BAB II. KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN
B. Outsourcing Tenaga Kerja dalam Perusahaan
2. Makna dan Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja
Outsourcing
Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan menggunakan sistem outsourcing ini pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13
80
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.
Di dalam praktiknya, ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan di atas akhirnya memunculkan istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan). Untuk memudahkan penjelasan mengenai istilah outsourcing, dapat dilihat ilustrasi berikut ini:
A diangkat sebagai karyawan di perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk ditempatkan di perusahaan Y, di sini dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahan X.81
Dari ilustrasi di atas, dapat dilihat bahwa di dalam sistem outsourcing terdapat dua jenis perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian kerja, antara A dengan perusahaan X.
2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.
”Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A seharian bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahaan X. Oleh karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan hak-hak A (seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul) tetap merupakan
81
I Wirawan, “Apa yang dimaksud Sistem Outsourcing” Pikiran Rakyat, Senin, 31 Mei 2004.
tanggung jawab perusahaan X.” 82 Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang mengkritik sistem outsourcing ini, karena secara legal formal perusahaan pemberi kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan tersebut ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak negatif dari sistem outsourcing ini.
Menurut Gunarto Suhardi:
Secara legal tidak ada hubungan organisatoris antara organisasi dengan pekerja karena secara resmi pekerja adalah tetap karyawan dari perusahaan outsourcing. Gajinyapun dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan dari perusahaan pemakai tenaga kerja. Tentu saja gaji itu diberikan setelah dipotong oleh perusahaan outsourcing. Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pembakai tenaga akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outrsourcing dan biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket.83
Menurut Robert Cooter, ”sudah menjadi sifat pengusaha untuk terus melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha”.84 Akan tetapi menurut pendapat Gunarto Suhardi, ”usaha efisiensi oleh pengusaha ternyata berakibat jauh bagi para pekerja lebih-lebih pekerja untuk waktu tertentu termasuk pekerja kontrak outsourcing, ada baiknya bila dipertimbangkan alasan-alasan pokok mengapa pilihan efisiensi itu sampai jatuh ke arah para pekerja padahal komponen biaya tenaga kerja tentunya tidak sebanyak biaya tetap berupa bahan, pajak, management fee, transportasi dan sebagainya”.85
82
Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Sinar Grafika, 2009,Jakarta), hal. 218 83
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 2. 84
Robert Cooter, ibid., hal. 5. 85
Biasanya pada saat terakhir ini keluhan naiknya biaya produksi itu berkisar pada unsur-unsur berikut ini:
a. Terhambatnya usaha penurunan biaya produksi umum
Pemotongan biaya produksi umum (cutting cost of god sold) ini memang sudah menjadi kebijaksanaan umum di manapun dan dalam waktu kapanpun. Tujuannya adalah untuk dapat memenangkan persaingan pasar, akan tetapi tidak semua perusahaan membebankan pemotongan biaya umum ini ke dalam pos biaya tenaga kerja.
b. Sulitnya memotong biaya lainnya.
Ada biaya tetap yang tidak berada dalam kontrol pengusaha misalnya biaya kenaikan BBM, kenaikan biaya tenaga listrik, dan kenaikan biaya bahan baku lebih-lebih bila ini harus diimpor.
c. Naiknya biaya bunga.
Biasanya pengusaha memerlukan kredit dari bank atau dari mana saja, atas kredit ini sudah barang tentu harus dibayar bunga. Bilamana inflasi tinggi l5,69% maka Bank Indonesia biasanya juga menaikkan suku bunganya hingga memicu perbankan untuk menaikkan suku bunga termasuk suku bunga pinjaman. Bagi perusahaan ini tentu saja menambah biaya karena perusahaan harus membayar bunga pinjaman ke bank untuk hutang pokoknya disamping itu juga harus membayar bunga kepada supplier yang sudah barang tentu tidak mau ketinggalan untuk menaikkan harganya karena ia juga harus menutup biaya dana cost of funds.
d. Pajak dan pungutan-pungutan yang makin meningkat yang tentu saja menaikkan biaya produksi memang obyektif memberatkan pengusaha. Bermacam-macam jenis pajak pusat termasuk pajak penghasilan cukup tinggi karena secara umum pajak ini di Indonesia mencapai rata-rata 35% sedangkan di negara tetangga tertinggi adalah 25%. Kalau ingin bersaing dengan negara tetangga semestinya paling sedikit harus setinggi di negara tetangga itu. Belum termasuk pungutan-pungutan atau pajak daerah yang nampaknya demi peningkatan PAD maka pungutan dari pajak daerah ini harus ditingkatkan.86
Berbagai beban yang jelas berada di luar kontrol pengusaha, bahkan seringkali sulit dihindari mengakibatkan pengusaha mencari cara penghematan yang masih mungkin dilakukan. Satu-satunya yang mungkin dihemat adalah upah dan fasilitas kepada karyawan. Penghematan ini dilakukan terhadap karyawan yang paling lemah yakni tenaga kontrak outsourcing karena tidak terorganisir. Lagi pula secara hukum
86
memang bisa melimpahkan tanggung jawabnya kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. ”Bila melakukan penghematan dan pengurangan pekerja yang berstatus pekerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap maka jelas akan menghadapi perlawanan sengit dan harus memberikan pesangon dan hak-hak lain yang cukup besar.”87 Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pro kontra dalam pelaksanaan outsourcing itu.