• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK POLITIK PADA MASA ORDE BARU DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONFLIK POLITIK PADA MASA ORDE BARU DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Vianney Raditawati NIM: 034114039

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Sy arat Kematian: Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008)

Kalau saja,

dulu k au tak mengirim tentara

dan t ak meny ulap ujung Sumatera menjadi k uburan massal, pastiny a pemuda Rigaih itu

tengah tersedu tanpa sy arat

Kalau saja,

dulu k au terbangk an ribuan merpati k e Timor Timur, mungk in bocah-bocah di Dili

membacamu lewat buk u pelajaran

dan bertany a pada ibuny a y ang berk utang, "Di mana mak am dia, bu?"

Kalau saja,

k au biark an anak -anak mu meny endok k an nasiny a sendiri dan tak mengambil beras dari bak ul y ang k au bangun, k ami – y ang lapar k ebenaran – mungk in

merangk ai tak ziah dengan tulus

Kalau saja,

Kau memilih untuk mengundang mak an para musuhmu daripada meny odork an merek a pada bahay a dan maut,

k esempitan dan k etidak merdek aan, pemberangusan dan pengk erdilan, pastiny a merek a bak al sesengguk an melihatmu dibaringk an

Kalau saja,

k au tak mati k emarin,

mungk in ak u y ang k e tempatmu

meny arangk an sebilah bambu di lehermu menik mati naf as-naf as terak hirmu

sambil mendek atk an bibirk u di telingamu dan berbisik , "Maaf , ceritamu harus usai…"

280108

k amar adem, petojo

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan denga n sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Maret 2008 Penulis

(6)

vi ABSTRAK

Raditawati, Vianney. 2008. Konflik Politik Pada Masa Orde Baru dalam Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma

Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis; dan 2) mendeskripsikan korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masya rakat Indonesia.

Penelitian ini menganalisis konflik politik pada masa Orde Baru yang terdapat dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan tinjauan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode analisis.

Hasil penelitian berupa analisis sosiologis yang membahas aspek konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah dan mengungkapkan masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik politik dalam novel dengan konflik politik dalam sejarah Indonesia selama pemerintahan Orde Baru.

Konflik politik memiliki konotasi politik yakni mempunyai keterkaitan dengan negara atau pemerintah, para pejabat politik, dan kebijakan. Konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya merupakan konflik yang dominan. Ana lisis sosiologis terhadap novel Wasripin dan Satinah dengan membahas konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik dan tujuan konflik.

Kemajemukan vertikal yang ditandai dengan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Tipe konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah dapat dikategorikan sebagai tipe konflik negatif. Konflik tersebut mengancam eksistensi sistem sosial politik serta struktur masyarakat, apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam novel Wasripin dan Satinah, ada beberapa pihak yang saling bertikai untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pihak-pihak yang bertikai di sini adalah para anggota partai. Ketiga partai memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin menduduki dan memenangkan pemilu. Ketiganya ingin mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan. Karena alasan dan tujuan yang sama, yang satu sama lain saling berbenturan dan menghalangi, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan.

(7)

vii

Partai Randu, Partai Langit, Partai Kuda, Presiden Sadarto, dan Jalan Cempaka. Nama- nama tersebut memiliki arti atau sindiran pada nama yang benar-benar ada

(8)

viii ABSTRACT

Raditawati, Vianney. 2008. Political Conflict in New Order Era in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah: A Literary Sociological Approach. A thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters, Sanata Dharma University.

The objective of the study is 1) to describe the political conflict contained in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah using a sociological analysis; and 2) to describe the correlation between Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah and the reality of Indonesian social history.

This study analyses a political conflict in new order era in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah using a literary sociological approach. The method used in this study is a descriptive method.

The result of the study is a sociological analysis which discusses the aspect of political conflict in the novel. Wasripin dan Satinah and gasps a social reality problem, that is discussing aquality between political conflict in the novel and the history of Indonesian political conflict during New Order government.

Political conflict has a political connotation that it has a relation with a country or a government, political officials, and wisdom. Political conflict in kuntowijoyo’s Wasripin and Satinah is by discussing political conlict including the cause of the conflict, the type of the conflict and the purpose of the conflict.

Vertical diversity which is marked by polarize society structure based on wealth ownership, knowledge, and power the condition which make conflict possible. The type of the political conflict in Wasripin dan Satinah can be categorized as a negative type of conflict. The conflict threats the existence of the social political system and the society structure. Moreover, the conflicting parties use violence to pursue their several parties which are conflicting each other to get their will. The conflicting parties are the party members. Those three parties have a similar goal, that is to monopolize and to win the general election. These of them want to have power in the governmental position. The same reason and purpose, which is bumps and obstructs against each other, makes a long lasting conflict.

(9)
(10)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. S.E. Peni Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing akademik

(11)

x

4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra Indonesia yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu pengetahuan.

5. Segenap keluarga besar Prodi Sastra Indonesia atas persahabatan yang hangat.

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra untuk pela yanan yang ramah.

7. To all my family: mama, grandma yang selalu sabar mengingatkan,

memotivasi dan memberi harapan besar agar segera lulus. Kakakku Mas Ipung dan adik-adikku tercinta, Heru dan Tiyok. Terima kasih atas doa semangat, dukungan dan cinta yang selalu memotivasi penulis.

8. To my lovely kk’ku chayank F. Cahyo Dwi Utomo, terima kasih atas

segala rasa sayang, cinta, dukungan dan doanya. Terima kasih untuk motivasi dan semangat yang selalu diberikan.

9. Seluruh kawan seperjuangan di Sastra Indonesia angkatan 2003, thanks atas persahabatan selama ini dan motivasi untuk terus maju pantang mundur dalam menyelesaikan skripsi.

(12)

xi

11.My honey bee Cucur, my marie bee Bexti, my sweety bee R-leeta terima kasih atas dukungan dan persahabatan selama 12 tahun. Kalian kan tetap menjadi sahabatku sepanjang masa.

12.Adel dan Nhe2cute terima kasih dengan selalu mengatakan meski orang yang kita sayangi dan kita harap selalu ada di samping kita saat kita butuh tapi mereka tidak pernah bisa, tetep maju terusss!! Terima kasih buat semangat dan pertanyaan-pertanyaan seputar skripsiku.

13.Teman-teman serta boz di Pikanet Group. Terima kasih karena memberiku kesempatan menemukan pertemanan, keceriaan, persahabatan dan cintaku. Terima kasih atas pengalaman berharga yang diberikan.

14.Teman-teman mudika St. Agustina tengkyu banget atas pertemanannya. 15.Bu Cicil dan Rina, serta segenap peserta dan team Bukit Doa Yerusalem

Baru. Terima kasih atas pemulihan jiwaku dan pengajaran atas cinta kepada sesama serta pembaharuan hidup. Terima kasih karena mengajarkanku lebih mencintai Allahku.

16.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih yang mendalam.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Manfaat Penelitian... 5

1.5 Landasan Teori... 7

1.5.1 Pendekatan Sosiologi Sastra... 7

1.5.2 Konflik Politik... 11

1.5.3 Orde Baru... 16

1.5.3.1 Eksploitasi Sumber Daya ... 19

(14)

xiii

1.5.3.3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru... 20

1.6 Metode Penelitian... 22

1.7 Sumber Data ... 24

1.8 Sistematika Penyajian ... 25

BAB II KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO ... 25

2.1 Penyebab Konflik Politik ... 28

2.2 Tipe Konflik Politik ... 39

2.3 Tujuan Konflik Politik ... 42

BAB III KORELASI KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO DENGAN KENYATAAN DALAM SEJARAH MASYARAKAT PADA PEMERINTAHAN MASA ORDE BARU... 44

3.1 Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dan Realitas Pemerintahan Masa Orde Baru ... 45

3.2 Aspek Simbolis dalam Novel Wasripin dan Satinah... 62

BAB IV KESIMPULAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(15)

1 1.1 Latar Belakang

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, sastra ‘menyajikan kehidupan’ dan ‘kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial’, walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia subjektif manusia. Pada intinya sastra adalah cerminan masyarakat (Jabrohim, 2001:87). Karya sastra merupakan salah satu media refleksi atau cerminan atas realitas kehidupan manusia yang dapat mewakili persoalan dan keadaan umum masyarakat.

(16)

(Wellek, 1989:18). Sedangkan fungs i sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat keberadaan karya sastra

selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dalam penulisan karya sastra selalu ada konvensi-konvensi yang mengikat, padahal dari sisi si pengarang sendiri ingin menciptakan suatu karya yang lain dari yang lain. Dia ingin menambahkan sesuatu yang baru sesuai dengan kreativitasnya. Ketiga unsur itu, yaitu sifat khas sastra yang menyangkut fiksionalitas, ciptaan, dan imajinatif, yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks di dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.

(17)

Kuntowijoyo, sang penulis novel ini sangat mencintai dan bahkan berpihak kepada orang-orang tertindas yang selama ini selalu jadi korban pembangunan. Kuntowijoyo lebih tampil sebagai pemikir, budayawan, dan sastrawan daripada aktivis. Kritiknya sangat tajam, empiris, dan substansial, tetapi jujur. Begitu pula yang ditampilkan dalam karyanya Wasripin dan Satinah yang sangat sarat akan penggambaran ketidakadilan pada

pemerintahan masa Orde Baru.

Hal lain yang menarik pada novel Wasripin dan Satinah bila dibandingkan dengan novel yang menyinggung atau bercerita tentang peristiwa sejarah lainnya adalah gaya penceritaannya yang tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar pemerintahan Orde Baru. Demikian juga novel Wasripin dan Satinah tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Namun, sesungguhnya konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah merupakan pencerminan dari konflik politik yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar pemerintahan Orde Baru, yaitu pada pemerintahan sekitar tahun 1968-1998. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel

Wasripin dan Satinah. Penulis ingin membuktikan bahwa konflik politik

(18)

Penulis menganalisis novel ini dengan tinjauan sosiologi sastra. Menurut pendekatan sosiologi sastra, sebuah karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Objek karya sastra adalah sebuah realitas kehidupan. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah yang pernah benar-benar terjadi dalam dunia realitas atau dunia nyata, maka suatu karya sastra tersebut mencoba untuk menerjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner yaitu bahasa yang sarat akan penggambaran imajinasi pengarang dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan yang dimiliki pengarang. Selain itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Suatu karya sastra juga dapat merupakan penciptaan kembali suatu peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

1.2 Rumusan Masalah

(19)

1.2.1 Bagaimana konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis?

1.2.2 Bagaimana korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitan ini sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis.

1.3.2 Mendeskripsikan korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.

1.4 Manfaat Penelitian

Pertama, melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan dalam novel Indonesia modern dalam hal ini novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

(20)

sehingga dapat diperoleh keanekaragaman pemahaman dan penafsiran dengan masing- masing argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ketiga, menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan membantu pembaca untuk memahami novel Kuntowijoyo. Diharapkan penelitian ini membantu pembaca dalam memahami maksud yang terkandung dalam Wasripin dan Satinah dan dapat membantu pemahaman sastra mengenai konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca, mengingat novel ini termasuk novel sejarah, yaitu novel yang berisi tentang cerita sejarah. Oleh karena itu, dengan membaca hasil penelitian ini akan menambah wawasan kesejarahan Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan kritik sastra dan ilmu sastra.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Pendekatan Sosiologi Sastra

(21)

cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta. Namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren (Semi, 1989:53) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain- lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

(22)

Telaah suatu karya sastra menur ut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor- faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungs i sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

Umar Junus (1986:3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.

2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.

3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya.

4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.

(23)

6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan mengumpulkan bahan-bahan itu sesuai dengan pedoman dan asas yang dipilihnya. Karya sastra tidak dilihat sebagai suatu keseluruhan secara utuh, tapi hanya dipilah mana bagian yang dituju untuk ditelaah. Pendekatan ini hanya tertarik pada unsur- unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur- unsur yang lepas. Ia hanya mendasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

(24)

dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sebuah karya sastra lahir dari masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala, yaitu sastra dan masyarakat. (Ratna, 2003). Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari- hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur- unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Wasripin dan Satinah, penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya tersebut, yakni konflik politik.

(25)

menampilkan fakta- fakta sosial dalam masyarakat (Saraswati, 2003:11-12). Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai infrastruktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain sebagainya.

1.5.2 Konflik Politik

Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi dalam hubungan proses produksi. Misalnya saja terjadi pemogokan buruh dalam sebuah pabrik karena mereka memiliki tuntutan kenaikan upah atau perbaikan kondisi kerja. Konflik bisa juga terjadi dengan pertikaian antarkelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber daya yang sama. Konflik tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang mejemuk. Dalam kehidupan politik masyarakat sering dihadapkan pada konflik dalam rangka untuk mendapatkan atau memperjuangkan sumber daya langka yang tidak jarang disertai dengan kekerasan. Baik itu perebutan kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan.

(26)

wewenang, sehingga konflik merupakan gejala yang senantiasa terjadi dala m masyarakat. Demikian pula dengan sumber daya yang langka di antara kelompok-kelompok masyarakat yang tidak selalu seimbang, sehingga konflik merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadinya konflik tidak dapat dielakkan. Konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Manusia sering dipandang sebagai struktur sosial yang memiliki berbagai tujuan dan kepentingan. Manusia dikuasai oleh motif- motif untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dari berbagai kepentingan itu, antara yang satu dengan yang lain seringkali berbenturan, sehingga untuk mencapai tujuannya masing- masing, konflik biasa terjadi. Konflik sering digambarkan sebagai pencerminan pertentangan kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.

(27)

masyarakat, agar segala kepentingan dapat terpenuhi dengan memperkecil risiko dari besarnya konflik yang mungkin terjadi.

Konflik politik memiliki konotasi politik yakni mempunyai keterkaitan dengan negara atau pemerintah, para pejabat politik atau pemerintah, dan kebijakan. Konflik politik selalu merupakan konflik kelompok. Yang dimaksud konflik kelompok adalah konflik yang terjadi antara dua kelompok atau lebih (Rauf, 2001:19).

(28)

pembangunan politik, perbandingan politik, dan sebagainya yang menyangkut kehidupan pemerintahan.

Politik tidak selamanya negatif dan karena itu diperlukan pendidikan politik untuk memahami perilaku politik pemerintah, partai, swasta, organisasi masyarakat dan sebagainya dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak atau kepentingan kelompok. Negatif atau positifnya politik dapat dilihat dari perilaku institusi dan perorangan dalam berpolitik. Juga dapat dilihat sejauh- mana kebijakan dan keputusan politik menghasilkan dampak positif atau negatif pada publik, pasar dan lingkungan sosial ekonomi dan fisik (Djogo, 2007).

(29)

Konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah (Surbakti, 1992: 151). Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik. Namun sesungguhnya, konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat. Menurut Dahrendorf (Surbakti, 1992: 150) konflik berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk menghilangkan unsur-unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal ini konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan, yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat hubungan (Surbakti 1992: 150).

(30)

ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Kekuasaan mempunyai aspek integrasi dalam arti bahwa kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan; sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteran umum melawan tindakan berbagai kelompok kepentingan.

1.5.3 Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Menurut versi Orde Baru, Orde Lama adalah pemerintahan kacau yang koruptif dan tidak mampu menyelenggarakan negara. Demi memperbaiki situasi yang kacau ini, kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dan menamakan dirinya sebagai “Orde Baru”. Dalam penggunaan istilah yang sifatnya sepihak ini istilah “baru” dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik dan memberi harapan, sedang ungkapan “lama” dikaitkan dengan sifat-sifat negatif semisal kecenderungan manipulatif dan tidak kompeten dalam melaksanakan pemerintahan (Adam, 2006:29).

(31)

dilakukan orde sebelumnya dengan melaksanakan pembangunan ekonomi dan menciptakan sistem politik yang stabil. Kegagalan-kegagalan ini tercermin pada kemerosotan perekonomian yang begitu parah pada tahun 1960-an, dan munculnya berbagai pemberontakan lokal yang mencapai puncaknya pada peristiwa G-30-S/PKI (Pabottingi, 1996:182).

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar (Adam, 2006:29).

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol) bagi mereka para mantan tahanan politik Orde Baru. Belakangan ini baru disadari bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM. Pembubuhan tanda ET dapat mematikan kehidupan sosialnya dalam berpolitik maupun dalam masyarakat (ibid).

(32)

keluarga Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat (Adam, 2006:81-82).

Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Dengan kekuasaannya yang besar, dia mampu melakukan apa pun. Perintah Soeharto bagaikan perintah dewa yang harus dituruti (jika ingin selamat) (ibid).

1.5.3.1 Eksploitasi Sumber Daya

Selama masa pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukannya dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar meski tidak merata di Indonesia. Contohnya, dengan pertumbuhan ekonomi yang besar ini ditandai dengan jumlah orang yang kelaparan banyak berkurang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Segala sumber daya alam yang ada di Indonesia benar-benar dimanfaatkan bahkan terkesan dikeruk habis- habisan yang dipromotori serta dikuasai oleh keluarga Cendana keuntungannya.

1.5.3.2 Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru

1. Sukses meningkatkan angka pendapatan masyarakat.

(33)

1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.

2. Sukses transmigrasi.

3. Sukses proram KB (Keluarga Berencana). 4. Sukses memerangi buta huruf.

5. Sukses swasembada pangan.

6. Sukses meminimalisir jumlah pengangguran.

7. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 8. Sukses Gerakan Wajib Belajar Sembilan Tahun.

9. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh. 10. Sukses dalam menjaga keamanan dalam negeri. 11. Sukses dalam menarik investor asing.

12. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.

1.5.3.3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru 1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme. 2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata.

3. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin).

4. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.

(34)

Dari data-data di atas yang didapat dari, http://id.wikipedia.org/wiki/ Sejarah_Indonesia_%28Era_Orde_Baru%29 tak bisa disangkal rezim ini memang mencatat prestasi-prestasi besar. Dengan adanya stabilitas politik, telah terjadi loncatan jauh di bidang ekonomi. Akan tetapi di lain pihak rezim ini telah meninggalkan keterpurukan yang harus ditanggung oleh generasi selanjutnya.

(35)

bagi masyarakat, terlebih pada kalangan orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Korupsi sering terjadi di pihak pejabat. Bersama maraknya korupsi, dunia industri mulai dirambah oleh Keluarga Soeharto dan rekan-rekannya. Keluarga Soeharto juga mendirikan industri dan pabrik-pabrik atas nama keluarga Soeharto yang ditangani bersama orang-orang terdekatnya yang pada akhirnya usahanya sukses baik di dalam maupun luar negeri.

Sudah dirasakan kemajuan ekonomi yang dicapai pembangunan sampai sekarang. Penghasilan penduduk rata-rata secara nasional 800 dolar setahun. Industri semakin menjadi andalan nasional. Sarana dan prasarana sosial ekonomi telah semakin mampu memenuhi kebutuhan rakyat pada umumnya. Sekalipun begitu, hasil tersebut disertai dengan berbagai kelemahan. Kesenjangan kemajuan antardaerah dan kemiskinan di kalangan masyarakat belum tertangani secara tepat. Indonesia menjadi negara penghutang ketiga terbesar di dunia. Kolusi dan korupsi yang merugikan rakyat belum terkontrol secara sistematik. Penyalahgunaan kekuasaan di semua peringkat struktur masyarakat masih menghimpit hak-hak dasar rakyat, terutama yang lebih lemah. Demokrasi dipertentangkan dengan kemakmuran, sekalipun keduanya merupakan tujuan kemerdekaan (Pabottingi, 1996:51).

1.6 Metode Penelitian

(36)

yang merupakan realitas sosial. Pendekatan sosiologi sastra ini merupakan pendekatan yang tidak mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Pendekatan tersebut berdasarkan anggapan bahwa sastra adalah cermin kehidupan masyarakat dan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978:2).

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Pertama-tama dipilih salah satu unsur dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo yakni aspek konflik politik.

Selanjutnya konflik politik dalam novel tersebut dideskripsikan dengan dibantu oleh teori- teori tentang konflik serta dihubungkan dengan peristiwa pada masa Orde Baru. Analisis ini dilengkapi dengan data-data sejarah yang diperoleh dari kepustakaan.

(37)

kehidupan nyata, yaitu yang benar-benar terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia.

1.7 Sumber Data

Novel : Wasripin dan Satinah Pengarang : Kuntowioyo

Tahun terbit : 2003

Tebal buku : iv + 256 hlm; 14 cm x 21 cm

Cetakan : Pertama

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

1.8 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berupa analisis sosiologis yang membahas aspek konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

Bab III mengungkapkan masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan konflik politik dalam sejarah Indonesia.

(38)

24

Dalam penelitian ini, penulis mengambil unsur yang dominan dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, yakni konflik politik.

Apabila suatu pertentangan diselesaikan dengan keterlibatan pemerintah dan lembaga politik, maka konflik tersebut berkembang menjadi konflik politik, demikian pula dengan pemogokan buruh akibat perselisihan dengan pengusaha. Pada umumnya pemogokan tersebut beraspek sosial dan ekonomi. Akan tetapi, bisa berubah menjadi konflik politik apabila pemogokan tersebut berkembang menjadi besar dan memiliki tuntutan politis, serta melibatkan lembaga- lembaga politik dan pemerintah. Gerakan-gerakan sosial yang tampak tidak mempunyai tendens i politik terkadang memiliki tujuan politik untuk masa jangka panjang. Demikian pula dengan gerakan-gerakan intelektual seperti pendirian organisasi-organisasi intelektual yang melibatkan tokoh-tokoh yang punya sumber kekuasaan potensial bisa dijadikan sarana politik dan ada kemungkinan bisa menimbulkan konflik politik.

(39)

dengan mengambil konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik dan tujuan konflik. Novel Wasripin dan Satinah mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara. Negara ini senantiasa mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta fragmentasi dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh pengarangnya:

(1) “Saudara-saudara, saya baru saja terima surat ancaman. TPI akan dibakar kalau kita mencampuri urusan mereka. Karenanya, jangan diulang lagi, Wasripin. Mereka punya backing.”

Ancaman itu tidak sekedar menakut- nakuti. Malam hari yang lain serombongan laki- laki datang di TPI dengan sebuah truk. Mereka menggedor pintu dan mengobrak-abrik lemari, meja-kursi, bangku-bangku. Satpam yang tertidur tidak mendengar suara-suara itu. Kemudian mereka mengecer-ecer bensin di lantai. Lalu menyulutnya dengan korek api. TPI terbakar. Mereka pergi. Satpam yang bertugas bangun dari tidur di emperan surau. Berteriak-teriak, “Api! Api! Tolong! Tolong!”

Ketika siang itu Kepala TPI datang, dia hanya dapat mengumpat dala hati. Untung ketua Partai Randu segera datang, menepuk- nepuk pundak, menentramkan hatinya.

“Jangan khawatir, ini pasti sebuah kesalahan. Akan kumintakan ganti,” kata Ketua Partai Randu.

“Siapa yang mengganti?”

“ Kau tahu beresnya saja, mereka pasti tak tahu bahwa TPI itu persembahan Randu untuk nelayan.”

(40)

(2) “Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai Randu?”

Secara bersama-sama orang menyahut, “Itu dalam penyelidikan.” Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh.

“Gombal!”

“Pembodohan!” (Kuntowijoyo, 2003:179)

Dalam penggalan kutipan di atas (kutipan 1 dan 2), sekelompok gerombolan telah merusak dan membakar TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Lalu tidak seberapa lama, pemimpin Partai Randu datang dan mengembalikan bahkan memperbaiki dengan jauh lebih baik dibandingkan keadaan TPI sebelumnya. Hal itu tidak mengherankan karena pemimpin Partai Randu adalah orang penting dan mempunyai kekuasaan yang berarti dalam negara. Kuat dugaan bahwa sebenarnya pihak Partai Randulah yang merencanakan perusakan kemudian berpura-pura menjadi pahlawan bagi masyarakat nelayan. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati masyarakat agar mau memberikan suaranya untuk Partai Randu agar Partai Randu menang dalam pemilu.

(3) Seleksi ideologis, pengetahuan administratif, dan

pengetahuan lingkungan sosio-kultural desa. Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelum hari H untuk menghindari kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics). Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu tenang. Namun beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan akan lulus seleksi.

Mereka membentuk kader, kampanye door-to-door,

(41)

banyak calon yang kecewa. (Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele).

Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malu- malu: tak ada pidato-pidatoan (“Pilih aku!”), rapat-rapat umum (“Pembangunan desa jadi prioritas!”), dan janji-janji terbuka (“Listrik masuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (pedagang kaki lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang- malam. (Kuntowijoyo, 2003:82-83)

Ada banyak kecurangan. Ada berbagai intrik dalam pelaksanaan politik dalam pemerintahan. Segala cara dilakukan demi terlaksananya semua keinginan suatu kelompok politik. Dari iming- iming untuk menarik tokoh masyarakat, money politics hingga pencurian start untuk kampanye. Berbagai intrik dan cara pemerintahan dari pemerintah dan beberapa pihak yang ingin menduduki posisi dalam pemerintahan telah menimbulkan konflik dalam masyarakat maupun dalam badan pemerintahan itu sendiri. Konflik yang didasari dengan keinginan yang berkaitan dengan pemerintahan inilah yang disebut konflik politik karena dalam konflik ini terdapat keterlibatan pemerintah dan lembaga politik.

2.1 Penyebab Konflik Politik

(42)

dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan ho risontal (Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain, sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab tiap-tiap kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala terdapat benturan kepentingan.

(43)

Partai Randu dan Partai Langit yang saling menjatuhkan dan menyalahkan dalam suatu kampanye.

(4) Pemogokan itu benar-benar terjadi waktu ada tawur

antara pend ukung Partai Randu dan Partai Langit. Ketua Partai Randu dan pimpinan pusat akan datang. Polisi dikerahkan, menjaga titik-titik rawan dua hari sebelum hari H. Rencana kunjungan itu tersebar luas. Koran-koran daerah dan pusat diramaikan dengan perang pernyataan. Partai Langit menuduh Partai Randu mencuri start, kampanye sebelum waktunya. Partai Randu membantah, katanya itu hanya pertemuan biasa untuk konsolidasi. Partai Langit mengatakan pertemuan biasa itu seharusnya tanpa pidato-pidato di alun-alun kota.

Ceritanya, panggung calon tempat pidato Ketua Partai Randu roboh pagi-pagi, hanya beberapa jam sebelum dipakai. Panitia geger, tidak mungkin lagi membuat pangung. Pimpinan Partai Randu menuduh Partai Langit yang telah berbuat itu. Partai Langit membantah, menyatakan perlunya dibentuk tim pencari fakta independen. Polisi menyatakan ada pihak ketiga sengaja memperkeruh situasi. Kepala Polisi berjanji akan mencari pihak ketiga itu, artinya ekstrim kiri (PKI), ekstrim kanan (DI/TII), dan golput. Rapat di alun-alun dibatalkan, jadi hanya ada rapat tertutup. (hlm 132)

(44)

Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik.

Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik. Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.

Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Oleh karena itu faktor terpenting dalam konflik politik adalah penguasa politik. Dalam banyak kasus, penguasa politik ternyata menjadi penyebab dari berbagai penderitaan warga masyarakat, meskip un di dalam kasus yang jumlahnya lebih sedikit, penguasa politik ada yang berhasil menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya (Rauf, 2001:23).

(45)

serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan.

Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik terlihat dalam novel ini.

Dalam novel ini banyak pihak yang bertikai, yakni dari kalangan masyarakat dan pemerintah, di mana dalam tubuh pemerintah itu sendiri terdapat konflik-konflik tersendiri.

Diceritakan tiga partai saling berebut untuk mencari massa dalam artian mencari dukungan dari masyarakat. Di antaranya Partai Randu, Partai Kuda dan Partai Langit. Masing- masing memiliki cara tersendiri untuk menarik dan mengajak masyarakat untuk mendukung. Namun, dari ketiga partai yang bertikai, Partai Kuda jarang sekali muncul. Dari ketiganya Partai Kuda sangat jarang diceritakan oleh pengarang, sehingga timbul kesan bahwa Partai Kuda tidak pernah turut bertikai dalam memperebutkan kekuasaan. Bahkan tidak diceritakan dalam novel ini bagaimana usaha Partai Kuda untuk mendapatkan kekuasaan dan posisi dalam pemerintahan. Dalam novel ini Partai Kuda hanya diceritakan turut bersaing dalam pemilu.

(46)

pernah ada dalam pemerintahan. Semua orang bahkan TNI tunduk pada perintah pimpinan Partai Randu.

(5) Untuk keperluan Partai Randu, di alun-alun kota

didirikanlah sebuah panggung pertunjukan yang akan diisi rombongan artis-artis keliling dari ibu kota. Dalam rencana Bupati Kepala Daerah, Komandan Tentara, dan Kepala Polisi akan diminta menyumbangkan suara. Soal perizinan, jangan tanya mudahnya. Partai Randu tinggal menelpon Kepala Polisi. Pengamanan Polisi ekstra kuat diperlukan karena Partai Randu memperkirakan yang menonton pasti banyak ekstrem kanan dan golputnya. (hlm 172)

Secara eksplisit disebutkan pengarang bahwa kekuasaan Partai Randu sangat besar. Dia dapat dengan mudah mendapatkan izin dan dukungan dari berbagai pihak-pihak penting yang nanti dapat membantunya untuk mencapai tujuan.

Sebenarnya dari masyarakat nelayan, Partai Randu tidak mendapatkan suara karena mereka menganggap pimpinan dan anggota-anggota partai ini sering melakukan penyelewengan. Oleh karena itu, masyarakat desa nelayan lebih memilih salah seorang dari penduduknya yang dikenal jujur dan baik hati untuk menjadi pimpinan mereka, Wasripin. Wasripin adalah seorang yang polos dan memiliki kemampuan untuk mengobati banyak orang dengan penyakit apapun. Karena keahliannya itulah dia dikenal banyak orang.

(6) Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak

(47)

yang kakinya membengkak, laki- laki yang tidak thok-cer, suami- istri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa makanan, kalengan, baju, sarung untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya. Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak. Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke Polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong. (hlm 75)

(7) “Namamu pasti Wasripin.”

“Kok tahu?”

“Diam-diam kau terkenal di sini.” (hlm 14)

(8) Wasripin keluar dari TPI. Orang-orang di pasar

berbisik-bisik, “Inilah Wasripin, kata orang dialah pemimpin kita yang baru. “ (hlm 38)

(9) “Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin,” teriaknya setelah jauh. “Pemimpin kami!”

“Eh, aku pemimpin pencuri juga?” pikir Wasripin. (hlm 63)

Seluruh masyarakat nelayan mengakui bahwa Wasripin adalah pemimpin mereka. Orang yang selama ini mereka anut dan mereka percayai dapat memimpin masyarakat. Bahkan seorang pencuri pun tunduk padanya.

(48)

Partai Randu dan Partai Langit bertikai dan berebut untuk menarik pimpinan masyarakat ini untuk menjadi anggotanya. Berbagai cara dan iming-iming diberikan untuk menarik perhatian Wasripin, tapi keluguan dan kepolosan sang pemimpin ini berhasil mematahkan semangat para anggota partai.

(11) Ketua Partai Randu mendekat.

“Wasripin, jangan tolak kesempatan yang bagus ini. Kau akan kami jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat. Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal pilih.”

Wasripin melongo,tidak paham.

“Apa artinya, Pak?” tanyanya pada Pak Modin. “Ya, seperti yang dikatakannya.”

“Semua pada mulanya juga tak ngerti, kata Ketua Partai Randu.

“Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar, ada training. Bagaimana?”

Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti daripada menolak.

Ketua Partai Langit maju.

“Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?”

Lagi- lagi Wasripin bisik-bisik pada Pak Modin menanyakan apa artinya salah satu Ketua Partai Langit.

“Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi.” (hlm 31-32)

(49)

Akhirnya ditemukan kesalahan bahwa Wasripin tidak memiliki KTP, dia dianggap sebagai pendatang gelap.

(12) Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang terlipat-lipat dan lusuh: Ijazah SD. Selain itu tidak ada apapun: tidak KTP, tidak SIM. (hlm 11)

Namun Wasripin lebih memilih untuk menjadi seorang satpam TPI (Tempat Pelelangan Ikan).

(13) “Pilih yang mana?” Tanya Pak Modin.

“Saya jadi satpam saja,” katanya. (hlm 36)

Kemudian Wasripin justru memilih Pak Modin, orang selama ini menampungnya di surau, untuk menjadi pemimpin. Mendengar kabar ini, masyarakat desa nelayan pun setuju, karena Pak Modin adalah pilihan Wasripin sang pemimpin mereka. Masyarakat nelayan melakukan berbagai cara agar Pak Modin bisa menjadi salah satu wakil mereka.

(14) Wasripin yang tidak berhak ikut pilkades dijadikan penasehat.

Di rumah, di TPI, di jalan, sedang no nton Satinah menyanyi orang bertanya kepada Wasripin, “Pilih siapa?”

“Pak Modin- lah.”

Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera tersebar di seluruh perkampungan nelayan.

“Pemimpin kita memilih Pak Modin!” “Pemimpin kita memilih Pak Modin!”

(50)

diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi, Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk menjamin pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tidak datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.

Dalam rapat Muspika, Danramil menunj ukkan surat dari Kodim yang ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.

“Pemilihan cermin aspirasi rakyat,” kaya Camat. “Tidak. Intel kita berkata lain,” kata Danramil.

Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades. (hlm 84-85)

Namun sekali lagi kehadirannya pun dipersulit. Hingga pada akhirnya masyarakat pun lebih memilih golput (tidak memilih partai mana pun).

(15) Orang sudah terlanjur mencap para nelayan sebagai golput fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan membubarkan rapat itu. (hlm 83) (16) Partai Randu sudah menargetkan perolehan suara yang

tak mungkin diraih bila surau masih golput. Maka, sebagai pemuka masyarakat dan lulusan Pendekar (pendidikan kader) Partai, dia mengusulkan dalam rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untuk memberi saja sebuah KTP (kartu tanda penduduk) pada Wasripin, tanpa embel-embel ET (Eks Tapol). Syaratnya, dia berjanji tak akan golput. Usulan itu diterima, seperti biasanya dengan aklamasi. (hlm 109)

(51)

(17) “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya ”dimusnahkan”, ”dipenjara”, atau “ditahan”). (hlm 137)

Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh novel Wasripin dan Satinah hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab

individual.

(52)

akan menyebabkan partai politik bersangkutan cenderung terlibat konflik dengan partai politik atau kelompok lain. Pemimpin yang mempunyai bakat yang kuat untuk berkonflik akan menimbulkan persoalan bagi kelompoknya karena pemimpin tersebut akan selalu menyeret kelompoknya ke dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain.

2.2 Tipe Konflik Politik

(53)

mengancam eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya dan mempertahankan sistem lama. Tipe konflik negatif juga mempunyai karakteristik dipergunakan cara-cara kekerasan oleh pihak yang bertikai seperti kudeta, separitisme, revolusi dan terorisme.

Pihak-pihak yang bertikai menggunakan cara-cara kekerasan. Baik anggota partai maupun anggota masyarakat nelayan mempergunakan cara-cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Partai Randu maupun lembaga- lembaga pemerintah menekankan aspek paksaan fisik maupun mental terhadap masyarakat nelayan yang kurang bersimpati terhadapnya. Partai Randu yang memiliki kekuasaan dalam pemerintah dan ditakuti banyak orang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan baik secara halus maupun kekerasan.

(54)

(18) LKMD-LKMD mengadakan rapat intern dan kemudian rapat gabungan. Mereka bikin resolusi supaya pihak keamanan, Polri bertanggung jawab. Resolusi itu dibawa para Kades dan Sekdes ke atas dan diteruskan sampai atas betul. Kodim sebagai tentara hanya bisa menawarkan satu pemecahan yang cespleng, yaitu menembak mereka ala petrus (penembakan misterius) yang terbukti sangat efektif di tempat lain. Memenjarakan dan memproses berdasar hukum, akan mahal biayanya, penjara tidak memuat mereka yang bejat moralnya, dan terlalu bertele-tele. Solusi itu diterima dengan perasaan senang. (hlm 120)

Diduga pembunuhan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang ingin merusak persatuan dan kedamaian negara.

(19) Ada gerakan baru di desa-desa sepanjang pantai. Mereka menyebut diri GPL, Gerakan Pemuda Liar. (hlm 119)

(55)

2.3 Tujuan Konflik Politik

Secara umum tujuan konflik dapat dirumuskan sebagai mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Menurut Surbakti (1992: 163) tujuan konflik dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama,

yakni sama-sama berupaya mendapatkan;

2. Di satu pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak lain berusaha keras mempertahankan apa yang dimiliki.

Dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, ada beberapa pihak yang saling bertikai untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pihak-pihak yang bertikai di sini adalah para anggota partai Partai Randu, Partai Langit dan Partai Kuda serta masyarakat.

(56)
(57)

43

KENYATAAN DALAM SEJARAH MASYARAKAT PADA PEMERINTAHAN MASA ORDE BARU

(58)

Pencerminan antara novel Wasripin dan Satinah dengan kenyataan sejarah masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru ditekankan pada konflik politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Pencerminan ini bukan berarti sama persis, akan tetapi hanya pada beberapa bagian dari sejarah tersebut mempunyai kesamaan dengan konflik politik yang tercermin dalam novel Wasripin dan Satinah. Pencerminan tersebut menyangkut periode sejarah, dan kondisi politik yang mengakibatkan timbulnya konflik, kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik, serta konflik dan perubahan sosial-politik.

3.1 Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dan Realitas Pemerintahan Masa Orde Baru

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa novel Wasripin dan Satinah memiliki unsur pencerminan dari pemerintahan masa Orde Baru,

maka di sini akan disebutkan dan dijelaskan di mana letak pencerminan tersebut dengan mengungkapkan letak pencerminan dengan mengemukakan bukti-bukti dan fakta yang menyangkut pencerminan dari novel karya Kuntowijoyo ini yang diambil dari kepustakaan.

(59)

akan terjadi. Karena kehebatannya itulah dia disukai banyak orang. Melihat dan mendengar tentang kelebihan Wasripin, tentu banyak partai tidak mau melewatkan kesempatan ini. Mereka berlomba- lomba menarik Wasripin untuk menjadi anggotanya. Jika Wasripin mau masuk ke dalam anggota salah satu partai, tentu para pengikut dan penggemar Wasripin akan turut masuk ke dalam partai itu juga. Partai yang paling banyak memiliki pengikut tentu saja dialah yang akan memenangkan pemilu.

Hal yang serupa juga sering terjadi dalam pemilu. Hal ini dianggap sudah biasa. Pada masa pemilu biasanya partai-partai berusaha mencari simpati rakyat dengan menarik orang-orang yang sekiranya berpengaruh di hati rakyat. Baik dari kalangan anggota TNI, artis, budayawan maupun orang-orang awam yang memiliki kelebihan dan memiliki tempat di hati rakyat.

(20) Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi

(60)

janji-janji terbuka (“Listrik msuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang-malam. (hlm 29)

(21) Partai Randu ulang tahun. Partai-partai lain, Partai Kuda dan Partai Langit, meramalkan bahwa kesempatan itu akan digunakan untuk mencuri start alias kampanye terselubung. Mereka gembar-gembor lewat media massa. Koran-koran juga bilang begitu. Tapi, menteri Penerangan dalam sebuah wawancara di TVRI menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas siapa saja yang mencuri start. Mekanismenya adalah soal perizinan. Semua pihak yang akan mengumpulkan lebih dari lima puluh orang di tempat umum wajib minta izin dengan menunjukkan jadwal acara. Atau, kalau itu berupa pertunjukan (teater, ketoprak, nyanyi, film) harus menunjukkan naskah, alur cerita, izin sensor, atau teksnya. Pendek kata, pemerintah tidak mau kecolongan siapa pun. (hlm171)

(22) Namun, seperti kata pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga”. Satgas Partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran pertunjukan menemukan selebaran-selebaran yang mendeskreditkan partai. Misalnya, “Partai Randu Sarang Korupsi”, “Partai Randu Melindungi Maling Kakap”, “Maling Teriak Maling”, dan “Partai Randu Anti Pembangunan”. Ketika Ketua Partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tapi dasar sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir tersenyum (hlm172)

(61)

barang hiasan yang buruk (Said, 2000). Masyarakat hanya dijadikan saksi terus menerus terhadap kemenangan Golkar dari pemilu ke pemilu.

Perjalanan Pemilu 1997 sendiri diwarnai berbagai konflik dan kerusuhan antarpendukung partai politik di beberapa daerah. Pada 22-24 maret 1997 misalnya, di Kota Pekalongan terjadi kerusuhan akibat amukan masyarakat dan simpatisan PPP yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparat, ketimbang Golkar (Ecip, 1998:23). Selama pelaksanaan kampanye 1997, kekerasan politik dan politik kekerasan tetap berlangsung. Hingga 13 Mei 1997 atau 16 hari sejak kampanye dimulai pada tanggal 27 April 1997, korban tewas mencapai 49 orang dengan ratusan orang luka (Zon, 2004:16).

(23) Partai Randu minoritas, tapi kuat karena didukung oleh aparat, pegawai negeri, dan sebagian juragan. (hlm 155)

(62)

(24) “O, ya. Kami sedang sibuk. Ada penduduk mau bedhol desa bertransmigrasi. Saya harus datang dan memberi pengarahan. Ada jembatan selesai dibangun. Saya harus meresmikan. Ada Jambore Nasional Pramuka. Saya harus menyertai para gubernur, menteri dan wakil presiden. Ada…”

Ketua partai jengkel. Ia ingin Bupati paham betul bahwa Partai Randu adalah Partai pemerintah yang sanggup menentukan siapa duduk di mana.

“Katanya Bapak ingin jadi wakil gubernur?” Bupati paham betul arti ancaman itu lalu merendah.

“Ya jangan begitu to Pak. Ini betul-betul kok. Coba Pak. Apa yang tidak saya kerjakan untuk partai? Suruh bikin edaran ke camat-camat, ke instansi yang ada, dan ke perusahaan-perusahaan sudah saya kerjakan. Sering, tanpa tedeng aling-aling di depan publik saya berkampanye untuk partai.” (hlm 174)

Partai Randu seperti halnya Golkar adalah partai yang sekali lagi memiliki kuasa yang besar. Dia mampu melakukan apapun bahkan kolusi dan nepotisme yang merajalela. Partai ini memiliki kuasa mengangkat siapa pun di mana pun menjadi apa pun. Tidak heran jika orang yang dekat dengan penguasa partai ini akan mampu menduduki jabatan yang tinggi meski dia tidak memiliki massa sekalipun. Meski dia tidak dipilih oleh masyarakat, tapi dengan kedekatannya dengan penguasa seolah-olah tongkat estafet itu telah digenggamnya sehingga dia mampu menduduki kursi apapun sesuai harapannya.

(25) Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan

(63)

“Satu. Mendukung Pancasila dan UUD ’45.” “Gombal!” ujar Danramil pelan-pelan. “Dua. Mendukung Presiden Sadarto.” “Tahi kucing!” Danramil.

“Tiga. Menyatakan pilkades terlaksana secara demokratis.”

“Bohong!” Danramil.

“Empat. Mendesak Kades baru segera dilantik.” “Intimidasi!” Danramil. (hlm 86)

Partai diwajibkan memakai Pancasila sebagai dasar, sekalipun tetap berpedoman pada ideologi masing- masing. Partai mulai diarahkan untuk mendukung sistem politik yang sedang dikembangkan. Presiden secara intensif memanfaatkan peran mobilisasi partai politik terhadap ma syarakat. Dalam rangka keperluan presiden, partai diminta pandangan dan dukungannya. Pembuatan keputusan yang melibatkan partai berlangsung di bawah arahan presiden. Semuanya itu dilaksanakan untuk menegakkan kepemimpinan pemerintah di bawah presiden dalam rangka melaksanakan revolusi secara efektif. Orde Baru mempertajam format kepartaian tersebut dengan alasan demi menegakkan stabilitas politik sebagai prakondisi bagi pembangunan nasional (Pabotingi 1995:42).

(64)

personifikasi antara Pancasila dan Soeharto. Soeharto setara dengan Pancasila itu sendiri (Adam 2006:81-82). Dengan demikian, kekuasaan Soeharto dan Orba kian kokoh dan tak ada yang menandingi.

(26) Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa, rakyatlah yang akan maju.

Segera camat tahu bahwa ada Karak. Urusan itu dibawanya ke rapat Muspika. Danramil bersungut-sungut, “Rakyat? Rakyat? Lha kok rakyat?” Ia mondar- mandir, “Mungkin dia PKI malam di sana!”

“Aku tahu sekarang! Dia dulu ikut pemberontakan Tiga Daerah!” (Peristiwa Tiga Daerah di Brebes, Tegal, dan Pekalongan adalah pembangkangan pada Pemerintah Pusat, dekat setelah kemerdekaan).

“Itu tak mungkin. Dia ikut Hizbullah.”

“O, bagaimana kalian ini. Dulu dia pasti mempraktekkan KKM, Kerja di Kubu Musuh.”

“Itu istilah baru, Pak.” (hlm 87)

(65)

dalam jangka lama, untuk mematahkan atau melumpuhkan semua kekuatan demokratis yang kritis terhadap Orde Baru. Dengan kebohongan sejarah yang dijadikan bahan indoktrinasi yang amp uh, rezim Orde Baru telah melakukan kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran dan dalam jangka lama. Karenanya, kebohongan sejarah adalah juga salah satu di antara begitu banyak dosa berat rezim Soeharto (Said, 2000).

(66)

pembunuhan massal dan berbagai bentuk pelanggaran hak- hak sipil atas mereka yang dituduh sebagai komunis adalah sah-sah saja, bahkan “sudah selayaknya” (Adam, 2006:28). Kelompok militer justru malah dihormati sebagai kelompok istimewa dalam mempertahankan kelangsungan hidup bangsa. Bagi masyarakat timbul anggapan yang kalah pasti salah, dan yang menang pasti benar. PKI itu kalah maka dia salah, sedangkan militer menang maka dia benar (Mulder, 2004:77). Perlawanan nasional tak terdengar ketika pada tahun yang sama Orde Baru memenjarakan ribuan orang di Pulau Buru tanpa proses pengadilan (Huskens, 2003:92). Bahkan ketika tahun 1979 para tawanan Pulau Buru ini dibebaskan, pemerintah Orde Baru masih terus menghukum mereka. Pembubuhan kode “ET” (eks-Tapol) pada KTP milik para bekas tahanan politik itu adalah contoh tindak pelanggaran HAM berikut juga dengungan akan istilah “bahaya laten PKI”, berguna untuk menakut-nakuti dan mengontrol masyarakat. Bahkan Orde Baru telah mengkampanyekan slogan “bersih lingkungan” dengan maksud membersihkan instansi- instansi negeri maupun swasta dari orang-orang yang diduga pernah memiliki kaitan dengan PKI (Adam 2006:29).

(27) “Intel- intel kami sedang mencari biang keroknya. Modin itu hanya boneka, “ kata Danramil.

“Ah jangan cepat menuduh, lho Pak. Di sekolah kepolisian selalu ditekankan ‘asas praduga tak bersalah’,” kata Kapolsek.

(67)

Sekarang ini, mereka yang mau merenungkan secara dalam-dalam, tidaklah bisa mengingkari bahwa Orde Baru telah melakukan berbagai kejahatan negara dan kekerasan negara terhadap banyak komponen bangsa. Rezim ini telah membunuh kehidupan demokrasi dalam jangka puluhan tahun. Kekuasaan politik yang dipegang oleh Soeharto, dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari para pimpinan militer (terutama dari TNI-AD), telah menjadikan negara sebagai jaring-jaringan mafia, yang dengan semena-mena telah menyalahgunakan kekuasaan secara besar-besaran.

(28) “Begini. Pak Modin dipersilakan pulang.” Sambil

memberikan sejumlah uang, “Maaf, ada kesalahan prosedur pada kami. Bapak, ini uang transportnya, ini uang akomodasinya, ini uang konsultasinya.”

Pak Modin menerima uang itu, menghitung, dan uang transport masuk sakunya. (hlm 91)

(29) Aparat desa keberatan dengan pengeluaran uang pajak itu, tapi tidak digubrisnya. Ketika petugas pajak menyatakan bahwa desa itu menunggak setoran pajak tidak digubrisnya juga. Ia tenang-tenang saja, karena ia membawa misi Partai Randu. Baru ketika sebuah koran daerah mengabarkan bahwa Camat sebagai care taker Kades perkampungan nelayan menilep uang pajak, ia pergi minta uang ke Kantor Partai Randu untuk membayar.

Di kantor Partai Randu ia berdebat dengan bendahara.

“Saya disuruh menyukseskan pemilu yang akan datang dengan segala cara. Itulah cara saya.”

“Tapi jangan sampai masuk koran. Itu memalukan partai. Semua orang tahu bahwa engkau fungsionaris partai.”

(68)

Dengan mengangkangi kekuasaan politik yang busuk inilah maka KKN merajalela, dan korupsi menjadi “budaya bangsa” seperti yang masih terus juga kita saksikan sampai dewasa ini di seluruh tanah air. Nyatalah sudah dengan gamblang, bahwa kejahatan rezim militer Soeharto dan kawan-kawan yang amat serius adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan selama puluhan tahun dan secara besar-besaran dan sistematis. Diktatur militer ini pulalah yang telah berhasil, selama puluhan tahun, telah mengintimidasi para intelektual, merekayasa politik, “membeli” sejumlah ulama, kyai, atau pendeta, serta membungkam pers.

(30) Rupanya emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar). Presiden sendiri membawa kritik pers dan kampus pada Surat Sakti itu ke Sidang Kabinet. Karena menggugat Surat Sakti berarti menggugat Presiden, sehingga dia merasa digoyang-goyang. Padahal, selama ini tak seorang pun berani menggugat. Kalau yang menggugat perorangan, semua life line-nya akan diputus. Kalau lembaga, akan dinyatakan terlarang. Dan orang-orangnya akan tersangkut ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Semua anggota kabinet tahu bahwa dia marah besar; meskipun dari luar nampak senyumnya selalu hadir: Lembut dalam penampilan tapi keras dalam perbuatan, kira-kira begitu semboyannya. Pada kesempatan itu dinyatakan bahwa negara dalam bahaya, dan ia memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak ragu-ragu bertindak tegas. Maka, beberapa hari kemudian Menteri Penerangan melarang surat kabar-surat kabar mengecam Surat Sakti, tidak melalui telepon tetapi melalui Keputusan Menteri. Ancamannya adalah pencabutan surat izin terbit. Menteri Perguruan Tinggi berbuat serupa, mengancam akan membubarkan sebuah perguruan tinggi yang mengecam Surat Sakti. (hlm 150)

(69)

Seminar bertema, “Surat Sakti, Hak Prerogatif”; “Sesuai UUD ’45: Surat Sakti, Membubarkan Parlemen, Memberi Grasi”; dan “Surat Sakti versus Mafia Pengadilan”. Mereka sudah betul-betul berhenti menghujat, sebaliknya malah memuji-muji. Tetapi, orang tahu bahwa mengecam menimbulkan kebencian, memuji menimbulkan sinisme masyarakat. Mendapat laporan tentang maraknya puji-pujian pers dan kampus serta sinisme masyarakat, Menteri Penerangan dan Menteri Perguruan Tinggi hanya bisa pusing kepala. Ternyata jadi pesuruh itu sulit, meskipun pesuruh itu bernama menteri, “Salah lagi!” (hlm 151)

Pada masa Orde Baru kegiatan demonstrasi sangat dilarang, apalagi kegiatan demons trasi yang mengecam pemerintahan atau menyinggung para anggota pemerintahan. Tidak jarang mereka yang berani melawan langsung ditangkap, atau tiba-tiba dinyatakan hilang dan bukan tidak mungkin dia dilenyapkan. Seringkali TNI dijadikan mafia. Hal serupa seringkali terdengar. Namun masyarakat luas tahu dan sudah menjadi rahasia umum mengenai tata cara kekuasaan berlebihan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangkaianya terdapat keterlibatan antara Negara hukum yang didalamnya mengatur regulasi yang secara jelas berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan Negara

Saran pada kasus ini sebaiknya pengobatan untuk memperoleh hasil yang sempurna, fisioterapi hendaknya dapat membina kerjasama yang baik dengan pasien dan pihak

Perbedaan dengan peneliti ke 2 adalah lokasi penelitian di Puskesmas Merdeka Kota Palembang, waktu penelitian tahun 2009, dan variabelnya adalah Jumlah kunjungan pasien

Fuzzy Time Series (FTS) adalah salah satu metode prediksi yang ada dalam lingkup fuzzy logic dengan model runtun waktu, metode tersebut menggabungkan antara ilmu komputer

[r]

mengenai pengaruh bauran pemasaran jasa terhadap keputusan mengunjungi objek.. wisata museum

tigadimensi.Melalui karya seni keramik, penulis ingin mengungkapkan makna mengenai kekayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang menghargai dan merawat alam

Karyawan dengan self efficacy yang tinggi maka akan memiliki kepuasan. kerja