• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN

PENGKAJIAN HUKUM

PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN

PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA

KANTOR WILAYAH

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

DKI JAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran notaris sangat penting yaitu sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya sebgaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak diundangkan. Oleh karena itu maka, adalah wajar jika notaris sebagai pejabat umum yang profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas, baik kualitas ilmu amal, maupun kualitas moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran martabat notaris, sehingga dalam memberikan pelayanannya dalam masyarakat senantiasa berpedoman kepada kode etik profesi dan berdasarkan Undang-undang tentang jabatan notaris.

Peningkatan profesional kerja dapat dimulai dari, pribadi masing-masing notaris sebagai cerminan dari profesionalisme Jabatan notaris itu sendiri. Sehingga dengan kesadaran individu para notaris diharapkan pula akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan jasa notaris bagi masyarakat yang memerlukannya. Guna menjamin kepastian hukum dinegara kita.

Setiap individu notaris yang melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan selain terikat kepada kode etik juga terikat kepada ketentuan organisasi profesi notaris itu sendiri, sedangkan kita ketahui sekarang bahwa Ikatan Notaris Indonesia merupakan satu-satunya berbentuk Badan Hukum Perkumpulan, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.C2-1022.HT.01.06.TH 95 tanggal 23 Januari 1995 yang telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 7 April 1995 No. 28 sebgai organisasi resmi wadah dari para notaris.

Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi notaris tentunya menginginkan para anggotanya untuk mentaati semua ketentuan Perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya guna menjaga keluhuran martabat notaris dan mengigat pentingnya produk yang dikeluarkan oleh seorang notaris, seperti kita ambil contoh bahwa seorang notaris berwenang membuat akta notaris dalam hal mana kata otentik adalah merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh yang mempunyai

(3)

peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, sebab dengan kekuatan akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, sehingga menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Dan jika terjadi sengketa, maka akta otentik memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga akta otentik menjadi alat bukti yang terkuat dan terpenuh dapat memberikan penyelesaian perkara secara mudah dan cepat.

Mengigat peranan dan kewenangan notaris sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan notaris dalam menjalankan jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan Pengawasan terhadap notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas Notaris dalam sistem pengawasan terhadap notaris, sehingga diharapkan dlam menjalankan tugas profesi jabatannya notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Notaris di wilayah Provinsi DKI Jakarta. maka Tim Pengkajian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta perlu melakukan pengkajian hukum dengan judul “PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA”

B. Perumusan Permasalahan

1. Bagaimanakah pengaturan pembinaan dan pengawasan notaris dalam peraturan perundang-undangan.

2. Bagaimanakah Pelaksanaan tentang Pembinaan dan Pengawasan Notaris di wilayah Propinsi DKI Jakarta?

C. Maksud dan Tujuan Pengkajian

1. Untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh tentang pengaturan pembinaan dan pengawasan notaris dalam peraturan perundang-undangan.

2. Untuk mengetahui secara jelas tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan Notaris diwilayah DKI Jakarta.

(4)

D. Kerangka Teori

Sistem norma hukum adalah kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat berupa keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.1 Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya system hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya.

Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (Stufentheorie).2 Sistem hukum di dalam menjalankan fungsinya melalui 3 proses (tiga) tahapan yaitu :3

1. Pembentukan Hukum ( law making policy). 2. Penegakan Hukum (law enforcement policy). 3. Pembangunan Budaya Hukum (legal cultur).

Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsive dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan

1

E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, BPHN, Jakarta, 2001, hal. 82.

2 Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius,

Jakarta, 1998, hal. 25.

(5)

hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law.

Masalah Penegakan Hukum merupakan masalah yang tidak sederhana bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. Di dalam penegakan hukum, berkaitan dengan 3 hal meliputi :4

1. Substansi Hukum;

2. Struktur atau Kelembagaan Hukum. 3. Budaya Hukum.

Di dalam Pembangunan budaya hukum diarahkan menyempurkan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat. 5

Indonesia sebagai penganut system Hukum Eropa Kontinental menempatkan Notaris berwenang memberikan legal advice dan memeriksa dan menilai sebuah perjanjian apakah sudah memenuhi kaidah perjanjian yang benar dan tidak merugikan salah satu fihak. Notaris merupakan salah satu komponen profesi di bidang hukum yang perannya sangat besar bagi pemerintah. Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang notaries harus memiliki integritas dan bertindak profesional.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia6 disebutkan bahwa Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya) tertentu. Professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasiln

4 E.Y. Kanter, 0p. cit., hal. 82. 5

A.A. Oka Mahendra, Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.1 No.4 – Desember 2004, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 29.

(6)

kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakpan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi ( Pasal 1 angka 4 Bab I tentang Ketentuan Umum Undang- Undang Tentang Guru Dan Dosen).

Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan besama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dank arena itu mempunyai tanggung jawab khusus karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang mempergunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi negative profesi ini.

Ciri-ciri profesi menurut Budi Santoso meliputi : 7

a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas.

b. Suatu teknis intelekutual

c. Penerapan praktis dari teknis intelekutual pada urusan praktis d. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi

e. Beberapa standard an pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan

f. Kemampuan memberi kepempinan pada profesi sendiri

g. Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kwalitas komunikasi yang tinggi antar anggota.

h. Pengakuan sebagai profesi

i. Perhatian yang profesinal terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi.

j. Hubungan erat dengan profesi lain.

Berdasarkan kriteria diatas maka profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang

7 Budi Santoso, C.S.T Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradny Paramita, 2003, Cetakan.2

(7)

dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.

Profesi Notaris sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004; Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Tugas notaris adalah membuat akta otentik dengan profesi bebas dari pengaruh kekuasaan eksternal. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus menepati beberapa kewajiban anatra lain :

a. bertindak jujur; b. seksama; c. mandiri;

d. tidak berpihak;

e. menjaga kepentingan pihak terkait dalam pembuatan hukum ( Pasal 16 ayat (1) Huruf a).

Kepribadian Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum Peraturan Jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. Dalam melakukan profesinya harus memiliki professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya dibidang hukum.

Etika Profesi Hukum adalah norma moral yang harus ditaati oleh mereka yang berprofesi di bidang hukum. Untuk membuat hukum yang baik diperlukan orang-orang yang memiliki moral dan etika yang baik. Menurut Amir Syamsuddin, empat fakta yang menandai kondisi gagalnya penegakkan hukum di Indonesia adalah8 :

1. ketidakmandirian hukum;

2. integritas penegak hukum yang buruk;

3. kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami

pseudoreformatie syndrome;

4. pertumbuhan hukum yang mandek.

Berkaitan dengan penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus ada :9

1. adanya hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

8

Amir Syamsuddin, integritas penegak hokum,Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008,Cetakan I Hal 130.

9Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakkan Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1987, Cet.

(8)

2. adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas moral yang terpuji

3. adanya kesadaran hukum masyarakat.

Terhadap perilaku dan pelaksanan jabatan Notaris maka diperlukan system dan mekanisme pembinaan serta pengawasan yang efektif terhadap jabatan ini. Untuk itu dibentuklah Majelis Pengawas yang bertugas untuk memberikan arahan dan tuntunan sehingga dapat memberikan jaminan kepasti dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas. Sebagimana yang tertera dalam UU jabatan Notaris Pasal 67 dikatakan bahwa majelis pengawas terdiri dari unsur :

a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;

b. organisasi Notaruis sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. ahli / akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

E. Metode Pengkajian

Pengkajian ini akan lebih menitikberatkan pada kajian normatif.10 Dengan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan Notaris diwilayah DKI Jakarta .

Pengkajian ini juga menggunakan pendekatan sosio hukum dengan maksud ingin melihat lebih jauh ketimbang doktrinal, perspektif lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, politik dan ekonomi masyarakat.

F. Bahan Pengkajian

Data yang dibutuhkan dalam pengkajian ini merupakan data sekunder, yang mencakup :11

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat mulai dari dari Undang-Undang Dasar dan peraturan terkait lainnya.

10 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahn pustaka atau data sekunder

belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, ( Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15.

(9)

b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus, buku saku, agenda resmi dan sebagainya.

G. Jadwal Pelaksanaan

NO. KEGIATAN WAKTU KETERANGAN

1. Persiapan Penyusunan Proposal Pengkajian Hukum

2 bulan Januari-Februari 2009

2. Pengolahan Data Kepustakaan 2 bulan Maret-April 2009 3. Penyusunan Naskah Pengkajian

Hukum dan HAM

3 bulan Mei-Juli 2009

4. Pembahasan dan

Penyempurnaan Hasil

Pengkajian Hukum

3 bulan Agustus-Oktober 2009

5. Pembuatan Laporan Pengkajian Hukum 2 bulan November-Desember 2009 H. Sistimatika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Maksud dan Tujuan

D. Kerangka Teori dan Konseptual E. Metode Pengkajian

F. Bahan Pengkajian G. Jadwal Pelaksanaan H. Sistematika

(10)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS

BAB III PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN DI PROPINSI DKI JAKARTA

BAB IV ANALISIS BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

I. Personalia Tim Pengkajian

Ketua Tim : DR. H. Agus Anwar, SH. MH. Sekretaris : Usdianto, SH, MH.

Nara sumber : Linda Herawati, SH. Anggota :

1. Maryati Basir, SH, MH. 2. Noor Moh Azis SH, MH, MM. 3. Fauzi, SH. MH.

4. Winarti, SH.

5. Chandra Yusuf, SH, LLM.MBA. M.Mgt. 6. Adjuanasah, SH.MH.

(11)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS

A. Sejarah Notaris

Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja.12 Fungsi

notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada saat ini

Pada akhir abad kelima sebutan notarii diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat , yang sekarang dikenal sebagai stenografen

Pejabat-pejabat yang dinamakan notarii tersebut merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik. Yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya.13

Pada dasarnya fungsi tabelliones mirip dengan fungsi Notaris pada masa sekarang, hanya saja akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan.14

Selain tabelliones terdapat juga pejabat lain yang diberi nama tabularii yang bertugas memegang dan mengerjakan buku-buku keuangan kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi kota. Tabularii juga ditugaskan menyimpan surat-surat dan berwenang membuat akta. Tabularii behak menyatakan secara tertulis terhadap tindakan-tindakan hukum yang ada dari para pihak yang membutuhkan jasanya.15 Tabularii merupakan saingan berat bagi para

tableliones

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC)16 di Indonesia. Jan

12 Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center forDocumentation and Studies

of Bussiness Law (CDSBL). 2003), hal. 31.

13

Ibid.

14 Ibid.,hal. 32.

.15 Ibid.

(12)

Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal di Jacarta (sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris

Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, sekretaris dari College

Van Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta, diangkat sebagai Notaris

pertama di Indonesia.17 Dalam akta pengangkatannya sebagai Notaris, secara singkat dimuat suatuninstruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yaitu menjalankan tugas jabatannya di Jakarta demi kepentingan publik dan berkewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen-dokumen dan akta-akta yang dibuatnya

Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris College

Van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkannya instruksi untuk para Notaris pada

tanggal 16 Juni 1625. Instruksi hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.18 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands

Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan

wewenang dari seorang Notaris dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak , dengan maksud un tuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.19

Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peratutan-peraturan yang yang baru mengenai jabatan Notarisdi Nederlands Indie utnuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende

in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3).20

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan peralihan

17 Ibid. 18

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982)hal. 23.

19 Ibid., hal. 24-25.

(13)

undang Dasar (UUD)1945, yaitu:”Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas kewajiban Kementerian Kehakiman.21

Tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat-Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya..22

Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.23

Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) UU tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam Pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan , sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam Pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 33 tahun 1954),sedangkan

21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid.

(14)

yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3)-(Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris

Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) sebagai Reglement tentang Jabatan

Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia24

Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan Notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan Pasal 3 Reglement op Het Notaris

Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Ketentuan pengangkatan Notaris oleh

Gubernur Jenderal, oleh Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan juga mencabut Pasal 62, 62a dan 63

Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3)

Tahun 2004 diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi:

1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860:3)25 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 september 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-undang Nomor 33 tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379; dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

Dijelaskan dalam Penjelasan UUJN bagian Umum, UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu

24

Ibid.

25 Menurut Habib Adjie, penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860:3) ada

kesalahan, karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut nederlands Indie, seharusnya masih disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3). Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, selanjutnya biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris atau PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt

(15)

unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wwilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia dan berdasarkan Pasal 92 UUJN, dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 6 Oktober 2004. Salah satu contoh unifikasi substansi UUJ yang harus dilakukan oleh para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN mengenai kewajiban mengirimkan daftar akta wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Pengiriman daftar akta wasiat ini, sebelumnya hanya dilakukan oleh para Notaris untuk Warga Negara Indonesia yang selama ini dikualifikasikan tunduk atau baginya berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan berlakunya UUJN ini, maka pengkualifikasian seperti itu tidak berlaku lagi. Siapapun yang membuat wasiat di hadapan Notaris, maka Notaris wajib melaporkannya ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesiadan wajib pula untuk meminta surat keterangan dari Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengenai ada wasiat atau tidak ada wasiat atas nama seseorang. Kewajiban seperti itu berlaku atau dilakukan oleh Notaris, jika pembuatan bukti sebagai ahli waris dibuat di hadapan Notaris.

B. Jabatan Notaris

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.26Istilah Pejabat Umum merupakan terjemah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN27 dan Pasal 1868 KUHPerdata.28

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan:29

“Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalan suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,

26 Pasal 1 angka 1 UUJN. 27

Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art.1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands

Indie (Stbl. 1860:3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Lihat G.H.S.

Lumban Tobing, op.cit., hal. 31.

28

Istilah Openbare Ambtenarenn yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosidibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya Paramita,1983).

(16)

menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”

Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otektik yang melayani kepentingan publik , dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris. 30

Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum. Sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris , tetapi ada juga pejabat lain, misalny: Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada Pejabat lain selain Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja.

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Pasal 15 ayat (1) UUJNmenyebutkan:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang.

Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta yang

(17)

dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini, mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunya semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris.31 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.

Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik:32

a. Sebagai Jabatan

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan Notaris sebagai Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu

Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Dalam UUJN, wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat dan

31 Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN. 32 Habib Adjie, op.cit., hal. 32-36.

(18)

diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:

1) Bersifat mandiri (autonomous) 2) Tidak memihak siapapun (impartial)

3) Tidak tergantung pada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunya tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti eugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat

C. Syarat, Kewajiban dan Larangan bagi Notaris

Notaris dalam segala fungsi dan kewenangannya dalam rangka pelayanan di bidang hukum, dituntut untuk memiliki kecakapan teknis di bidangnya, dedikasi tinggi, wawasan pengetahuan yang luas`disertai integritas moral. Untuk itu ditetapkan berbagai ketentuan mengenai syarat-syarat, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi Notaris dalam melaksana kan jabatannya

Pasal 3 UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun d. Sehat jasmani dan rohani

(19)

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang - undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris

Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN, yang selengkapnya berbunyi:

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris

c. Mengeluarkan Groosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam satu bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) dan jika jumlah akta tidak dapat dibuat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akhir setiap bulan;

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat

(20)

Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya ditulis nama , jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap , saksi dan Notaris;

m. Menerima magang calon Notaris

(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.

(3) Akta originali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah akta a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun;

b. Penawaran pembayaran tunai;

c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. Akta kuasa;

e. Keterangan kepemilikan, atau;

f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata ”berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.

(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap;

(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan peraturan Menteri;

(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaku agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris.

(21)

(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

Mengenai larangan bagi Notaris dalam melaksanakan jabatannya diatur dalam Pasal 17 UUJN , yang selengkapnya berbunyi:

Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatannya di luar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7(tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha milik swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris pengganti atau;

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama , kesusilaan atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

D. Analisis Pembinaan Dan Pengawasan Notaris Menurut UUJN 1. Sasaran Pembinaan

Pembinaan Notaris ditujukan kepada Notaris dan Notaris pengganti. Adapun pengangkatan Notaris Pengganti diangkat untuk menggantikan Notaris yang sedang tidak menjalankan tugasnya karena cuti, sakit, atau sementara berhalangan menjalankan jabatannya, khusus diangkat untuk membuat akta tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat enetapannya berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 52, dan Pasal 53, sedangkan Notaris yang digantikan tetap menjalankan tugasnya. Dalam pengangkatan Notaris Pengganti maupun Notaris Pengganti Khusus hanya dapat diangkat satu orang Notaris Pengganti yang menggantikan Notaris yang digantikan.

(22)

Sebaiknya dalam Surat Ketetapan Pengangkatan Notaris Pengganti Khusus, dirinci tentang akta yang akan dibuat, pihak-pihak dari akta tersebut, serta nama Notaris yang digantikan. Adapun Syarat untuk diangkat sebagai Notaris Pengganti/ Notaris Pengganti Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 dan ayat 4 adalah:

1) Warga Negara Indonesia

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3) Berijasah Sarjana Hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut

4) Bukan Notaris

5) Berumur minimum 27 (dua puluh tujuh) tahun namum belum mencapau umur 65 (enam puluh lima ) tahun sampai akhir masa jabatan sebagai Notaris Pengganti

6) Sehat jasmani dan rohani

7) Tidak sedang merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

2. Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris

a. Mengusulkan agar penyerahan Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Notaris, dan membuat edaran kepada Notaris di seluruh Indonesia bahwa pebatalan yang dimaksud dalam Pasal tersebut tidak dilakukan apabila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa Surat Keputusan Pengangkatannya baru diterima oleh yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengangkatan

b. Mengusulkan agar pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris dilakukan dengan Berita Acara , dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Berita Acara tersebut wajib disampaikan kepada Menteri, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Daerah, maka seharusnya Berita Acara Sumpah diserahkan kepada dan diterima oleh Notaris yang bersangkutan selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal penyumpahan, dan Notaris yang bersangkutan wajib menyerahkan fotokopi yang disahkan dari Berita Acara tersebut selambatnya 15 lima belas) hari sejak diterima Berita Acara tersebut

(23)

c. Dalam Pasal 7 huruf c, yang dimaksud dengan kata-kata “di tempat Notaris diangkat” dalam Pasal 7 huruf c ini adalah tempat kedudukan Notaris.

d. Dalam Pasal 8, sebaiknya dibuat Peraturan Pelaksana sehubungan dengan pemberian sanksi terhadap pelanggaran larangan jabatan sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 huruf e , Pasal 9 huruf d, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 17, dan Pasal 85 karena sanksi yang diberikan terhadap Pasal-pasal tersebut tidak konsisten.

e. Sebaiknya dibuat Peraturan Pelaksana mengenai:

(1) Tata cara dan persyaratan pengajuan permohonan perpanjangan masa jabatan, antara lain:

a) Surat keterangan kesehatan yang diperlukan

b) Permohonan perpanjangan masa jabatan harus diajukan paling cepat 1 (satu) tahun dan paling lamabat 6 (enam) bulan sebelum usia 65 (enam puluh lima ) tahun.

(2) Jangka waktu pemberian ijin atau penolakan perpanjangan jabatan terhitung sejak tanggal permohonan diajukan.

E. Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan Bagi Notaris

1. Dalam Pasal 15 ayat 1, yang dimaksud dengan kata-kata:”tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain” dalam ayat ini adalah Notaris diberi kewenangan untuk membuat akta sepanjang akta itu tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu:

a. Akta yang boleh dibuat oleh Notaris dan juga dibuat oleh pejabat lain, misalnya: akta pengakuan anak (yang dapat dilakukan oleh Notaris dan Catatan Sipil); akta wasiat (yang dapat dilakukan oleh Notaris dan Nakhoda Kapal); akta koperasi ( dapat dilakukan oleh Notaris dan Pejabat yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang).

b. Akta yang tidak boleh dibuat oleh Notaris (yang dikecualikan), misalnya: akta kelahiran (dibuat oleh Catatan Sipil); serta semua akta yang kewenangan pembuatannya diberikan kepada Catatan Sipil.

(24)

a. Keterangan hak waris dapat dibuat secara otentik, yaitu

1). Akta otentik yang seluruhnya membuat keterangan dari para penghadap ( yang mengetahui keadaan almarhum)

2). Akta otentik yang memuat keterangan dari para penghadap dan ditutup dengan kesimpulan dari Notaris tentang hak waris

b. Keterangan hak waris dapat juga dibuat akta pernyataan Notariil dari ahli waris dan para saksi, yang dikuatkan dengan bukti/dokumen resmi, berdasarkan mana Notaris kemudian dalam jabatannya (ambtshalve) membuat keterangan hak waris.

Upaya minimal yang harus dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik mengenai keterangan hak waris adalah:

a. Meyakini kebenaran keterangan dari para penghadap dengan mencocokkan keterangan yang diberikan dengan bukti-bukti tertulis, seperti akta kelahiran, akta kematian, daftar dari Seksi Pusat Wasiat, bilamana perlu dengan keterangan dari orang-orang yang mengenal almarhum.

b. Mengetahui dengan pasti (menguasai) hukum-hukum waris yang berlaku untuk almarhum, berkenaan dengan siapa akan dibuat keterangan ahli waris

Dalam pembuatan Keterangan Hak Waris, hukum waris yang berlaku adalah hukum sesuai dengan golongan penduduk si pewaris (ada 3 golongan penduduk sesuai Pasal 163 IS, yaitu: golongan Eropa, Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa) dan Pribumi), walaupun ia berganti agama, karena perpindahan agama tidak merubah status hukum golongan penduduk. Sedangkan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf c, bahwa yang dimaksud dengan kata “salinan” dalam ayat ini adalah “keseluruhan dari surat yang dibuat sesuai dengan aslinya”.

2. Dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a, bahwa kewajiban Notaris yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a ini adalah bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, ………..dst. Penambahan kata “amanah” adalah sesuai dengan sumpah/janji Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang ini. Sedangkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf j, bahwa pencatatan dalam daftar akta tentang tanggal pengiriman daftar wasiat dilakukan pada tanggal pengiriman, selambatnya tanggal 5 pada

(25)

bulan berikutnya, bukan pada akhir bulan, karena dalam Penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf j disebutkan bahwa pencatatan dalam daftar akta tertanggal tanggal pengiriman daftar wasiat ke Daftar Pusat Wasiat dilakukan pada hari pengiriman dan juga ditegaskan bahwa hal tersebut penting untuk membuktikan bahwa kewajiban Notaris sudah dilaksanakan. Sebaiknya diadakan ralat dalam Penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf j, huruf “f” dan “g” seharusnya berbunyi huruf “h” dan huruf “I”. Dalam Pasal 16 ayat 3, bahwa akta-akta yang diatur dalam ayat ini, huruf a sampai dengan huruf f, selain dapat dibuat dengan originali, dapat juga dibuat dalam bentuk Minuta Akta. Selain itu, dalam Pasal 16 ayat 6 tentang bentuk dan ukuran cap/stempel Notaris adalah : masih diperlukan penegasan tentang bentuk dan ukuran cap/stempel Notaris. Diusulkan kepada PP-INI agar mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan edaran bahwa selama Peraturan Menteri termaksud belum diterbitkan, bentuk dan ukuran/stempel Notaris yang sekarang ada tetap berlaku. Sedangkan dalam Pasal 16 ayat 7, yang dimaksud dengan “tidak dibacakan” dalam ayat ini adalah bahwa pembacaan tidak dilakukan karena penghadap menghendaki bahwa akta termasuk tidak dibacakan karena mereka sudah membaca sendiri dan mengetahui isinya. Oleh karena itu, pada penutup akta dicantumkan sebaiknya dicantumkan keterangan dari penghadap (bukan keterangan dari Notaris) bahwa akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami serta menyetujui isi akta. Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat 9, rujukan “ayat 8” dalam ayat ini seharusnya berbunyi “ayat 7” karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akta wasiat wajib dibacakan Notaris kepada pembuat wasiat.

3. Dalam Pasal 17 huruf c.d.e. dan f., yaitu yang berhubungan dengan Pasal 11 mengatur mengenai larangan rangkap jabatan Notaris, yaitu advokat, pegawai negeri, pimpinan atau pegawai Badan usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta dan Pejabat Negara, namun rangkap jabatan yang diuraikan dalam Pasal 17 huruf c.d.e. dan f dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagaimana diatur dalam Pasal 8,9, dan 12, sedangkan rangkap jabatan diuraikan dalam Pasal 11 tidak dikenakan sanksi berupa pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat, hanya diwajibkan untuik mengambil cuti. Sedangkan Pasal 17 huruf g berhubungan dengan Pasal 15 ayat 2 huruf f masih menimbulkan pertanyaan/persoalan yang wajib diselesaikan yang wajib diselesaikan oleh Departemen Hukum dan HAM dan Badan Pertanahan

(26)

Nasional. Diharapkan agar PP-INI dapat menguapayakan agar ada pertemuan secepatnya antara departemen Hukum dan HAM dan BPN.

F. Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan Notaris

1. Dalam Pasal 19 ayat 2, yang dimaksud dengan “secara teratur” dalam ayat ini adalah:

1.1. Secara terus menerus menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya/kantor; dan/atau

1.2. Secara terus menerus menjalankan jabatannya di tempat yang sama di luar kantornya.

Adapun sanksi mengenai pelanggaran ayat ini belum ada pengaturannya, sebaiknya diatur dalam Kode Etik Notaris.

2. Dalam Pasal 20, agar konsep bentuk perserikatan perdata segera diatur oleh Organisasi Notaris, selanjutnya diajukan kepada Menteri dengan imbauan agar segera diterbitkan Peraturan Menteri tentang Perserikatan Perdata. Sedangkan Sebelum Peraturan Menteri termaksud keluar, Perserikatan Perdata boleh dibentuk, dengan syarat bahwa setelah keluar Peraturan Menteri, harus disesuaikan bentuk dan isinya dengan Peraturan Menteri.

Adapun Unsur Perserikatan Perdata meliputi:

a. Perjanjian dibuat minimal 2 (dua) orang Notaris;

b. Dibuat papan nama dengan nama “Perserikatan Notaris” serta mencantumkan nama-nama Notaris yang berserikat.

Pertimbangan pembentukan perserikatan adalah semata-mata efosiensi dalam berpraktek.

3. Dalam Pasal 22 ayat 1 huruf c, “rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris dalam 1 (satu) tempat kedudukan setiap bulan minimal 50 akta perbulan setiap Notaris” merupakan syarat utama dalam penentuan Formasi Notaris. Sebaiknya organisasi Notaris mengusulkan kepada Departemen Hukum dan HAM apabila akta kurang dari 50 , sebaiknya jangan ada pengangkatan/perpindahan atau penambahan baru.

(27)

4. Dalam Pasal 23 dan 24, yang dimaksud dengan “wilayah jabatan” dalam Pasal 23 dan 24 seharusnya dibaca “tempat kedudukan” mengingat dalam SK Menteri tentang pengangkatan yang dicantumkan adalah “tempat kedudukan” bukan “wilayah jabatan”.

G. Cuti Notaris dan Notaris Pengganti

1. Dalam Pasal 25 ayat 2, perlu diatur suatu ketentuan dalam hal terjadi keadaan terpaksa yang mengakibatkan Notaris tidak dapat menjalankan jabatannya sebelum masa jabatannya mencapai 2 (dua) tahun, misalnya Notaris sakit berat/kecelakaan. Berkenaan dengan hal tersebut , pak Winanto (anggota Majelis Pengawas Pusat) menerangkan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Menteri No. M.02.PR.08.10 Th. 2004, ketentuan tersebut akan diatur oleh Majelis Pengawas Pusat.

2. Sedangkan dalam Pasal 27 ayat 2 huruf a, diajukan usulan kepada Majelis Pengawas Pusat agar membuat ketentuan bahwa permohonan cuti yang diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah, ditembuskan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat (usulan ini diajukan karena ketentuan tersebut belum diatur dalam Undang-undang tentang Jabatan Notaris).

3. Dalam Pasal 28, agar diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk membuat peraturan mengenai permohonan cuti dalam hal tidak ada suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus dari Notaris tersebut, dalam hal mana pengajuan permohonan dimungkinkan dilakukan oleh karyawan kantor Notaris yang bersangkutan, atau keluarga ke samping atau Pengurus Organisasi Notaris.

4. Dalam Pasal 29 ayat 3, tembusan Surat Keterangan Ijin Cuti selain ditembuskan kepada Menteri dan Majelis Pengawas Pusat, juga ditembuskan kepada Majelis Pengawas Daerah.

5. Pasal 29 ayat 4, agar diminta penjelasan kepada Majelis Pengawas Pusat, apakah “Surat Keterangan Ijin Cuti dari Menteri” dalam ayat ini adalah Surat Keterangan Ijin Cuti didasarkan atas penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Pusat, karena permohonan cuti berdasarkan Pasal 27 ayat 2 diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah/ Majelis Pengawas Wilayah/ Majelis

(28)

Pengawas Pusat, dan apabila ditolak dapat banding ke Majelis yang lebih tinggi. Oleh karena tidak diatur dalam Pasal 29, maka diusulkan dalam perubahan Undang-undang Jabatan Notaris untuk menambah ayat baru, yaitu ayat 4 baru tang berbunyi sebagai berikut:”Tembusan Surat Keterangan Ijin Cuti dari Majelis Pengawas Pusat, disampaikan kepada Menteri, Majelis Pengawas Wilayah, Majelis Pengawas Daerah”, dan ayat 4 lama menjadi ayat 5.

6. Dalam Pasal 30, agar diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan ketetapan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah bahwa “Sertifikat Cuti” yang lama dapat dipergunakan/dilanjutkan sampai habis.

7. Dalam Pasal 32 ayat 3, berdasarkan sejarah pembuatan Undang-undang Jabatan Notaris, Berita Acara penyerahan protokol diserahkan kepada Majelis Pengawas yang berada di kabupaten/kota (Majelis Pengawas Tingkat I), sehingga perlu diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk mengeluarkan suatu ketetapan bahwa serah terima Berita Acara Penyerahan protokol diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah (bukan Majelis Pengawas Wilayah) , sebagai Majelis Pengawas yang berada di kota/kabupaten yang langsung mengawasi Notaris.

8. Dalam Pasal 33 dan 34, penyumpahan Notaris Pengganti belum diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris, namun diatur dalam Edaran Menteri Hukum dan HAM No. M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004. Diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat agar menegaskan bahwa seorang Notaris hanya dapat menunjuk satu orang Notaris Pengganti apabila yang bersangkutan cuti. Sedangkan dalam Pasal 33 ayat 1, yang dimaksud dengan ” telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris” adalah telah bekerja baik pada kantor Notaris yang bersangkutan ataupun pada kantor Notaris lain.

9. Dalam Pasal 35 ayat 1, yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis lurus” adalah keluarga karena keturunan dalam garus lurus ke atas dan ke bawah, dan yang dimaksud dengan “keturunan semenda dua” adalah keluarga karena perkawinan sampai dengan derajat kedua. Sedangkan dalam Pasal 35 ayat 4, diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat agar sebagai tindak lanjut ayat tersebut, setelah Majelis Pengawas

(29)

Daerah menerima protokol Notaris yang meninggal dunia dari Pejabat Sementara Notaris, mengeluarkan ketetapan agar Majelis Pengawas Daerah wajib menunjuk dan menyerahkan protokol tersebut kepada Notaris yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah , selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Pengawas Daerah menerima protokol Notaris tersebut. Hal ini perlu diatur karena dalam Undang-undang Jabatan Notaris belum ada aturan yang sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 63 ayat 1 dan ayat 3, juncto Pasal 70 huruf e. Perlu juga diusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk membuat aturan tentang protokol yang diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah terdiri dari selain protokol dari Notaris yang meninggal dunia , juga protokol dari Pejabat Sementara Notaris termaksud.

10. Dalam Pasal 35 ayat 5, Pejabat Sementara Notaris harus memenuhi kewajiban dan larangan yang berlaku bagi seorang Notaris.

H. Akta Notaris

1. Dalam Pasal 38, pembuatan akta menurut Undang-undang Jabatan Notaris berbeda dengan pembuatan akta menurut Peraturan Jabatan Notaris (Staadblaad 1860 No. 3). Menurut Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris harus dapat menjelaskan mengenai dirinya sendiri, termasuk mengenai tempat kedudukan Notaris dan tempat pembuatan akta, tentang hal mana diperlukan penjelasan dalam aktanya. Jika tempat pembuatan akta dilakukan di luar kantor Notaris, tempat pembuatan akta dapat:

a. Disebut dalam premise; atau

b. Disebut pada akhir akta (kecuali untuk Berita Acara Rapat, dimana tanggal, tempat dan jam disebut pada awal akta).

Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 2 huruf c, bahwa penyebutan nomor akta dan tanggal akta, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:

a. Dengan menggunakan 2 digit, contoh: 01,02,11,12, untuk nomor akta, dengan alasan bahwa : (i) dalam menggunakan Sisminbakum untuk tanggal akta harus dicantumkan dengan menggunakan 2 (dua) digit, (ii) menjamin kepastian

(30)

b. Dengan menggunakan digit biasa untuk nomor akta, contoh: 1,2,11,12, dan untuk tanggal dalam akta, penulisan angkanya dilengkapi dengan penyebutan huruf di belakangnya. Alasan tidak menggunakan 2 (dua) digit adalah dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak ada aturan tentang hal tersebut, sehingga tidak perlu merubah apa yang sudah berjalan dengan lancer selama ini (konvensional).

Sedangkan penentuan waktu di awal akta dilakukan dengan menggunakan kata “jam’ atau “pukul” sebagai penunjukan saat dimulainya pembacaan akta., dan urutan penyebutan pada kepala akta adalah: hari, tanggal, bulan, tahun, jam atau pukul.

2. Dalam Pasal 38 ayat 3 huruf d dan e: tentang apa yang dimaksud dengan: a. Nama lengkap adalah nama lengkap tanpa singkatan

b. Pekerjaan : contoh pedagang

c. Jabatan : contoh Direktur perseroan terbatas d. Kedudukan : contoh ayah wali orang tua

Sedangkan dalam Pasal 38 ayat 4 huruf b : tempat penandatanganan akta disebut pada akhir akta dengan menyebutkan alamat tempat penandatanganan tidak harus secara tertulis , dapat juga secara lisan dengan catatan bahwa uraian tentang bagaimana terjemahan akta dilakukan harus diuraikan pada akhir akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat 4, contoh

a. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa mandarin oleh……..Penerjemah Resmi, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

b. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin oleh ………Penerjemah Resmi, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

c. Demikianlah akta ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin oleh saya Notaris, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

d. Demikianlah akta ini telah dijelaskan secara tertulis ke dalam bahasa Mandarin oleh saya Notaris, kepada tuan………karena menurut keterangannya tidak mengerti bahasa dari akta.

(31)

Apabila penerjemahan dilakukan secara tertulis, maka harus ada produk terjemahannya, apabila penerjemahan dilakukan secara lisan, tidak ada produk terjemahannya.

3. Dalam Pasal 39, berkenaan dengan perjanjian mengenai tanah berkaitan dengan usia penghadap, oleh karena dalam Undang-undang jabatan Notaris, umur pernghadap minimum 18 tahun, sementara menurut BPN yang mengacu kepada KUH Perdata, kedewasaan adalah 21 tahun. Sedangkan Pasal 39 ayat 2, agar dalam penjelasan ayat ini diuraikan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata: “harus dikenal oleh Notaris” adalah sesuai dengan identitas yang ditunjukkan/diperlihatkan kepada Notaris berupa KTP atau Paspor atau SIM, yang menimbulkan keyakinan dalam diri Notaris.

4. Dalam Pasal 40 ayat 3, yang dimaksud dengan kewenangan saksi dalam ayat ini adalah kewenangan saksi yang telah memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 huruf a,b,c,d,dan e.

5. Dalam Pasal 42 ayat 3, kata “bilangan” yang dimaksud dalam ayat ini menunjukkan jumlah dan tidak termasuk nomor, karena itu tidak perlu diulang penyebutannya dengan huruf.

6. Dalam Pasal 43 ayat 2, yang dimaksud dengan kata : “menerjemahakan” dalam ayat ini adalah terjemahan secara tulisan ataupun secara lisan. Apabila dilakukan dengan tulisan harus ada produk terjemahan, aabila diterjemahkan secara lisan tidak ada produk terjemahan. Pada akhir akta, harus dinyatakan dalam bahasa lain dengan cara apa penerjemahan dilakukan.

7. Dalam Pasal 43 ayat 5, ayat ini berlaku khusus untuk akta dimana salah satu pihak tidak memahami bahasa akta, namun apabila para pihak mengerti, menghendaki agar akta tersebut dibuat dalam bahasa lain, dan tidak menghendaki agar akta tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka Notaris tidak wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

8. Dalam Pasal 44 ayat 1, dalam keadaan terpaksa sehingga tidak dapat dihindari, tanda tangan dan paraf dapat digantikan dengan teraan jari.

9. Dalam Pasal 44 ayat 4, bahwa penandatanganan dalam ayat ini menentukan tentang orang yang harus menandatangani akta, bukan urutan siapa yang

(32)

menandatangani. Pengertian saksi dalam ayat ini termasuk saksi pengenal.dan agar mengeluarkan ketetapan dengan inti sebagaimana dimaksud dalam kesepakatan bersama tersebut berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 43 ayat 5.

10. Dalam Pasal 45 ayat 2, apabila seseorang berkepentingan hanya pada bagian tertentu dalam akta dan hendak meninggalkan tempat, maka pada akhir akta disebutkan/ditegaskan bahwa orang (penghadap) tersebut hanya berkepentingan sampai bagian tertentu saja dalam akta tersebut dan yang bersangkutan memberikan paraf dan tandatangannya sampai pada bagian tersebut, contoh: dalam Berita Acara Rapat.

11. Dalam Pasal 46 ayat 1, kata “peristiwa” dalam ayat ini adalah perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam Pasal 15 ayat 1. Apabila diadakan perubahan dalam Undang-undang Jabatan Notaris, diusulkan agar kata “peristiwa” dalam Pasal 46 ayat 92), dimasukkan ke dalam Pasal 15 ayat 1 , sehingga Pasal 15 ayat 1 berbunyi sebagai “Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, peristiwa dan ketetapan yang diharuskan…..dst. Adapun alasan penambahan tersebut adalah karena agar terdapat kesinkronan dalam Pasal 46 ayat 2 dengan Pasal 15 ayat 1.

12. Dalam Pasal 47 ayat 3, dengan kata-kata “Notaris yang sama” dalam ayat ini, termasuk juga Notaris Penggantinya, karena protokolnya merupakan satu kesatuan. Dalam hal Notaris lain hendak mempergunakan kuasa yang dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1, maka ia harus melekatkan copy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 butir c, dengan menguraikan pada akta Notaris mana aslinya direkatkan.

13. Dalam Pasal 48 ayat 2, pada perubahan agar disebut berapa jumlah kata, huruf, angka, dan tanda baca yang ditambah, diganti atau dicoret. Sedangkan yang dimaksud dengan “tanda pengesahan lain” antara lain adalah teraan jari.

14. Dalam Pasal 49, apabila ruang di sisi kiri akta untuk membuat perubahan sudah tidak ada lagi, maka kekurangannya dapat dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta atau dibuat dalam lembar tambahan dengan menunjuk bagian akta yang diubah.

(33)

15. Dalam Pasal 50 ayat (1), kata-kata: “kata, huruf atau angka” dalam ayat ini harus dibaca sebagai: kata, huruf , angka atau tanda baca”.

16. Dalam Pasal 50 ayat (2), dalam pengertian “saksi” dalam ayat ini termasuk juga “saksi pengenal”, sesuai dengan Pasal 44 ayat 3.

17. Dalam Pasal 51, pembetulan hanya dapat dilakukan berdasarkan fakta yang sudah jelas kebenarannya, misalnya:

a. Kata “pembeli” dalam kalimat yang berbunyi : “harus membayar harga pembelian kepada pembeli seharusnya berbunyi “……kepada penjual” b. Kesalahan dalam merujuk ke satu Pasal.

c. Kata “Kamis” dalam kalimat “hari Kamis tanggal 15 (lima belas) April 2005 (dua ribu lima) seharusnya berbunyi “Jumat:.

d. Untuk pembetulan yang mungkin menimbulkan permasalahan, harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum dilakukan pembetulan.

e. Pembetulan dapat dilakukan setiap saat, termasuk untuk akta yang telah dibuat sebelum Undang-undang Jabatan Notaris berlaku.

f. Yang boleh melakukan pembetulan adalah Notaris itu sendiri atau Notaris penggantinya.

g. Jika pembetulan dibuat oleh Notaris Penggantinya, atau pembetulan tersebut bersifat disputable, maka sebelum melakukan pembetulan, harus dilakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Notaris yang bersangkutan dan pihak-pihak yang menghadap

18. Dalam Pasal 51 ayat 3, salinan akta berita acara pembetulan wajib disampaikan kepada para pihak selambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibuatnya, dengan mendapat bukti pengiriman yang sah. Sedangkan dalam Berita acara pembetulan adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris sendiri tanpa ada penghadap tapi ditandatangani oleh Notaris tersebut dan 2 (dua) orang saksi yang menyaksikan pembuatan berita acara tersebut dan catatan diberikan pada sisi kiri atas halaman pertama Minuta Akta (dekat kepala

(34)

akta). Contoh: “Akta ini telah dibetulkan dengan akta berita acara pembetulan nomor……..tanggal…….dibuat oleh saya. Notaris”.

19. Pasal 52 ayat 1, contoh dari hubungan kekeluargaan karena perkawinan atau hubungan darah dalam garis keturunan luruh ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga yang tidak diperkenankan:

a. karena perkawinan: anak dari saudara ipar Notaris, saudara dari mertua Notaris (masih termasuk derajat ketiga),

b. karena hubungan darah: anak dari saudara Notaris, paman dari Notaris (masih termasuk derajat ketiga).

20. Pasal 52 ayat 2, juncto Pasal 15 ayat 2 huruf g, sebaiknya Notaris diberi wewenang membuat akta Risalah Lelang tanpa membedakan kelas, misalnya:

a. Lelang eksekusi b. Lelang sukarela c. Pemborongan umum d. Penjualan di muka umum e. Persewaan umum

21. Dalam Pasal 53, yang dimaksud dengan “ketentuan” dalam Pasal ini adalah syarat-syarat/perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan “penetapan” adalah keputusan.

22. Dalam Pasal 54, tentang Pasal ini berkaitan dengan Pasal 16 ayat 1 huruf e: Pasal 54 tidak menyebutkan minuta akta, sehingga bagi pihak-pihak yang ingin melihat “isi akta” dapat melalui salinan, kutipan, atau grosse akta (karena salinan, kutipan dan grosse akta dijamin kebenarannya sesuai dengan minuta akta ) yang dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan langsung pada akta.

Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan langsung pada akta” adalah:

a. Untuk diri sendiri yaitu yang langsung menandataangani dan menjadi pihak dalam akta atau yang memperoleh hak atau penggantinya

(35)

b. Untuk pihak yang diwakili dalam akta baik berupa badan maupun orang

c. Penerima kuasa yang menandatangani akta dan dalam kuasanya disebut boleh mengambil salinan akta

d. Pihak yang meminta dibuatkan akta, khusus untuk akta relas,

sehingga dengan demikian , minuta akta, setelah ditandatangani, tidak diperlihatkan lagi kecuali melalui lembaga salinan , namun jika yang berkepentingan langsung masih belum puas, dapat ditempuh cara/proses yang diatur melalui Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris.

23. Dalam Pasal 56 ayat 2, yang dimaksud dengan “teraan cap” dalam ayat ini adalah teraan cap/stempel yang dibubuhkanpada salinan dari surat yang dilekatkan pada minuta akta.

24. Dalam Pasal 58 ayat 1, tentang daftar yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris adalah:

a. Daftar akta (dahulu repertorium)

b. Daftar akta di bawah tangan yang disahkan (dahulu legalisasi) c. Daftar akta di bawah tangan yang dibukukan (dahulu waarmerking) d. Daftar nama penghadap /klapper untuk daftar akta

e. Daftar nama penghadap /klapper untuk akta di bawah tangan yang disahkan

f. Daftar Protes Wiesel van non betaling g. Daftar wasiat

h. Daftar lainnya-menunggu peraturan selanjutnya, misalnya daftar akta risalah lelang.

I. PENGAWASAN

Tentang Pengawasan (Pasal 67-81): diharapkan kiranya dibuat nita kesepakatan (MOU) antara PP-INI dan Majelis Pengawasan berkenaan dengan pelaksanaan tugas Majelis Pengawas, agar selalu mengikutsertakan Dewan Kehormatan INI, sesuai dengaan jenjang masing-masing, sejak diterimanya laporan

1. Dalam Pasal 67 ayat 3 dan 4:, direkomendasikan agar dalam penjelasan Pasal 67 ayat 3 huruf c dan Pasal 67 ayat 4 dijelaskan bahwa dalam hal

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan seorang anak adalah sebuah tanggung jawab bersama. Setiap anak adalah bibit yang harus diberi stimulus pofitif dari lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.

Diantara sebab kesuksesannya adalah; sifat jujur dalam jualbeli, sungguh-sungguh dan jauh dari permainan, menjaga waktu, percaya kepada Allah, percaya

Simpulan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut, Pertama, pelaksanaan kurikulum 2013 oleh kepala sekolah sudah melalui tahap perencanaan, yakni dengan mengadakan

Peserta ujian sekolah tahun 2021 yang dinyatakan lulus berdasarkan kriteria kelulusan Satuan Pendidikan SMA Negeri 1 Grabag, Kabupaten Magelang adalah

Berdasarkan hasil di lapangan melalui wawancara yang dilakukan peneliti tentang bagaimana guru memahami raos bungah siswa, maka diperoleh hasil bahwa raos bungah

Keragaman baru kandungan protein umbi dan hasil protein dapat diperoleh dari persilangan antara dua klon sumber gen pengendali kandungan protein tinggi yakni klon Beniazuma dan

Jual Beli Pakaian Bekas Impor di Tugu Pahlawan Kota Surabaya Pelaksanaan jual beli pakaian bekas impor yang terjadi di Tugu Pahlawan Surabaya, sebenarnya barang yang dijual dan

(3) Lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (PPJP), Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS), Bursa