BAB II. KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN
A. Perjanjian Kerja
sebagai pekerja tetap. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas: jangka waktu tertentu, dan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Kebanyakan dari para pekerja outsourcing adalah termasuk dalam perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dan dimaksudkan untuk menutup kesulitan menentukan jenis pekerjaan tertentu yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu misalnya mengenai pemborongan pekerjaan yang merupakan peluang bagi perusahaan penyedia tenaga kerja dan para pemberi kerja agar mendapat tenaga murah dan berkualitas.
Pekerja outsourcing semestinya mengetahui tentang hak-hak dasar pekerja, salah satunya hak non-diskriminasi dalam Pasal 6. Hak-hak dasar ini dipertegas lagi dalam berbagai pasal berikut ini:
a. Pasal 35 ayat (2) menyatakan bahwa pelaksana penempatan kerja (PJPT) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. b. Pasal 35 ayat (3) dari UU No.13 Tahun 2003 ini menyebutkan pemberi kerja
dalam memperkerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga kerja.11
10
Libertus Jehani, op. cit., hal. 7. Lihat, juga Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. 11
Formulasi kedua ayat ini memberikan pengertian luas akan arti perlindungan karena prinsip hukum adalah bahwa makin pendek suatu formulasi hukum maka makin luas pula pengertian dan pelaksanaannya. ”Hal ini dipertegas lagi dengan kata-kata mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan. Kata mencakup berarti meliputi akan tetapi tidak terbatas pada apa yang disebutkan dalam kata meliputi tersebut, jadi masih ada hal yang di luarnya.”12 Pengertian ini bilamana dihubungkan dengan pengertian non-diskriminasi dengan pekerja tetap dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan, maka secara substantif tidak ada perbedaan antara pekerja tetap dengan pekerja untuk waktu tertentu, tipe outsourcing termasuk dalam hak-hak normatif apabila pekerja diberhentikan dari kerja oleh pemberi kerja. Dari ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pekerja outsourcing termasuk di dalam katagori perjanjian kerja waktu tertentu, maka para pekerja harus diberikan pekerjaan yang sesuai sifatnya dengan apa yang disebut dalam ayat (1) dan (2) pasal. Jika tidak sesuai dengan pekerja tetap maka demi hukum pekerja outsourcing harus diakui oleh pemberi kerja sebagai pekerja tetap dan tidak dapat didiskriminasi. Hal ini dipertegas dalam Pasal 65 ayat (4) dan ayat (8) sehingga hak-haknya harus dipulihkan dan disamakan dengan pekerja tetap termasuk dalam hal jangka waktu kerja.
Penggunaan tenaga kerja outsourcing dalam kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud dengan
12
kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Dari ketentuan tersebut, tampak bahwa pengaturan tentang syarat-syarat memperkerjakan pekerja kontrak sangat dibatasi (limatitif). Pekerjaan yang bersifat permanen sekalipun, juga menggunakan pekerja kontrak. Bentuk penyiasatan yang dilakukan adalah dengan melibatkan perusahaan outsourcing untuk memperkerjakan beberapa bagian pekerjaan perusahaa. ”Berdasarkan kerjasama operasional tersebut, perusahaan outsourcing merekrut pekerja-pekerja kontrak. Di tengah terbatasnya kesempatan kerja, maka pekerja outsourcing ini tidak punya banyak pilihan selain menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan.”13
Walaupun adanya batasan dalam UU Ketenagakerjaan untuk memperkerjakan pekerja outsourcing, namun tetap berpotensi menimbulkan masalah, sebagaimana dikemukakan R. Djokopranoto:
Dalam teks UU No 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan
13
industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.14
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dibolehkan jika tidak menyangkut usaha pokok (core business), namun interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai bidang kegiatan perusahaan. Dengan kata lain, ”konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core
business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis”.15
Demikian serikat pekerja menolak sistem outsourcing, karena tidak terjamin kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Setiap saat pekerja dapat diberhentikan dan perusahaan tidak diharuskan membayar kompensasi PHK. Alasan penolakan lain, karena pada kenyataannya banyak sekali terjadi penyimpangan dalam kontrak. Penyimpangan yang sering terjadi antara lain:
a. Upah pekerja kontrak di bawah ketentuan UMR/UMP;
b. Pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek;
c. Para pekerja kontrak dan perusahaan outsourcing bekerja pada bidang-bidang yang bersifat terus-menerus;
d. Perusahaan outsourcing nakal baik langsung maupun tidak memungut uang dari calon pekerja;
e. Perusahaan outsourcing memotong upah para pekerjanya sendiri; f. Para pekerja kontrak tidak mendapat THR.16
14
R. Djokopranoto, “Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha)”, Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, (World Trade Center, Jakarta,13-14 Oktober 2005,Yogyakarta), hal. 5.
15
Ibid., hal. 6. 16
Dari kasus yang disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing tersebut, antara lain: kasus outsourcing di Rumah Sakit Pusat Pertamina, terjadi pelanggaran pelaksanaan outsourcing karena tidak adanya perjanjian tertulis antara pihak rumah sakit sebagai pengguna dengan koperasi pegawai rumah sakit selaku agen. Kemudian juga kasus penyimpangan outsourcing terjadi di pintu jalan tol Lingkar luar Jakarta, dimana sebagian besar petugas tiket di pintu tol berstatus sebagai pegawai outsourcing. ”Padahal masyarakat awam pasti bisa menilai bahwa pekerjaan menjaga pintu jalan tol adalah bisnis inti dari perusahaan penyelenggara jalan tol. Artinya tak layak kalau pekerjanya berstatus karyawan kontrak apalagi outsourcing.”17
Selain itu, dalam pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan dapat timbul, misalnya berupa pelanggaran-pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya, menurut ”Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.”18
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003).
17
“Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita”, http:/www.hukumonline.com, hal. 1. 18
Selanjutnya dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mensyaratkan gugatan dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Jika tidak disertakan, hakim wajib mengembalikan gugatan penggugat.
B. Permasalahan
Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang
perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing.
2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:
1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum ketenagakerjaan khususnya di bidang pelaksanaan perjanjian kerja outsourcing pada suatu perusahaan.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang perjanjian kerja outsourcing pada suatu perusahaan khususnya bagi para akademisi, mahasiswa, pelaku usaha outsourcing dan juga masyarakat pekerja outsourcing pada umumnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitar Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat saya pertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
“Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,”19 dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.”20 “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis.”21 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori Perlindungan hukum yang dikemukakan oleh J. van Kan, ”bahwa hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat”.22 Demikian juga halnya dalam ketenagakerjaan khususnya dalam perjanjian kerja outsourcing.
Dalam kepustakaan hukum mengenai outsourcing selalu dikaitkan atau disebutkan dalam hukum perburuhan. Dalam bukunya Imam Soepomo, “disebutkan mengenai definisi hukum perburuhan, antara lain menurut Moleenar, hukum perusahaan adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur
19
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,(FE UI, 1996,Jakarta), hal. 203.
20
Ibid, hal. 16. 21
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (CV. Mandar Maju, 1994,Bandung), hal. 80. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
22
J. van Kan, dalam Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (edisi revisi, Raja Grafindo Persada, 2008,Jakarta), hal. 21.
hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh, dan antara buruh dengan penguasa.”23 “Pengertian hukum perburuhan sebagai himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.”24 Selanjutnya, Arnol M. Rose sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “kalau ingin melihat peranan hukum dalam perubahan sosial, maka hal itu hendaknya dilihat dalam kemampuannya untuk melakukan initial pust”.25
Satjipto Rahardjo sendiri berpendapat:
Dalam menggunakan hukum sebagai sarana, tidak boleh berpikir seperti dalam ilmu-ilmu alam. Proses itu berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkannya bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Dalam keadaan yang demikian ini, maka hukum bisa digolongkan ke dalam faktor “penggerak mula”, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistematis. Dalam hal ini, hukum bekerja untuk mengantarkan masyarakat dalam transformasi sosial. Kata “mengantarkan” di sini bahwa tugas hukum adalah untuk memberikan dukungan konseptual dan struktural terhadap proses perubahan dalam masyarakat.26
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern banyak disebut-disebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) telah mengatur Perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: Perlindungan PHK, Jamsostek, upah yang layak dan
23
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 2 24
Ibid., hal. 2. 25
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial-Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman di Indonesia, (Penerbit Alumni, 1983,Bandung), hal. 157.
26
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Proyek Penulisan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia Bekerjasama dengan Penerbit CV. Sinar Baru, 1985,Bandung), hal. 18.
tabungan pensiun. Namun dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing, karena status pekerja outsourcing adalah pekerja dari suatu perusahaan penyalur tenaga kerja, tetapi harus bekerja pada perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing dengan waktu kerja tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Undang - Undang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Iman Soepomo berpendapat, bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.27 Kemudian menurut Subekti perjanjian kerja adalah: ”Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain”.28
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai Perjanjian Kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut, ada dikemukakan perkataan di bawah perintah, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan di bawah ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah. Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.29
Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat penjanjian adalah sama dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Oleh karena itu pengertian perjanjian pada
27
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan, 1983,Jakarta), hal. 53. 28
Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kedua, (Alumni, 1977,Bandung), hal. 63. 29
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(RajaGrafindo Persada, 2008,Jakarta), hal. 31.
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut berlainan jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada Pasal 1601 a KUH Perdata.
Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata, masih menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaitu M.G. Rood, menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a. “Adanya unsur work atau pekerjaan
b. Adanya unsur service atau pelayanan c. Adanya unsur time atau waktu tertentu d. Adanya unsur pay atau upah.”30
“Sebagai implementasi dari perjanjian kerja tersebut, maka salah satu pihak yaitu si pekerja, harus melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya harus dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan tidak boleh digantikan orang lain.”31 Kemudian pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus
30
M.G Rood, materi penataran terhadap Dosen-dosen Hukum Perburuhan seluruh Indonesia, di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, tanggal 7 – 19 Agustus 1989.
31
dilakukan dalam waktu tertentu, dan tidak boleh dikerjakan selama hidupnya si pekerja. Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh pekerja, sesuai dengan waktu yang telah disepakati atau diperjanjikan maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum dan kebiasaan setempat.
Oleh karena itu dari esensialia tersebut di atas, jika dirumuskan adalah sebagai berikut:
a. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan sendiri; b. Harus di bawah perintah orang lain;
c. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu, dan
d. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah, sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayar upah tepat pada waktunya.
Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada, demikian halnya dengan peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan KKB/PKB.32
Ketentuan ini juga akan berlaku dalam perjanjian kerja outsourcing (alih daya) antara pekerja dengan perusahaan penyalur dan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing tersebut. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan,
32
memperkerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan itulah yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan buruh/pekerja yang diperkerjakan.
UU Ketenagakerjaan mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 64 bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource itu menurut Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menurut Pasal 66 UU Ketenagakerjaan tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yang harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselilsihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Selanjutnya tata cara perijinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pasal 4 ketentuan menteri tersebut menentukan dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa; b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a,
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima