• Tidak ada hasil yang ditemukan

Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting dalam menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau dibacakan dihadapannya, karena akta otentik adalah alat bukti terkuat dalam hukum perdata dan alat bukti peringkat ketiga dalam hukum pidana, maka akta otentik sebagai alat bukti yang sah memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum, bila terjadi tindak kejahatan atau sengketa dalam kehidupan masyarakat.

Tentunya, Undang-undang No.30 tahun 2004 yang mengatur tentang Jabatan Notaris ini merupakan suatu unifikasi hukum yang akan menjadi dasar hukum dan pedoman bagi Notaris dalam melaksanakan jabatannya sangat penting. Unifikasi hukum ini merupakan artikulasi dari kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat yang diharapkan mampu memberi kepastian- ketertiban dan keadilan hukum. Karena itu perlu melakukan sosialiasasi Undang-Undang tentang Jabatan Notaris kepada aparat penegak hukum, Notaris itu sendiri dan masyarakat agar pelaksanaan undang-undang ini nantinya berjalan efektif.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan peraturan perundang-undangan dan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, mengingat akta otentik merupakan bukti tertulis yang mempunyai kekuatan hukum dalam hukum nasional, oleh karena itu pengaturan tentang Jabatan Notaris harus dapat menciptakan satu peraturan yang dapat mewadahi semua permasalahan dibidang kenotariatan .

Keberadaan Notaris sangat penting ditengah- tengah masyarakat kita. Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta otentik. Akta otentik ini sangat dibutuhkan dihampir setiap aktivitas kehidupan masyarakat kita baik yang menyangkut ekonomi, sosial, maupun politik. Pembuatan akta otentik yang mengadung kebenaran formal ini sangat membutuhkan bantuan jasa dari notaris sehingga akta otentik itu akan dapat dipahami dan diterima oleh semua pihak serta memiliki jaminan kepastian hukum ditengah-tengah masyarakat. Notaris harus benar-benar mampu memberikan jasanya secara baik kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan.

Dalam undang-undang diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris.

Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas, isi akta notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatanganan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi, akta Notaris yang akan ditandatanganinya.

Tugas dan kewenangan Notaris sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang jabatan notaris ini cukup luas dan sangat kompleks. Sehingga Notaris dituntut lebih, peka,jujur, adil dan transparan dalam pembuatan sebuah akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam penerbitan akta.

Salah satu kewajiban Notaris sebagaimana diatur dalam 16 huruf i adalah membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris. Hal ini dicantumkan secara jelas dan tegas agar menjamin kepastian hukum penghadap, mengingat dari berbagai kasus yang kita temukan di lapangan

ada praktek-praktek notaris diluar kepatutan. Seperti akta diterbitkan tanpa dibacakan isi akta dihadapan para penghadap, dan para penghadap hanya disuruh menandatangani kertas kosong, yang disodorkan oleh seorang Notaris. Dan ternyata kasus seperti ini lebih banyak pada akta jual beli.

Disamping itu ada akta yang ditandatangani oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap objek yang diperjanjikan, dan biasanya pihak ketiga ini yang menjadi penyebab terjadinya akta-akta asli tapi palsu (aspal). Dilihat dari aspek formal mungkin tersebut sah tetapi dari prosesnya merupakan sebuah akta yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan maka akta tersebut termasuk akta yang cacat hukum. Oleh karena itu seorang notaris dalam menjalankan jabatannya, berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan akta.

Wewenang yang begitu besar diberikan kepada seorang Notaris dalam pembuatan akta bukan dimaksudkan agar seorang Notaris bertindak bebas tanpa batas . Namun pada hakikatnya wewenang yang diberikan dalam undang - undang itu dimaksudkan untuk melindungi semua pihak dalam setiap pembuatan hukum terhadap sebuah akta yang diterbitkan, karena sebuah akta yang diterbitkan memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai Notaris beberapa hal yang substansi yang penting antara lain:

a. Tentang Formasi Jabatan Notaris dan pindah wilayah jabatan notaris

Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan: Kegiatan dunia usaha, jumlah penduduk dan /atau rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris setiap bulan. Kemudian Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah Jabatan Notaris secara tertulis kepada Menteri.

Walaupun Formasi jabatan maupun permohonan pindah wilayah yang diatur dalam peraturan Menteri dalam praktiknya masih terdapat sejumlah tanda Tanya, apabila kita tengok ke belakang masih menentukan formasi maupun pindah wilayah Jabatan Notaris.

b. Tentang Pengawasan Notaris.

Sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 bahwa, pengawasan notaris dilakukan oleh Menteri, Menteri membentuk Majelis Pengawas dan Pengawasan meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan notaris.

Dalam Pengawasan ini dapat dibukakan akses seluas-luasnya kepada masyarakat agar mereka bertindak sendiri- sendiri atau melalui kuasa hukumnya untuk melaporkan setiap tindakan Notaris yang di nilai merugikan dirinya atas sebuah perjanjian yang dibuat. Pembentukan majelis pengawas secara berjenjang agar mempermudah pengawasan notaris mulai dari daerah sampai ke pusat.

Dalam rangka mewujudkan prinsip Negara hukum yang menjamin kepastian , ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, maka didalam pelaksanaan tindakan hukumnya dibutuhkan alat bukti yang dalam sistem hukum Indonesia, alat bukti yang terutama adalah alat bukti tertulis.

Saat Penyelidik dan Penyidik dari Polisi Republik Indonesia (POLRI) melakukan pengusutan suatu laporan atau pengaduan atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka Penyelidik dan Penyidik menindaklanjutinya dengan menemukan apakah telah terjadi suatu peristiwa kejahatan. Dari keterangan yang disampaikan oleh pelapor, Penyelidik dan Penyidik akan melakukan pemanggilan saksi-saksi untuk mengumpulkan informasi dan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Penyidik mengumpulkan informasi dan dokuemn dari saksi-saksi untuk dimasukkan kedalam unsur-unsur dari pasal kejahatan yang diduga dilakukan oleh tersangka.

Dalam penyidikan, Penyidik mengumpulkan alat bukti yang sah dari tersangka maupun saksi-saksi. Tentunya setiap alat bukti memiliki peringkat dan kekuatan hukum yang berbeda dalam pembuktian di pengadilan. Kesulitan yang dialami oleh penyidik adalah kerjasama saksi-saksi dalam memberikan informasi yang konsisten dengan peristiwa yang terjadi.

Saksi adalah orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri secara langsung saat tindakan kejahatan tersebut dilakukan oleh seseorang. Karenanya pembuktian kejahatan, yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan

akta otentik yang dibuat oleh Notaris, membutuhkan saksiNotaris yang bersangkutan sebagai orang yang membacakan, melihat dan mendengarkan langsung atas pembuatan akta otentik tersebut.

Kekuatan saksi tersebut diungkapkan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang alat bukti yang sah. Adapun pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”:

(1) Keterangan saksi (2) Keterangan ahli (3) Surat

(4) Petunjuk

(5) Keterangan terdakwa

Keterangan saksi diletakkan oleh KUHAP di peringkat pertama, yang memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Tentunya Penyelidik dan Penyidik lebih menekankan kepada pengumpulan alat bukti saksi dibandingkan dengan alat bukti surat. Karena alat bukti saksi memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat. Dalam prakteknya, saksi-saksi dapat menyangkal pernyataan dalam BAP yang dibuat oleh penyidik dalam pembuktian di pengadilan.

Saat ini, Penyidik berdasarkan pasal 66, Undang-Undang No: 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mengatur sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris;

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Dalam pasal 2 (1), Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia (PERMEN Hukum dan HAM RI) Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat

mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Motaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.

Sementara pasal 3 PERMEN Hukum dan HAM RI tersebut, Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan untuk pengambilan fotokopi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 (1), apabila:

a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau

b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

Kalimat “ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta” memiliki pengertian yang luas. Dalam pengertian ini, segala bentuk dugaan tindak pidana yang dapat dikaitkan dengan penyimpangan Akta Notaris akan menjadi objek cakupan ini. Untuk perkara yang sedang ditangani oleh Penyidik, yang menentukan adanya dugaan tindak pidana, adalah Penyidik itu sendiri. Untuk memperjelas suatu perkara, Penyidik dapat mengambil Minuta Akta dan dokumen Notaris melalui persetujuan Majelis Pengawas Daerah secara tertulis. Yang mana dalam prakteknya, Penyidik bukan mengambil, tetapi meminta Minuta Akta dan dokumen Notaris lainnya, melalui persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah.

Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal (5) KUHAP : Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidik untuk dapat disetujui oleh Majelis Pengawas Daerah dalam meminta Minuta Akta dan dokumennya telah memiliki kriteria dugaan tindak

pidana yang berkaitan dengan Akta tersebut. Apakah Majelis Pengawas Daerah berhak dapat menyatakan bahwa tidak terdapat dugaan tidak pidana? Lalu bagaimana apabila Penyidik tetap menyatakan ada dugaan tindak pidana? Siapa yang lebih memiliki kewenangan dalam menyatakan adanya dugaan tindak pidana? Apakah Penyidik atau Majelis Pengawas Daerah?

Artinya dalam pasal yang mengungkap definisi penyelidikan diatas saja, Penyelidik sudah memiliki unsur ada dugaan tindak pidana, sementara yang dimaksud dalam pasal 66, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah Penyidik. Karenanya, Majelis Pengawas Daerah tidak memiliki opsi untuk menolak permintaan Penyidik atas kopi dari Minuta Akta dan dokumennya. Nantinya perbuatan tidak memberikan persetujuan tersebut dapat dianggap melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris itu sendiri.

Sementara kalimat “belum gugur hak menuntut” menekankan kepada kadaluarsa. Lalu siapa yang menentukan suatu perkara termasuk kadaluarsa atau belum kadaluarsa? Bahwa perkara pidana dengan hukuman penjaranya memiliki jangka waktu kadaluarsa sejak peristiwa itu terjadi.

Ada beberapa penyebab gugurnya hak untuk menuntut hukuman dimaksud yaitu: 1. Meninggalnya pelaku (Pasal 77 KUHP);

2. Adanya azas hukum “Neb is in idem” (Pasal 76 KUHP);

3. Sudah kadaluarsa atau sudah lewat waktu/kesempatannya un-tuk menuntut (Pasal 78 KUHP);

4. Penyelesaian perkara di luar sidang (Pasal 82 KUHP); 5. Amnesti dan abolisi dari pre-siden (Pasal 14 UUD 1945).

Kadaluarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 KUHP, hak menuntut hukuman gugur setelah jangka waktu atau kadaluarsa:

1. Satu tahun bagi segala pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan;

2. Enam tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun;

3. Dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam huku-man penjara sementara yang lebih dari 3 (tiga) tahun;

4. Delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Kadaluarsa untuk menuntut hukuman dimaksud dapat dicegah dan dihindari dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

1. Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan lewat waktu, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum;

2. Sesudah dihentikan, dimulai lewat waktu baru.

Dengan adanya ketentuan Pasal 77 KUHP, maka jelas hak untuk menuntut hukuman atas orang telah almarhum adalah gugur. Perlu diketahui bahwa pertanggungan jawab pidana melekat pada diri pribadi perseorangan dan tidak dapat dilimpahkan/beralih kepada ahli waris atau pihak yang lain.

.

Suatu perkara pidana belum gugur hak menuntutnya, apabila perkara tersebut belum masuk dalam kriteria ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Dalam hal ini, Majelis Pengawas Daerah dapat memberikan keputusan apakah tindak pidana belum gugur atau telah gugur dengan membuat suatu penilaian sendiri berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal kadaluarsa tindak pidana tersebut diatas. Majelis Pengawas Daerah cukup melihat tanggal terjadinya tindak pidana, karena kadaluarsa mulai dihitung sejak tanggal peristiwa itu terjadi. Karenanya, Majelis Pengawas Daerah perlu mengetahui tanggal terjadinya peristiwa.

Lalu apakah tanggal Minuta Akta dan dokumen yang menjadi penilaian Mejelis Pengawas Daerah untuk memperhitungkan jangka waktu kadaluarsa? Kadangkala Akta Notaris adalah bagian dari tindak pidana yang tanggal pembuatannya tidak sama dengan tanggal tindak pidana tersebut dilakukan. Sesuai dengan ayat (1), pasal 80 KUHP, Tindakan Penuntut Umum melakukan penuntutan menghentikan lewat waktu, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. Dengan sendirinya, Majelis Pengawas Daerah tidak dapat menolak permintaan Minuta Akta dan Dokumen dengan alasan jangka waktu kadaluarsa asalkan Penuntut Umum melakukan tuntutan di pengadila atas perkara pidananya.

Artinya, tindakan permintaan Penyidik atau Penuntut Umum atas Minuta Akta dan dokumen yang dibuat oleh Notaris telah bebentuk dugaan tindak pidana

atau tindak pidana yang belum gugur hak penuntutannya wajib mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Dengan demikian, Majelis Pengawas Daerah tidak memiliki opsi untuk memberikan persetujuan atau menolak atau tidak memberikan persetujuan. Majelis Pengawas Daerah hanya memiliki satu pilihan, yakni memberikan persetujuan secara tertulis. Kewenangan apa yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Majelis Pengawas Daerah, sehingga Majelis Pengawas Daerah dapat menyatakan Penyidik tidak memiliki dugaan tindak pidana atau Penuntut Umum telah gugur hak untuk menuntutnya.

Namun dalam pasal 6 (1) PERMEN Hukum dan HAM RI tersebut, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal ini merupakan pasal yang dapat memanipulasi dengan memberikan kewenangan Majelis Pengawas Daerah. Padahal, kewenangan Majelis Pengawas Daerah telah hapus saat Penuntut Umum melakukan tuntutan di pengadilan.

Pasal 6 (2) PERMEN Hukum dan HAM RI menyebutkan: Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Permasalahan yang timbul dari pasal ini dikalangan Notaris adalah diterimanya oleh Majelis Pengawas Daerah dan jadwal pertemuan rapat yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Biasanya Majelis Pengawas Daerah memiliki jadwal sidang pertemuan yang telah ditentukan. Selisih hari dari surat permohonan dari Penyidik dan Penuntut Umum diterima dan hari sidang pertemuan Majelis Pengawas Daerah melebihi 14 (empat belas) hari, maka hal tersebut akan menjadi permasalahan. Karena Penyidik atau Penuntut Umum telah melanggar hak untuk mendapat penilaian dari Majelis Pengawas Daerah.

Namun demikian Majelis Pengawas Daerah tidak dapat melanggar PERMEN, karenanya sidang pertemuan Majelis Pengawas Daerah harus disesuaikan dengan jangka waktu yang diberikan oleh PERMEN untuk membuat suatu keputusan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan. Inilah konsekuensi dari pelaksanaan hukum, yang mana Majelis Pengawas Daerah tidak dapat melanggar ketentuan hukum untuk menjaga kepentingan Notaris.

Selain itu, berdasarkan pasal 66 ayat (1) (b), Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Penyidik dan Penuntut Umum dapat memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris;pasal Penyidik dapat memanKarenanya, penyidik POLRI dapat memanggil Notaris sebagai saksi dalam suatu tindak pidana. Permasalahannya apakah notaris dipanggil sebatas sebagai saksi atau dapat ditingkatkan sebagai tersangka nantinya. Tentunya, setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Selama Notaris tidak menyimpang dari pekerjaan profesinya yang diatur dan dilindung oleh Undang-Undang, maka Notaris tidak dapat dijadikan tersangka dalam suatu tindak pidana kejahatan.

Ada beberapa pasal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan undang – undang ini ( ini adalah Pendapat, yaitu :

Sebagai pejabat Negara yang memiliki kewenangan mengabsahkan suatu dokumen sebagai akta otentik, tentunya Notaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Peranan notaris sebagai saksi pada proses Peradilan serta kaitannya dengan sumpah jabatan notaris terkait pula dengan substansi sumpah jabatan itu sendiri. Di satu sisi, dengan adanya sumpah jabatan notaris yang didalamnya terkandung rahasia jabatan mengharuskan notaris untuk tidak memberi keterangan apapun mengenai akta, termasuk berperan sebagai saksi pada proses peradilan. Di sisi lain, kenyataannya ketentuan rahasia jabatan dan hak ingkar ini diterobos dengan adanyakepentingan negara yang lebih tinggi dan besar serta adanya ketentuan eksepsional, sehingga Notaris dapat berperan sebagai saksi pada proses peradilan.

Hal lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah terdapat faktor penghambat maupun pendukung untuk terlaksananya peranan notaris sebagai saksi pada proses peradilan. Faktor penghambat di sini adalah: pertama, ketentuan yuridis – formal di dalam tubuh jabatan Notaris itu sendiri berupa Kode Etik Notaris dan peraturan perundang – undangan Notaris (Peraturan Jabatan Notaris) beserta penafsiran akan dua hal tersebut, dan kedua, berpegangnya masing – masing pihak (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Notaris ) pada pedoman jabatan dan profesinya masing-masing.

Faktor pendukung dalam hal berperannya notaris sebagai saksi pada proses peradilan, yaitu pertama : adanya kepentingan yang lebih tinggi dan

lebih besar serta ketentuan – ketentuan eksepsional dari berlakunya ketentuan Rahasia Jabatan dan Hak Ingkar, serta kedua : adanya kerjasama berupa Surat Kesepakatan Bersama antara Notaris dengan pihak kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman, dan Advokat yang mengatur hal-hal yang menurut peraturan masing-masing jabatan terdapat pertentangan di dalamnya.

Namun notaris yang melakukan penyimpangan, misalnya: kejahatan pemalsuan tandatangan, yang mana Notaris telah mengetahui dan menyadari bahwa pihak yang menandatangani Akta Otentik, bukan orang yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karenanya Notaris juga turut serta melakukan kejahatan, karena Notaris membiarkan kejahatan tersebut terjadi. Notaris tersebut telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karenanya Notaris tidak kebal hukum dan dapat diminta pertanggung jawabannya.

Ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan Kepolisian, Jaksa dan Hakim dapat memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan. Sama halnya dengan pemanggilan oleh POLRI, Jaksa dapat juga memanggil terkait dengan pemeriksaan atas keterangan/ informasi lebih lanjut dari Notaris atas suatu kejahatan tindak pidana. Nantinya hakim dapat memanggil Notaris yang bersangkutan dalam rangka pemeriksaan di pengadilan dalam tahap pembuktian.

BAB III

Dokumen terkait