• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NRI

A. Pilpres Sebelum Perubahan UUD NRI 1945

Pilpres sebelum orde baru adalah pemilihan pada era tahun 1945-1966 dalam era mana pernah berlaku UUD NRI 1945 periode I (1945-1949), konstitusi RIS 1949 (1949-1950), UUD sementara (UUDS) 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959), dan UUD NRI 1945 periode II (5 Juli 1959-1967).

Sebelum UUD NRI 1945 mengalami perubahan, persyaratan calon Presiden sangat sumir, bahkan untuk Wakil Presiden tidak ada persyaratannya

47 dalam konstitusi Pasal 6 ayat (1) UUD1945 sebelum perubahan hanya menyatakan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli“,tidak jelas apakah calon Wakil Presiden juga harus orang Indonesia asli. Selain itu, juga tidak jelas apakah Presiden dan Wakil Presiden harus Warga Negara Indonesia (WNI), sebab orang Indonesia asli belum tentu menjadi WNI. Hal tersebut dikarenakan ada ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa. “yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang di sahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara”. Dengan demikian, menurut UUD NRI 1945 (asli) semua orang Indonesia asli diasumsikan pasti Warga Negara Indonesia dan tidak mengantisipasi bahwa mereka kemungkinan sudah bukan lagi WNI. kriteria “orang Indonesia asli” juga sering dipandang mendiskriminasi sesama WNI.

Dalam konstitusi RIS 1949, persyaratan calon Presiden tercantum dalam Pasal 69 ayat (3) yang berbunyi “Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun ; beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang –orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih”. Dari ketentuan konstitusi RIS tersebut menunjukkan bahwa kata “asli” telah dihilangkan dan secara eksplisit juga tidak menyebutkan WNI. namun dari frasa “tidak boleh yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk memilih” menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah WNI, karena menurut Pasal 22 Konstitusi RIS 1949 yang punya hak pilih hanyalah WNI. Selain itu konstitusi RIS 1949 telah menentukan persyaratan usia Presiden, yakni telah berusia 30 tahun. Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan Wakil Presiden. sehingga syarat dimaksud memang hanya untuk jabatan Presiden.

Dalam UUDS 1950, persyaratan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 45 ayat (5) yang berbunyi “Presiden dan wakil Presiden harus warga Negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam suatu menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih “. Ketentuan dalam UUDS 1950 nampaknya sudah lebih jelas, yaitu bahwa persyaratan tersebut berlaku untuk

48 Presiden dan Wakil Presiden, syarat harus WNI, usia sudah 30 tahun, dan mempunyai hak pilih ( hak memilih dan hak untuk dipilih ).

Menurut A.K Pringgodigdo69, ketentuan yang bersifat rasdiskriminasi untuk persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu harus orang Indonesia asli. oleh UUD 1950 telah dihilangkan, karena yang penting keduanya harus warga Negara Indonesia

Tata Cara Pilpres, UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan menentukan :

1. Pasal 6 ayat (2): ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh majelis permusyawaratan rakyat dengan suara yang terbanyak “;

2. Pasal 7: "Presiden dan walik Presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali “.

Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) menunjukkan bahwa konstitusi menentukan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung, yakni oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan represtasi DPR, utusan daerah, dan utusan golongan [Pasal 2ayat (1) UUD NRI 1945] dan dari frasa “dengan suara terbanyak” mengisyaratkan bahwa seharusnya ada lebih dari satu calon, sedangkan dari ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 menunjukkan bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi lima tahun dan dapat dipilih kembali, namun tidak cukup jelas sampai berapa kali dapat dipilih kembali, sehingga dalam era orde baru dipraktekkan bahwa Presiden soeharto dapat dipilih sampai enam kali berturut turut .

Dalam praktek ketatanegaraan tahun 1945-194, ketika MPR belum terbentuk. untuk pertama kali, berdasarkan Pasal III aturan peralihan UUD NRI 1945. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu dilakukan pada tanggal 18 agustus 1945 70atas usul

69

A.K. Pringgodigdo dalam A. Mukti Fajar,Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, Setara Press, Malang, 2013, hlm.26

70

49 anggota PPKI . Oto Iskandardinata, Soekarno dan Muhammad Hatta dipilih secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden republik Indonesia yang pertama71.

Pemilihan Presiden menurut konstitusi RIS 1949 tercantum dalam Pasal 69 ayat (2) yang berbunyi “beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mancapai kata sepakat”. Ketentuan tersebut tidak menentukan untuk berapa lama jabatan Presiden dan berapa kali dapat dipilih kembali. Pelaksanaan ketentuan tersebut berlangsung pada tanggal 16 Desember 1949, yang memilih Soekarno sebagai Presiden RIS dan pada tanggal 17 Desember berlangsung pengambilan sumpah.72

Sementara itu, menurut Pasal 45 ayat (3) UUDS 1950,“Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. dan Pasal 45 ayat (4) UUDS 1950 menyatakan,”untuk pertama kali Wakil Presiden diangkat oleh Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh dewan perwakilan rakyat”.

Dalam prakteknya, menurut A.K Pringgodigdo73 undang-undang yang mengatur Pilpres yang diamanatkan oleh Pasal 45 ayat (3) UUDS 1950 tersebut tidak pernah dapat diwujudkan, maka berdasarkan piagam persetujuan antara pemerintah RI dan pemerintah RIS tanggal 19 Mei 1950 disepakati bahwa Presiden Negara kesatuan RI ialah Presiden Soekarno yang ternyata sesuai dengan ketentuan Pasal 141 UUDS 1950 yang antara lain menentukan bahwa pejabat- pejabat yang sudah ada sebelum UUD RIS diubah, akan tetap memegang jabatannya sampai diganti yang lain menurut UUD baru dan itulah sebabnya tidak ada pemilihan Presiden saat berlakunya UUD 1950. UUDS 1950 ternyata juga tidak menentukan untuk berapa lama jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan juga tidak menetukan apakah mereka dapat dipilih kembali.

71

RM.A.B.Kusuma, Sejarah Konstitusi, FHUI, Jakarta, 2004, hlm. .492-493

72

Ibid, hlm. 26.

50 Tatkala UUD NRI 1945 dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian diikuti dengan pembentukan MPRS melalui ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963 telah menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, yang berarti menyimpangi ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 bahwa masa jabatan Presiden ada lima tahun.

Era Orde Baru adalah era ketatanegaraan Indonesia tahun 1966-1968 atau dapat dikatakan sebagai Era Pemerintahan Soeharto sebagai Presiden RI. Soeharto praktis mengendalikan pemerintahan RI mulai saat terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SP 11 Maret atau terkenal dengan istilah Supersemar) yang kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Setahun kemudian, berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno pada tanggal 12 Maret 1967. MPRS telah mengangkat Soeharto selaku Pemegang SP 11 Maret sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dasar hukum yang dipakai oleh MPRS ialah Pasal 8 UUD NRI 1945 yang berbunyi. “ Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. ia di ganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Seperti diketahui bahwa pada waktu itu tidak ada Wakil Presiden dan MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden telah menetapkan hal-hal sebagai berikut :

a. MPRS tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden;

b. Apabila Presiden berhalangan, maka Pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden yang pemanfaatannya dilakukan dengan didampingi oleh Pimpinan MPRS dan Pimpinan DPRGR;

c. Dalam hal terjadi keadaan yang disebut dalam Pasal 8 UUD NRI 1945 maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil Pemilu.

51 Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tanggal 27 Maret 1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. MPRS telah menetapkan mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden RI hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu.

Pemilu dalam era Orde Baru pertama kali diadakan pada tanggal 5 juli 1971 dan MPR hasil Pemilu baru terbentuk pada tahun 1973 yang dengan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1973 mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI kembali. Selanjutnya Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali, yaitu tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, dan tahun 1997 dalam hal mana MPR hasil Pemilu-pemilu tersebut juga memilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI. sehingga praktis Soeharto memegang tampuk jabatan Presiden RI secara penuh sejak tanggal 12 Maret 1968 hingga lengser atau akibat mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat timbulnya gerakan reformasi.

Yang patut dicatat dari pemilihan-Pilpres era Orde Baru adalah mengenai ketentuan hukum yang mengaturnya sebagai penjabaran ketentuan Pasal 6 UUD NRI 1945, khususnya setelah Pemilu 1971, yaitu diterbitkannya Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pilpres Repunlik Indonesia bertanggal 19 Maret 1973 yang memuat antara lain 1) Syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden, 2) Tata Cara Pemilihan Presiden. dan 3) Tata Cara Pemilihan Wakil Presiden

Syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden Untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dibuat ketentuan hukum yang mengatur persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden secara rinci yang dapat dikelompokkan dalam tiga persyaratan. yaitu persyaratan objektif yang dapat diukur, persyaratan subjektif yang tidak terukur. keduanya bilamana perlu dinyatakan secara tertulis, dan persyaratan tambahan, sebagai berikut:

1). Persyaratan Objektif, yakni Warga Negara Indonesia; telah berusia 40 tahun; bukan orang yang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilu; bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat secara

52 langsung atau tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. sperti G-30-S/PKI dan/ atau Organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana berdasarkan Putusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana minimal 5 (lima) tahun; dan tidak terganggu jiwa/ingatannya.

2). Persyaratan Subjektif, yakni takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD NRI 1945; adil; jujur; cakap; dan berwibawa;

3). Persyaratan Tambahan : Presiden dan Wakil Presiden harus dapat bekerja sama dan khusus untuk calon Wakil Presiden juga harus menyatakan sanggup dan dapat bekerjasama dengan Presiden.

Persyaratan-persyaratan calon Presiden tersebt diatas dipakai untuk Pilpres tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998 yang baru mengalami revisi pada Pilpres tahun 1999 yang nampaknya disesuaikan dengan semangat reformasi, yakni proses demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mekanisme Pemilihan Presiden dan Waki Presiden pada era Orde Baru adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan, yaitu dipilih secara tidak langsung, dalam hal ini oleh MPR dengan suara terbanyak. Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 menjabarkan mekanisme pemilihan di MPR tersebut sebagai berikut :

1) Pilpres dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang khusus untuk itu dengan Korum minimal 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota MPR. Jika korum belum terpenuhi, rapat ditunda sampai ditunda tiga kali berturut- turut setiap satu jam. Apabila belum juga tercapai korum, ditunda lagi dalam waktu 2 X24 jam, namun jika belum juga tercapai korum. korum menjadi minimal lebih dari separoh jumlah anggota MPR dan jika belum juga terpenuhi korum dimaksud. Pimpinan MPR wajib mencari jalan keluarnya untuk diajukan ke Rapat Paripurna MPR.

53 2) Pemilihan dilakukan secara terpisah, yaitu lebih dahulu dilakukan pemilihan Presiden, baru kemudian dilakukan pemilihan Wakil Presiden (Pasal 8)

3) Calon Presiden diusulkan oleh Pimpinan Fraksi-fraksi MPR secara tertulis kepada Pimpinan MPR dengan Persetujuan calon yang bersangkutan (Pasal 9)

4) Penyampaian usulan calon Presiden dilakukan paling lambat 24 jam sebelum Rapat Paripurna dibuka dan kemudian diteliti persyaratannya oleh Pimpinan MPR (Pasal 10)

5) Pimpinan MPR mengumumkan nama calon Presiden yang telah memenuhi persyaratan kepada Rapat Paripurna MPR (Pasal 11)

6) Calon yang bersangkutan melalui fraksi pengusul dapat menarik kembali pengusulannya (Pasal 12)

7) Apabila calon yang diusulkan oleh fraksi-fraksi. pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara secara rahasia, namun jika hanya ada satu calon. maka calon tersebut oleh Rapat Paripurna MPR disahkan sebagai Presiden (Pasal 13)

8) Dalam hal dilakukan pemungutan suara. calon terpilih harus didukung oleh minimal lebih dari separoh jumlah anggota MPR yang hadir (Pasal 14). apabila tidak ada calon yang memenuhinya, maka dua orang calon dengan suara terbanyak berurutan dilakukan pemungutan suara ulang (Pasal 15) dan apabila masih juga belum ada calon memperoleh minimal lebih dari separoh, maka yang terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak dari keduanya (Pasal 16). Jika keduanya memperoleh suara sama, dilakukan pemilihan ulang (Pasal 17).

9) Apabila setelah diulang hasil keduanya tetap sama, maka calon terpilih ditentukan berdasarkan jumlah wakil-wakil fraksi yang mengusulkan (Pasal 18) dan apabila masih tetap sama banyaknya, fraksi-fraksi harus mengusulkan calon Presiden yang lain (Pasal 19)

10)Untuk pemilihan Wakil Presiden, mekanismenya sbb :

a) Diselenggarakan segera setelah Presiden mengangkat sumpah / janji di hadapan Majelis (Pasal 21)

54 b)Diusulkan oleh fraksi-fraksi MPR secara tertulis dan dipersyaratkan bahwa calon harus menyatakan sanggup bekerja sama dengan Presiden (Pasal 22);

c) Pimpinan MPR meneliti persyaratan calon, termasuk kesanggupan dapat bekerjasama dengan Presien dengan konfirmasi tertulis oleh Presiden dan apabila sudah memenuhi syarat diumumkan dalam Rapat paripurna (Pasal 23)

d)Apabila semua calon tidak ada yang memenuhi syarat bisa bekerjasama dengan Presiden, fraksi-fraksi harus mengusulkan calon yang lain (Pasal 24)

e) Apabila calon lebih dari satu dilakukan pemungutan suara secara rahasia, namun jika hanya ada satu calon maka disahkan sebagai calon Wakil Presien (Pasal 25)

f) Tata cara pemilihan Wakil Presiden sama dengan tata cara yang berlaku untuk pemilihan Presiden (Pasal 26)

Terhadap Ketetapan MPR No.II/MPR/1973 tersebut dapat diberikan catatan sebagai berikut :

1). Bahwa ketentuan tersebut cukup demokratis dan telah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi dengan jumlah calon dan perolehan suaranya;

2). Bahwa dalam praktek yang terjadi sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1978. ternyata jumlah calon Presiden dan Wakil Presiden hanya satu. meskipun pernah pada tahun 1993 ada dua calon Wakil Presiden. tetapi kemudian salah satu calon ditarik kembali oleh fraksi pengusulnya;

3). Bahwa meskipun oleh UUD NRI 1945 dan Ketetatapn MPR a quo Wakil Presiden dipilih oleh MPR. namun pada hakikatnya Presiden terpilihlah yang menentukan siapa Wakil Presiden yang dikehendaki. sebab calon Wakil Presiden harus disetujui oleh Presiden terpilih;

4). Bahwa karena UUD NRI 1945 tidak memberikan pembatasan berapa kali seseorang dapat dipilih sebagai Presiden. maka sejak tahun 1973 sampai

55 1998 Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden. sedangkan untuk Wakil Presiden setiap lima tahun selalu berganti.

Pilpres di Era Reformasi. Yang dimaksud dengan Era Reformasi adalah era kehidupan ketatanegaraan dan politik sesudah berakhirnya era Orde Baru Soeharto dari kursi KePresidenan RI dan digantikan oleh BJ Habibie dan era ini juga sering disebut era pasca Orde Baru 74

Selama era ini (1998-2009) telah terjadi pergantian Presiden sebanyak empat kali, yaitu dari Soeharto ke BJ. Habibie (Mei 1998), dari BJ. Habibie ke Abdurrahman Wahid ( Oktober 1999), dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekatnoputri ( Juli 2001), dan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono ( Oktober 2004)

Terkait dengan Pilpres di Era Reformasi ini, dibedakan dalam dua kurun waktu, yaitu sebelum Perubahan UUD NRI 1945 mengenai Pilpres tahun 1999 dan sesudah Perubahan UUD NRI 1945 mengenai Pemilihan Presiden Langsung tahun 2004 dan tahun 2009.

Pilpres tahun 1999 berlangsung dibawah UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) masih menjadi wewenang MPR untuk melaksanakannnya. dalam hal ini adalah MPR hasil Pemilu Legislatif 1999. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres. MPR menerbitkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pilpres tanggal 19 Oktober 1999 (selanjutnya disebut Tap MPR No.VI/MPR/1999) untuk menggantikan Tap MPR No. II/MPR/1973.

Pada dasarnya persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 tidak banyak berbeda dengan ketentuan dalam Tap MPR No. II/MPR/1973, hanya dengan penambahan syarat bahwa calon harus memiliki visi kenegarawanan yang berdasar pada komitmen yang kuat terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan melaporkan daftar seluruh kekayaannya. Penambahan kedua syarat tersebut nampaknya didasarkan atas kondisi politik saat itu yang rawan konflik dan terancam disintegrasi, serta komitmen reformasi untuk memberantas segala bentuk Korupsi, Kolusi dan

74

A. Mukti Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia,

56 Nepotisme (KKN). Selain itu adalah dihapuskannya syarat bahwa calon Presiden dan Wakil Presdien harus dapat bekerja sama dan keharusan calon Wakil Presiden harus dimintakan persetujuan dulu dari Presiden Terpilih sebagaimana dipraktikkan pada era Orde Baru.

Mekanisme Pencalonan dan Pemilihan Sebagaimana ketentuan dalam Tap MPR No. II/MPR/ 1973, Pilpres juga dilakukan secara terpisah, sehingga mekanisme pencalonannya juga dilakukan secara terpisah. Mekanisme pencalonan dan Pilpres tahun 1999 tidak jauh berbeda dengan diatur dan dilaksanakan pada era Orde baru, kecuali ada penambahan dan perubahan bahwa pencalonan selain dilakukan oleh Fraksi di MPR, juga dimungkinkannnya sejumlah anggota MPR minimal tujuh orang untuk mengajukan calon. Selain itu juga dihapuskan mekanisme konsultasi dengan Presiden terpilih sebelum dilakukan pemilihan Wakil Presiden.

Berbeda dengan era Orde Baru yang selalu hanya memunculkan calon tunggal ( Soeharto), praktek ketatanegaraan tahun 1999 telah memunculkan tradisi baru yaitu ada dua calon Presiden, yakni KH. Abdurrahman Wahid yang kemudian terpilih dan Megawati Soekarnoputri, dan juga dua orang calon Wakil Presiden yakni Megawati ( kemudian terpilih) dan Akbar Tanjung.

B. Sistem Pilpres setelah Perubahan UUD NRI 1945

Perubahan ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada tanggal 9 November 2001 diantaranya adalah Pilpres secara langsung untuk semakin memperkuat dukungan rakyat dan Prinsip demokrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yaitu :

“Pemilu presiden secara langsung oleh rakyat yang telah diadopsikan ke dalam rumusan UUD NRI 1945 telah memberi landasan konstitusional yang kuat. Sesuai prinsip sistem pemerintahan presidentil, calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih dalam satu paket, karena kedua jabatan ini dipandang sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Tujuan pemilu presiden secara langsung adalah untuk memilih pemimpin yang

57 memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945.”75

Selain itu, Perubahan UUD NRI 1945 juga telah mengubah ketentuan mengenai persyaratan, mekanisme pencalonan dan Pilpres Adapun Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara Konstitusional tercantum dalam Pasal 6 UUD NRI 1945, yaitu:

(1). Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden

(2). Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

Ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 sesudah Perubahan Ketiga tersebut lebih lengkap dan lebih maju dari pada ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 sebelum Perubahan yang sangat sumir, yakni hanya dipersyaratkan bahwa harus orang Indonesia asli. Terlebih lagi bahwa Konstitusi juga mengamanatkan adanya undang-undang organik yang memuat pengaturan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang organik yang mengatur persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia saat ini adalah UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil untuk Pemilu Presiden Langsung tahun 2009 dan 2014. Adapun persyaratan Presiden dan Wakil Presiden diatur pada Pasal 5 UU No.42 Tahun 2008, yaitu :76

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;

75

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.8

76

58 c. tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak

pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;

d. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;

e. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

f. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;

g. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

h. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

j. terdaftar sebagai Pemilih;

k. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi;

l. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

m. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

n. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana

Dokumen terkait