• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP

A. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Luar Jalur

1. Penyelesaian Melalui Bipartit

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa penyelesaian Bipartit dilakukan agar perselisihan dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang diharapkan masing-masing pihak tidak merasa ada yang dikalahkan atau dimenangkan, karena penyelesaian Bipartit bersifat mengikat. Undang-undang memberikan waktu paling lama 30 hari untuk penyelesaian melalui lembaga ini, jika lebih dari 30 hari maka perundingan Bipartit dianggap gagal. Apabila perundingan mencapai kesepakatan, wajib dibuat perjanjian bersama yang berisikan hasil perundingan. Sebaliknya jika tidak tercapai kesepakatan, harus dibuat risalah perundingan sebagai bukti telah dilakukan perundingan Bipartit.

Dalam hal perundingan Bipartit gagal, salah satu pihak wajib mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, untuk diperantarai. Pejabat yang berwenang pada instansi tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi untuk perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan; atau penyelesaian melalui arbitrase untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.

Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003), 2009

Kewenangan yang diberikan kepada mediator dimaksudkan agar kasus-kasus perselisihan dapat diselesaikan dengan cara sederhana dan sejauh mungkin mencegah terjadi penumpukan perkara perselisihan ke pengadilan, selain sebagai filter agar pihak-pihak yang berselisih tidak dengan mudah langsung berperkara ke pengadilan. Apabila salah satu pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, harus melampirkan risalah perundingan, bila tidak dipenuhi, berkas akan dikembalikan. Berkas itu harus memuat risalah-risalah perundingan, sekurang-kurangnya memuat identitas para pihak, tanggal dan tempat perundingan, alasan perselisihan, pendapat para pihak, kesimpulan/hasil perundingan, dan lain-lain. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa pekerja/buruh dan tenaga kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan asas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Apabila terdapat kesepakatan antara pekerja/buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatangani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama yang merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian secara Bipartit wajib diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak memilih alternatif penyelesaian yang lain. Hal ini berarti sebelum pihak atau pihak-pihak yang berselisih mengundang pihak-pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan, harus terlebih dahulu melalui tahapan perundingan para pihak yang biasa disebut Bipartit.

Apabila dalam perundingan Bipartit berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama (PB) yang mengikat dan menjadi hukum serta wajib

dilaksanakan oleh para pihak. Dalam hal perjanjian bersama (PB) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama (PB) didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.118

Dalam hal perundingan Bipartit tidak mencapai kesepakatan, salah satu atau kedua belah pihak memberitahukan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

2. Penyelesaian Melalui Mediasi

Pada dasarnya penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak-pihak yang berselisih. Apabila proses penyelesaian mediasi tidak tercapai kesepakatan, mediator menyampaikan anjuran secara tertulis untuk memberikan pendapat dalam penyelesaiannya. Selanjutnya para pihak harus memberikan jawaban tertulis atas anjuran tersebut, yang berisi setuju atau menolak anjuran. Pihak yang tidak memberikan jawaban, dianggap menolak anjuran. Selanjutnya apabila anjuran pegawai perantara diterima maka dibuat perjanjian bersama untuk didaftarkan ke PHI guna mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang bertugas melakukan mediasi atau juru damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara pekerja/buruh dan majikan. Seorang mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 2 Tahun

118

Pasal 7 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu tujuh hari setiap menerima pengaduan pekerja/buruh, mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan mediasi antara para pihak tersebut.

Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.119

Pengangkutan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh menteri tenaga kerja. Apabila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian itu didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah:

a. perselisihan hak,

b. perselisihan kepentingan,

c. perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan

d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

119

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima permintaan tertulis, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui Mediasi, dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator dan didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama. Apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak menerima anjuran. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dan mediator, dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama (PB) untuk kemudian didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama (PB). Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PHI pada Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.120

3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

”Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.”121 Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu menyelesaikan perselisihan di luar pengadilan untuk tercapainya kesepakatan, menyangkut perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan oleh konsiliator.

120

Pasal 13 ayat 1-3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

121

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Konsiliator, yaitu seorang atau lebih yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan industrial yang wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Berbeda dengan mediator, seorang konsiliator bukan berstatus sebagai pegawai pemerintah. Konsiliator dapat memberikan konsiliasi setelah memperoleh izin dan terdaftar di kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Sama halnya dengan proses penyelesaian mediasi, undang-undang memberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui konsiliasi adalah: a). perselisihan kepentingan,

b). perselisihan pemutusan hubungan kerja,dan

c). perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Waktu penyelesaian melalui konsiliasi adalah 30 hari.

Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi maka dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh konsiliator serta didaftar di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama (PB). Jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama kepada para pihak. Dan selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah se1esai membantu para pihak membuat perjanjian bersama (PB) dan

didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama (PB).122

Anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PHI pada Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.

4. Penyelesaian Melalui Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dan kata arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Namun sebenarnya kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis arbiter tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.123

Menurut Erman Rajagukguk, ”arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”124 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004 sebagai salah satu dari empat undang-undang bidang ketenagakerjaan yang dibuat dalam era reformasi, maka istilah arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar PHI. Sebenarnya istilah arbitrase bukanlah suatu hal baru di bidang ketenagakerjaan sebab

122

Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

123

Adrian Sutedi, op. cit., hal. 144 124

Erman Rajagukguk, Arbiirase dan Putusan Pengadilan, (Chandra Pratama, 2000,Jakarta) hal. 14.

Undang Nomor 22 Tahun 1957 telah memberikan ruang dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan melalui dewan pemisah (arbitrase), namun kenyataannya dalam kurun waktu 48 tahun undang-undang tersebut tidak berjalan, perselisihan yang diselesaikan melalui arbitrase dapat dihitung dengan jari, ini membuktikan pihak-pihak yang berselisih ternyata masih enggan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, misalnya masih ”kurangnya pemahaman tentang arbitrase itu sendiri karena belum memasyarakat, kemampuan para arbiter yang menyelesaikan perselisihan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, prosedur penyelesaiannya tidak jelas atau perangkat peraturannya yang kurang lengkap dan lain-lain penyebabnya.”125

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, hanya dua jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Adapun perselisihan antar senikat pekerjalserikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban ke serikat pekerja.

Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah a). perselisihan kepentingan, dan

125

b). perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak ditetapkannya putusan arbitrase.

a. Perjanjian Arbitrase

Menurut Pasal 32 ayat (3), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat nama, alamat, dan tempat kedudukan para pihak yang berselisih, pokok persoalan yang menjadi perselisihan ian yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan, jumlah arbitrase yang disepakati, pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase dan tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian arbitrase dan tanda tangan para pihak yang berselisih.

b. Penunjukan Arbiter

Penunjukan arbiter tunggal berdasarkan kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Arbiter hubungan industrial harus didaftar dengan penetapan menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa orang arbiter (majelis). Penunjukan tersebut dilakukan

secara tertulis dalam bentuk perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih. Apabila pihak yang berselisih tidak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal atau majelis maka atas permohonan salah satu pihak pengadilan dapat menetapkan nama-nama arbiter dan daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri.

Umumnya dalam penjanjian arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter dari dua jenis arbiter, yaitu arbiter ad hoc atau arbiter institusional. Arbiter ad hoc atau juga disebut arbitrase volunter atau arbitrase perorangan, yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, karenanya kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc ini bersifat insidentil. Artinya, kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu yang dimintakan. Menurut M. Yahya Harahap untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah arbitrase ad hoc dapat dilihat dari rumusan perjanjian arbitrase.126

Apabila perjanjian arbitrase (pactum de compromitendo atau acta compromis) menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase di luar arbitrase institusional atau apabila perjanjian arbitrase menyebut arbitrase yang menyelesaikan terdiri atas arbiter perseorangan maka arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Adapun arbitrase institusional (institusional arbitration), yaitu badan arbitrase yang bersifat permanen yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani perselisihan yang timbul bagi mereka atau untuk kepentingan bangsa dan negara yang menghendaki penye1esaian di luar pengadilan.

Ketentuan penunjukan arbiter dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur, para pihak yang telah menandatangani perjanjian arbitrase berhak memilih dan menunjuk arbiter baik arbiter tunggal atau majelis arbiter

126

dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya tiga orang. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal maka penunjukan dilakukan dalam waktu selambat lambatnya tujuh hari kerja. Selanjutnya apabila para pihak sepakat untuk menunjuk majelis arbiter maka masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat lambatnya tiga hari kerja, kemudian arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk masing-masing pihak untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Namun apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk arbiter tunggal maupun majelis arbiter maka atas permohonan salah satu pihak, ketua pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri (appointing authority). Dengan ditetapkannya arbiter (tunggal atau majelis) baik oleh para pihak maupun atas penetapan pengadilan, para pihak dengan arbiter membuat perjanjian penunjukan arbiter. Arbiter yang akan menarik diri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila permohonannya tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan kepada PHI untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. Prosedur ini harus dilalui oleh arbiter, tanpa melalui proses seperti ini arbiter tidak dapat menarik diri/mengundurkan diri. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak menyebut alasan apa yang diajukan arbiter untuk menarik diri. Oleh karena itu, alasan pengunduran diri harus merupakan alasan yang benar-benar serius. Misalnya karena gangguan kesehatan yang dibarengi dengan surat keterangan medis. Bisa juga berupa alasan yang dapat diperkirakan akan mengganggu kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian fungsi arbitrase. Misalnya karena terpaksa melaksanakan tugas jabatan.

c. Pemeriksaan Arbitrase

Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya. Sebelum acara pemeriksaan perselisihan dilakukan, yang pertama-tama harus jelas dulu identitas dan kedudukan para pihak dalam perselisihan, juga memuat penjelasan tentang pokok-pokok permasalahanl perselisihan, yang biasa disebut positum atau fundamentum petendi serta apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum). Secara umum telah ada sebutan standar yang sudah diterima masyarakat pada umumnya maupun dalam literatur. Misalnya para pihak adalah penggugat/pemohon dan tergugat/termohon atau dalam istilah asing disebut Claimant dan Respondent. Claimant adalah seseorang yang membuat tuntutan atau pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan, sedangkan Respondent ialah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu persengketaan/perselisihan. Dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini sama sekali tidak memberi sebutan pada masing-masing pihak,

tetapi hanya memberi sebutan berupa para pihak (party). ”Dari segi tata tertib beracara sebaiknya pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan penyelesaian disebut pihak penggugat. Adapun pihak yang ditarik ke dalam perselisihan disebut pihak tergugat.”127

Dalam setiap perselisihan juga hendaknya dituangkan apa yang menjadi dasar (fundamentum petendi) diajukannya tuntutan sebagaimana dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, menyebutkan perjanjian penunjukan arbiter memuat pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil Keputusan juga apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum) harus secara jelas dicantumkan. Tujuannya adalah selain untuk membatasi permasalahan dan tuntutan para pihak agar tidak obscur libel (kabur/tidak jelas), juga agar lebih mudah mengontrol arbiter dalam melaksanakan fungsinya. Tata pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter diatur dalam Pasal 41 sampai 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Artinya, asas pemeriksaan secara tertutup tidak bersifat mutlak, tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas pemeriksaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaan di muka sidang pengadilan, yaitu fair trial, setiap tahap proses pemeriksaan persidangan mesti dilakukan terbuka untuk umum. Pemeriksaan secara tertutup dalam forum arbitrase bersifat konfidensial dilakukan dengan

127

tujuan dan motivasi agar nama baik para pihak dapat terjamin kerahasiaannya sehingga pihak luar tidak tahu adanya perselisihan di antara para pihak.

Untuk acara pemeriksaan, arbiter memanggil para pihak, dan apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Atau apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perselisihan dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya (verstek). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak memberikan penjelasan apakah terhadap putusan verstek tersebut dapat mengajukan perlawanan (verzet tegen verstek) atau tidak.128

Pada awal pemeriksaan pada sidang arbitrase, apabila para pihak hadir, arbiter terlebih dahulu harus mengupayakan penyelesaian melalui perdamaian. Upaya perdamaian ini dalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bersifat imperatif. Apabila dalam sidang tersebut tercapai perdamaian antara para pihak maka dituangkan dalam suatu akta perdamaian. Menurut isi Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan

Dokumen terkait