3. Variabel Mediasi
3.5.2. Operasional Variabel
Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Untuk itulah seorang auditor membutuhkan atribusi dalam bentuk sikap dan regulasi yang mengatur mengenai internal audit, risk management, whistleblowing system, dan memiliki pemahaman mengenai pemanfaatan big data analytics dalam pencegahan fraud dan pencegahan perilaku financial crime.
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi) (Suryabrata, 2014). Menurut Sarjono et al., (2015) menjelaskan bahwa operasionalisasi variabel merupakan petunjuk atau penjelasan tentang pengertian konkrit dari setiap variabel penelitian menyangkut indikator-indikatornya, serta kemungkinan derajat nilai atau ukurannya. Penjelasan tentang variabel penelitian dimaksudkan untuk menghindari salah penafsiran dalam memahami pembahasan-pembahasan dalam penelitian sehingga lebih mudah diikuti.
Dalam penelitian ini pengukuran variabel masing-masing variabel diukur dengan model skala likert lima poin, yaitu (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) netral, (4) setuju, dan (5) sangat setuju. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan. Dalam penelitian ini responden diminta untuk menyatakan setuju atau ketidaksetujuannya terhadap pertanyaan yang diajukan sesuai dengan kondisi mereka yang sesungguhnya. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) variabel exsogen (independent) yang terdiri dari Internal audit (X1), Risk Management (X2), whistleblowing system (X3), dan big data analytics (X4), dan 2 (dua) variabel endogen (dependent) yaitu pencegahan fraud (M) dan pencegahan perilaku financial crime (Y) yang dijelaskan secara operasional sebagai berikut :
Tabel 3.5.
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel Dimensi Indikator Skala
Internal Audit (X1)
(BPKP, 2015; Kofi Fred and Eric Worlanyo,
2017; Marta Postula, 2020)
Internal audit merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan independen, berkeyakinan objektif dalam pemeriksaannya, dan melakukan konsultasi dalam manajemen dengan tujuan agar dapat menaikan nilai dan kirerja dalam organisasi.
Indikator reflektif terdiri dari:
1. Peran dan Layanan (X1.1);
2. Kemampuan Profesional (X1.2);
3. Lingkup Pekerjaan (X1.3);
4. Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan (X1.4);
5. Manajemen Bagian Audit Internal (X1.5)
Ordinal
Risk Management (X2) (Rainer, et al., 2015;
Parker, L. D., et al.,2019
Pendekatan terstruktur dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman, rangkaian aktivitas manusia termasuk penilaian
Indikator reflektif terdiri dari : 1. Mengumpulkan Data (X2.1) 2. Menganalisis Risiko (X2.2)
3. Mempertahankan Profil Risiko (X2.3)
; INTOSAI GOV 9130, 2014; Scarozza et al., 2017; Permenpan RB No
5 Tahun 2020)
risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko
dengan menggunakan
pemberdayaan/pengelolaan sumber daya. Risk management dikatakan sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memehami eksposur terhadap suatu kerugian.
4. Mengartikulasi Risiko (X2.4)
5. Mendefinisikan Portofolio Tindakan Manajemen Risiko (X2.5)
6. Menanggapi Risiko (X2.6) Ordinal
Whistleblowing system (X3)
(Brown-Liburd et al., 2015; Valentine et al., 2019; Komite Nasional Kebijakan Governance, 2008; Nugraha, 2015)
Whistleblowing System adalah suatu wadah bagi seseorang untuk mengadukan tindakan kecurangan atau pengungkapan tindakan pelanggaran hukum, perbuatan tidak etis atau tidak bermoral, dan atau perbuatan lainnya yang dapat merugikan. Pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai disampaikan kepada pimpinan organisasi atau kepada lembaga lain yang dapat mengambil tindakan untuk pelanggaran atau kecurangan yang terjadi.
Indikator reflektif terdiri dari:
1. Aspek Kesediaan (X3.1) 2. Aspek Operasional (X3.2) 3. Aspek Perawatan (X3.3)
4. Aspek Attitude towerd behavior (X3.4) 5. Aspek Persepsi Kontrol (X3.5) 6. Aspek Behaviour Belief (X3.6.)
Ordinal
Big data analytics (X4) (Dumbill, 2013;
Investopedia, 2020; R.
Herschel and V. M.
Miori, 2017)
Big data aalytics dalam penelitian ini yakni terkait dengan penjelasan mengenai data yang memiliki volume besar, dengan periode yang sangat cepat sehingga tidak dapat diproses menggunakan alat tradisonal biasa dan harus menggunakan cara dan alat baru untuk mendapatkan nilai dari data yang memudahkan auditor dalam melakukan proses audit dalam pekerjaannya.
Indikator formatif terdiri dari:
1. Peran big data analytics (X4.1) 2. Penggunaan big data analytics (X4.2) 3. Bukti audit (X4.3)
4. Penciptaan big data analytics (X4.4) 5. Akurasi dan keandalan big data analytics
dalam audit(X4.5)
Ordinal
Pencegahan Fraud (M)
(Tuanakotta, M. ,2018;
Alan Doig & King, 2016; Tunggal Amin,
2016; BPKP, 2015;
Amrizal, 2004;
Albrecht, 2019)
Pencegahan fraud dalam penelitian ini yakni upaya terintegrasi terkait dengan aktivitas yang dilaksanakan dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur untuk memerangi dan menekan terjadinya faktor penyebab sebagai kunci aktivitas kecurangan yang mana pencegahan dilakukan dengan membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 (tiga) tujuan pokok yaitu;
keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Indikator reflektif terdiri dari :
1. Penetapan kebijakan anti kecurangan (M1.1)
2. Penyalahgunaan Asset (M1.2) 3. Pelaporan Keuangan (M1.3)
4. Budaya Jujur dan Etika Yang Tinggi (M1.4)
5. Tanggungjawab Management (M1.5) 6. Pengawasan oleh Komite Audit (M1.6)
Ordinal
Pencegahan Perilaku Financial Crime (Y)
(Shapiro, 1976;
Braithwaite, 1982; Edi dan Yulia, 2010)
Secara konseptual bahwa pencegahan perilaku financial crime didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan sebagai bentuk preventif dari setiap aktivitas yang melibatkan perilaku curang atau tidak jujur untuk tujuan keuntungan finansial pribadi, dan dapat juga mencakup konversi kepemilikan harta secara ilegal dimana kejahatan keuangan dapat dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengarah pada berbagai bentuk aktifitas seperti: 1) pencucian uang; 2) pendanaan terorisme; 3) penipuan; 4) penghindaran pajak; 5)penggelapan;
6)Pemalsuan; dan 7) pencurian identitas.
Indikator reflektif terdiri dari :
1. Transaksi keuangan yang menyimpang (Y1.1)
2. Transaksi yang dilakukan secara wajar (Y1.2)
3. Aktivitas transaksi di luar kebiasaan dan kewajaran (Y1.3)
4. Transaksi dari hasil tindak pidana (Y1.4)
Ordinal
133 4.1.1. Sejarah Tentang BPKP
Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan sejak sebelum era kemerdekaan. Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara (DAN).
Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN), kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan.
DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas
Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek
pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara. Berikut gambaran ilustrasi perjalanan BPKP dalam mengawal pembangunan Nasional sebagai berikut:
Gambar 4.1. Peta Jalan Sejarah BPKP
1. Visi, Misi, Tujuan, Nilai, Motto a. Visi BPKP:
Menjadi Auditor Internal Pemerintah Berkelas Dunia dan Trusted Advisor Pemerintah untuk Meningkatkan Good Governance Sektor Publik dalam rangka Mewujudkan Visi Misi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong'
b. Misi BPKP:
1) Melaksanakan Pengawasan Intern terhadap Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Nasional; dan
2) Membangun Sumber Daya Pengawasan yang Berkualitas.
c. Tujuan:
Untuk menyelenggarakan dua misi BPKP, ditetapkan tujuan untuk masing-masing misi tersebut, yaitu kondisi yang ingin dicapai oleh BPKP pada tahun 2024 yaitu:
1) Terwujudnya Akuntabilitas Keuangan dan Pembangunan Nasional; dan 2) Terwujudnya Tata Kelola Pengawasan yang Unggul, Akuntabel dan Sehat.
d. Nilai-Nilai BPKP (PIONIR):
Profesional, Integritas, Orientasi pada hasil, Nurani dan akal sehat, Independen dan Responsibel disingkat dengan PIONIR
e. MOTTO:
"Kawal Akuntabilitas Keuangan dan Pembangunan"