdapat dalam Pasal 9 UU Pilpres Keliru dan bertentangan dengan Pasal 6 A Undang-Undang Dasar 1945. PT sebesar 20 persen dalam UU Pilpres hanya akan membatasi hak politik warga negara untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan mempersempit ruang bagi rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas serta bertentangan dengan sistem Presidensial dan cenderung bersifat sistem parlementer.”13

Namun didalam perjalanannya Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 yang menjadi dasar aturan PT tersebut terus dilakukan permohonan pengujian (Judicial Review) dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah

Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) merupakan salah satu lembaga yang dapat mencapai dan mewujudkan keadilan subtantif seperti yang diharapkan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di suatu negara hukum. Melalui Putusannya, salah satunya, Mahkamah Konstitusi mewujudkan tujuan hukum yang diharapkan masyarakat seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final, dalam artian tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan juga putusan tersebut berlaku mengikat dan memiliki kekuatan hukum tetap setelah dibacakannya putusannya tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi, khusunya dalam perkara pengujian undang-undang, berlaku secara umum dan mengikat semua pihak baik itu perorangan dan/atau lembaga negara. Hal ini dikarenakan Putusan MK sesungguhnya lebih mewakili kepentingan umum dari pada kepentingan individual, walaupun untuk

mengajukan permohonan pengujian undang-undang disyaratkan adanya kerugian konstitusional yang diderita14

13

Koran Jakarta, Yusril Gugat UU Pilpre,s

http://www.koran-jakarta.com/news/read/491349/yusrin-gugat-UUpilpres, diakses tanggal 20 Februari 2014

14

(17)

16 MK sebagai kekuasaan kehakiman yang melakukan penafsiran konstitusi di Indonesia sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 mempunyai 4 (empat) kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2). Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3). Memutus pembubaran partai politik (4). Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan kewenangannya pada Pasal 24 C ayat (2) inilah yang menjadi kewenangan MK untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Adapun hingga kini Mahkamah Konstitusi telah mengadakan sebanyak 3 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian terhadap Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden

(UU Pilpres) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945)

diantaranya Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 dan Putusan MK Nomor 108/PUU-IX/2013.

Didalam putusan-putusan tersebut MK tidak mengabulkan permohonan pemohon berdasarkan dalil bahwa ketentuan Pasal 9 UU Pilpres merupakan Kebijakan Hukum (Legal Policy) pembuat undang-undang dan Konstitusional. Namun setelah Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemilu serentak antara pemilu legislatif dan eksekutif di tahun 2019 membawa aneka penafsiran terhadap eksistensi ketentuan PT pasca putusan tersebut. Terakhir, Yusril Ihza Mahendra melakukan pengajuan uji materi penghapusan ketentuan PT dan berpendapat dengan dikabulkannya Pemilu Serentak oleh MK pada Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 maka PT juga otomatis tak bisa lagi dijadikan dasar untuk Pilpres dan inkonstitusional.15

15 http://koran-jakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=4390, diakses pada tanggal 23

(18)

17 Permasalahan perbedaan pandangan serta Putusan - putusan MK mengenai Ambang Batas Presiden (PT) dikaitkan dengan dikabulkannya permohonan Pemilu Serentak diataslah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk mengkaji hal ini lebih dalam. Adapun judul yang dipilih yaitu

EKSISTENSI PRESIDENTIAL THRESHOLD PASKA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013”

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah

1. Bagaimana pengaturan Presidential Threshold (PT) menurut UUD NRI 1945 dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ?

2. Bagaimana Eksistensi Presidential Threshold (PT) paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut

a. Mengetahui pengaturan Presidential Threshold (PT) menurut UUD dan UU No.42 Tahun 2008 tentang Pilpres

b. Menjelaskan Eksistensi Presidential Threshold (PT) paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai PT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. b. Secara Praktis

(19)

18

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan dari informasi yang diperoleh dari perpustakaan. judul ini belum pernah ditulis sebagai Skripsi. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan keberadaan PT sebagai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Pemerintahan

Dalam Ilmu Negara umum (algemeine staatlehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan. baik yang berbentuk

monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.16 Sedangkan menurut Mahfud, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antarlembaga-lembaga Negara.17 Sejalan dengan pandangan diatas Jimly Asshiddiqie mengemukakan. sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif18

Pemerintahan berasal dari kata perintah.19 dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, yang kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.

16

Harun Alrasyid, Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya, Majalah Mahasiswa Universitas Pasunda, Bandung, 2002 ,Vol.3, No. III, hlm.1

17

Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UIIPress, Yogyakarta, 1993, hlm.83

18

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Popular, 2007, hlm 100

19

(20)

19 Apabila dalam suatu negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurusi pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif). Sedangkan, pemerintahan dalam arti yang luas selain eksekutif, termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif)20

Menurut C.F. Strong sebagaimana dalam Inu Kencana Syafiie dalam buku Pengantar Ilmu Pemerintahan mengatakan:21

Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power of the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.

Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan Negara, ke dalam dan keluar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang. yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang. yang ketiga, harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan

masyarakat dalam rangka membiayai biaya keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan. hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan

kepentingan negara.

Adapun pemerintahan dalam arti luas menurut Carl J. Frederich adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negaranya sendiri. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa pemerintahan semata-mata tidak hanya sekedar menjalankan tugas

20

Inu Kencana Syafiie Pengantar Ilmu Pemerintahan, Cetakan Ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 21-22.

21

(21)

20 eksekutif saja, melainkan juga tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif22

Berdasarkan uraian diatas dapatlah dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional). Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahn negara23

Didalam buku Saldi Isra terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan. misalnya C.F Strong dalam buku “Modern Political Constitution” membagi sistem pemerintahan kedalam kategori : Parlementary Executive dan Non Parliamentary Executive atau The Fixed Executive. Lebih bervariasi dibanding Strong. Giovani Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga kategori : Presidentialism, Parliamentary System, dan Semi Presidensialism. Sejalan dengan ahli luar negeri tersebut. para ahli didalam negeri juga sependapat misalnya, Sri

Soemantri mengemukakan tiga variasi sistem pemerintahan. yaitu sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan Presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.24

a. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer dari semua varian sistem pemerintahan yang ada. merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan di seluruh dunia. Adapun Negara kelahirannya sistem pemerintahan parlementer ini yaitu Inggris. Menurut Djokosoetono, sistem parlementer merupakan sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggungjawab kepada parlemen) ditambah dengan overwich (kekuasaan lebih) kepada parlemen. selain itu sistem parlementer didasarkan landasan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi (parlement is sovereign). Adapun karakter sistem pemerintahan

22

Titik Triwulan Tutik Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, , 2005, hlm. 97.

23

S. Pamuji, , Op.Cit,hlm. 6.

24

(22)

21 parlementer secara lengkap dijelaskan Verney dalam 11 karakter sistem pemerintahan parlementer. yaitu :25

1. The assembly becomes a parliament 2. The executive is devided into two parts

3. The head of state appoints the head of government 4. The head of government appoints the ministry 5. The ministry is a collective body

6. Ministers are usually member of parliament

7. The government is politically responsible to the assembly

8. The head of government may advise the head of state to dissolve parliament

9. Parliament as a whole is supreme over its constituent parts. government and assembly. neither or which may dominate other.

10.The government as a whole is only indiriectly responsible to the electorate.

11.Parliament is the focus of power in the political system

Dari pendapat ahli diatas, jelaslah karakter sistem parlemen yaitu

pemisahan antara jabatan kepala Negara dan pemerintahan. sistem pemerintahan parlementer tingginya ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlemen, serta

eksekutif tidak dipilih oleh pemilih sebagaimana pemilihan anggota legislatif. Oleh karena itulah parlemen menjadi pusat kekuasaan dalam pemerintahan parlementer

b. Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam literature, Amerika Serikat merupakan tanah kelahiran dan contoh ideal sistem pemerintahan Presidensial. Berbeda dengan sistem Parlementer, sistem Presidensial tidak dibangun melalui proses evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem pemerintahan Presidensial tidak dapat dilepaskan dari Perjuangan Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah pembentukan konstitusi Amerika Serikat. Sistem ini juga menjadi penolakan terhadap Inggris, dimana Amerika melalui pembentuk konstitusinya membentuk sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan di Inggris.

Menurut Strong, the conception of independence of the executive from legislative merupakan salah satu konsep yang disepakati para pendiri Negara Amerika Serikat. Pemisahan itu diatur dalam Article I dan Article II Konstitusi

25

(23)

22 Amerika Serikat. Tidak hanya pemisahan antara legislatif dan eksekutif, jabatan Presiden sebagai kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menurut Harun Alrasyid, jabatan Presiden dalam Negara berbentuk Republik merupakan hasil Konvensi Federal 1787 : “ the executive power shall be vested in a President of the united states of America…”.

Dalam sistem ini melakukan pemilihan Presiden oleh rakyat dan menolak Raja. Untuk diputuskan Presiden harus memiliki kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. Oleh karena itu dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden namun tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran. Jimly Asshiddiqie menyebutkan didalam sistem pemerintahan Presidensil ada 9 karakternya, yaitu 26

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal.

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan

4. Presiden mengangkat menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya

6. Presiden tidak adapat membubarkan atau memaksa parlemen

7. Jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen. maka dalam sistem Presidensial berlaku supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi

8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat 9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

yang terpusat pada parlemen.

c. Sistem Pemerintahan Campuran

Sistem pemerintahan campuran tidak lepas dari perkembangan ketatanegaraan Prancis. Adapun karakter umum sistem pemerintahan campuran dikemukakan Sartori yaitu27

26

Saldi Isra, Op, cit, hlm.39

27

(24)

23 1. The head of state is elected by popular vote-either directly or indirectly-

for a fixed of office

2. The head of state shares the executive power with a prime minister.,thus entering a dual authorit structure whose three defining criteria are: 3. The Presiden is independent from parliament, but is not entitled to govern

alone or directly and thefore his will must be conveyed and processed via his government

4. Conversely, the prime minister and his cabinet are President-indipendent in that they are parliament- dependent : they are subject to either parliamentary confidence or no confidence. and either case need the support of parliamentary majority

5. The dual authority structure of semi Presidentialism allows for different balances and also for shifting prevalances of power within the executive, under the strict condition that the “autonomy potential” of each component unit of the executive does subsist.

Dari karakter diatas, sistem pemerintahan campuran adalah sistem pemerintahan yang berupaya untuk mencarikan titik-temu (meeting point) antara sistem pemerintahan presidensial adan sistem pemerintahan Parlementer. Karakter kuncinya yaitu terletak pada fungsi ganda Presiden yang dalam fungsi eksekutif Presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang juga memegang kekuasaan eksekutif.

2. Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi menurut asal kata berarti “ rakyat berkuasa” atau government or rule by the people”. Dimana dalam kata yunani demos berarti rakyat, kratos / kratein berarti kekuasaan.28

Menurut R. J. Gettel, suatu bentuk pemerintahan disebut demokrasi

apabila memenuhi syarat-syarat demokrasi, antara lain:29

a. Harus didukung oleh persetujuan umum (general consten);

b. Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui referendum yang luas atau melalui pemilu;

28

Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.2007, hlm. 50

29

(25)

24 c. Kepala Negara dipilih langsung atau tidak langsung melalui pemilu. dan

bertanggungjawab kepada dewan legislatif;

d. Hak pilih aktif diberikan kepada sejumlah besar rakyat atas dasar kesederajatan;

e. Jabatan-jabatan pemerintah harus dapat dipangku oleh segenap lapisan rakyat.

Macam-macam bentuk pemerintahan demokrasi meliputi: Pertama. demokrasi langsung, yaitu negara demokrasi dimana semua warga negara secara langsung memilih serta ikut memikirkan jalannya pemerintahan. bahkan semua orang ikut memerintah. Contoh Negara Yunani Kuno, New England, dan negara-negara bagian Swiss (appenzell, gelarus, uri, dan unterwalden). Kedua, demokrasi perwakilan, yaitu suatu negara dimana tidak semua warga negara ikut serta secara langsung dalam pemerintahan, tetapi mereka itu memilih wakil-wakil diantara mereka yang duduk dalam badan perwakilan (parlemen). Contoh negara demokrasi perwakilan dengan parlemen, Indonesia dengan DPR.

Suatu Negara memilih sistem pemerintahan atau sistem politik demokrasi didasarkan atas pertimbangan :30

a. Demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrasi yang kejam dan licik:

b. Demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga Negara yang tidak diberikan oleh sistem – sistem yang tidak demokratis;

c. Demokrasi lebih menjamin kebebasan pribadi lebih luas:

d. Demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka;

e. Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga Negara untuk menentukan nasibnya sendiri hidup dibawah hukum pilihannya: f. Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan

tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat; g. Demokrasi membantu perkembangan manusia secara lebih total;

h. Demokrasi membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relative tinggi:

i. Demokrasi modern tidak membawa peperangan Negara penganutnya; dan j. Demokrasi cenderung lebih membawa kemakmuran bagi Negara

penganutnya daripada pemerintahan yang tidak menganut demokrasi.

30

(26)

25 Salah satu pendekatan untuk memahami demokrasi dan relevansinya

dengan Pemilu adalah melihat demokrasi dari segi lingkup dan intensitas partisipasi warga Negara dalam pembuatan dan pelaksanaan putusan-putusan

politik, sehingga membedakan demokrasi dalam empat tingkatan31. yaitu :

a. Demokrasi Prosedural (Joseph Schumpeter dan Huntington), yang mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi Warga Negara untuk menentukan wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel. Demokrasi jenis ini juga disebut demokrasi minimalis.

b. Demokrasi Agregatif (Robert Dahl), demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam Pemilu yang Luber, Jurdil, dan akuntabel. Namun terutama cita-cita, pendapat, prefensi, dan penilaian Warga Negara yang menentukan isi undang-undang, kebijakan, dan tindakan publik lainnya, karena menyakini prinsip self-government yang mendasari pengambilan keputusan mengenai undang-undang dan kebijakan publik oleh sebagian besar Warga Negara.

c. Demokrasi Deliberatif (Dennis Thompson, Amy Gutmann), berpandangan bahwa undang-undang dan kebijakan publik haruslah dirumuskan berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dapat diterima oleh semua warga Negara secara rasional, karena menekankan pentingnya otonomi, persamaan, dan kesetaraan individu. Sehingga disebut juga reasoned rule.

d. Demokrasi Partisipatoris (Benyamin Barber), menyetujui penting nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan/kesetaraan politik, dan reasoned rule, namun juga menekankan pada partisipasi seluruh warga Negara yang berhak memilih terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.

3. Pemilu Umum

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu media perwujudan demokrasi yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta dalam rangka melaksanakan Hak-hak Asasi Warga Negara32 Adapun yang menjadi asas-asas umum pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :

31

A. Mukti Fajar, Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu Dan Demokrasi, 2013, Setara Press, Malang, hlm. 26-27

32

(27)

26 1. Langsung; adalah rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

2. Umum; mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas; setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4. Rahasia; dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain.

5. Adil; peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilu. Namun Pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di Negara-negara yang menamakan diri sebagai negaa demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik dibidang Legilatif dan Eksekutif baik dipusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling terkait merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others.

Demokrasi dan proses demokratisasi secara kualitatif substansial tidak hanya cukup dengan dipenuhinya atribut-atribut formal demokrasi, seperti adanya lembaga perwakilan, adanya lebih dari satu partai politik yang bersaing dalam pemilu, dan adanya pemilu yang periodik.33 Demokrasi dan proses demoratisasi harus didasarkan pada standar-standar hak asasi manusia (HAM) agar lebih

bermakna partisipatoris dan emansipatoris, sebab kalau tidak demokrasi akan mudah dikooptasi dan diselewengkan.34

33

(28)

27 Di Indonesia. salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) adalah bahwa cara pengisisan jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik di tataran nasional, maupun lokal harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan, tentunya dengan asumsi akan lebih demokratis. sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik sesuai Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pemilu (Pemilu) yang merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk Republik, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur.35

Semua demokrasi modern melaksanakan pemilihan, tetapi tidak semua pemilihan adalah demokratis, karena pemilihan yang demokratis bukan sekedar

lambang, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif, berkala, inklusif (luas) dan definitif yakni menentukan kepemimpinan pemerintahan.36

Ukuran bahwa suatu Pemilu demokratis atau tidak harus memenuhi tiga syarat 37 yaitu a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimasi, dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta Pemilu.

Melalui Perubahan UUD NRI 1945, Indonesia sebenarnya telah meletakkan dasar - dasar pemerintahan yang demokratis lewat Konstitusi yang mengamanatkan Pemilu berkala yang demokratis pula, yakni menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil [Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945] dan diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945]. Pemilu yang sebelumnya hanya

35

(29)

28 dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD (karena yang sebagian lagi diangkat, misalnya Pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999), melalui pengkaidahan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD dan DPRD, dan bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI 1945 sebagai berikut:

a. Pasal 6A ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”;

b. Pasal 18 ayat (3) : Pemerintahan daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui Pemilu”;

c. Pasal 19 ayat (1) :”Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilu”;

d. Pasal 22C ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu”;

e. Pasal 22E ayat (2): “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

4. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, pimpinan Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) lazimnya dipilih oleh “the electorate” yang perwujudannya ada tiga kemungkinan. yaitu a) dipilih oleh rakyat atau warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu secara langsung; b) dipilih oleh “Electoral college (Dewan Pemilih)”; atau c) dipilih oleh suatu badan /lembaga perwakilan rakyat.38 Perkembangan Konstitusi Indonesia menunjukkan

adanya perbedaan dalam Prosedural demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) salah satunya menyangkut perubahan mengenai mekanisme Pilpres dalam sistem Presidensial yang kita anut, dari yang semula dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih secara langsung. Pilpres secara langsung untuk pertama kali diadakan pada tanggal 6 juli 2004 sesudah selesainya pemilu anggota DPR,DPD, DPRD (Pemilu

38

(30)

29 Legislatif) Tahun 2004, untuk kedua kalinya dilaksanakan pada tanggal 8 juli 2009 dan Ketiga kalinya dilaksanakan pada tanggal 8 juli 2014.

Adapun Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional melalui pemilihan secara langsung tercantum dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 :

(1). Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2). Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih

lanjut dengan undang-undang.

Undang - undang organik yang mengatur persyaratan calon Presiden dan

Wakil Presiden adalah UU No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu Presiden Langsung Tahun 2004 dan UU No.42

Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden langsung tahun 2009 dan 2014.

Pasal 5 UU No. 42 tahun 2008 menentukan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:

a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;

c. Tidak pernah mengkhianati negara. serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat Lainnya;

d. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;

e. Bertempat tinggal di wilayah negara kesatuan republik Indonesia;

f. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;

g. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

h. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; i. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

j. Terdaftar sebagai pemilih;

(31)

30 l. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2

(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

m. Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara, undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, dan cita-cita proklamasi 17 agustus 1945; n. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

o. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;

p. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

q. Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia. termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan

r. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara republik Indonesia.

Adapun mekanisme Pencalonan dan Pilpres diatur dalam Pasal 6A UUD NRI 1945. yaitu :

1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. 3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara

lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh, suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

5) Tata cara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Penjabaran lebih lanjut mengenai mekanisme pencalonan dan Pilpres yang tercantum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 tersebut dituangkan dalam UU 23/2003 untuk Pemilu Presiden tahun 2004 dan dalam UU 42/2008 untuk Pemilu Presiden tahun 2009, sbb;

a. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan oleh KPU [Pasal 9 ayat (1) UU 23/2003; Pasal 4 ayat (1) UU 42/2008];

(32)

31 dengan ketentuan memenuhi ketentuan “Presidential Thresold” tertentu. yaitu 15% kursi DPR atau 20% perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR [Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003] untuk pemilu Presiden 2004. sedangkan Pemilu Presiden 2009 “PT” adalah 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR (Pasal 9 UU 42/2008);

5. Partai Politik

Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.39 Adapun fungsi partai politik yaitu partai sebagai sarana

komunikasi politik, partai sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik sebagai sarana rekruitment politik, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Partai

politik pertama-tama lahir di Indonesia pada zaman Kolonial. Partai politik merupakan manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Diantara partai - partai tersebut memiliki tujuan seperti tujuan sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah) asas politik/ agama ( Sarikat Islam dan Partai Katolik) atau asas sekuler (PNI dan PKI). Setelah reformasi jumlah partai di Indonesia menjadi 48 partai dan saat ini ada 11 partai diIndonesia yang mengikuti pemilu Presiden dan legislatif 2014. F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian Normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).40

39

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm.161

40

(33)

32 Data yang disajikan dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, antara lain :

a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres, Peraturan perundang-undangan lain, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

b) Bahan hukum sekunder, dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan sistem pemerintahan Negara dan konsep Ambang Batas Calon Presiden dan Wakil Presiden, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c) Bahan hukum tersier, dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan Bab Pendahuluan. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas mengenai Demokrasi dan Sistem Pemerintahan yang terdiri dari Demokrasi Konstitusional, Sistem Pemerintahan, Sistem Pemilu, Partai Politik dan Sistem Kepartaian BAB III: Bab ini akan membahas mengenai Sistem Pemilu Presiden dan

(34)

33 Wakil Presiden sesudah Perubahan UUD NRI 1945, dan Konsep Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial di Indonesia. BAB IV: Bab ini akan membahas mengenai Eksistensi Presidential Threshold

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Bab V : Bab ini merupakan Bab penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran

mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.

BAB II

(35)

34

A. Konsepsi Demokrasi

Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote, one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip prinsip umum yangmencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh warga negaranya41

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society)42.

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi konstitusional sebagai berikut:

1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga Negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah

3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul43

Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of effective,

41

Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI 1945), Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 184-185.

42

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm. 58.

43

(36)

35 regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini melalui konstitusi44 Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power) dan adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.45 Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan. dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu:

a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang); b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang)

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat. bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. yaitu :

1. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara; 2. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan

pemerintahan;

3. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan tersebut46

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam

44

Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm.93

45

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945), Setara Press, Malang, 2012, hlm. 18-19.

46

Referensi

Dokumen terkait

kewenangan Mahkamah Konstitusi pun telah diatur oleh UUD NRI Tahun 1945, dalam hal menyangkut pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi tentu saja berdasarkan pada ketentuan

42 Menurut Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, MK memiliki beberapa kewenangan, satu diantaranya adalah kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD. Ide adanya peradilan konstitusi

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah

Pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 untuk menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden serentak dengan

Landasan hukum pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu telah tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan konstitusi untuk menguji peraturan perundang-undangan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “ judicial

Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan

Landasan hukum pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu telah tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD