• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Dalam Pasal 38, pembuatan akta menurut Undang-undang Jabatan Notaris berbeda dengan pembuatan akta menurut Peraturan Jabatan Notaris (Staadblaad 1860 No. 3). Menurut Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris harus dapat menjelaskan mengenai dirinya sendiri, termasuk mengenai tempat kedudukan Notaris dan tempat pembuatan akta, tentang hal mana diperlukan penjelasan dalam aktanya. Jika tempat pembuatan akta dilakukan di luar kantor Notaris, tempat pembuatan akta dapat:

a. Disebut dalam premise; atau

b. Disebut pada akhir akta (kecuali untuk Berita Acara Rapat, dimana tanggal, tempat dan jam disebut pada awal akta).

Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 2 huruf c, bahwa penyebutan nomor akta dan tanggal akta, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:

a. Dengan menggunakan 2 digit, contoh: 01,02,11,12, untuk nomor akta, dengan alasan bahwa : (i) dalam menggunakan Sisminbakum untuk tanggal akta harus dicantumkan dengan menggunakan 2 (dua) digit, (ii) menjamin kepastian

b. Dengan menggunakan digit biasa untuk nomor akta, contoh: 1,2,11,12, dan untuk tanggal dalam akta, penulisan angkanya dilengkapi dengan penyebutan huruf di belakangnya. Alasan tidak menggunakan 2 (dua) digit adalah dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak ada aturan tentang hal tersebut, sehingga tidak perlu merubah apa yang sudah berjalan dengan lancer selama ini (konvensional).

Sedangkan penentuan waktu di awal akta dilakukan dengan menggunakan kata “jam’ atau “pukul” sebagai penunjukan saat dimulainya pembacaan akta., dan urutan penyebutan pada kepala akta adalah: hari, tanggal, bulan, tahun, jam atau pukul.

2. Dalam Pasal 38 ayat 3 huruf d dan e: tentang apa yang dimaksud dengan: a. Nama lengkap adalah nama lengkap tanpa singkatan

b. Pekerjaan : contoh pedagang

c. Jabatan : contoh Direktur perseroan terbatas d. Kedudukan : contoh ayah wali orang tua

Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 4 huruf b : tempat penandatanganan akta disebut pada akhir akta dengan menyebutkan alamat tempat penandatanganan tidak harus secara tertulis , dapat juga secara lisan dengan catatan bahwa uraian tentang bagaimana terjemahan akta dilakukan harus diuraikan pada akhir akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat 4, contoh

a. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa mandarin oleh……..Penerjemah Resmi, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

b. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin oleh ………Penerjemah Resmi, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

c. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin oleh saya Notaris, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

d. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin oleh saya Notaris, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

Apabila penerjemahan dilakukan secara tertulis, maka harus ada produk terjemahannya, apabila penerjemahan dilakukan secara lisan, tidak ada produk terjemahannya.

3. Dalam Pasal 39, berkenaan dengan perjanjian mengenai tanah berkaitan dengan usia penghadap, oleh karena dalam Undang-undang jabatan Notaris, umur pernghadap minimum 18 tahun, sementara menurut BPN yang mengacu kepada KUH Perdata, kedewasaan adalah 21 tahun. Sedangkan Pasal 39 ayat 2, agar dalam penjelasan ayat ini diuraikan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata: “harus dikenal oleh Notaris” adalah sesuai dengan identitas yang ditunjukkan/diperlihatkan kepada Notaris berupa KTP atau Paspor atau SIM, yang menimbulkan keyakinan dalam diri Notaris.

4. Dalam Pasal 40 ayat 3, yang dimaksud dengan kewenangan saksi dalam ayat ini adalah kewenangan saksi yang telah memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 huruf a,b,c,d,dan e.

5. Dalam Pasal 42 ayat 3, kata “bilangan” yang dimaksud dalam ayat ini menunjukkan jumlah dan tidak termasuk nomor, karena itu tidak perlu diulang penyebutannya dengan huruf.

6. Dalam Pasal 43 ayat 2, yang dimaksud dengan kata : “menerjemahakan” dalam ayat ini adalah terjemahan secara tulisan ataupun secara lisan. Apabila dilakukan dengan tulisan harus ada produk terjemahan, aabila diterjemahkan secara lisan tidak ada produk terjemahan. Pada akhir akta, harus dinyatakan dalam bahasa lain dengan cara apa penerjemahan dilakukan.

7. Dalam Pasal 43 ayat 5, ayat ini berlaku khusus untuk akta dimana salah satu pihak tidak memahami bahasa akta, namun apabila para pihak mengerti, menghendaki agar akta tersebut dibuat dalam bahasa lain, dan tidak menghendaki agar akta tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka Notaris tidak wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

8. Dalam Pasal 44 ayat 1, dalam keadaan terpaksa sehingga tidak dapat dihindari, tanda tangan dan paraf dapat digantikan dengan teraan jari.

9. Dalam Pasal 44 ayat 4, bahwa penandatanganan dalam ayat ini menentukan tentang orang yang harus menandatangani akta, bukan urutan siapa yang

menandatangani. Pengertian saksi dalam ayat ini termasuk saksi pengenal.dan agar mengeluarkan ketetapan dengan inti sebagaimana dimaksud dalam kesepakatan bersama tersebut berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 43 ayat 5.

10. Dalam Pasal 45 ayat 2, apabila seseorang berkepentingan hanya pada bagian tertentu dalam akta dan hendak meninggalkan tempat, maka pada akhir akta disebutkan/ditegaskan bahwa orang (penghadap) tersebut hanya berkepentingan sampai bagian tertentu saja dalam akta tersebut dan yang bersangkutan memberikan paraf dan tandatangannya sampai pada bagian tersebut, contoh: dalam Berita Acara Rapat.

11. Dalam Pasal 46 ayat 1, kata “peristiwa” dalam ayat ini adalah perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam Pasal 15 ayat 1. Apabila diadakan perubahan dalam Undang-undang Jabatan Notaris, diusulkan agar kata “peristiwa” dalam Pasal 46 ayat 92), dimasukkan ke dalam Pasal 15 ayat 1 , sehingga Pasal 15 ayat 1 berbunyi sebagai “Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, peristiwa dan ketetapan yang diharuskan…..dst. Adapun alasan penambahan tersebut adalah karena agar terdapat kesinkronan dalam Pasal 46 ayat 2 dengan Pasal 15 ayat 1.

12. Dalam Pasal 47 ayat 3, dengan kata-kata “Notaris yang sama” dalam ayat ini, termasuk juga Notaris Penggantinya, karena protokolnya merupakan satu kesatuan. Dalam hal Notaris lain hendak mempergunakan kuasa yang dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1, maka ia harus melekatkan copy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 butir c, dengan menguraikan pada akta Notaris mana aslinya direkatkan.

13. Dalam Pasal 48 ayat 2, pada perubahan agar disebut berapa jumlah kata, huruf, angka, dan tanda baca yang ditambah, diganti atau dicoret. Sedangkan yang dimaksud dengan “tanda pengesahan lain” antara lain adalah teraan jari.

14. Dalam Pasal 49, apabila ruang di sisi kiri akta untuk membuat perubahan sudah tidak ada lagi, maka kekurangannya dapat dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta atau dibuat dalam lembar tambahan dengan menunjuk bagian akta yang diubah.

15. Dalam Pasal 50 ayat (1), kata-kata: “kata, huruf atau angka” dalam ayat ini harus dibaca sebagai: kata, huruf , angka atau tanda baca”.

16. Dalam Pasal 50 ayat (2), dalam pengertian “saksi” dalam ayat ini termasuk juga “saksi pengenal”, sesuai dengan Pasal 44 ayat 3.

17. Dalam Pasal 51, pembetulan hanya dapat dilakukan berdasarkan fakta yang sudah jelas kebenarannya, misalnya:

a. Kata “pembeli” dalam kalimat yang berbunyi : “harus membayar harga pembelian kepada pembeli seharusnya berbunyi “……kepada penjual” b. Kesalahan dalam merujuk ke satu Pasal.

c. Kata “Kamis” dalam kalimat “hari Kamis tanggal 15 (lima belas) April 2005 (dua ribu lima) seharusnya berbunyi “Jumat:.

d. Untuk pembetulan yang mungkin menimbulkan permasalahan, harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum dilakukan pembetulan.

e. Pembetulan dapat dilakukan setiap saat, termasuk untuk akta yang telah dibuat sebelum Undang-undang Jabatan Notaris berlaku.

f. Yang boleh melakukan pembetulan adalah Notaris itu sendiri atau Notaris penggantinya.

g. Jika pembetulan dibuat oleh Notaris Penggantinya, atau pembetulan tersebut bersifat disputable, maka sebelum melakukan pembetulan, harus dilakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Notaris yang bersangkutan dan pihak-pihak yang menghadap

18. Dalam Pasal 51 ayat 3, salinan akta berita acara pembetulan wajib disampaikan kepada para pihak selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibuatnya, dengan mendapat bukti pengiriman yang sah. Sedangkan dalam Berita acara pembetulan adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris sendiri tanpa ada penghadap tapi ditandatangani oleh Notaris tersebut dan 2 (dua) orang saksi yang menyaksikan pembuatan berita acara tersebut dan catatan diberikan pada sisi kiri atas halaman pertama Minuta Akta (dekat kepala

akta). Contoh: “Akta ini telah dibetulkan dengan akta berita acara pembetulan nomor……..tanggal…….dibuat oleh saya. Notaris”.

19. Pasal 52 ayat 1, contoh dari hubungan kekeluargaan karena perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan luruh ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga yang tidak diperkenankan:

a. karena perkawinan: anak dari saudara ipar Notaris, saudara dari mertua Notaris (masih termasuk derajat ketiga),

b. karena hubungan darah: anak dari saudara Notaris, paman dari Notaris (masih termasuk derajat ketiga).

20. Pasal 52 ayat 2, juncto Pasal 15 ayat 2 huruf g, sebaiknya Notaris diberi wewenang membuat akta Risalah Lelang tanpa membedakan kelas, misalnya:

a. Lelang eksekusi b. Lelang sukarela c. Pemborongan umum d. Penjualan di muka umum e. Persewaan umum

21. Dalam Pasal 53, yang dimaksud dengan “ketentuan” dalam Pasal ini adalah syarat-syarat/perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan “penetapan” adalah keputusan.

22. Dalam Pasal 54, tentang Pasal ini berkaitan dengan Pasal 16 ayat 1 huruf e: Pasal 54 tidak menyebutkan minuta akta, sehingga bagi pihak-pihak yang ingin melihat “isi akta” dapat melalui salinan, kutipan, atau grosse akta (karena salinan, kutipan dan grosse akta dijamin kebenarannya sesuai dengan minuta akta ) yang dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan langsung pada akta.

Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan langsung pada akta” adalah:

a. Untuk diri sendiri yaitu yang langsung menandataangani dan menjadi pihak dalam akta atau yang memperoleh hak atau penggantinya

b. Untuk pihak yang diwakili dalam akta baik berupa badan maupun orang

c. Penerima kuasa yang menandatangani akta dan dalam kuasanya disebut boleh mengambil salinan akta

d. Pihak yang meminta dibuatkan akta, khusus untuk akta relas,

sehingga dengan demikian , minuta akta, setelah ditandatangani, tidak diperlihatkan lagi kecuali melalui lembaga salinan , namun jika yang berkepentingan langsung masih belum puas, dapat ditempuh cara/proses yang diatur melalui Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris.

23. Dalam Pasal 56 ayat 2, yang dimaksud dengan “teraan cap” dalam ayat ini adalah teraan cap/stempel yang dibubuhkanpada salinan dari surat yang dilekatkan pada minuta akta.

24. Dalam Pasal 58 ayat 1, tentang daftar yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris adalah:

a. Daftar akta (dahulu repertorium)

b. Daftar akta di bawah tangan yang disahkan (dahulu legalisasi) c. Daftar akta di bawah tangan yang dibukukan (dahulu waarmerking) d. Daftar nama penghadap /klapper untuk daftar akta

e. Daftar nama penghadap /klapper untuk akta di bawah tangan yang disahkan

f. Daftar Protes Wiesel van non betaling g. Daftar wasiat

h. Daftar lainnya-menunggu peraturan selanjutnya, misalnya daftar akta risalah lelang.

I. PENGAWASAN

Tentang Pengawasan (Pasal 67-81): diharapkan kiranya dibuat nita kesepakatan (MOU) antara PP-INI dan Majelis Pengawasan berkenaan dengan pelaksanaan tugas Majelis Pengawas, agar selalu mengikutsertakan Dewan Kehormatan INI, sesuai dengaan jenjang masing-masing, sejak diterimanya laporan

1. Dalam Pasal 67 ayat 3 dan 4:, direkomendasikan agar dalam penjelasan Pasal 67 ayat 3 huruf c dan Pasal 67 ayat 4 dijelaskan bahwa dalam hal

jumlah dari unsur pemerintah dan unsur ahli/akademisi tidak terdapat 3 (tiga) orang, maka “unsur ahli/akademisi” dalam Pasal 67 ayat 3 huruf c dan “unsur lain” dalam Pasal 67 ayat 4, diartikan sebagai werda Notaris dan/atau Pensiunan Hakim.

2. Pasal 67 ayat 5, yang dimaksud dengan:

a. “perilaku” dalam ayat ini adalah perilaku, sesuai dengan Kode Etik Notaris, dan yang dimaksud dengan “pelaksanaan jabatan” adalah pelaksanaan jabatan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris. b. Mekanisme pemeriksaan berkaitan dengan pelanggaran perilaku/ kode

etik, dibagi menjadi:

c. Pelanggaran bersifat internal, yang menjadi wewenang dari Dewan Kehormatan Daerah INI, misalnya: laporan dari anggota mengenai adanya persaingan tidak sehat.

d. Pelanggaran yang mempunyai kaitan dengan masyarakat secara langsung, menjadi wewenang dari Majelis Pengawas Daerah, namun sebelum Majelis Pengawas Daerah mengambil keputusan, seyogyanya terlebih dahulu didengar pendapat dari Dewan Kehormatan Daerah.

3. Dalam Pasal 69 ayat (1), sebaiknya Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kota/kabupaten yang mempunyai Notaris 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan faktor geografis, apabila tidak tercapai jumlah tersebut maka:

- Notaris di daerah itu ikut pada Majelis Pengawas daerah yang terdekat; atau

- 2 (dua) atau lebih kota/kabupaten berdekatan yang sama-sama tidak mencapai jumlah 9 (sembilan) orang Notaris, bersama-sama membentuk 1 (satu) Majelis Pengawas Daerah.

4. Dalam Pasal 69 ayat 3, sebaiknya agar:

a. Kantor Majelis Pengawas Daerah di suatu kota/kabupaten, ditentukan dengan skala prioritas sebagai berikut:

i. Kantor Sekretariat Pengurus Daerah INI (jika ada) ii. Kantor BHP (Balai Harta Peninggalan)

iii. Kantor Bispa (Bimbingan Sosial dan Pengentasan Anak) iv. Kantor Imigrasi

v. Jika memungkinkan, dibuat kantor MPD sendiri dari pembiayaan APBN

b. Ketua Majelis Pengawas Daerah jangan langsung ditetapkan kepala kantor kantor tersebut di atas, namun pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah merupakan kesepakatan bersama dari unsur-unsur sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 69 ayat 2.

5. Dalam Pasal 70 huruf b, sebaiknya Majelis Pengawas Pusat agar mengeluarkan edaran yang memuat ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, tetapi disamping itu, dapat dilakukan setiap waktu yang dianggap perlu oleh Majelis Pengawas.

6. Dalam Pasal 70 huruf d, yang dimaksud dengan “Notaris yang bersangkutan” dalam ayat tersebut adalah Notaris yang meminta cuti.

7. Dalam Pasal 70 huruf e, pengertian dari ayat ini adalah bahwa Majelis Pengawas Daerah yang menetapkan bahwa protokol Notaris yang telah berumur 25 tahun harus disimpan di tempat yang telah ditentukan (yaitu di kantor Majelis Pengawas Daerah). Protokol yang dimaksud dalam Pasal 70 huruf e adalah protokol yang berumur 25 (dua puluh lima) tahun pada saat serah terima.

8. Dalam Pasal 70 huruf g, yang dimaksud dengan Kode Etik dalam Pasal 70 huruf g adalah Kode Etik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, yang merupakan kewenangan Majelis Pengawas Daerah . Sedangkan Kode Etik yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan secara langsung, tidak menjadi kewenangan Majelis Pengawas Daerah karena merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia.

9. Dalam Pasal 71 huruf c, sesuai dengan sumpah jabatan Majelis Pengawas Daerah , maka apa yang ditemukan dari hasil pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Daerah , wajib dirahasiakan oleh Majelis Pengawas Daerah dan jajarannya.

10. Dalam Pasal 71 huruf e, yang dimaksud dengan “hasil pemeriksaan” dalam Pasal 71 huruf e adalah notulen hasil pemeriksaan/berita acara pemeriksaan dari apa yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan. Dalam rangka pemeriksaan termaksud, Majelis Pengawas Daerah wajib memanggil pihak yang berkepentingan (sesuai dengan Pasal 73 ayat 1 huruf b dan Pasal 74)

11. Dalam Pasal 71 huruf f, yang dimaksud dengan “ menyampaikan permohonan banding” adalah menyampaikan permohonan banding dari Notaris yang permohonan cutinya ditolakoleh Majelis Pengawas Daerah.

12. Dalam Pasal 72 huruf 3, berlaku mutatis mutandis dengan Pasal 69 ayat 3.

13. Dalam Pasal 73 ayat 1 huruf a, pengertian kata “ melalui” adalah “kepada”. Namun dalam pemeriksaan, Majelis Pengawas Wilayah meminta kepada Majelis Pengawas Daerah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka pengumpulan data.

14. Dalam Pasal 73 ayat 1 huruf c, dalam pemberian ijin cuti, termasuk juga penetapan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan (sesuai dengan Pasal 70 huruf d).

15. Dalam Pasal 73 ayat 2, terdapat kesalahan ketik. Huruf “e” seharusnya dibaca huruf “d”. Alasan: saanksi teguran lisan da tulisan tidak bersifat final (dapat banding) namun putusan banding terhadap penolakan cuti bersifat final.

16. Dalam Pasal 73 ayat 3, seharusnya pembuatan berita acara terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat ini, juga termasuk “ayat 1 huruf d” bukan hanya “ayat 1huruf e dan huruf f”

17. Dalam Pasal 79, penyampaian keputusan sebagaimana tercantum dalam Pasal 79, selain sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 77 huruf a” juga termasuk sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 77 huruf c dan d”

18. Dalam Pasal 80 ayat (1), mengingat bahwa tidak ada aturan pemberhentian sementara sampai dengan 3 (tiga) bulan:

a. Dalam hal di tempat kedudukan Notaris yang diberhentikan tersebut ada Notaris lain, maka Notaris tersebut ditunjuk sebagai Pejabat Sementara Protokol Notaris yang berwenang mengeluarkan salinan, grosse, dan kutipan akta.

b. Dalam hal di tempat kedudukan Notaris yang diberhentikan sementara tersebut tidak ada Notaris lain, maka yang ditunjuk adalah Pejabat Sementara Notaris, sesuai dengan Pasal 35 ayat 3, yang berwenang membuat akta dan mengeluarkan salinan , grosse, dan kutipan akta.

19. Dalam Pasal 80 ayat (2), sebaiknya

a. penunjukan Notaris Penerima Protokol dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah, yang penyerahan protokolnya dilakukan di hadapan Majelis Pengawas Daerah. Pemberhentian sementara diusulkan secara berjenjang, atau dengan kata lain, Menteri tidak langsung memutus sendiri.

b. Dalam hal yang menerima protokol adalah Notaris lain , ia hanya berwenang mengeluarkan salinan, grosse dan kutipan akta dari protokol yang dipegangnya.

Dokumen terkait