ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING
DI SUMATERA UTARA (IMPLEMENTASI
UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003)
TESIS
Oleh
SWARY NATALIA TARIGAN 077011070 / MKn
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING
DI SUMATERA UTARA (IMPLEMENTASI
UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SWARY NATALIA TARIGAN 077011070 / MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING DI SUMATERA UTARA (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)
Nama Mahasiswa : Swary Natalia Tarigan Nomor Pokok :
077011070
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, S.H) Ketua
(Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H) Anggota
(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum)
Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah Diuji Pada
Tanggal:
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, S.H. Anggota : 1. Prof. H.T. Syamsul Bahri, S.H.
ABSTRAK
Penggunaan karyawan outsourcing sesuai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatasi hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sebagai pekerjaan penunjang, namun klasifikasi pekerjaan penunjang dan pekerjaan utama sebagai dasar pekerjaan outsourcing pengaturannya masih sangat terbatas dalam undang-undang tersebut. Selain itu, pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing, maka penyelesaian perselisihan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan, hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dan penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan dalam perjanjian kerja outsourcing, yang didukung wawancara kepada narasumber yang telah ditentukan.
Hasil penelitian menunjukkan, klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan sebagai dasar outsourcing terlihat dari kegiatan perusahaan, di mana pekejaan utama adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sedangkan pekerjaan penunjang antara lain: pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi karyawan, satuan pengamanan. Akan tetapi klasifikasi ini sulit untuk diberikan batasan karena bentuk pengelolaan usaha yang bervariasi, misalnya perusahaan di bidang komputer yang pemasangan komponennya dilakukan secara outsourcing, sementara pekerjaan itu adalah termasuk pekerjaan utama dari perusahaan. Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja terjadi atas dasar perjanjian kerja antara perusahaan di tempat kerja dengan perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga tidak ada perjanjian kerja karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja. Akibatnya hak-hak normatif karyawan outsourcing di tempat kerja menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan oursourcing. Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing adalah tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga karyawan outsourcing yang melakukan pelanggaran berat menurut peraturan perusahaan akan di-PHK, walaupun pelanggaran berat tersebut tidak termasuk pelanggaran berat dalam Pasal 150 UU Ketenagakerjaan, karena sejak diterbitkannya Putusan MK maka dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang digunakan adalah peraturan perusahaan yang disepakati bersama oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh di dalam Perjanjian Kerja Bersama di tingkat perusahaan.
Disarankan kepada pemerintah meninjau kembali UU Ketenagakerjaan dalam kaitan batasan pekerjaan bagi karyawan outsourcing. Kepada perusahaan pengguna outsourcing harus menseleksi perusahaan karyawan outsourcing yang telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi hak normatif karyawan yang terlihat dari perjanjian kerja karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia karyawan itu. Kemudian, juga kepada perusahaan penyedia karyawan tetap melakukan pemantauan dan respons terhadap keluhan karyawan atas peraturan perusahaan yang tidak sesuai ataupun jenis pelanggaran berat yang dapat mengakibatkan PHK di tempat kerja.
ABSTRACT
The use of outsourcing employee by Law No.13/2003 about the labour is limited only for supportive work, but classification of supportive job and main job as basis of outsourcing work is limited of regulation in that law. Beside that, the breaking of company rule in work place by outsourcing workers, the solution of conflict becomes the responsibility of company as provider of outsourcing worker. Therefore it becomes the problem about the classification of main work and the supportive one of organization the relation of law between outsourcing worker with service use of outsourcing, and solution of conflict against the outsourcing workers breaking the work rule in the company.
This research is analytic descriptive in nature conducted through juridical normative approach, namely the library research in written regulations or law related to labour law in the work contract of outsourcing supported with interview to determined responders.
The research result indicates classification of main work and supportive work company as basis of outsourcing is seen from the activity of company in which the main work is activity related directly with process of production while the supportive work including the service of cleaness, supply of food for workers, security unit. But this classificationis difficult to be given about the limitation because the form of business management varies for example the company in field of computer whose the installation of component is made by outsourcing, mean while the work is included as main work from company.the relation of law between outsourcing workers with company in work place occurs in basis of work contract between company in work place with company as outsourcing worker provider, there is no contract outsourcing workers with the company in work place. This normative rights of outsourcing workers in work place becomes the responbility of company as provider of outsourcing workers. The solution of conflict against the breaking of company rules in work place by outsourcing workers is the responbility of the company as outsourcing worker provider, outsourcing workers who do break the heavy according rule of company will be disconnected from job, although the heavy breaking is not included in heavy breaking in chapter 150 of Law of Labour because since estabilishing the MK decision so in solution of the conflict of industrial relation used as rule of company aporoved by businessman and work labor union in mutual work contract in company level.
It is recommended for government to review the Labor Law again in relation to the work limit for outsourcing workers. To company of outsourcing user must select the worker company of outsourcing that is already to meet the requirements to satisfy the normative rights of the workers seen from the contract of outsourcing workers with the company as worker provider. And than also to company as worker provider will do the monitoring and responses against the complaints of the workers for te company rule that is not suitable or the type of heavy breaking to cause the disconnection of the work in work place.
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terima kasih
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah
menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang
dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “ANALISIS
HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING DI SUMATERA
UTARA (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi
pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad
Abduh, S.H., Bapak Prof. H. T. Syamsul Bahri, S.H., dan Bapak Prof. Dr.
Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing, juga kepada
dosen penguji Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.,M.S.,C.N. dan Ibu
Dr.T.Keizerina Devi Azwar.,SH.,C.N.,M.Hum atas bimbingan dan arahan
untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur serta
seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan,
sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan
(M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua
Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan
fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister
Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris
Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera
Utara.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan
(M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu
membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang
dibutuhkan.
6. Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang
Ibunda Sempa Malem Baru, demikian juga kepada Imelda, Grace, Jimmy,
Abram dan Vidella.
7. Kepada Dhany Marthen N terima kasih.
8. Sahabat-sahabat terhebat saya Melisa, Emma Titin,Dina, Pak Edy,Pak
Agam, Pak Umri, Pak Anca, Bu Heny, Bu Fitri, terimakasih.
9. Kepada teman teman seangkatan yang telah bersama-sama dalam sekian
waktu terima kasih.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian
tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.
Medan, Agustus 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Swary Natalia Tarigan,Sarjana Hukum
Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 12 Desember 1983
Alamat : Karya Jaya Nomor 37 Medan
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
II. Orang Tua
Nama Ayah : Ir.Semion Tarigan
Ibu : Sempa Malem Barus
III. Pendidikan
1. SD Swasta St.Yoseph Medan Tahun 1990 – 1996
2. SMP Swasta St.Thomas I Medan Tahun 1996 – 1999
3. SMU Swasta St.Thomas I Medan Tahun 1999 – 2002
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2002 –
2006
5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Tahun 2007 – 2009.
Medan, Agustus 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Konsepsi... 23
G. Metode Penelitian ... 25
BAB II. KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN YANG MERUPAKAN DASAR PELAKSANAAN OUTSOURCING ... 29
A. Perjanjian Kerja ... 29
B. Outsourcing Tenaga Kerja dalam Perusahaan ... 46
1. Sejarah Outsourcing ... 46
3. Sumber Hukum Outsourcing ... 51
C. Perlindungan Hukum dalam Outsourcing ... 54
D. Klasifikasi Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Penunjang Perusahaan Yang Merupakan Dasar Pelaksanaan Outsourcing... 57
BAB III. HUBUNGAN HUKUM ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING ... 64
A. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Karyawan ... 64
B. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna Jasa ... 68
C. Karakteristik Hukum Hubungan Kerja Karyawan Outsourcing... 79
BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING YANG MELANGGAR ATURAN KERJA PADA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA ... 85
A. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Luar Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) ... 85
B. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Melalui Jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) ... 103
C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Karyawan Outsourcing Yang Melanggar Aturan Kerja Pada Perusahaan Pemberi Kerja ... 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 125
A. Kesimpulan ... 125
B. Saran ... 126
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan dan pekerjaan adalah dua sisi dari satu mata uang, agar orang
dapat hidup maka orang harus bekerja. Sebenarnya bukan hanya manusia saja yang
harus bekerja akan tetapi semua makhluk hidup yang dengan caranya sendiri-sendiri
bekerja untuk mencari makan sepanjang hidupnya. Kehidupan bagi manusia tentu
saja mempunyai arti yang lebih luas sehingga keperluannya juga lebih luas dari
sekedar kebutuhan badannya.
Sebagaimana dikemukakan Gunarto Suhardi:
Dahulu di masa manusia masih bebas untuk mengambil kebutuhan hidupnya dari alam raya orang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus bekerja pada orang lain, namun perkembangan zaman dengan munculnya para penguasa hal ini telah berubah. Untuk kebutuhan proteinnya dan pakaiannya orang masih bisa berburu binatang di hutan atau di padang perburuan yang luas, untuk kebutuhan karbohidrat dia masih dapat memetik tanaman dan buah-buahan di hutan tanpa batas. Baru setelah muncul para penguasa yang karena kedigdayaannya mengaku memiliki hutan, padang-padang rumput dan ladang-ladang beserta isinya maka orang terpaksa bekerja untuk penguasa ini dengan kata lain ia menjadi karyawan, hamba sekaligus budak bagi penguasa tersebut.1
“Di jaman modern ini nampaknya situasi yang menyedihkan itu akan terulang
kembali, histoire est repete kata orang Perancis, sebab melalui hubungan kerja dalam
hal ini alih daya pekerja (outsourcing) dapat ditekan sedemikian rupa tanpa bisa
menuntut hak normatif yang wajar”2, dalam hubungan kerja outsourcing merupakan
penyerahan pekerjaan tertentu oleh suatu perusahaan kepada pihak ketiga, sehingga
1
Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, (Cetakan Pertama, Universitas Atma Jaya,Yogyakarta, 2006), hal. 1.
2
hubungan pekerja bukan dengan perusahaan pemberi kerja tetapi dengan perusahaan
penyalur tenaga kerja, sebagaimana dikemukakan Libertus Jehani:
Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi risiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut. Penyerahan pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama operasional antara perusahaan pemberi kerja (principal) dengan perusahaan penerima pekerjaan (perusahaan outsourcing). Dalam praktik, perusahaan principal menetapkan kualifikasi dan syarat-svarat kerja, dan atas dasar itu perusahaan outsourcing merekrut calon tenaga kerja. Hubungan hukum pekerja bukan dengan perusahaan principal tetapi dengan perusahaan outsourcing. Dalam kaitannya dengan ini, ada tiga pihak dalam sistem outsourcing yaitu: perusahaan principal (pemberi kerja), perusahaan jasa outsourcing (penyedia tenaga kerja), tenaga kerja.3
Menggunakan jasa perusahaan outsourcing dilakukan oleh perusahaan
penyedia pekerjaan adalah untuk efisiensi karena sumber daya perusahaan telah
diarahkan pada pekerjaan akan memberikan keuntungan: “Pertama, perusahaan
principal dapat membagi beban/risiko usaha. Kedua, tercapai efisiensi karena segala
sumber daya perusahaan tersebut diarahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang
merupakan bisnis inti perusahaan. Jadi, penyerahan pekerjaan-pekerjaan tertentu
kepada pihak lain sesungguhnya tidak dilakukan dalam rangka menekan biaya
produksi.”4
Memperkerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsourcing nampaknya
sedang menjadi trend atau model bagi pemilik, atau pemimpin perusahaan, baik itu
perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan
outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja
menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan yang
3
Libertus Jehani, Hak-Hak Karyawan Kontrak, (Forum Sahabat, 2008,Jakarta), hal. 1. 4
memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, melakukan seleksi dan melatih
tenaga kerja yang dibutuhkan. Oleh karena itu, tidak ada hubungan organisatoris
antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah karyawan dari
perusahaan outsourcing. Gaji dibayar oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya
memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Gaji diberikan sesuai
dengan ketentuan perusahaan outsourcing. Perintah kerja walaupun sejatinya
diberikan oleh perusahaan pemakai tenaga akan tetapi resminya juga diberikan oleh
perusahaan outsourcing dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket. Cara
seperti ini melindungi perusahaan pemakai tenaga kerja dari kerepotan dalam
hubungan karyawan dan majikan. “Perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai
kesulitan tentang kenaikan upah (UMR), tidak menanggung biaya kesehatan, biaya
pemutusan hubungan kerja dengan karyawan outsourcing, dan lain-lain yang
sepatutnya menjadi beban majikan.”5
Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sistem outsoucing ini
sebenarnya sudah ada dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur tentang
pemborongan pekerjaan. Disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu
kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu
pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.
Menurut pakar hukum perburuhan Iman Soepomo, bahwa “perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk
5
mengerjakan buruh itu dengan membayar upah”.6 Perumusan UU Ketenagakerjaan
yang paling dekat dengan penyediaan tenaga kerja outsourcing adalah pada Pasal 35
ayat (1) dinyatakan bahwa pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan
tenaga kerja. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) terdiri dari:
1. “Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
2. Lembaga swasta berbadan hukum yang telah memiliki izin tertulis dari Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.”7
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.8 Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. ”Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.”9
Pengusaha wajib memberitahukan kepada pekerja akan jenis dan sifat
pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu (musiman). Pekerjaan yang
dapat menggunakan pekerja kontrak adalah pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut:
6
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan bagian Pertama Hubungan Kerja, (PPAKRI Bhayangkara, 1968,Jakarta), hal. 57.
7
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 12. 8
Pasal 64 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 9
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiananya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.10
Sesuai Pasal 56 UU Ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Untuk waktu tidak tertentu dapat juga disebut
sebagai pekerja tetap. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan
atas: jangka waktu tertentu, dan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Kebanyakan dari para pekerja outsourcing adalah termasuk dalam perjanjian
kerja untuk jangka waktu tertentu dan dimaksudkan untuk menutup kesulitan
menentukan jenis pekerjaan tertentu yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu
misalnya mengenai pemborongan pekerjaan yang merupakan peluang bagi
perusahaan penyedia tenaga kerja dan para pemberi kerja agar mendapat tenaga
murah dan berkualitas.
Pekerja outsourcing semestinya mengetahui tentang hak-hak dasar pekerja,
salah satunya hak non-diskriminasi dalam Pasal 6. Hak-hak dasar ini dipertegas lagi
dalam berbagai pasal berikut ini:
a. Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa pelaksana penempatan kerja (PJPT) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. b. Pasal 35 ayat (3) dari UU No.13 Tahun 2003 ini menyebutkan pemberi kerja
dalam memperkerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga kerja.11
10
Libertus Jehani, op. cit., hal. 7. Lihat, juga Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. 11
Formulasi kedua ayat ini memberikan pengertian luas akan arti perlindungan karena
prinsip hukum adalah bahwa makin pendek suatu formulasi hukum maka makin luas
pula pengertian dan pelaksanaannya. ”Hal ini dipertegas lagi dengan kata-kata
mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan. Kata mencakup berarti meliputi
akan tetapi tidak terbatas pada apa yang disebutkan dalam kata meliputi tersebut, jadi
masih ada hal yang di luarnya.”12 Pengertian ini bilamana dihubungkan dengan
pengertian non-diskriminasi dengan pekerja tetap dalam Pasal 6 UU
Ketenagakerjaan, maka secara substantif tidak ada perbedaan antara pekerja tetap
dengan pekerja untuk waktu tertentu, tipe outsourcing termasuk dalam hak-hak
normatif apabila pekerja diberhentikan dari kerja oleh pemberi kerja. Dari ketentuan
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pekerja outsourcing termasuk di dalam katagori
perjanjian kerja waktu tertentu, maka para pekerja harus diberikan pekerjaan yang
sesuai sifatnya dengan apa yang disebut dalam ayat (1) dan (2) pasal. Jika tidak
sesuai dengan pekerja tetap maka demi hukum pekerja outsourcing harus diakui oleh
pemberi kerja sebagai pekerja tetap dan tidak dapat didiskriminasi. Hal ini dipertegas
dalam Pasal 65 ayat (4) dan ayat (8) sehingga hak-haknya harus dipulihkan dan
disamakan dengan pekerja tetap termasuk dalam hal jangka waktu kerja.
Penggunaan tenaga kerja outsourcing dalam kegiatan penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud dengan
12
kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha
tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Dari ketentuan tersebut, tampak bahwa pengaturan tentang syarat-syarat
memperkerjakan pekerja kontrak sangat dibatasi (limatitif). Pekerjaan yang bersifat
permanen sekalipun, juga menggunakan pekerja kontrak. Bentuk penyiasatan yang
dilakukan adalah dengan melibatkan perusahaan outsourcing untuk memperkerjakan
beberapa bagian pekerjaan perusahaa. ”Berdasarkan kerjasama operasional tersebut,
perusahaan outsourcing merekrut pekerja-pekerja kontrak. Di tengah terbatasnya
kesempatan kerja, maka pekerja outsourcing ini tidak punya banyak pilihan selain
menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan.”13
Walaupun adanya batasan dalam UU Ketenagakerjaan untuk memperkerjakan
pekerja outsourcing, namun tetap berpotensi menimbulkan masalah, sebagaimana
dikemukakan R. Djokopranoto:
Dalam teks UU No 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan
13
industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.14
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan UU Ketenagakerjaan,
outsourcing hanya dibolehkan jika tidak menyangkut usaha pokok (core business),
namun interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas
dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing
semakin meluas ke berbagai bidang kegiatan perusahaan. Dengan kata lain, ”konsep
dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core
business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis”.15
Demikian serikat pekerja menolak sistem outsourcing, karena tidak terjamin
kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Setiap saat pekerja dapat diberhentikan dan
perusahaan tidak diharuskan membayar kompensasi PHK. Alasan penolakan lain,
karena pada kenyataannya banyak sekali terjadi penyimpangan dalam kontrak.
Penyimpangan yang sering terjadi antara lain:
a. Upah pekerja kontrak di bawah ketentuan UMR/UMP;
b. Pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek;
c. Para pekerja kontrak dan perusahaan outsourcing bekerja pada bidang-bidang yang bersifat terus-menerus;
d. Perusahaan outsourcing nakal baik langsung maupun tidak memungut uang dari calon pekerja;
e. Perusahaan outsourcing memotong upah para pekerjanya sendiri; f. Para pekerja kontrak tidak mendapat THR.16
14
R. Djokopranoto, “Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha)”, Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, (World Trade Center, Jakarta,13-14 Oktober 2005,Yogyakarta), hal. 5.
15
Ibid., hal. 6. 16
Dari kasus yang disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta,
pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing tersebut, antara lain: kasus outsourcing
di Rumah Sakit Pusat Pertamina, terjadi pelanggaran pelaksanaan outsourcing karena
tidak adanya perjanjian tertulis antara pihak rumah sakit sebagai pengguna dengan
koperasi pegawai rumah sakit selaku agen. Kemudian juga kasus penyimpangan
outsourcing terjadi di pintu jalan tol Lingkar luar Jakarta, dimana sebagian besar
petugas tiket di pintu tol berstatus sebagai pegawai outsourcing. ”Padahal masyarakat
awam pasti bisa menilai bahwa pekerjaan menjaga pintu jalan tol adalah bisnis inti
dari perusahaan penyelenggara jalan tol. Artinya tak layak kalau pekerjanya berstatus
karyawan kontrak apalagi outsourcing.”17
Selain itu, dalam pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan dapat
timbul, misalnya berupa pelanggaran-pelanggaran peraturan perusahaan oleh
karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan
lainnya, menurut ”Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi
walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan
pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah
perusahaan penyedia jasa pekerja.”18
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul
Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003).
17
“Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita”, http:/www.hukumonline.com, hal. 1. 18
B. Permasalahan
Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan
yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang
melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang
perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing.
2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis,
yaitu:
1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu
hukum ketenagakerjaan khususnya di bidang pelaksanaan perjanjian kerja
outsourcing pada suatu perusahaan.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan
rujukan dalam mempelajari tentang perjanjian kerja outsourcing pada suatu
perusahaan khususnya bagi para akademisi, mahasiswa, pelaku usaha
outsourcing dan juga masyarakat pekerja outsourcing pada umumnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitar Sumatera Utara, penelitian
dengan judul “Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara
(Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)” belum
pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat saya
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
“Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,”19 dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.”20 “Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoretis.”21 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini
adalah teori Perlindungan hukum yang dikemukakan oleh J. van Kan, ”bahwa hukum
sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan orang dalam masyarakat”.22 Demikian juga halnya dalam
ketenagakerjaan khususnya dalam perjanjian kerja outsourcing.
Dalam kepustakaan hukum mengenai outsourcing selalu dikaitkan atau
disebutkan dalam hukum perburuhan. Dalam bukunya Imam Soepomo, “disebutkan
mengenai definisi hukum perburuhan, antara lain menurut Moleenar, hukum
perusahaan adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur
19
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,(FE UI, 1996,Jakarta), hal. 203.
20
Ibid, hal. 16. 21
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (CV. Mandar Maju, 1994,Bandung), hal. 80. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
22
hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, dan antara buruh
dengan penguasa.”23 “Pengertian hukum perburuhan sebagai himpunan peraturan,
baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana
seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.”24 Selanjutnya, Arnol M.
Rose sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “kalau ingin melihat
peranan hukum dalam perubahan sosial, maka hal itu hendaknya dilihat dalam
kemampuannya untuk melakukan initial pust”.25
Satjipto Rahardjo sendiri berpendapat:
Dalam menggunakan hukum sebagai sarana, tidak boleh berpikir seperti dalam ilmu-ilmu alam. Proses itu berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkannya bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Dalam keadaan yang demikian ini, maka hukum bisa digolongkan ke dalam faktor “penggerak mula”, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistematis. Dalam hal ini, hukum bekerja untuk mengantarkan masyarakat dalam transformasi sosial. Kata “mengantarkan” di sini bahwa tugas hukum adalah untuk memberikan dukungan konseptual dan struktural terhadap proses perubahan dalam masyarakat.26
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern banyak disebut-disebut
sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum
ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) telah mengatur Perlindungan terhadap
hak-hak pekerja, antara lain: Perlindungan PHK, Jamsostek, upah yang layak dan
23
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 2 24
Ibid., hal. 2. 25
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial-Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman di Indonesia, (Penerbit Alumni, 1983,Bandung), hal. 157.
26
tabungan pensiun. Namun dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan
sesuatu yang mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing, karena status
pekerja outsourcing adalah pekerja dari suatu perusahaan penyalur tenaga kerja,
tetapi harus bekerja pada perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing dengan
waktu kerja tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan
demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh.
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian
sebagai berikut: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si
buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan
untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Undang -
Undang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni: Perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain
pengertian normatif seperti tersebut di atas, Iman Soepomo berpendapat, bahwa
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.27 Kemudian
menurut Subekti perjanjian kerja adalah: ”Perjanjian antara seorang buruh dengan
seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji
tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda
dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan)
berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain”.28
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai Perjanjian Kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut, ada dikemukakan perkataan di bawah perintah, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan di bawah ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah. Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.29
Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada
umumnya seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa
kedudukan antara para pihak yang membuat penjanjian adalah sama dan seimbang,
karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Oleh karena itu pengertian perjanjian pada
27
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 53. 28
Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kedua, (Alumni, 1977,Bandung), hal. 63. 29
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut berlainan jika dibandingkan dengan perjanjian
kerja pada Pasal 1601 a KUH Perdata.
Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan
Pasal 1320 KUHPerdata, masih menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu
perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya
dianggap sebagai undang-undang.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap
berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur
lain yang harus dipenuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri
Belanda, yaitu M.G. Rood, menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada,
manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
a. “Adanya unsur work atau pekerjaan
b. Adanya unsur service atau pelayanan
c. Adanya unsur time atau waktu tertentu
d. Adanya unsur pay atau upah.”30
“Sebagai implementasi dari perjanjian kerja tersebut, maka salah satu pihak
yaitu si pekerja, harus melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam
perjanjian kerja. Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya harus
dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan tidak boleh digantikan
orang lain.”31 Kemudian pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus
30
M.G Rood, materi penataran terhadap Dosen-dosen Hukum Perburuhan seluruh Indonesia, di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, tanggal 7 – 19 Agustus 1989.
31
dilakukan dalam waktu tertentu, dan tidak boleh dikerjakan selama hidupnya si
pekerja. Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh pekerja, sesuai dengan waktu yang telah
disepakati atau diperjanjikan maupun menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, ketertiban umum dan kebiasaan setempat.
Oleh karena itu dari esensialia tersebut di atas, jika dirumuskan adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan sendiri;
b. Harus di bawah perintah orang lain;
c. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu, dan
d. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah, sebaliknya
si pengusaha wajib untuk membayar upah tepat pada waktunya.
Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada, demikian halnya dengan peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan KKB/PKB.32
Ketentuan ini juga akan berlaku dalam perjanjian kerja outsourcing (alih
daya) antara pekerja dengan perusahaan penyalur dan perusahaan pengguna tenaga
kerja outsourcing tersebut. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan
sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu
pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.
Ini berarti ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan,
32
memperkerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan itulah
yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan buruh/pekerja yang
diperkerjakan.
UU Ketenagakerjaan mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang
dipakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 64 bahwa perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource itu menurut Pasal 65
ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menurut Pasal 66
UU Ketenagakerjaan tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi, yang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselilsihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika
persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Selanjutnya tata cara perijinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diatur
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh. Pasal 4 ketentuan menteri tersebut menentukan dalam hal perusahaan
penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberian pekerjaan kedua
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a,
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal
terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Kemudian dalam Pasal 5 ditentukan:
(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota tempat
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
(2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh melaksanakan pekerjaan
pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu
kabupaten/kota dalam satu proinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan pada
perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi,
maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial.
(4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
Selanjutnya dalam hubungan kerja dapat terjadinya sengketa atau konflik,
baik itu antara pekerja dengan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing
maupun pekerja dengan perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing. Sebagaimana
dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro:
Konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain, merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu dengan yang lain, merupakan sesuatu yang lumrah, yang penting adalah bagaimana meminimalisir atau mencari penyelesaian dan konflik tersebut, sehingga konflik yang terjadi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Demikian halnya dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya sudah diikat dengan perjanjian kerja namun konflik tetap tidak dapat dihindari.33
Jika hak-hak para pekerja (kontrak) tidak diberikan oleh pengusaha ada
beberapa sarana yang dapat dipakai untuk menyelesaikannya yakni secara bipartit,
arbitrase, konsiliasi, mediasi (ketiganya termasuk penyelesaian di luar pengadilan),
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Mahkamah Agung.
Penyelesaian bipartit adalah penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak
yang sedang berselisih dengan musyawarah untuk mufakat. Setiap perundingan
bipartit harus dibuat risalah. Jika perundingan bipartit berhasil dilakukan dan
mencapai kesepakatan maka harus dibuatkan Perjanjian Bersama yang isinya
mengikat para pihak. Perjanjian tersebut harus didaftarkan pada pengadilan
Hubungan Industrial di wilayah para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Jika
salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan, maka pihak yang dirugikan dapat
33
mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan di mana perjanjian bersama itu
didaftarkan.
Penyelesaian secara arbitrase adalah penyelesaian perselisihan di luar pengadilan yang disepakati secara tertulis oleh para pihak dengan memilih arbiter tunggal atau majelis arbiter dan daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat arbitrase hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Keputusan arbitrase ini bersifat final, kecuali untuk alasan tertentu dapat diajukan pembatalan kepada Mahkamah Agung.34
Perselisihan yang dapat diselesaikan secara konsiliasi adalah perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam
satu perusahaan. Sedangkan perselisihan yang dapat diselesaikan secara mediasi
adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Selanjutnya penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagaimana ditentukan dalam
UU ketenagakerjaan hanya ada dua lembaga pengadilan yang dapat menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial yaitu Pengadilan Hubungan Industrial dan
Mahkamah Agung (MA). PHI adalah pengadilan khusus (ad hock) yang berada di
lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perselisihan yang pada tahap
mediasi atau konsiliasi tidak tercapai kesepakatan.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bertugas dan berwewenang memeriksa
dan memutuskan:
a. ”di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
34
b. di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
c. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/dalam satu perusahaan.”35
2. Konsepsi
”Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan operational definition”.36 Pentingnya definisi
“operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.”37 Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar
secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, sebagai berikut:
a. “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.” 38
35
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
36
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hal. 10. 37
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (PPs-USU, 2002,Medan), hal 35
38
b. “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.” 39
c. “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah
pihak.”40
d. “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.”41
e. “Outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”42
f. “Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.” 43
g. “Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
39
Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan. 40
Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan. 41
Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. 42
Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. 43
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”44
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat “deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,”45 dalam hal ini
pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing. Penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan “yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan
hukum yang lain,”46 yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan dalam pelaksanaan
perjanjian kerja outsourcing.
2. Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
penelitian lapangan, sebagai berikut:
a. “Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang
44
Pasal 1 angka 17 UU Ketenagakerjaan. 45
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, 1986,Jakarta), hal. 63. 46
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.”47
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.
b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
No.Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa pekerja/Buruh.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya
ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan hukum ketenagakerjaan
khususnya perjanjian kerja outsourcing
3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus
ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerja
outsourcing.
b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan
pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing, dengan melakukan wawancara kepada:
1) Pimpinan perusahaan penyalur tenaga kerja (oursourcing) di Kota Medan
berjumlah satu orang.
47
2) Pimpinan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing di Kota Medan
berjumlah satu orang.
3) Ketua serikat pekerja SPSI/SBSI di Kota Medan, masing-masing satu orang
berjumlah dua orang.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
a.
Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait denganpermasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil
penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait dengan
hukum ketenagakerjaan khususnya perjanjian kerja outsoursing yang selanjutnya
digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b.
Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepadanarasumber yang telah ditetapkan tentang pelaksanaan perjanjian kerja
outsourcing.
4. Analisis Data
“Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan
maupun studi lapangan maka data tersebut dianalisa secara kualitatif,”48 yakni
dengan mengadakan “pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungan
tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas
48
hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, sehinga diperoleh kesimpulan
dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.”49 Kesimpulan adalah merupakan
jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan
memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
49
BAB II
KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN YANG MERUPAKAN DASAR PELAKSANAAN
OUTSOURCING
A. Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut
Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang
pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai perjanjian
kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang
satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si
majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menenima upah.
Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh, mengikatkan diri untuk
bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri
untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.”50
Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang menyatakan:
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda; dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.51
50
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hukum Perburuhan,(PPAKRI Bhayangkari, 1968,Jakarta), hal. 9.
51
Subekti, Aneka Perjanjian, (Alumni, cet. II, 1977,Bandung), hal. 63.
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian
kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut,
ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang
merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian
kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah” ini
mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk
pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada
unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara
kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini
”ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang
kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan
tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari
pihak majikan.”52 Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh
atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan
dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan
hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas
tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika dibandingkan
dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa
kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang,
karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut
berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja pada Pasal 1601a
52
KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan dengan tegas
tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak yang mengikatkan diri dan
hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang lain, pihak ini adalah pihak
buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak
mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah kepada orang lain, adalah
pihak Majikan atau Pengusaha.
Oleh karena itu ”perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka
ketentuannya kurang adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan
didalamnya.”53
”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar adanya pengaruh
oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat manapun juga, yang
memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan, terutama melakukan
pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang yang derajatnya sangat
rendah.”54
Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika
perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman
Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa ”yang terikat dalam perjanjian
kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya untuk
bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si majikan
53
Ibid., hal. 31-32. 54
mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban untuk
membayar upah”.55
Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh
A. Ridwan Halim, di bawah ini: ”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang
diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu,
yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka
masing-masing terhadap satu sama lainnya”.56 Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono,
pengertian ”perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak
sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”.57
Dengan adanya pengertian tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di
dalam perkembangannya masalah-masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan
atau penerapan penjanjian kerja, perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi
dan menjembatani kesenjangan tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak
lain atau pihak ketiga, guna pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya
perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja,
merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika dalam
suatu perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi
yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun
tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para
55
Djumialdi, op. cit., hal. 32. 56
A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, (Pradnya Paramita, cet. I., 1987,Jakarta), hal. 29.
57
pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai
kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai
aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah diuraikan sebelumnya, maka
kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak sama dan seimbang.
Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya mandiri.58
2. Unsur-Unsur di dalam Perjanjian Kerja
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan
mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga dalam
perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal 1320
KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu
perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya
dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Walaupun demikian di
dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi.
Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaitu
Mr. MG. Rood, ”bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian
58
kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu work, service,time and pay"59
berikut ini adalah penjabarannya:
a. Adanya Unsur Pekerjaan (Work)
Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang
diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja
tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja, haruslah
berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang melaksanakan
pekerjaan atas dasar perjanjian kerja, pada pokoknya wajib untuk
melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas untuk melaksanakan
pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk
melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai
pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4 Peratuan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dinyatakan bahwa: ”Upah
tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan”. Ketentuan tersebut di atas,
bisa disebut when do not work, do not get pay, maksudnya dari kalimat tersebut
adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak
berkehendak untuk mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam
pelaksanaannya, jika seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan melaksanakan
pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian
kerja, akan tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan,
yaitu dalam pelaksanaannya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan atau
digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan
59