• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH

2.1 Penyebab Konflik Politik

Penyebab timbulnya konflik adalah kemajemukan struktur masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial. Kemajemukan sosial

dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan ho risontal (Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain, sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab tiap-tiap kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala terdapat benturan kepentingan.

Seperti dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, terdapat partai-partai yang saling berebut kekuasaan. Mereka berebut untuk memenangkan pemilu. Bahkan tidak jarang partai-partai ini melakukan hal-hal untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Dalam kutipan berikut terdapat

Partai Randu dan Partai Langit yang saling menjatuhkan dan menyalahkan dalam suatu kampanye.

(4) Pemogokan itu benar-benar terjadi waktu ada tawur

antara pend ukung Partai Randu dan Partai Langit. Ketua Partai Randu dan pimpinan pusat akan datang. Polisi dikerahkan, menjaga titik-titik rawan dua hari sebelum hari H. Rencana kunjungan itu tersebar luas. Koran-koran daerah dan pusat diramaikan dengan perang pernyataan. Partai Langit menuduh Partai Randu mencuri start, kampanye sebelum waktunya. Partai Randu membantah, katanya itu hanya pertemuan biasa untuk konsolidasi. Partai Langit mengatakan pertemuan biasa itu seharusnya tanpa pidato-pidato di alun-alun kota.

Ceritanya, panggung calon tempat pidato Ketua Partai Randu roboh pagi-pagi, hanya beberapa jam sebelum dipakai. Panitia geger, tidak mungkin lagi membuat pangung. Pimpinan Partai Randu menuduh Partai Langit yang telah berbuat itu. Partai Langit membantah, menyatakan perlunya dibentuk tim pencari fakta independen. Polisi menyatakan ada pihak ketiga sengaja memperkeruh situasi. Kepala Polisi berjanji akan mencari pihak ketiga itu, artinya ekstrim kiri (PKI), ekstrim kanan (DI/TII), dan golput. Rapat di alun-alun dibatalkan, jadi hanya ada rapat tertutup. (hlm 132)

Maurice Duverger (1967) mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1967: 174) penyebab antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab ind ividual dan sebab-sebab kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri pada konsep-konsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup dan hanya yang paling mampu akan memenangkannya.

Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik.

Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik. Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.

Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Oleh karena itu faktor terpenting dalam konflik politik adalah penguasa politik. Dalam banyak kasus, penguasa politik ternyata menjadi penyebab dari berbagai penderitaan warga masyarakat, meskip un di dalam kasus yang jumlahnya lebih sedikit, penguasa politik ada yang berhasil menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya (Rauf, 2001:23).

Konflik politik yang diceritakan dalam novel Wasripin dan Satinah terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural

serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan.

Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik terlihat dalam novel ini.

Dalam novel ini banyak pihak yang bertikai, yakni dari kalangan masyarakat dan pemerintah, di mana dalam tubuh pemerintah itu sendiri terdapat konflik-konflik tersendiri.

Diceritakan tiga partai saling berebut untuk mencari massa dalam artian mencari dukungan dari masyarakat. Di antaranya Partai Randu, Partai Kuda dan Partai Langit. Masing- masing memiliki cara tersendiri untuk menarik dan mengajak masyarakat untuk mendukung. Namun, dari ketiga partai yang bertikai, Partai Kuda jarang sekali muncul. Dari ketiganya Partai Kuda sangat jarang diceritakan oleh pengarang, sehingga timbul kesan bahwa Partai Kuda tidak pernah turut bertikai dalam memperebutkan kekuasaan. Bahkan tidak diceritakan dalam novel ini bagaimana usaha Partai Kuda untuk mendapatkan kekuasaan dan posisi dalam pemerintahan. Dalam novel ini Partai Kuda hanya diceritakan turut bersaing dalam pemilu.

Dari ketiga partai ini, Partai Randulah yang memiliki kekuasaan paling tinggi. Anggota-anggota Partai Randu adalah orang-orang penting yang

pernah ada dalam pemerintahan. Semua orang bahkan TNI tunduk pada perintah pimpinan Partai Randu.

(5) Untuk keperluan Partai Randu, di alun-alun kota

didirikanlah sebuah panggung pertunjukan yang akan diisi rombongan artis-artis keliling dari ibu kota. Dalam rencana Bupati Kepala Daerah, Komandan Tentara, dan Kepala Polisi akan diminta menyumbangkan suara. Soal perizinan, jangan tanya mudahnya. Partai Randu tinggal menelpon Kepala Polisi. Pengamanan Polisi ekstra kuat diperlukan karena Partai Randu memperkirakan yang menonton pasti banyak ekstrem kanan dan golputnya. (hlm 172)

Secara eksplisit disebutkan pengarang bahwa kekuasaan Partai Randu sangat besar. Dia dapat dengan mudah mendapatkan izin dan dukungan dari berbagai pihak-pihak penting yang nanti dapat membantunya untuk mencapai tujuan.

Sebenarnya dari masyarakat nelayan, Partai Randu tidak mendapatkan suara karena mereka menganggap pimpinan dan anggota-anggota partai ini sering melakukan penyelewengan. Oleh karena itu, masyarakat desa nelayan lebih memilih salah seorang dari penduduknya yang dikenal jujur dan baik hati untuk menjadi pimpinan mereka, Wasripin. Wasripin adalah seorang yang polos dan memiliki kemampuan untuk mengobati banyak orang dengan penyakit apapun. Karena keahliannya itulah dia dikenal banyak orang.

(6) Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak

yang panas, ibu batuk tak sembuh-sembuh, laki- laki yang selalu semutan kakinya, orang yang rumahnya angker, laki- laki

yang kakinya membengkak, laki- laki yang tidak thok-cer, suami- istri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa makanan, kalengan, baju, sarung untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya. Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak. Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke Polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong. (hlm 75)

(7) “Namamu pasti Wasripin.”

“Kok tahu?”

“Diam-diam kau terkenal di sini.” (hlm 14)

(8) Wasripin keluar dari TPI. Orang-orang di pasar

berbisik-bisik, “Inilah Wasripin, kata orang dialah pemimpin kita yang baru. “ (hlm 38)

(9) “Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin,” teriaknya setelah jauh. “Pemimpin kami!”

“Eh, aku pemimpin pencuri juga?” pikir Wasripin. (hlm 63)

Seluruh masyarakat nelayan mengakui bahwa Wasripin adalah pemimpin mereka. Orang yang selama ini mereka anut dan mereka percayai dapat memimpin masyarakat. Bahkan seorang pencuri pun tunduk padanya.

(10) Partai Randu dengar, Partai Langit dengar. Mereka masing- masing mengadakan rapat kilat. Wasripin akan sangat menguntungkan bagi kemenangan partai mereka di perkampungan nelayan itu dalam pemilu yang sudah di ambang pintu. Dan mereka tidak mau kehilangan momentum, mumpung masih hangat beritanya. Partai Randu memutuskan untuk memberi jabatan sebagai koordinator pemenangan pemilu, Partai Langit memutuskan untuk mengangkatnya jadi salah satu ketua. Aparat desa juga cepat-cepat mengadakan pertemuan untuk mengangkatnya sebagai Komandan Hansip. (hlm 29-30)

Partai Randu dan Partai Langit bertikai dan berebut untuk menarik pimpinan masyarakat ini untuk menjadi anggotanya. Berbagai cara dan iming-iming diberikan untuk menarik perhatian Wasripin, tapi keluguan dan kepolosan sang pemimpin ini berhasil mematahkan semangat para anggota partai.

(11) Ketua Partai Randu mendekat.

“Wasripin, jangan tolak kesempatan yang bagus ini. Kau akan kami jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat. Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal pilih.”

Wasripin melongo,tidak paham.

“Apa artinya, Pak?” tanyanya pada Pak Modin. “Ya, seperti yang dikatakannya.”

“Semua pada mulanya juga tak ngerti, kata Ketua Partai Randu.

“Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar, ada training. Bagaimana?”

Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti daripada menolak.

Ketua Partai Langit maju.

“Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?”

Lagi- lagi Wasripin bisik-bisik pada Pak Modin menanyakan apa artinya salah satu Ketua Partai Langit.

“Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi.” (hlm 31-32)

Pemerintah yang juga adalah sahabat dekat pimpinan Partai Randu melakukan berbagai cara agar Wasripin gagal menjadi sang pemimpin karena kehadirannya dapat menggagalkan rencana menangnya partai pimpinannya.

Akhirnya ditemukan kesalahan bahwa Wasripin tidak memiliki KTP, dia dianggap sebagai pendatang gelap.

(12) Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang terlipat-lipat dan lusuh: Ijazah SD. Selain itu tidak ada apapun: tidak KTP, tidak SIM. (hlm 11)

Namun Wasripin lebih memilih untuk menjadi seorang satpam TPI (Tempat Pelelangan Ikan).

(13) “Pilih yang mana?” Tanya Pak Modin.

“Saya jadi satpam saja,” katanya. (hlm 36)

Kemudian Wasripin justru memilih Pak Modin, orang selama ini menampungnya di surau, untuk menjadi pemimpin. Mendengar kabar ini, masyarakat desa nelayan pun setuju, karena Pak Modin adalah pilihan Wasripin sang pemimpin mereka. Masyarakat nelayan melakukan berbagai cara agar Pak Modin bisa menjadi salah satu wakil mereka.

(14) Wasripin yang tidak berhak ikut pilkades dijadikan penasehat.

Di rumah, di TPI, di jalan, sedang no nton Satinah menyanyi orang bertanya kepada Wasripin, “Pilih siapa?”

“Pak Modin- lah.”

Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera tersebar di seluruh perkampungan nelayan.

“Pemimpin kita memilih Pak Modin!” “Pemimpin kita memilih Pak Modin!”

Setela h pilkades diselenggarakan ternyata Pak Modin meraup delapan puluh persen suara. Maka seeblum diadakan putaran selanjutnya, pesaing Pak Modin pun mengundurkan

diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi, Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk menjamin pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tidak datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.

Dalam rapat Muspika, Danramil menunj ukkan surat dari Kodim yang ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.

“Pemilihan cermin aspirasi rakyat,” kaya Camat. “Tidak. Intel kita berkata lain,” kata Danramil.

Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades. (hlm 84-85)

Namun sekali lagi kehadirannya pun dipersulit. Hingga pada akhirnya masyarakat pun lebih memilih golput (tidak memilih partai mana pun).

(15) Orang sudah terlanjur mencap para nelayan sebagai golput fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan membubarkan rapat itu. (hlm 83) (16) Partai Randu sudah menargetkan perolehan suara yang

tak mungkin diraih bila surau masih golput. Maka, sebagai pemuka masyarakat dan lulusan Pendekar (pendidikan kader) Partai, dia mengusulkan dalam rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untuk memberi saja sebuah KTP (kartu tanda penduduk) pada Wasripin, tanpa embel-embel ET (Eks Tapol). Syaratnya, dia berjanji tak akan golput. Usulan itu diterima, seperti biasanya dengan aklamasi. (hlm 109)

Usaha Partai Randu tidak berhenti sampai di sini. Berbagai intrik dilakukan agar Partai Randu diterima di hati rakyat meskipun harus menggunakan cara-cara yang anarkhi dan penuh kekerasan (seperti pada kutipan no.1), dan banyak cara lainnya.

(17) “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya ”dimusnahkan”, ”dipenjara”, atau “ditahan”). (hlm 137)

Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh novel Wasripin dan Satinah hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab individual.

Teori Duverger (1982:174) tentang penyebab konflik menunjukkan kepada kita bahwa konflik kelompok dapat pula ditimbulkan oleh bakat-bakat individual, di samping tentu saja merupakan penyebab terjadinya konflik pribadi. Tidaklah mengherankan bila sebab-sebab individual seperti kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti selalu terlibat konflik dengan orang lain di manapun mereka berada. Yang menjadi masalah adalah bila bakat-bakat individual seperti itu menimbulkan konflik kelo mpok karena konflik kelompok menghasilkan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan konflik pribadi. Konflik kelompok merupakan ciri konflik politik. Oleh karena itu sifat-sifat pribadi seseorang dapat saja menimbulkan konflik politik bila orang tersebut adalah pimpinan atau orang yang berpengaruh di dalam kelompoknya. Pimpinan sebuah partai politik umpamanya, yang mempunyai kecenderungan berkonflik dengan orang lain

akan menyebabkan partai politik bersangkutan cenderung terlibat konflik dengan partai politik atau kelompok lain. Pemimpin yang mempunyai bakat yang kuat untuk berkonflik akan menimbulkan persoalan bagi kelompoknya karena pemimpin tersebut akan selalu menyeret kelompoknya ke dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain.

Dokumen terkait