BAB II KAJIAN TEORI
D. Obsesi
Manusia merupakan makhluk sosial yang ditengarai tidak pernah puas dalam memenuhi kebutuhannya. Ketika sudah mendapatkan keinginan yang satu, maka keinginan lainnya bersiap untuk diwujudkan, dan begitu seterusnya. Sifat manusia yang tidak pernah puas ini terkadang memicu keinginan yang berlebihan dalam menggapai sesuatu. Hal seperti ini sering disebut sebagai obsesi.
Definisi obsesi dalam The Webster‟s Dictionary “ialah ide, pikiran, bayangan atau emosi yang tidak terkendali, sering datang tanpa dikehendaki atau mendesak masuk dalam pikiran seseorang yang mengakibatkan rasa tertekan dan
cemas”.26
Pengertian lain obsesi dikemukakan Kaplan dalam Anggraeni adalah pikiran, ide, atau sensasi yang muncul tanpa kendali. Davison dan Neale mengungkaplan bahwa hal-hal tersebut muncul tanpa dapat dicegah, dan individu
merasakannya sebagai hal yang tidak rasional dan tidak dapat dikontrol.27
24 Ibid.
25 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.61 26 Retha Arjadi, Melakukan Sesuatu Berulang, Waspadai Gangguan Obsesif-Kompulsif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015)
27 Mareta Anggraeni, Perilaku Obsesif Kompulsif Disorder pada Peserta Penurunan Berat
Obsesi yang terjadi atau dialami oleh manusia masih bisa dikatakan berada dalam batas wajar jika seseorang itu tidak berlebihan atau berulang-ulang memikirkan hal yang sama. Jika hal ini terjadi sampai berulang-ulang dan mengganggu fungsi keseharian serta disertai dengan kecenderungan melakukan sesuatu yang berulang untuk mengurangi kecemasan yang ditimbulkan akibat pikiran tersebut, Retha Arjadi mengatakan itu merupakan gangguan psikologis.
Sebagai contoh ketika seseorang terobsesi terhadap makanan. Orang tersebut akan merasakan ide atau sensasi yang muncul tanpa kendali atau dengan kata lain datang tanpa dikehendaki ketika melihat objek tertentu, makanan misalnya. Dewasa ini, banyak masyarakat memperlihatkan obsesi terhadap makanan dengan menjadikan makanan sebagai gaya hidup untuk memperlihatkan status sosial. Salah satu caranya dengan berlomba-lomba mengabadikannya dalam sebuah foto kemudian mengunggahnya ke berbagai jejaring sosial yang sedang
trend seperti Instagram, Facebook, Blog, ataupun Path. Aktivitas seperti ini jika
dilakukan berulang bisa dikatakan sebagai gangguan psikologis.
Obsesi juga didefinisikan sebagai gangguan pikiran yang berulang, dorongan yang tidak dapat diterima atau tidak diinginkan yang menimbulkan
perlawanan subjektif serta kesulitan mengontrol diri.28 Sebenarnya hampir semua
orang pernah mengalami hal seperti ini, namun perbedaannya hanya intensitasnya. Pikiran yang mengganggu pada orang yang memiliki obsesi lebih tahan lama.
Obsesi yang merupakan gejala neurose jiwa, yaitu adanya pikiran atau perasaan tertentu yang terus menerus, biasanya ditandai dengan hal-hal yang tidak
menyenangkan ataupun sebab-sebab yang tidak diketahui oleh penderita.29
Berdasarkan paparan di atas, obsesi ternyata memiliki asal-usul, yakni yang pertama ialah stres. Paparan stres yang berlebihan bisa meningkatkan pikiran yang mengganggu yang tidak diinginkan. Kedua, sejumlah pikiran besar yang mengejutkan yang dipicu oleh isyarat eksternal.
Pikiran yang terus menerus berulang hingga mengganggu keseharian termasuk ke dalam gangguan psikologis. Gangguan psikologis yang dimaksud dikenal dengan gangguan obsesif kompulsif. Gangguan ini ditandai oleh dua
28 S.Rachman, A Cognitive Theory Of Obsessions, (Canada: University of British Columbia, 1997), h. 793
komponen yaitu obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah pikiran-pikiran yang menetap, berulang, dan bersifat mengganggu hingga menimbulkan kecemasan dalam diri orang yang mengalaminya. Sementara itu, kompulsi adalah perilaku yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang karena merasa harus melakukannya. Orang tersebut meyakini bahwa dengan melakukan perilaku berulang tersebut, kecemasan yang ia alami terkait obsesi pikirannya dapat
berkurang.30 Oleh karena itu, orang dengan gangguan obsesif-kompulsif harus
menunjukkan adanya obsesi terhadap pemikiran tertentu dan kompulsi untuk melakukan sesuatu yang sifatnya menetap dan tidak masuk akal.
Abidin dalam Amalia mengungkapkan bahwa kebanyakan penderita gangguan ini berasal dari golongan kulit putih, terpelajar, menikah, dan karyawan. Karyawan atau pekerja lebih rentan terkena gangguan ini dikarenakan stres atau tekanan yang dialaminya dalam pekerjaan. Mereka dituntut untuk melakukan pekerjaan dengan sempurna dan seideal mungkin serta terlalu mementingkan detail yang berlebihan, sehingga tidak jarang akhirnya pekerjaan yang mereka lakukan tidak selesai karena terbentur dengan ide yang mereka harus penuhi untuk
memenuhi harapan atasannya, sementara ide tersebut tidak dapat dicapai.31
Biasanya orang-orang dengan gangguan osbesif kompulsif ini memiliki waktu senggang yang sedikit. Waktu yang mereka miliki lebih banyak dihabiskan di rumah atau kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya sesempurna mungkin, penderita gangguan ini juga relatif memiliki hubungan sosial yang kaku dengan masyarakat sekitar. Mereka tidak mudah untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
E. Makanan
Makanan ialah kebutuhan utama bagi manusia, karena kegiatan ini bisa dikatakan sebagai penunjang keberlangsungan hidup manusia untuk beraktivitas sehari-hari. Jenis makanan yang ada pun saat ini sudah berbeda dari sebelumnya.
30 Retha Arjadi, Melakukan Sesuatu Berulang, Waspadai Gangguan Obsesif-Kompulsif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015)
31 Dara Amalia, Hubungan Kepribadian dengan Kecenderungan Gangguan Kepribadian
Obsesif Kompulsif pada Karyawan, (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tidak
Jika dahulu manusia hanya memakan makanan yang mentah, kemudian dibakar, direbus, dipanggang, dan pada akhirnya kini cara mengolah makanan tersebut sudah semakin bervariasi.
Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, tentu memiliki jenis makanan dan cara pengolahan yang berbeda-beda di setiap daerah. Selain suku dan bangsa, masakan merupakan bukti kebinekaan Indonesia. Tidak ada negara yang memiliki ragam kuliner sekaya Indonesia. Keragaman itu memiliki akar sejarah panjang. Keadaan politik dan ekonomi suatu daerah sangat
menentukan variasi makanan penduduk.32
Kekayaan budaya etnik di Indonesia yang bersumber dari berbagai berbagai suku ini memungkinkan untuk diperkenalkan secara intensif kepada penjuru dunia, karena bagaimanapun Indonesia yang kaya akan potensi kuliner ini harus dilestarikan keberadaannya agar tidak tergerus dan kalah saing dengan kuliner asing yang masuk ke dalam negeri.
Sekitar tahun 1970-an, bisnis kuliner tradisional mulai berkembang, walau masih tergolong lamban, tahun 2000-an banyak pengusaha kuliner tradisional mulai menyadari untuk menggali potensi kuliner tradisional. Begitu juga pengusaha kuliner nusantara dari waktu ke waktu mulai tumbuh, seperti kuliner sate dan soto khas Madura, gudeg khas Yogyakarta, atau coto khas Makasar. Tingkat pengusaha kuliner yang khas seperti warteg (warung Tegal) dan rumah makan Padang juga tersebar di berbagai penjuru daerah, tidak terkecuali di
Yogyakarta.33
Setiap makanan yang ada di suatu daerah memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan makanan di daerah lain. Makanan di Jawa misalnya dikenal dengan ciri khas manis, makanan di Minahasa yang terkenal pedas, sementara di Indonesia bagian Timur yang tidak mempergunakan terlalu banyak bumbu, di Sumatera yang berkebalikan dengan Indonesia Timur, di daerah tersebut bumbu yang dipergunakan bisa mencapai belasan hingga puluhan dalam sekali memasak.
32 Agoeng Wijaya, Kurniawan, Mustafa Silalahi, dkk. Edisi Khusus Tempo (Antropologi
Kuliner), (Jakarta: PT Tempo Inti Media Tbk, 2014), h. 31
33 Robby Hidajat, Jantra (Jurnal Sejarah dan Budaya), (Yogyakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2014), h. 1─2
William mengemukakan, makanan Indonesia saat ini seperti bahasa di Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, beragam dan tidak dipersatukan oleh bahasa apa pun. Hanya, kita tidak perlu memperbarui Sumpah Pemuda dan memasukkan sumpah baru: “Memakan makanan yang satu, makanan Indonesia.” Sebab, pada keberagamannya itulah kekuatan khazanah kuliner Indonesia. Tidak ada negara
yang makanannya begitu beragam seperti Indonesia.34
Makanan yang ada atau yang tersaji tidak begitu saja ada tanpa maksud dan tujuan. Ketika ada suatu acara formal misalnya, makanan yang disajikan tidak mungkin hanya makanan ringan tanpa adanya makanan khas acara tersebut. Pada saat Hari Raya Idul Fitri misalnya, ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang wajib ada pada hari itu. Namun berbeda ketika acara lain selain Idul Fitri, makanan tersebut tidak harus ada. Terkadang sebuah makanan merupakan simbol perwujudan suatu hal. Ketupat yang selalu hadir pada Hari Raya ditengarai merupakan simbl kebersamaan. Dalam bahasa Jawa, ketupat merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan sedangkan Laku papat artinya empat tindakan.
Rendang khas dari Minangkabau misalnya, memiliki cerita di baliknya. Rendang dipandang sebagai salah satu budaya etnik yang khas diperhatikan dari empat aspek, yaitu (1) mampu berkembang dan bertahan, (2) mengandung nilai-nilai yang diyakini bersama, (3) mampu membangun jaringan interaksi dan komunikasi, dan (4) membawa ciri kelompok yang mampu diterima kelompok lain. Rendang pada umumnya dipahami sebagai nama masakan yang bahan utamanya berasal dari daging sapi. Fungsi utama dari rendang adalah sebagai kuliner yang menyertai ritual adat. Rendang sebagai kuliner etnik tidak hanya sebagai makanan yang hanya memuaskan rasa lapar, akan tetapi membawa serta
kebiasaan lokal, lingkungan, dan adat tradisi masyarakatnya.35
Kekayaan makanan di Indonesia tidak melulu begitu saja muncul, sama halnya ketika orang Manado menyukai cabai seperti mereka menyukai garam, tentu bukan karena Tuhan menciptakan lidah mereka berbeda dengan lidah orang
Yogyakarta.36 Semua sebab tersebut memiliki cerita di baliknya yang terkadang
34 Wijaya, op.cit., h. 48 35 Hidajat, op. cit., h. 2 36 Wijaya, loc.cit.
dilupakan oleh masyarakat Indonesia dalam melihat makanan sebagai kebutuhan pokok dan penuntas rasa lapar semata.
Makanan juga bisa menunjukkan identitas seseorang. Misalnya perempuan yang ditampilkan berusaha menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga. Mama dengan sikapnya yang menyuruh juru masak menyiapkan masakan sesuai dengan menu yang telah ia susun menunjukkan bagaimana tokoh ibu berusaha menjalankan perannya dengan baik. Makanan bisa menjadi suatu kebudayaan tersendiri. Pada beberapa budaya di Indonesia makan bersama menunjukkan suatu penghormatan. Ketika ada tamu, maka tuan rumah akan menawarkan makan bersama dan tamu akan menerima permintaan tersebut sebagai penghormatan
kepada tuan rumah. 37
Ritual makan bersama merupakan pengikat hubungan antar sesama. Oleh karena itu, banyak orang-orang yang menggunakan makanan sebagai media dalam memecahkan masalah salah satunya. Berwisata kuliner juga menjadi aktivitas yang digemari dewasa ini. Namun, hanya sedikit orang yang mengkonsusmsi makanan dengan mengetahui proses pembuatan di baliknya. Wisata kuliner bukan hanya menyantap makanan di warung. Wisata kuliner adalah pergi ke satu daerah, mendatangi kebun-kebun rimbun tempat bahan makanan ditanam, mengunjungi pasar untuk bertemu dengan masyarakat, berbincang dengan banyak orang, mampir ke rumah penduduk lokal untuk melihat proses memasak sejak awal, dan
mengikuti tata cara mereka menikmatinya.38
Bermacam-macam peran makanan yang terdapat dalam masyarakat, tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan pokok semata melainkan kini telah memiliki peran yang lebih banyak.
F. Penelitian Relevan
Hasil penelitian sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Delmarrich Bilga Ayu Permatasari (2015) tentang analisis dekonstruksi pada novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak.
37 Inayatul Chusna, Makanan dan Konstruksi Indentitas Perempuan dalam Fasting Feasting
Karya Anita Desai, (Jakarta: Tesis UI: Tidak diterbitkan, 2006)
38 Agoeng Wijaya, Kurniawan, Mustafa Silalahi, dkk. Edisi Khusus Tempo (Antropologi
Penelitian yang berjudul “Kuasa Rasa dalam Kata (Analisis Dekonstruksi novel
Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak)” menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan dekonstruksi. Novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak bisa dikaji melalui beberapa teori, namun pada judul “Kuasa Rasa dalam Kata (Analisis Dekonstruksi novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak)” dikaji menggunakan teori dekonstruksi, di mana teori dekonstruksi bisa menjadi alat yang tepat. Pada penelitian tersebut, pertentangan yang tersebar luas membutuhkan pendataan oposisi biner agar penetralisiran dapat dilakukan yang berujung pada diseminasi atau penyebaran makna yang terdapat di dalamnya.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui adanya praktik dari relasi kuasa dalam teks yang ditelaah menggunakan teori dekonstruktif, sehingga diharapkan dari adanya penelitian tersebut pembaca dapat mengetahui sejauh mana pengarang mempergunakan pola bahasa dan pemikiran untuk memberi bentuk pada suatu pandangan tertentu. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya praktik relasi kuasa dalam novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak. Hal-hal yang terkait dengan kontradiksi-kontradiksi terlihat jelas dan bahkan karya sastra ini mencoba mendekonstruksikan dirinya sendiri di akhir cerita. Pendekonstruksian mandiri yang meliputi bawahan yang berani untuk menentukan jalan hidup, kehidupan Nusantara memiliki daya pikat dengan caranya sendiri, perempuan berjiwa feminis pada Aruna, dan makna hati yang melebihi fisik, mengarah pada satu muara, bahwa keindahan dan kesempurnaan
hanya dapat dilihat dari hati dan rasa.39
Penelitian kedua yang juga telah dilakukan sebelumnya, diteliti oleh Reny Rachmawati (2014) mengenai analisis tokoh Amba pada novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Penelitian yang berjudul “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode analisis ini digunakan untuk menelaah tokoh utama Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah dengan cara
39 Delmarrich Bilga Ayu Permatasari, Kuasa Rasa dalam Kata (Analisis Dekonstruksi novel
Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak), (Surabaya: Penelitian, tidak diterbitkan oleh
membaca serta menyimak novel. Dalam penelitian sebelumnya ini, penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung yang diuraikan menjadi delapan teknik yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat tokoh Amba menggunakan kedelapan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa sifat Amba keras kepala, berkemauan keras,
netral dalam berpolitik, acuh, dan tidak putus asa.40
Penelitian ketiga yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ialah penelitian yang dilakukan oleh Dhiyah Ratna Putri (2011) mengenai tata saji hanami bentou yang merupakan bagian dari budaya kuliner Jepang. Penelitian yang berjudul “Budaya Kuliner Jepang Hanami Bentou: Kajian Tata Saji pada Kegiatan Hanami di Jepang” ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan desain eksposisi. Pendekatan kualitatif ialah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menjelaskan mengenai tata saji hanami bentou pada kegiatan hanami di Jepang. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa makanan-makanan yang terdapat dalam hanami bentou cukup bervariasi. Makanan tersebut terdiri dari jenis makanan yang berupa daging-dagingan, ikan-ikanan, atau sayuran. Tata saji hanami bentou sangat memperhatikan mengenai tampilannya yang berwarna-warni disesuaikan dengan musim semi. Selain itu unsur warna juga sangat dominan digunakan untuk memperindah tampilan dari
hanami bentou.41 Penulis juga menemukan penelitian serupa terkait makanan, yakni penelitian yang berjudul “Fenomena Mengunggah Foto Makanan pada Pengguna Media Sosial”. Penelitian ini untuk melihat motif seseorang dalam kegiatan mengunggah foto makanan sebagai lifestyle dan kemudian pengaruh
media sosial dalam penyebaranya.42
40 Reny Rachmawati, Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel karya Laksmi Pamuntjak dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA, (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah:
Tidak diterbitkan, 2014)
41 Dhiyah Ratna Putri, “Budaya Kuliner Jepang Hanami Bentou: Kajian Tata Saji pada
Kegiatan Hanami di Jepang”, (Depok: Skripsi Unversitas Indonesia: Tidak diterbitkan, 2011) 42 Ken Bestari, Fenomena Mengunggah Foto Makanan pada Pengguna Media Sosial, (Depok: Skripsi Universitas Indonesia: Tidak diterbitkan, 2014)
Persamaan pada ketiga penelitian relevan yang telah dikemukakan sebelumnya terdapat pada objeknya. Penelitian yang berjudul “Kuasa Rasa dalam Kata (Analisis Dekonstruksi novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak)” dan penelitian yang akan penulis teliti sama-sama menggunakan novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak. Judul kedua yakni “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” memiliki kesamaan pada sisi pengarang. Meski menggunakan dua karya yang berbeda yakni novel Amba dan novel Aruna dan Lidahnya, namun kedua novel tersebut ditulis oleh orang yang sama yakni Laksmi Pamuntjak. Penelitian ketiga yang berjudul “Budaya Kuliner Jepang Hanami Bentou: Kajian Tata Saji pada Kegiatan Hanami di Jepang” memiliki kesamaan pada topik yang dikaji yakni mengenai makanan, sedangkan perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan judul pertama terletak pada teori yang digunakan. Penulis menggunakan teori objektif sedangkan penelitian yang berjudul “Kuasa Rasa dalam Kata (Analisis Dekonstruksi novel
Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak)” menggunakan teori dekonstruksi.
Judul kedua “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” memiliki perbedaan dalam hal novel yang digunakan. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya berjudul “Budaya Kuliner Jepang Hanami Bentou: Kajian Tata Saji pada Kegiatan Hanami di Jepang” memiliki perbedaan pada objek yang digunakan. Peneliti menggunakan novel Aruna dan Lidahnya sebagai objeknya sedangkan penelitian sebelumnya dengan judul “Budaya Kuliner Jepang Hanami
Bentou: Kajian Tata Saji pada Kegiatan Hanami di Jepang” menggunakan hanami bentou.