• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Optimasi Metode HPLC

1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum menggunakan spektrofotometer ultraviolet

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ini bertujuan untuk mendapatkan panjang gelombang serapan maksimum dari parasetamol. Analisis senyawa menggunakan HPLC memerlukan panjang gelombang dimana suatu senyawa memberikan absorbansi maksimum untuk dibaca pada detektor UV pada alat HPLC dimana dengan panjang gelombang maksimum parasetamol diharapkan semua kadar/konsentrasi parasetamol dalam sampel dapat terdeteksi oleh detektor UV

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ini dilakukan dengan menggunakan konsentrasi larutan baku dengan konsentrasi 5,0 ppm dan dilakukan dua kali pengamatan. Perbandingan dua spektrum serapan maksimum parasetamol pada konsentrasi yang sama ini perlu dilakukan karena senyawa baku parasetamol yang dipakai adalah parasetamol kualitas working standard dimana perlu di uji dan di pastikan bahwa senyawa baku yang digunakan adalah benar-benar parasetamol dan dapat memberikan spektrum serapan maksimum yang sama pada konsentrasi yang ditetapkan.

Penentuan panjang gelombang pengamatan ini dilakukan dengan mengukur absorbansi dari parasetamol pada panjang gelombang UV yaitu antara panjang gelombang 200nm-300nm. Suatu senyawa untuk dapat ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri ultraviolet harus memiliki gugus kromofor dan auksokrom dimana kedua gugus ini yang bertanggung jawab dalam penyerapan

radiasi ultraviolet pada sampel yaitu parasetamol. Parasetamol dalam strukturnya memiliki gugus kromofor yang merupakan ikatan rangkap yang memiliki elektron π dimana elektron π ini jika dikenai sinar radiasi elektromagnetik akan mudah tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju ke orbital π*

. Gugus kromofor dari senyawa parasetamol dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 17. Gugus Kromofor Parasetamol

Keterangan : = kromofor

Selain gugus kromofor, parasetamol memiliki gugus auksokrom yang terikat langsung pada gugus kromofor. Gugus auksokrom memiliki pasangan elektron bebas pada elektron n yang dapat berinteraksi dengan elekron π pada kromofor. Dengan demikian, gugus auksokrom berperan dalam pengubahan/pergeseran panjang gelombang maksimum dan intensitas serapan maksimum dari parasetamol. Gugus auksokrom dari senyawa parasetamol dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 18. Gugus Auksokrom Parasetamol

Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) disebutkan bahwa pengujian panjang gelombang serapan maksimum mempunyai makna jika serapan maksimum tersebut tepat atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Spektrum serapan yang dihasilkan oleh senyawa parasetamol dapat dilihat pada gambar berikut :

Pelarut yang digunakan dalam seri larutan baku adalah campuran antara metanol : aquabides dengan perbandingan 90:10. Dalam proses scanning panjang gelombang parasetamol ini, pelarut baik metanol maupun aquabides tidak mempengaruhi hasil dari pengamatan karena panjang gelombang (λ) dari metanol 205 nm dan aquabides 180 nm tidak berdekatan atau bertumpukan dengan

Gambar 19. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,2 nm) pada konsentrasi 5,0 ppm replikasi 1

Gambar 20. Spektrum serapan parasetamol (λmaks = 247,4 nm) pada konsentrasi 5,0 ppm replikasi 2

panjang gelombang maksimum teoritis dari parasetamol dengan campuran pelarut metanol dan aquabides yaitu 244 nm.

Berdasarkan hasil penentuan panjang gelombang serapan maksimum menggunakan spektrofotometer ultraviolet dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 5,0 ppm replikasi 1 spektrum serapan maksimum parasetamol adalah 247,2 nm dan pada replikasi 2 spektrum serapan maksimum parasetamol adalah 247,4 nm. Pola absorbansi dari spektrum serapan yang dihasilkan dari dua kali pengamatan pada konsentrasi 5,0 ppm ini sama. Maka dapat di pastikan analit yang digunakan adalah parasetamol

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), parasetamol dalam campuran pelarut metanol dan air memiliki serapan maksimum pada 244 nm. Dan pada penentuan panjang gelombang serapan parasetamol ini terdapat pergeseran panjang gelombang. Pergeseran ini disebabkan oleh perbandingan jumlah air dan metanol yang digunakan dimana dalam Farmakope Indonesia Edisis IV, jumlah air yang digunakan lebih banyak daripada metanol. Namun dalam penelitian, jumlah metanol yang digunakan lebih banyak daripada air. Selain itu instrumentasi yang digunakan berbeda, kualitas baku parasetamol yang digunakanpun juga berbeda dengan yang digunakan berdasarkan farmankope. Pada pergeseran λmaks parasetamol, perbandingan jumlah pelarut metanol dengan λ 205 nm yang lebih banyak daripada air akan menggeser λmaks teoritis dari parasetamol ke arah yang lebih panjang yaitu 247,4 nm.

2. Pengamatan waktu retensi dan pembutan kurva baku parasetamol

Pada pengamatan waktu retensi dan pembutan kurva baku parasetamol, larutan baku parasetamol diinjeksikan pada HPLC dengan kondisi sebagai berikut: Instrumen : Shimadzu LC-10 AD

Kolom : C18 Merek KNAUER dengan packing Kromasil 100-5 C18 panjang kolom 25 cm, diameter internal 4,6 mm

Fase gerak : metanol:aquabides (90:10)

Flow rate : 1 ml/menit

AUFs/Attenuation : 0,01/7

Detektor : UV pada 247,4 nm

Tujuan dari pengamatan waktu retensi (tR) dari parasetamol adalah untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan parasetamol saat di injeksikan pada port injector sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor. Selain itu pengamatan tR juga digunakan sebagai analisis kualitatif yang nantinya untuk mendeteksi ada tidaknya senyawa parasetamol dalam sampel.

Dengan menggunakan sistem kromatografi di atas, pengamatan waktu retensi memakai seri larutan baku parasetamol dengan konsentrasi tengah yaitu 5,0 ppm. Dipilih konsentrasi tengah karena untuk mewakili seri konsentrasi rendah dan tinggi dan pemilihan seri konsentrasi tengah ini hanya semata-mata untuk melihat tR dari parasetamol sehingga nantinya dapat digunakan untuk

setting system pada alat HPLC yaitu stop time. Dan tR yang dihasilkan adalah 2,5280 menit. Berikut kromatogram yang dihasilkan :

Gambar 21. Kromatogram tR larutan baku parasetamol 5,0 ppm

Waktu retensi dari parasetamol dipengaruhi oleh interaksi parasetamol dengan fase diam dan fase geraknya atau dengan kata lain dipengaruhi oleh koefisien partisi dari parasetamol terhadap fase diam dan fase geraknya. Parasetamol memiliki sisi polar dan non polar pada strukturnya. Pada penelitian ini sistem kromatografi yang digunakan adalah kromatografi partisi fase terbalik dimana fase diam yang digunakan bersifat non polar dan fase geraknya bersifat polar. Oleh karena itu, senyawa yang cenderung bersifat non polar atau senyawa yang mempunyai banyak gugus non polar pada suatu senyawa menyebabkan senyawa akan lebih lama keluar dari kolom sehingga waktu retensinyapun akan lebih besar. Interaksi parasetamol dengan fase diam terjadi pada bagian non polar senyawa yaitu pada benzen. Gugus non polar parasetamol adalah sebagai berikut :

Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol

Keterangan : = gugus non polar

Parasetamol memiliki gugus non polar yaitu benzen, namun proses elusi juga dipengaruhi interaksi dengan fase gerak yang digunakan. Hal ini sesuai dengan teori koefisien partisi di mana senyawa dengan koefisien partisi kecil akan lebih cepat keluar dari kolom karena konsentrasi linarut dalam fase gerak lebih besar sehingga akan lebih cepat terelusi. Berikut kemungkinan interaksi antara parasetamol dengan dengan fase diam Oktadekil (C18) dan fase gerak metanol:air (90:10) :

Gambar 23. Interaksi antara gugus non polar dari parasetamol (benzen) dengan fase diam Oktadekil (C18)

Gambar 24. Interaksi antara gugus parasetamol dengan fase gerak campuran metanol:air (90:10)

Keterangan : --- = ikatan hidrogen

Pemisahan komponen senyawa pada HPLC dipengaruhi oleh interaksi antara analit dengan fase diam dan fase gerak yang digunakan. Semakin banyaknya gugus non polar pada suatu senyawa maka senyawa tersebut terikat lebih kuat dengan fase diamnya yang bersifat non polar dan mengakibatkan waktu retensinya juga lebih panjang. Dalam penelitian ini, parasetamol lebih sedikit memiliki gugus non polar daripada gugus polarnya sehingga waktu retensinya juga lebih singkat. Interaksi parasetamol dengan fase diam merupakan ikatan van der Waals antara gugus non polar parasetamol yaitu benzen dengan fase diamnya yaitu ODS (C18).

Hal tersebut sesuai dengan teori tentang perbandingan distribusi dimana kecepatan perpindahan analit melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan distribusi dan besarnya distribusi ditentukan oleh afinitas pada fase diam dan fase geraknya. Parasetamol yang bersifat polar mempunyai perbandingan konsentrasi

yang besar terhadap fase geraknya dibandingkan dengan fase diam yang terlihat dengan banyaknya interaksi parasetamol dengan fase geraknya (dapat dilihat pada gambar 24). Sehingga dengan semakin besarnya konsentrasi solut pada fase gerak mengakibatkan nilai koefisien distribusi kecil, kecepatan solut semakin meningkat dan akibatnya waktu retensi parasetamol menjadi lebih singkat. Selain itu, waktu retensi parasetamol yang singkat ini juga dipengaruhi oleh kecepatan alir fase gerak yang cukup besar yaitu 1 ml/menit dimana dengan meningkatnya kecepatan alir fase gerak maka tekanan fase gerak pada kolom akan meningkat akibatnya waktu retensi suatu senyawa menjadi lebih singkat.

Kurva baku parasetamol yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 6 seri konsentrasi yaitu 3,0 ppm; 4,0 ppm; 5,0 ppm; 6,0 ppm; 7,0 ppm; dan 8,0 ppm. Tiap seri konsentrasi baku parasetamol di injeksikan pada injector port di alat HPLC dengan sistem seperti penjelasan sebelumnya. Penggunaan pelarut fase gerak yang terdiri dari campuran metanol:aquabides (90:10) untuk pelarut seri larutan baku di dasarkan atas kelarutan parasetamol, karena salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam sistem HPLC adalah pelarut dengan kemurnian yang tinggi yang dapat bercampur dengan sampel dan fase gerak, serta dapat melarutkan sampel dan mudah terelusi.

Penentuan persamaan kura baku parasetamol dilakukan 3 kali replikasi dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan kurva baku yang paling optimal. Persamaan kurva baku menyatakan hubungan linier antara konsentrasi dengan AUC dimana dengan meningkatnya konsentrasi maka akan meningkat pula AUC yang dihasilkan. Sebagai parameter linearitas yang menunjukkan korelasi antara

konsentrasi dengan AUC adalah koefisien korelasi (r). Ada beberapa pertimbangan yang diperhatikan dalam pemilihan data persamaan kurva baku yaitu didasarkan pada nilai r terhitung, nilai A (intersept), nilai B (slope), dan SE (standard error). Dalam penelitian ini, parameter utama yang dipilih adalah berdasarkan nilai r terhitung yang didapatkan yaitu 0,9990 dimana r yang didapatkan lebih besar dari nilai r linearitas analisis yaitu > 0,999 untuk minimal 6 seri konsentrasi (APVMA, 2004). Dimana r semakin mendekati 1 menujukkan semakin baik linearitas persamaan yang didapat. Sehingga semakin baik hubungan antara peningkatan konsentrasi dengan peningkatan respon yaitu AUC. Berikut tabel data hasil kurva baku parasetamol dari 3x replikasi.

Tabel VII. Data Kurva Baku Parasetamol

KURVA BAKU PARASETAMOL

Penentuan Kurva Baku 1 Penentuan Kurva Baku 2 Penentuan Kurva Baku 3

C (ppm) AUC C (ppm) AUC C (ppm) AUC

3,0720 161038 3,0720 162409 2,9730 161024 4,0960 206160 4,0960 224116 3,9640 216159 5,1200 269864 5,1200 281794 4,9550 269657 6,1440 312799 6,1440 326443 5,9460 327764 7,1680 365354 7,1680 393486 6,9370 372567 8,1920 448277 8,1920 443562 7,9280 445252 A = -13567,9800 B = 54595,7500 r = 0,9952 A = -2466,3900 B = 54646,3200 r = 0,9990 A = -7451,1133 B = 56176,1857 r = 0,9986

Keterangan : = merupakan data kurva baku yang digunakan untuk menghitung kadar

Dari data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa nilai r yang diperoleh dari ketiga replikasi memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang baik. Namun berdasarkan persyaratan koefisien korelasi (r) analisis yang dipersyaratkan yaitu apabila nilai r > 0,999 untuk minimal 6 seri konsentrasi (APVMA, 2004).

Sehingga persamaan kurva baku yang digunakan adalah penentuan kurva baku pada replikasi dua dengan persamaan kurva baku y = 54646,3200x - 2466,3900 dengan nilai r = 0,9990

Hal ini menunjukkan persamaan kurva baku tersebut mempunyai korelasi yang baik sehingga dapat digunakan untuk perhitungan kadar parasetamol. Berikut grafik kurva baku yang dihasilkan :

Gambar 25. Kurva Baku Parasetamol C vs AUC

Dokumen terkait