• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KORELASI KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN

3.1 Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dan Realitas

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa novel Wasripin dan Satinah memiliki unsur pencerminan dari pemerintahan masa Orde Baru, maka di sini akan disebutkan dan dijelaskan di mana letak pencerminan tersebut dengan mengungkapkan letak pencerminan dengan mengemukakan bukti-bukti dan fakta yang menyangkut pencerminan dari novel karya Kuntowijoyo ini yang diambil dari kepustakaan.

Dalam kutipan 10 dan 11 diceritakan, Wasripin adalah orang yang telah mengambil hati banyak orang. Dia adalah pemuda yang baik, polos, lugu, suka membantu dan memiliki banyak kelebihan yang dia sendiri tidak sadari. Dia bisa menyembuhkan orang dan meramal, apa pun yang dia katakan

akan terjadi. Karena kehebatannya itulah dia disukai banyak orang. Melihat dan mendengar tentang kelebihan Wasripin, tentu banyak partai tidak mau melewatkan kesempatan ini. Mereka berlomba- lomba menarik Wasripin untuk menjadi anggotanya. Jika Wasripin mau masuk ke dalam anggota salah satu partai, tentu para pengikut dan penggemar Wasripin akan turut masuk ke dalam partai itu juga. Partai yang paling banyak memiliki pengikut tentu saja dialah yang akan memenangkan pemilu.

Hal yang serupa juga sering terjadi dalam pemilu. Hal ini dianggap sudah biasa. Pada masa pemilu biasanya partai-partai berusaha mencari simpati rakyat dengan menarik orang-orang yang sekiranya berpengaruh di hati rakyat. Baik dari kalangan anggota TNI, artis, budayawan maupun orang-orang awam yang memiliki kelebihan dan memiliki tempat di hati rakyat.

(20) Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi

ideologis, pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosio-kultural desa. Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelaum hari H untuk menghindari kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics). Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu tenang. Namun beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan aka lulus seleksi. Mereka membentuk kader; kampanye door-to-door, mengadakan rapat diam-diam, dan menjanjikan ini- itu (termasuk memberi uang bagi pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang, Babinsa (Bintara Pembina Desa), Sekdes, dan Kaur Keamanan. Jadi banyak calon-calon yang kecewa. (“Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele,” kata Camat). Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malu- malu: tak ada pidato-pidatoan (“Pilih aku!”), rapat-rapat umum (“Pembangunan desa jadi prioritas!”), dan

janji-janji terbuka (“Listrik msuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang-malam. (hlm 29)

(21) Partai Randu ulang tahun. Partai-partai lain, Partai Kuda dan Partai Langit, meramalkan bahwa kesempatan itu akan digunakan untuk mencuri start alias kampanye terselubung. Mereka gembar-gembor lewat media massa. Koran-koran juga bilang begitu. Tapi, menteri Penerangan dalam sebuah wawancara di TVRI menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas siapa saja yang mencuri start. Mekanismenya adalah soal perizinan. Semua pihak yang akan mengumpulkan lebih dari lima puluh orang di tempat umum wajib minta izin dengan menunjukkan jadwal acara. Atau, kalau itu berupa pertunjukan (teater, ketoprak, nyanyi, film) harus menunjukkan naskah, alur cerita, izin sensor, atau teksnya. Pendek kata, pemerintah tidak mau kecolongan siapa pun. (hlm171)

(22) Namun, seperti kata pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga”. Satgas Partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran pertunjukan menemukan selebaran-selebaran yang mendeskreditkan partai. Misalnya, “Partai Randu Sarang Korupsi”, “Partai Randu Melindungi Maling Kakap”, “Maling Teriak Maling”, dan “Partai Randu Anti Pembangunan”. Ketika Ketua Partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tapi dasar sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir tersenyum (hlm172)

Sudah sama-sama kita saksikan juga, dalam pemilu, selama puluhan tahun telah menggunakan Golkar (PDI, juga PPP, dan kelompok-kelompok politik lainnya) untuk menyelenggarakan, secara berturut-turut, pemilihan umum yang palsu dan tidak sah, dan menjadikan parlemen hanya sebagai

barang hiasan yang buruk (Said, 2000). Masyarakat hanya dijadikan saksi terus menerus terhadap kemenangan Golkar dari pemilu ke pemilu.

Perjalanan Pemilu 1997 sendiri diwarnai berbagai konflik dan kerusuhan antarpendukung partai politik di beberapa daerah. Pada 22-24 maret 1997 misalnya, di Kota Pekalongan terjadi kerusuhan akibat amukan masyarakat dan simpatisan PPP yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparat, ketimbang Golkar (Ecip, 1998:23). Selama pelaksanaan kampanye 1997, kekerasan politik dan politik kekerasan tetap berlangsung. Hingga 13 Mei 1997 atau 16 hari sejak kampanye dimulai pada tanggal 27 April 1997, korban tewas mencapai 49 orang dengan ratusan orang luka (Zon, 2004:16).

(23) Partai Randu minoritas, tapi kuat karena didukung oleh aparat, pegawai negeri, dan sebagian juragan. (hlm 155)

Dalam masa Orde Baru, Partai Randu identik dengan Golkar. Meskipun sebenarnya pendukung Golkar dalam masyarakat kecil, tapi mau tidak mau Partai Golkar sangatlah kuat. Dia didukung oleh seluruh anggota militer dan pegawai negeri atau KORPRI yang sudah diwajibkan untuk menjadi anggota Partai Golkar. Selain itu anggota Golkar yang turut membesarkan Golkar adalah anggota keluarga si pemimpin partai kuning ini, yang merupakan pengendali usaha- usaha besar di Indonesia yang sudah merambah ke luar negeri sehingga kekayaan negara akan tetap berkutat pada anggota keluarga.

(24) “O, ya. Kami sedang sibuk. Ada penduduk mau bedhol desa bertransmigrasi. Saya harus datang dan memberi pengarahan. Ada jembatan selesai dibangun. Saya harus meresmikan. Ada Jambore Nasional Pramuka. Saya harus menyertai para gubernur, menteri dan wakil presiden. Ada…”

Ketua partai jengkel. Ia ingin Bupati paham betul bahwa Partai Randu adalah Partai pemerintah yang sanggup menentukan siapa duduk di mana.

“Katanya Bapak ingin jadi wakil gubernur?” Bupati paham betul arti ancaman itu lalu merendah.

“Ya jangan begitu to Pak. Ini betul-betul kok. Coba Pak. Apa yang tidak saya kerjakan untuk partai? Suruh bikin edaran ke camat-camat, ke instansi yang ada, dan ke perusahaan-perusahaan sudah saya kerjakan. Sering, tanpa tedeng aling-aling di depan publik saya berkampanye untuk partai.” (hlm 174)

Partai Randu seperti halnya Golkar adalah partai yang sekali lagi memiliki kuasa yang besar. Dia mampu melakukan apapun bahkan kolusi dan nepotisme yang merajalela. Partai ini memiliki kuasa mengangkat siapa pun di mana pun menjadi apa pun. Tidak heran jika orang yang dekat dengan penguasa partai ini akan mampu menduduki jabatan yang tinggi meski dia tidak memiliki massa sekalipun. Meski dia tidak dipilih oleh masyarakat, tapi dengan kedekatannya dengan penguasa seolah-olah tongkat estafet itu telah digenggamnya sehingga dia mampu menduduki kursi apapun sesuai harapannya.

(25) Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan

Tekad yang sudah dipersiapkan oleh seorang nelayan yang aktif di HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).

“Satu. Mendukung Pancasila dan UUD ’45.” “Gombal!” ujar Danramil pelan-pelan. “Dua. Mendukung Presiden Sadarto.” “Tahi kucing!” Danramil.

“Tiga. Menyatakan pilkades terlaksana secara demokratis.”

“Bohong!” Danramil.

“Empat. Mendesak Kades baru segera dilantik.” “Intimidasi!” Danramil. (hlm 86)

Partai diwajibkan memakai Pancasila sebagai dasar, sekalipun tetap berpedoman pada ideologi masing- masing. Partai mulai diarahkan untuk mendukung sistem politik yang sedang dikembangkan. Presiden secara intensif memanfaatkan peran mobilisasi partai politik terhadap ma syarakat. Dalam rangka keperluan presiden, partai diminta pandangan dan dukungannya. Pembuatan keputusan yang melibatkan partai berlangsung di bawah arahan presiden. Semuanya itu dilaksanakan untuk menegakkan kepemimpinan pemerintah di bawah presiden dalam rangka melaksanakan revolusi secara efektif. Orde Baru mempertajam format kepartaian tersebut dengan alasan demi menegakkan stabilitas politik sebagai prakondisi bagi pembangunan nasional (Pabotingi 1995:42).

Dalam masa Orde Baru (Orba), Soeharto dan Orba menjadi kekuatan yang mirip kitab suci. Segala keputusannya harus ditaati. Siapa pun atau kelompok mana pun yang mencoba melawan dianggap menentang Pancasila dan UUD 1945. Soeharto telah menjelma menjadi Pancasila itu sendiri. Soeharto adalah Pancasila dan Pancasila adalah Soeharto. Jadi, telah terjadi

personifikasi antara Pancasila dan Soeharto. Soeharto setara dengan Pancasila itu sendiri (Adam 2006:81-82). Dengan demikian, kekuasaan Soeharto dan Orba kian kokoh dan tak ada yang menandingi.

(26) Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa, rakyatlah yang akan maju.

Segera camat tahu bahwa ada Karak. Urusan itu dibawanya ke rapat Muspika. Danramil bersungut-sungut, “Rakyat? Rakyat? Lha kok rakyat?” Ia mondar- mandir, “Mungkin dia PKI malam di sana!”

“Aku tahu sekarang! Dia dulu ikut pemberontakan Tiga Daerah!” (Peristiwa Tiga Daerah di Brebes, Tegal, dan Pekalongan adalah pembangkangan pada Pemerintah Pusat, dekat setelah kemerdekaan).

“Itu tak mungkin. Dia ikut Hizbullah.”

“O, bagaimana kalian ini. Dulu dia pasti mempraktekkan KKM, Kerja di Kubu Musuh.”

“Itu istilah baru, Pak.” (hlm 87)

PKI begitu dipandang sebelah mata. Makin jelaslah bagi banyak orang, sekarang ini, bahwa rezim Orde Baru memang dengan sengaja telah memelintir sejarah dan menyebarkan kebohongan selama puluhan tahun, demi tegaknya kekuasaan Suharto (beserta pendukung-pendukung setianya). Kita juga merasakan sendiri, atau menyaksikan, bahwa dengan cara-cara inilah rezim Orde Baru telah menyebarkan terus-menerus rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Melalui kampanye bohong tentang “bahaya laten PKI”, puluhan juta orang telah terus- menerus diintimidasi dan dipersekusi

dalam jangka lama, untuk mematahkan atau melumpuhkan semua kekuatan demokratis yang kritis terhadap Orde Baru. Dengan kebohongan sejarah yang dijadikan bahan indoktrinasi yang amp uh, rezim Orde Baru telah melakukan kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran dan dalam jangka lama. Karenanya, kebohongan sejarah adalah juga salah satu di antara begitu banyak dosa berat rezim Soeharto (Said, 2000).

Menurut versi Orde Baru, dikatakan bahwa PKI adalah politik partai atheis yang menjadi dalang utama di balik plot untuk membunuh para pemimpin Angkatan Darat Repiblik Indonesia pada 1 Oktober 1965. Pembuatan serta kewajiban menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” adalah contoh konkret bagaimana Orde Baru ingin mendesak versinya tentang sejarah Indonesia kepada masyarakat. Karena pembunuhan para jenderal itu dipandang sebagai “kudeta” untuk mengganti pemerintahan yang sah, maka PKI dinyatakan bersalah dan sudah selayaknya jika semaksimal mungkin anggota dari partai tersebut dibunuh di luar hukum dan di luar prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku. Pembantaian terhadap setengah juta lebih orang yang dianggap PKI adalah sah adanya. Begitu pula pemenjaraan serta penindasan terhadap jutaan orang lainnya setelah itu. Tak dihitung terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak-hak manusia yang paling asasi secara massal. Baik itu pembunuhan, pemenjaraan, dan lain- lain yang bentuknya tindak kekerasan. Menariknya, berkat beredarnya versi resmi mengenai apa yang terjadi pada era 1965-1966 itu banyak warga percaya bahwa

pembunuhan massal dan berbagai bentuk pelanggaran hak- hak sipil atas mereka yang dituduh sebagai komunis adalah sah-sah saja, bahkan “sudah selayaknya” (Adam, 2006:28). Kelompok militer justru malah dihormati sebagai kelompok istimewa dalam mempertahankan kelangsungan hidup bangsa. Bagi masyarakat timbul anggapan yang kalah pasti salah, dan yang menang pasti benar. PKI itu kalah maka dia salah, sedangkan militer menang maka dia benar (Mulder, 2004:77). Perlawanan nasional tak terdengar ketika pada tahun yang sama Orde Baru memenjarakan ribuan orang di Pulau Buru tanpa proses pengadilan (Huskens, 2003:92). Bahkan ketika tahun 1979 para tawanan Pulau Buru ini dibebaskan, pemerintah Orde Baru masih terus menghukum mereka. Pembubuhan kode “ET” (eks-Tapol) pada KTP milik para bekas tahanan politik itu adalah contoh tindak pelanggaran HAM berikut juga dengungan akan istilah “bahaya laten PKI”, berguna untuk menakut-nakuti dan mengontrol masyarakat. Bahkan Orde Baru telah mengkampanyekan slogan “bersih lingkungan” dengan maksud membersihkan instansi- instansi negeri maupun swasta dari orang-orang yang diduga pernah memiliki kaitan dengan PKI (Adam 2006:29).

(27) “Intel- intel kami sedang mencari biang keroknya. Modin itu hanya boneka, “ kata Danramil.

“Ah jangan cepat menuduh, lho Pak. Di sekolah kepolisian selalu ditekankan ‘asas praduga tak bersalah’,” kata Kapolsek.

“Apa kalau TNI asasnya ‘tembak dulu urusan belakang’?” (hlm 88)

Sekarang ini, mereka yang mau merenungkan secara dalam-dalam, tidaklah bisa mengingkari bahwa Orde Baru telah melakukan berbagai kejahatan negara dan kekerasan negara terhadap banyak komponen bangsa. Rezim ini telah membunuh kehidupan demokrasi dalam jangka puluhan tahun. Kekuasaan politik yang dipegang oleh Soeharto, dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari para pimpinan militer (terutama dari TNI-AD), telah menjadikan negara sebagai jaring-jaringan mafia, yang dengan semena-mena telah menyalahgunakan kekuasaan secara besar-besaran.

(28) “Begini. Pak Modin dipersilakan pulang.” Sambil

memberikan sejumlah uang, “Maaf, ada kesalahan prosedur pada kami. Bapak, ini uang transportnya, ini uang akomodasinya, ini uang konsultasinya.”

Pak Modin menerima uang itu, menghitung, dan uang transport masuk sakunya. (hlm 91)

(29) Aparat desa keberatan dengan pengeluaran uang pajak itu, tapi tidak digubrisnya. Ketika petugas pajak menyatakan bahwa desa itu menunggak setoran pajak tidak digubrisnya juga. Ia tenang-tenang saja, karena ia membawa misi Partai Randu. Baru ketika sebuah koran daerah mengabarkan bahwa Camat sebagai care taker Kades perkampungan nelayan menilep uang pajak, ia pergi minta uang ke Kantor Partai Randu untuk membayar.

Di kantor Partai Randu ia berdebat dengan bendahara.

“Saya disuruh menyukseskan pemilu yang akan datang dengan segala cara. Itulah cara saya.”

“Tapi jangan sampai masuk koran. Itu memalukan partai. Semua orang tahu bahwa engkau fungsionaris partai.”

Dengan mengangkangi kekuasaan politik yang busuk inilah maka KKN merajalela, dan korupsi menjadi “budaya bangsa” seperti yang masih terus juga kita saksikan sampai dewasa ini di seluruh tanah air. Nyatalah sudah dengan gamblang, bahwa kejahatan rezim militer Soeharto dan kawan-kawan yang amat serius adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan selama puluhan tahun dan secara besar-besaran dan sistematis. Diktatur militer ini pulalah yang telah berhasil, selama puluhan tahun, telah mengintimidasi para intelektual, merekayasa politik, “membeli” sejumlah ulama, kyai, atau pendeta, serta membungkam pers.

(30) Rupanya emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar). Presiden sendiri membawa kritik pers dan kampus pada Surat Sakti itu ke Sidang Kabinet. Karena menggugat Surat Sakti berarti menggugat Presiden, sehingga dia merasa digoyang-goyang. Padahal, selama ini tak seorang pun berani menggugat. Kalau yang menggugat perorangan, semua life line-nya akan diputus. Kalau lembaga, akan dinyatakan terlarang. Dan orang-orangnya akan tersangkut ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Semua anggota kabinet tahu bahwa dia marah besar; meskipun dari luar nampak senyumnya selalu hadir: Lembut dalam penampilan tapi keras dalam perbuatan, kira-kira begitu semboyannya. Pada kesempatan itu dinyatakan bahwa negara dalam bahaya, dan ia memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak ragu-ragu bertindak tegas. Maka, beberapa hari kemudian Menteri Penerangan melarang surat kabar-surat kabar mengecam Surat Sakti, tidak melalui telepon tetapi melalui Keputusan Menteri. Ancamannya adalah pencabutan surat izin terbit. Menteri Perguruan Tinggi berbuat serupa, mengancam akan membubarkan sebuah perguruan tinggi yang mengecam Surat Sakti. (hlm 150)

(31) Pers dan kampus tidak kurang akal. Mengecam terang-terangan dilarang, mereka lalu memuji terang-terang-terangan.

Seminar bertema, “Surat Sakti, Hak Prerogatif”; “Sesuai UUD ’45: Surat Sakti, Membubarkan Parlemen, Memberi Grasi”; dan “Surat Sakti versus Mafia Pengadilan”. Mereka sudah betul-betul berhenti menghujat, sebaliknya malah memuji-muji. Tetapi, orang tahu bahwa mengecam menimbulkan kebencian, memuji menimbulkan sinisme masyarakat. Mendapat laporan tentang maraknya puji-pujian pers dan kampus serta sinisme masyarakat, Menteri Penerangan dan Menteri Perguruan Tinggi hanya bisa pusing kepala. Ternyata jadi pesuruh itu sulit, meskipun pesuruh itu bernama menteri, “Salah lagi!” (hlm 151)

Pada masa Orde Baru kegiatan demonstrasi sangat dilarang, apalagi kegiatan demons trasi yang mengecam pemerintahan atau menyinggung para anggota pemerintahan. Tidak jarang mereka yang berani melawan langsung ditangkap, atau tiba-tiba dinyatakan hilang dan bukan tidak mungkin dia dilenyapkan. Seringkali TNI dijadikan mafia. Hal serupa seringkali terdengar. Namun masyarakat luas tahu dan sudah menjadi rahasia umum mengenai tata cara kekuasaan berlebihan ini.

Akhirnya pada tahun 1998, terjadi pemberontakan besar-besaran dari mahasiswa UGM dan diteruskan oleh mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta dan diakhiri dengan peristiwa berdarah yang menewaskan mahasiswa Trisakti untuk mengusut dan berusaha memperbaiki pemerintahan Indonesia yang sudah terlanjur bobrok. Pemerintah sendiri sudah berusaha dan melakukan berbagai cara untuk menutupi dan mencari cara agar dapat lari dari serbuan hujatan ataupun kecaman dan kritik dari masyarakat. Karena kata-kata hujatan terhadap pemerintah yang mencolok dilarang, maka para mahasiswa

menggunakan kata-kata manis yang menyindir para pemerintah. Namun justru cara cerdas ini dapat memicu kebencian masyarakat dan membangun kesadaran masyarakat untuk turut memperbaiki pemerintahan. Hanya saja, tidak sedikit pula masyarakat yang dihantui rasa takut akan kekuasaan Orde Baru yang sudah dikenal sangat kejam (Zon, 2004:57-58).

(32) Tidak disangka-sangka kayu di teluk terbakar. Suatu malam ketika perahu-perahu nelayan sedang istirahat, dan orang-orang muda tiduran di surau mereka mendengar seseorang berteriak, “Api! Api!” Mereka bengun, membawa ember-ember air, menuju tumpukan kayu di teluk. Kayu-kayu itu tidak pernah menjadi perhatian mereka lagi. Juga perahu-perahu yang menjemput kayu itu dari sebuah kapal yang berlabuh di lepas pantai, truk-truk yang mengangkut kayu. “Api!” “Api!” Orang di seluruh perkampungan terbangun, membawa ember-ember untuk memadamkan api.

Lagi ramai- ramainya bekerja, mereka dikejutkan oleh datangnya sebuah truk yang penumpangnya membawa bedil. Melalui sebuah mikrofon mereka mendengar orang berteriak, “Jangan dipadamkan!”

“Biarkan! Biarkan!”

Mereka terus bekerja. Tiba-tiba terdengar tembakan senjata api. “hentikan air itu, Saudara-saudara!” ketika satu-dua orang masih juga mengambil air laut dengan ember, terdengar letusan lagi. “Mundur!” Dengan terbengong-bengong tidak mengerti mereka ha nya bisa menonton kayu bertumpuk-tumpuk terbakar. Jadilah orang-orang desa datang mengelilingi teluk, menonton pertunjukan terbakarnya kayu itu. Ai berkobar-kobar. Truk dengan orang-orang bersenjata itu pergi.

Tak lama kemudian sebuah jip, sebuah truk, dan sebuah tangki dengan kabel besar, datang. Dengan penerangan api yang menjilat-jilat orang- orang-orang desa dengan jelas melihat mereka berseragam. Mereka polisi, tentara, dan pemadam kebakaran. Bersenjata bedil. “Tolong, Bapak-bapak minggir. Api itu akan dipadamkan,” kata seorang lewat mikrofon. Orang-orang tidak bergerak. Corong mikrofon berbunyi lagi,”Tolong, Bapak-bapak.” Orang-orang

menyingkir memberi tempat penyedot dan penyemprot air. Sementara itu tangki mendekati kayu-kayu terbakar. Air disedot, air disemprotkan. Tidak lama kemudian api padam. “Terima kasih, Bapak-bapak,”kata pengeras suara, lalu mereka pergi. Teluk itu jadi gelap, dan orang-orang kembali tidur.

Keesokan harinya Kepala Dusun perkampungan nelayan mengajak nelayan yang tak melaut ke kelurahan untuk mendengarkan keterangan resmi tentang peristiwa tentang terbakarnya kayu.

“Bapak-bapak. Kayu-kayu itu adalah kayu ilegal. Nah, kebakaran itu disengaja oleh sindikat kayu ilegal yang lain. Persaingan usaha.”

“Tanya, pak.” “Ya?”

“Bedil mereka dari mana?” “Itu sedang dalam penyelidikan.” “Kok rambut mereka pendek-pendek?” “Itu juga sedang di selidiki.”

“Ilegal kok sudah berapa bulan dibiarkan?” “Itu sedang dalam penyelidikan.”

“Aparat terlibat?”

“Itu dalam penyelidikan.” “Pemiliknya siapa, Pak?” “Itu dalam penyelidikan.”

“Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai Randu?”

Secara bersama-sama orang menyahut “Itu dalam penyelidikan.” Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh.

“Ini penerangan atau penggelapan?” “Gombal!”

“Pembodohan!”

Juru penerang dan perangkat desa diam-diam menyelinap keluar,meninggalkan kantor.

Ada kejadian yang sama di tempat lain. Kayu-kayu dibakar, rakyat berusaha memadamkan , orang-orang bersenjata pergi, polisi datang dengan mobil pemadam kebakaran. Ketika berita itu sampai ke perkampungan nelayan mereka sudah tak peduli lagi.”Itu bukan urusan kami,”kata mereka. (hlm 177-179)

Kutipan 1 dan 32 menceritakan bahwa ada pihak militer yang turut campur dalam mengurusi masyarakat. Pada masa Orde Baru, masalah

dwifungsi ABRI selalu digembar-gemborkan oleh masyarakat. ABRI sudah tidak lagi menjalankan dominasi di bidang militer saja. Dalam keadaan tertentu, tentara mungkin dominan tetapi dalam keadaan lain, mereka tidak semestinya dominan. Intinya dwifungsi ABRI merujuk pada rasa tanggung jawab anggota ABRI. Mereka bukanlah perwira militer-profesional yang merupakan alat mati dan cuma melaksanakan apa kemauan pemerintah, tetapi sebaliknya mereka merasa bertanggung jawab atas nasib bangsa dan negara. Dengan demikian mereka bersedia melakukan intervensi dalam politik

Dokumen terkait