Pengamatan Umum Proses Fermentasi
Faktor lingkungan fisik seperti kadar air substrat, suhu ruang inkubasi, bentuk dan ukuran partikel substrat, keseimbangan dan ketersediaan nutrien serta konsentrasi inokulum, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap fungsi fisik dan aktifitas fisiologis mikrob selama proses fermentasi media padat.
Kadar air awal substrat adalah 75%, pada kadar air tersebut pertumbuhan kapang terlihat cukup baik, berarti kadar air tidak menjadi faktor penghambat aktifitas metabolisme kedua kapang. Hasil penelitian Sinurat et al. (1998) pada fermentasi lumpur sawit oleh A.niger, diperoleh adanya peningkatan protein sejati substrat lebih tinggi bila kadar air awal substrat 60% daripada 50%. Sedangkan menurut Yang et al. (1993), kadar air substrat pada awal fermentasi yang baik dalam menghasilkan protein tertinggi adalah lebih besar dari 68%.
Suhu merupakan faktor lain yang ikut mempengaruhi efisiensi konversi substrat menjadi massa sel (protein). Suhu kamar inkubasi pada saat percobaan berlangsung berkisar 29 – 32oC dengan kelembaban udara 62 – 78%. Pengaruh suhu juga pernah dilaporkan Sinurat et al. (1998) pada penelitian dengan lumpur sawit dimana kadar protein sejati lebih tinggi pada suhu inkubasi 32oC dibanding 29oC. Suhu optimum pertumbuhan A.niger maupun T.reesei menurut Frazier dan Westhoff (1981) adalah antara 35 - 37 oC.
Sifat porositas medium merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Medium dengan porositas yang baik memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan kapang dapat terjadi pada seluruh bagian medium. Porositas medium percobaan cukup baik karena di dukung oleh bentuk serta ukuran partikel medium. Cacahan putak berukuran ±1.0x1.5cm cukup ideal dalam mendukung porositas medium untuk terjadinya penetrasi oksigen yang dibutuhkan kapang guna merangsang proses metabolismenya. Moo-Young (1983) serta Tsao dan Chiang (1983) menyatakan bahwa aerasi sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi enzim,
sebab oksigen dibutuhkan dalam metabolisme energi untuk menjamin biosintesa selulase, selanjutnya menurut Moo-Young (1983) bahwa tekanan O2 (pO2) yang tinggi dapat menstimulir produksi enzim amilase.
Menurut Aunstrup et al. (1979) bahwa pertumbuhan mikrob dipengaruhi secara langsung oleh nutrien yang ada di dalam medium. Rasio karbon dan nitrogen yang sesuai sangat diperlukan dalam pertumbuhan kapang. Selanjutnya dikemukakan oleh Litchfield (1979) bahwa rasio C : N untuk pertumbuhan kapang adalah 20 : 1 akan tetapi rasio 5 : 1 hingga 15 : 1 paling sering digunakan Dikemukakan lebih lanjut oleh Moo-Young (1983) bahwa indikator penting regulasi nutrisional terhadap pertumbuhan kapang pada fermentasi substrat padat adalah ketersediaan unsur C dan N lebih penting daripada rasio. Artinya bahwa rasio C : N, 13:1, sebagaimana pada percobaan ini mampu mendukung kebutuhan pertumbuhan kapang yang diinokulasikan hingga hari ke tiga untuk A.niger dan hari ke empat untuk T.reesei.
Laju pertumbuhan kapang A.niger dalam substrat cukup cepat terlihat dari waktu inkubasi satu hari, pada permukaan substrat telah nampak miselium putih, berarti kapang telah memasuki fase tumbuh eksponensial. Hari kedua inkubasi seluruh permukaan substrat telah tertutup miselium putih keabu-abuan serta mulai nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora berwarna hitam telah menutupi hampir seluruh permukaan substrat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimal dari A.niger pada substrat ini terjadi pada hari kedua, sama dengan pada substrat ampas sagu sebagaimana yang dilaporkan oleh Supriyati et al. (1995). Sebaliknya dengan T.reesei, pertumbuhannya lebih lambat karena pada hari kedua setelah inokulasi baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai tumbuh spora yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau pada permukaan substrat. Jaelani (2007) melaporkan bahwa maksimal pertumbuhan jumlah koloni kapang T.reesei terjadi pada 60 jam setelah inokulasi.
Hari ketiga inkubasi kapang pada A.niger dan empat hari pada T.reesei
mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan. Kemungkinan tersebut didasarkan pada kadar protein terutama protein murni putak yang maksimum, disamping itu pertumbuhan spora juga telah menutupi permukaan substrat. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah kapang tidak bertambah akibat jumlah
kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1988) bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang juga karena terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan.
Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH dan faktor lainnya. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada medium seperti putak, waktu inkubasi tiga hari merupakan waktu yang optimum bagi proses fermentasi oleh A.niger, dan empat hari pada T.reesei.
Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh A.niger
Hasil analisis proksimat substrat sebelum dan sesudah difermentasi dengan kapang A.niger disajikan pada Tabel 3. Secara keseluruhan, hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah kultur mempangaruhi lama inkubasi.
Gambar 7 Putak fermentasi A.niger umur 1 hari dan 3 hari
Protein Kasar
Kadar protein kasar (PK) putak pada level kultur A3(3.6 x 107 per gram)
adalah 19.81% nyata lebih tinggi (P 0.05) dibandingkan level A1(1.2 x 107) dan
A2 (2.4 x 107 ) masing-masing 16.36 dan 17.67% tetapi tidak beda dengan level
A4 (4.8 x 107) yaitu 19.52% pada lama inkubasi yang sama maupun semua
perlakuan lama inkubasi. Pada level kultur rendah lama inkubasi nyata mempengaruhi kadar protein substrat, karena masih terjadi kenaikan kadar protein
hingga inkubasi hari keempat dan nyata lebih tinggi dibanding dua dan tiga hari inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan masa adaptasi yang lebih lama pada level kultur rendah seperti dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat masa adaptasi, disamping itu pemanfaatan nutrien yang tersedia dalam substrat juga rendah akibat kepadatan kultur yang longgar.
Tabel 3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A. niger dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda Level A.niger ( %)
2.4x107 cfu/g
Lama Inkubasi
(hari)
Kadar Nutrien Putak (% BK)
(A) (W) PK PM SK BK BO 0 14.17 3.25 9.70 91.05 84.11 2 15.47a 7.86a 7.49a 93.56 b 87.23 b 0.5 (A1) 3 16.36 a 9.28a 10.79c 93.68 c 87.0 b 4 17.15a 9.92a 9.46a 92.19 b 85.52 d 2 16.70 b 9.59b 8.91b 93.15 b 86.69 b 1.0 (A2) 3 17.67 b 10.67b 9.96a 92.72 b 86.07 b 4 18.18b 10.64a 9.39a 91.58 a 84.96 c 2 17.47c 9.01b 11.85d 92.25 b 85.84 b 1.5 (A3) 3 19.81 c 12.53c 12.22d 92.24 b 85.51 b 4 19.73c 11.18a 10.00a 91.59 a 84.84 b 2 18.78d 9.47b 9.55c 91.34 a 84.20 a 2.0 (A4) 3 19.52 c 10.69b 10.47c 90.70 c 83.38 a 4 19.16c 11.25b 10.52a 90.4 a 82.84 a Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara lama inkubasi.
Level kultur A3 dengan lama inkubasi tiga hari (W3) menghasilkan protein
kasar terbaik yakni 19.81% dari sebelumnya 2.53%. Oleh karena itu lama inkubasi dan level kultur ini (A3W3) merupakan perlakuan terbaik dalam
memperbaiki kualitas (PK, PM dan SK) putak. Kandungan pati substrat yang cukup tinggi turut menunjang terjadinya konversi putak menjadi protein yang tercermin dari tingginya peningkatan protein putak. Pati mudah dimanfaatkan oleh kapang, karena A. niger merupakan jenis kapang yang juga mampu menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti -amilase, selulase,
glukoamilase, - dan - glukosidase, sehingga terjadinya peningkatan protein kasar tersebut boleh jadi karena terkonversinya pati menjadi protein. Proses biokonversi pati sebagai sumber karbon serta adanya sumber nitrogen bukan protein (NBP) asal ammonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam media menyebabkan proses metabolisme kapang berjalan selaras dalam mendukung pertumbuhan kapang sehingga meningkatkan kandungan protein kasar substrat.
Hasil tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompiang et al.
(1995) bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Ginting (2000) dengan menggunakan khamir
Saccharomyces cerevisiae pada substrat yang sama yakni 8.92% (dari 2.53%). Supriyati et al. (1993) melaporkan hasil penelitiannya menggunakan umbi ketela pohon kupas sebagai medium fermentasi oleh A.niger dengan kenaikan protein kasar dari 1.73% menjadi 18.44%. Selanjutnya hasil penelitian Biyatmoko (2002) pada ampas sagu juga meningkatkan protein kasar dari 5.19 menjadi 13.19% dengan lama inkubasi tiga hari. Penelitian Gushairiyanto (2004) pada kulit singkong yang difermentasi A.niger selama empat hari mengalami peningkatan kadar protein kasar dari 4.41 menjadi 15.81%.
.
Protein Murni
Kadar protein murni (PM) pada level kultur A3 sebesar 12.53%, nyata
berbeda (P 0.05) dari level A1 ( 9.28%) dan A2 (10.67%) tetapi tidak berbeda
(P>0.05) dengan level A4 (10.69). Artinya bahwa pada level tersebut jumlah
kultur dan ketersediaan nutrien substrat berada pada level optimum bagi berlangsungnya proses metabolisme guna mendukung pertumbuhan kapang hingga pada hari ketiga inkubasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Fardiaz (1988), pertumbuhan adalah pertambahan jumlah massa sel atau organisme, selanjutnya dengan adanya kenaikan jumlah massa sel kapang akibat pertumbuhan akan meningkatkan kadar protein medium (Wang et al. 1979). Kadar PM yang dihasilkan menunjukkan peningkatan protein sesungguhnya yang dapat digunakan oleh ternak yang bukan berasal dari nitrogen bukan protein.
Lechninger (1991) menyatakan bahwa sumber N anorganik dimanfaatkan oleh mikrob dalam sintesis protein setelah terlebih dahulu diubah menjadi amonium dan karbondioksida oleh enzim ureasenya dan selanjutnya digunakan untuk membentuk asam amino.
Kandungan pati putak yang tinggi serta adanya sumber nitrogen an organik asal amonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam substrat menyebabkan proses konversi pati menjadi protein sel berlangsung seimbang dalam meningkatkan kualitas putak. Sebagaimana dinyatakan oleh Wang et al. (1979) bahwa besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri, yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses
pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses diatas
harus terjadi secara sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal. Peningkatan protein murni di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Biyatmoko (2002) menggunakan kapang A.niger pada ampas sagu yang dapat meningkatkan protein murni dari 2.16% menjadi 9.55%. Demikian juga yang dilaporkan oleh Sinurat et al. (1998) dengan menggunakan lumpur sawit sebagai substrat menunjukkan pertumbuhan kapang dalam menghasilkan protein sejati terbaik (dari 10.44% menjadi 16.70%). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan perbedaan jenis maupun kualitas substrat. Penggunaan bahan yang mengandung pati untuk menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan, oleh karena pati lebih cepat dan mudah didegradasi dan dimanfaatkan oleh banyak kelompok mikrob (Valdivia et al. 1983) dimana kadar pati bahan berpengaruh terhadap kadar protein yang dihasilkan.
. Bahan Kering
Tabel 3 menunjukkan terjadi peningkatan kadar BK dan BO, hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa secara numerik ada peningkatan tetapi secara absolut terjadi penurunan kedua komponen tersebut, oleh karena saat percobaan tidak dilakukan penimbangan akhir terhadap sampel.
Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme serta daya larut unsur nutrien tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dimana molekul-molekul sederhana yang larut sekitar hifa dapat langsung dimanfaatkan, sedangkan komponen yang lebih kompleks seperti protein, selulosa, pati dan lain-lain harus didegradasi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel (Rahman 1992).
Peningkatan suhu medium selama proses fermentasi merupakan tanda adanya kegiatan metabolisme kapang yang ditumbuhkan dan hal ini terlihat dari banyaknya titik-titik air yang menempel pada dinding wadah. Meningkatnya suhu medium menyebabkan terjadinya penguapan air substrat dan selanjutnya mempengaruhi komposisi substrat secara keseluruhan.
Bahan Organik
Kehilangan bahan organik pada proses fermentasi disebabkan bahan organik dirombak oleh enzim mikroba guna memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan kapang dan akan dihasilkan panas, air dan karbondioksida, akibatnya terjadi perubahan komposisi bahan.
Data juga memperlihatkan bahwa level kultur dan lama inkubasi yang makin tinggi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin banyak. Pada level kultur A4 dengan lama inkubasi W2, W3, dan W4, berturut-turut adalah 91.34,
90.70 dan 90.41% sedangkan pada level A1, 93.56, 93.68 dan 92.19%. Waktu
inkubasi yang makin panjang akan memberi kesempatan kepada kapang untuk merombak BO yang tersedia dalam substrat.
Serat Kasar
Perubahan kadar serat kasar sebelum dan sesudah difermentasi menunjukkan peningkatan khususnya pada level kultur terpilih (A3) yaitu 12.22%
dari sebelumnya 9.7%, dan nyata (P 0.05) lebih tinggi dari level rendah A1
karena pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselium sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat.
Kadar serat substrat yang meningkatt merupakan indikasi adanya pertumbuhan kapang. Menurut Fardiaz (1988) bahwa kapang adalah organisme eukariotik yang tumbuh dengan cara perpanjangan hifa. Dikemukakan lebih lanjut oleh Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan akan meningkatkan serat dalam substrat. Selain itu perombakan media untuk memperoleh nutrien bagi pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi media karena terjadi kehilangan komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan tersebut menyebabkan komposisi medium secara kseluruhan ikut berubah.
Meski demikian peningkatan serat kasar yang terjadi hanya kecil, kemungkinan karena serat kasar dalam substrat juga didegradasi oleh kapang mengingat A.niger merupakan mikrob selulolitik yang juga mampu mendegradasi serat meski pertumbuhannya sendiri menyumbangkan serat kasar ke dalam substrat.
Meningkatnya serat kasar putak akibat fermentasi juga dilaporkan oleh Ginting (2000) yakni dari 12.01 menjadi 12.12%. Perbedaan ini mungkin sebagai akibat dari perbedaan jenis mikrob yang digunakan. Selanjutnya penelitian Biyatmoko (2002) menggunakan A.niger menyebabkan kadar serat ampas sagu meningkat dari 24.18% menjadi 25.95% setelah inkubasi tiga hari. Demikian juga penelitian Supriyati et al. (1995) pada ampas sagu terjadi peningkatan dari 18.48% menjadi 22.29%. Berbeda dengan hasil-hasil di atas, penelitian Suryahadi dan Amrullah (1989) menggunakan kapang A.niger dapat menurunkan kadar serat kasar onggok dari 14.24% menjadi 13.72%.
Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh T.reesei Protein Kasar
Secara umum A.niger maupun T.reesei mempunyai kecenderungan yang sama dalam hal kemampuan memperbaiki kualitas substrat. Kadar protein kasar
putak pada level kultur T2 (1.485 x 106) dengan lama inkubasi empat hari (W4)
sebesar 20.60%, nyata lebih tinggi (P 0.05) dari level T1 (0.99 x 106) dan T3
(1.98 x106) masing-masing 17.40 dan 20.53%. Nilai tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan Suhartati et al. (2003) menggunakan T.reesei pada fermentasi pod coklat mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 5.53% menjadi 6.5%, juga Jaelani (2007) pada fermentasi bungkil inti sawit dapat meningkatkan kadar protein kasar dari 16.5% menjadi 24.37%. Demikian halnya dengan Noviati (2002) yang menggunakan T.harzianum juga mampu meningkatkan protein kasar ampas tahu dari 24.57% menjadi 32.83% setelah diinkubasi enam hari. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan jenis dan komposisi substrat yang digunakan.
Gambar 8 Putak fermentasi T.reesei pada umur 2 hari (kiri) dan 4 hari (kanan)
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada level kultur rendah (T1) membutuhkan
waktu inkubasi lebih lama daripada level tinggi, berarti pada kultur rendah membutuhkan fase adaptasi (lag) yang lebih lama. Dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel mempengaruhi kecepatan fase adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi kultur awal yang tinggi memungkinkan pertumbuhan juga semakin besar. Pertumbuhan mikrob yang cepat juga turut meningkatkan kandungan protein substrat karena banyak terbentuk miselium.
Tabel 4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda
Level T.reesei (%) 1.98x105 cfu/g Lama Inkubasi (hari)
Kadar Nutrien Putak (%BK)
T W PK PM SK BK BO 0 14.17 3.25 9.70 91.05 84.11 2 15.60a 4.95a 7.14a 95.22 b 90.62 c 5.0 (T1) 3 16.45a 5.82a 8.32b 95.62 b 90.54 a 4 17.40a 7.32a 6.61a 94.61 c 87.95 c 2 17.74b 7.83b 8.03b 93.60 a 88.87 b 7.5 (T2) 3 19.52b 11.32c 8.60c 92.77 a 86.25 a 4 20.60b 13.25b 9.08b 92.63 b 85.78 b 2 19.29c 10.60c 7.05a 93.86 a 87.49 a 10.0 (T3) 3 20.44c 11.04c 7.93a 92.87 a 86.17 a 4 20.33b 12.09b 10.57c 90.79 a 83.26 a Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi nyata (P<0.05) antar perlakuan
Laju pertumbuhan kapang yang cepat tergambar dari terjadinya peningkatan kadar protein kasar medium. Pada level kultur rendah (T1), laju
pertumbuhan kapang juga lambat yang ditandai oleh peningkatan kadar protein yang kecil dan masih terus bertambah hingga inkubasi hari ke-4. Akibat rendahnya kepadatan kultur dalam medium maka tingkat pemanfaatan nutrien yang tersedia juga melebihi kebutuhan sehingga pertumbuhan kapang masih terus terjadi hingga hari keempat inkubasi. Sebaliknya dengan perlakuan level T2 dan
T3 dimana pertumbuhan terjadi lebih cepat, pemanfaatan sumber-sumber nutrien
juga tinggi oleh karena itu lebih cepat mencapai fase stasioner yang mungkin disebabkan persediaan nutrien mulai berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat metabolik yang dapat menghambat pertumbuhan.
Kemampuan kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti Endo dan Ekso-glukanase (selobiohidrolase) memberikan keuntungan dalam hal produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBHI) merupakan komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Artinya bahwa
disamping protein massa sel yang disumbangkan pada medium juga dihasilkan protein ekstraseluler dari enzim.
Protein Murni
Peningkatan kandungan protein kasar sejalan dengan peningkatan protein murni. Hal tersebut disebabkan kapang dapat memanfaatkan sumber-sumber nutrien yang tersedia dalam substrat bagi pertumbuhannya. Dikemukakan oleh Rahman (1992) bahwa akibat pertumbuhan mikrob dalam substrat kadar protein substrat meningkat.
Kadar PM terbaik 13.25%, diperoleh dari level kultur yang sama dengan protein kasar yakni T2 dan W4 dan nyata lebih tinggi bila dibanding T1W4 (7.32%)
atau T3W4 (12.09%). Hal ini menunjukkan proses konversi pati menjadi protein
sel kapang juga terjadi dengan baik pada T.reesei. Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa penggunaan bahan berpati dalam menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan yang tepat karena pati mudah digunakan oleh banyak mikrob.
Proses sterilisasi medium dengan cara dikukus turut menunjang ketersediaan substrat sebagai sumber nutrien bagi mikrob yang ditumbuhkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Isaac dan Jennings (1995) bahwa efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat mengubah bentuk fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.
Serat Kasar
Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih (T2W4) menyebabkan
penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi 9.08% setelah difermentasi. Hal ini berbeda dengan kapang A.niger yang kadar serat kasar substrat lebih tinggi setelah difermentasikan. Secara keseluruhan kadar serat kasar hasil fermentasi dengan T.reesei lebih rendah daripada dengan A.niger.
Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium. Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk
menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah mendegradasi selulosa menjadi selobiosa. Seperti dikemukakan bahwa
Trichoderma reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula
et al. 2005) dan enzim ini akan mendegradasi selulosa menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis (Tsao dan Chiang 1983, Juhasz et al. 2003), tetapi akumulasi selobiosa dalam medium dapat menghambat kerja enzim yang bersangkutan.
Bahan Kering dan Organik
Kemampuan kapang memanfaatkan BK dan BO sebagai sumber nutrien sama dengan kapang sebelumnya. Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien dan nutrien tersebut ada dalam BO atau BK yang mana semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi itu sendiri.
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran A.niger dan T.reesei dalam Putak sebagai Substrat
Protein
Rataan komposisi nutrien putak hasil fermentasi kultur campuran seperti tergambar pada Tabel 5. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa jumlah awal kultur yang tinggi menyebabkan laju pertumbuhan kapang juga lebih cepat yang ditandai oleh tingginya kadar protein substrat. Demikian halnya dengan kadar BK dan BO yang juga semakin berkurang dengan makin besarnya level kultur. Hal
tersebut terjadi karena dalam pertumbuhannya, kapang merombak komponen substrat dalam memenuhi kebutuhan pertumbuhannya.
Gambar 9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen
Berdasarkan pengamatan tahap sebelumnya terhadap kemampuan tumbuh masing-masing kultur dalam substrat yang dicobakan (putak), dimana A.niger
lebih cepat tumbuh dibanding T.reesei, maka pada perlakuan penundaan pencampuran kedua kultur, T.reesei yang terlebih dahulu diinokulasikan. Kultur campuran T.reesei dan A.niger diperoleh dengan cara penundaan pencampuran pada nol, satu, dan dua hari. Hasil analisis terhadap komposisi nutrien putak terfermentasi (PF) serta fermentabilitas rumen in vitro tersaji pada Tabel5 dan 7. Pada semua peubah yang diukur, secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik bila dilakukan penundaan pencampuran dua hari, yakni bila A.niger
diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2).
Kombinasi kultur T2A3 (level 7.5% T.resei dan 1.5% A.niger) dengan D2
(dua hari lama penundaan pencampuran) menghasilkan kadar protein kasar 23.62% dan murni 14.92%, terbaik dan nyata lebih tinggi (P 0.05) dari semua kombinasi level yang dicobakan. Hasil tersebut juga lebih baik daripada kultur tunggal masing-masing kapang seperti pada Percobaan I.
Peningkatan kadar protein substrat dengan kombinasi level kultur rendah (T1 dan A1 atau A2) terlihat hanya kecil perubahannya yakni berkisar antara
18.61 – 18.81% dan 10.02 – 11.79% masing-masing untuk kadar PK dan PM. Hal ini menunjukkan kombinasi level kultur rendah membutuhkan waktu inkubasi yang lebih panjang akibat masa adaptasi (fase lag) yang juga lebih lama.
Sebaliknya dengan kombinasi kultur tinggi (T2 dan A3 atau A4) peningkatan
kadar kedua unsur di atas lebih baik yakni berkisar antara 22.71 – 23.62% dan 13.39 – 14.92% masing-masing untuk PK dan PM.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat fase adaptasi, demikian juga semakin tinggi kecepatan pertumbuhan akan meningkatkan jumlah massa sel. Fenomena ini menggambarkan bahwa