PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK
MELALUI FERMENTASI CAMPURAN
Trichoderma reesei
dan
Aspergillus niger
SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA
MARITJE ALEONOR HILAKORE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
sebagai Pakan Ruminansia adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2008
Maritje Aleonor Hilakore
MARITJE A HILAKORE. Improving Putak Nutritive Quality Using Mixed Culture Trichoderma reesei and Aspergillus niger As Ruminant Feed. Under the supervisions of SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN, and DJUMALI MANGUNWIDJAJA
Putak is a local feed in East Timor, East Nusa Tenggara Province. It is obtained from the pit of palm tree which is called gewang tree (Corypha elata robx). Putak contains high carbohydrate and fiber but low in protein. The evaluation of putak potency as a feed source and co-cultured of Trichoderma reesei and Aspergillus niger as an inoculants to improve the nutritive quality of the putak for use in goats diets were carried out in a series of 3 experiments. The first experiment was conducted to determine the inoculum optimum level and incubation time of each microbe on nutrient composition. Aspergillus niger contained 2.4 x 107 g-1 cfu with inoculum levels were 0.5, 1.0, 1.5 and 2.0% (w/w), whereas Trichoderma reesei contained 1.98 x 105 g-1 cfu and 5.0, 7.5, 10% (w/w) inoculum levels. Incubation time were 2, 3 and 4 days. This study showed that the best content of crude protein and true protein was at three days incubation and the inoculum level was 1.5% (w/w) for A.niger, while, T.reesei at four days and 7.5% (w/w) inoculum. Second experiment conducted to determine delay time to combine both microbes in mixed culture on nutrient composition and rumen fermentability. The best result of this study was when A.niger was inoculated two days after T.reesei,
where crude protein and true protein was higher and crude fiber was lower than monoculture. Level of volatile fatty acids (VFA) and ammonia ( N-NH3) were
suitable to support microbial production. The last experiment to test goats response to diets containing putak fermentation and fed on rice straw based ration on daily gain, ration and rice straw consumption, N retention and fiber digestibility. The result showed that using 40% putak fermentation in goat diets give the best response to all variables measured.
MARITJE ALEONOR HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.
Putak merupakan nama pakan lokal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx), mengandung pati serta serat kasar tinggi dan protein yang rendah. Penelitian yang bertujuan guna memperbaiki kualitas putak melalui kultur campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai pakan kambing dilaksanakan dalam tiga tahap. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan level kultur serta lama inkubasi optimum dari masing-masing kapang terhadap perubahan komposisi nutrisi putak. Konsentrasi masing-masing kultur, A.niger
adalah 2.4 x 107 cfu per g dengan level yang dicobakan 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b), sedangkan T.reesei 1.98 x 105 cfu per g dan level 5.0, 7.5 dan 10.0% (b/b). Lama inkubasi yang dicobakan 2, 3 dan 4 hari. Hasil percobaan menunjukkan level kultur dan lama inkubasi optimum adalah 1.5% dan 3 hari untuk A.niger
serta level 7.5% dan 4 hari untuk T.reesei berdasarkan peningkatan kadar protein kasar dan protein murni substrat tertinggi. Percobaan kedua dilakukan untuk menentukan waktu pencampuran terbaik dari kedua kapang dalam kultur campuran yang diukur dari kadar nutrien serta fermentabilitas in vitro substrat. Lama penundaan yang dicobakan adalah 0, 1 dan 2 hari. Berdasarkan peubah yang diukur maka hasil terbaik dari percobaan ini adalah bilamana A.niger
diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari, dan hasil tahap ini lebih tinggi dari tahap sebelumnya (kultur tunggal). Percobaan tahap 3 dilakukan untuk mengkaji respon ternak terhadap pemberian putak fermentasi hasil perlakuan terbaik percobaan tahap 2, yang diukur dari konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan harian serta efisiensi penggunaan ransum. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan penggunaan 40% putak fermentasi dalam konsentrat memberi respon yang positip terhadap konsumsi ransum basal dan semua peubah dibanding penggunaan 10% putak tanpa olah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dapat meningkatkan kualitas nutritif putak serta penggunaannya dalam ransum tanpa memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.
MARITJE A HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.
Putak adalah nama pakan lokal di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi tetapi rendah protein merupakan kendala utama penggunaannya sebagai pakan. Proses pengolahan biologi melalui fermentasi dapat memberi hasil yang positif terhadap kualitas bahan. Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger secara kultur tunggal sering digunakan dalam pengolahan pakan karena kemampuannya dalam degradasi selulosa maupun pati menjadi protein.
Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi dapat memberi hasil yang lebih menguntungkan. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya, beberapa organisme hidup bersama memiliki hubungan yang dapat saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut yang diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran (Hesseltine 1991). Potensi T. reesei menghasilkan enzim selobiohidrolase dan A. niger dalam menghasilkan enzim selobiase yang bermanfaat dalam degradasi substrat menjadi protein sel untuk meningkatkan kandungan protein putak yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, Optimasi Proses Fermentasi Putak secara Tunggal oleh T.reesei atau A.niger, bertujuan mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara tunggal pada level kultur dan lama inkubasi yang berbeda guna meningkatkan kualitas nutrien putak terutama kadar protein kasar (PK), protein murni (PM), serta serat kasar (SK). Level kultur yang dicobakan terdiri dari 4 level A1, A2, A3 dan A4 adalah 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b)
untuk A.niger dengan kepadatan koloni per gram adalah 2.4 x 107 sedangkan level T1, T2, dan T3 masing-masing 5.0, 7.5 dan 10% (b/b) untuk T.reesei dengan
dengan Putak sebagai Substrat bertujuan untuk mengkaji kemampuan kedua kapang secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas kimiawi maupun fermentabilitas in vitro. Pada tahap ini dicobakan 12 kombinasi level masing-masing kapang tahap sebelumnya dengan penundaan pencampuran 0 (D0), 1 (D1)
dan 2 hari (D2). D0 adalah T.reesei dan A.niger diinokulasikan bersamaan, tanpa
penundaan; D1 adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei
PM dan SK adalah 23.62, 14.92 dan 10.17% bilamana pencampuran A.niger
dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2) pada kombinasi level
A.niger 1.5% dan T.reesei 7.5% (A3T2). Hasil tersebut lebih baik daripada kultur
tunggal. Hasil uji in vitro menunjukkan kisaran konsentrasi asam lemak terbang (VFA) dan amonia (NH3) masing-masing adalah 91.14 – 119.58 mM dan 14.94 –
19.04 mM, berada pada kisaran optimum untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme rumen.
Percobaan tahap III, Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian Putak Fermentasi, bertujuan untuk menguji tingkat pemberian putak fermentasi hasil percobaan terbaik Tahap II yakni 0, 10, 20, 30 dan 40% dalam konsentrat terhadap kinerja ternak kambing lokal jantan yang diberi jerami padi
ad libitum sebagai pakan dasar. Semakin tinggi penggunaan putak fermentasi (mencapai 40%), kinerja ternak kambing meningkat lebih baik yang terdeteksi dari retensi nitrogen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan harian (PbbH ) dan efisiensi penggunaan ransum
Fermentasi kultur campuran menggunakan T.reesei dan A.niger pada putak sebagai substrat memberikan hasil yang lebih baik dibanding fermentasi kultur tunggal T.reesei atau A.niger. Peningkatan kualitas nutrisi tersebut terdeteksi dengan terjadinya peningkatan penampilan produksi ternak.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Trichoderma reesei
dan
Aspergillus niger
SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA
MARITJE ALEONOR HILAKORE
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc
sebagai Pakan Ruminansia Nama : Maritje Aleonor Hilakore NIM : D061030171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suryahadi, DEA Ketua
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen INTP Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa didalam Jesus Kristus Tuhan, karena oleh kekuatan serta hikmatNYA karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengoptimalkan potensi pakan lokal seperti putak yang sangat potensil tetapi masih mengalami kendala dalam penggunaan akibat keterbatasan kandungan nutrien yang dimilikinya. Oleh karena itu topik penelitian ini diberi judul Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulisan sampaikan kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Komang G Wiryawan serta Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktu memberi arahan serta koreksi selama proses penyelesaian penulisan ini. Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh staf Dosen Fapet atas kesempatan memperoleh ilmu dan wawasan yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas beasiswa yang diberikan dalam mengikuti pendidikan di IPB.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman se perjuangan, Thom Mata Hine sekeluarga, Poppy Ralahalu, Insun Sangaji, Yan Masrikat, James yang dengan tulus membantu berupa saran dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama proses penulisan.Untuk papa dan mama serta adik-adik tersayang Buang, Aty, Jacqualine, Ledy, Seny, Boby dan Evy, yang selalu setia dan tekun mendukung dengan doa yang tulus, terima kasih. Dan yang paling akhir dan yang sangat tak terlupakan buat suami tercinta Adrianus Boeky serta buah hati kami tersayang Daniella Leonor Adelin, Melida Andrea dan Elena Giardini Adinda, tulisan ini dipersembahkan untukmu berempat atas pengorbanan luar biasa yang diberikan selama pendidikan. Tuhan memberkati kita sekalian
Kiranya karya sederhana ini bermanfaat.
Bogor, September 2008
Penulis dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 4 Pebruari 1961, sebagai anak kedua dari empat saudara dari ayah Romelus
Hilakore (Alm) dan ibu Mathelda Talo. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, lulus tahun 1984. Pada tahun 1985 - 1987 mengikuti program Pendidikan Calon Pengajar Politeknik Pertanian (PEDCA) di Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Magister Program Studi Ilmu Ternak Program Pasacasarjana IPB dengan Beasiswa TMPD Ditjen Dikti, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. Kesempatan melanjutkan program doktor diperoleh pada tahun 2003 dengan Beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas.
Halaman
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei dan A.niger ... 26
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam Putak sebagai Substrat ... 27
Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap Pemberian Putak Fermentasi... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei dan A.niger ... .... 34
Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh A.niger ... ... 36
Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh T.reesei... 41
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger pada Medium Putak ... 45
Protein... 45
Kecernaan Bahan Kering dan Organik ... 50
Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap
Pemberian Putak Fermentasi ... 53
Konsumsi Nutrien ... 55
Konsumsi Bahan Kering dan Organik ... 55
Kecernaan Nutrien (BO,BK,Protein dan SK) ... 56
Retensi Nitrogen ... 60
Pertambahan Bobot Badan ... 60
Efisiensi Penggunaan Ransum ... 62
SIMPULAN DAN SARAN ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi bahan pakan konsentrat percobaan... ... 28 2 Komposisi nutrien konsentrat percobaan... 28
3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A.niger
dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ... 37 4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei
dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ... 43
5 Komposisi nutrien putak fermentasi kultur campuran
A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran
2 hari (D2) ... 47
6 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi. ... 50 7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran
A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran
2 hari .. ... 52 8 Rataan konsumsi nutrien ransum ... 54 9 Rataan kecernaan nutrien ransum... 56 10 Kadar VFA total dan partial dan NH3 cairan rumen dari
pakan konsentrat ... 57
11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan
dan efisiensi ransum ... 63 12 Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1 Pohon gewang (Corypha elata robx) ... 6
2 Metabolisme protein pada ruminansia ... 18
3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia ... 21
4 Kambing kacang ... 23
5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang ... 25
6 Kultur hasil biakan pada substrat putak ... 26
7 Putak hasil fermentasi A.niger umur 1 dan 3 hari ... 36
8 Putak hasil fermentasi T.reesei umur 2 dan 4 hari ... 43
9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran T.reesei dan
A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda…... 71 2 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran T.reesei dan
A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda… ... 72 3 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur A.niger terhadap kadar protein kasar putak ... 73 4 Daftar analisis sdik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur A.niger terhadap kadar protein murni putak ... 75 5 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur A.niger terhadap kadar bahan kering putak ... 77 6 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur A.niger terhadap kadar bahan organik putak ... 79 7 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur A.niger terhadap kadar serat kasar putak ... 81 8 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur T.reesei terhadap kadar protein kasar putak ... 83 9 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur T.reesei terhadap kadar protein murni putak ... 85 10 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level
kultur T.reesei terhadap kadar bahan kering putak ... 89 11 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level
kultur T.reesei terhadap kadar bahan organik putak ... 91 12 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
level kultur T.reesei terhadap kadar serat kasar putak ... 93 13 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
14 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar protein murni putak ... 97 15 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar serat kasar putak ... 98 16 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kecernaan bahan kering putak ... 99 17 Daftar analisis aidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kecernaan bahan organik putak ... 100 18 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar total VFA... 101 19 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap
kadar amonia putak ... 102 20 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi 103 21 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering ... 104 22 Daftar analisis Sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik... 105 23 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi protein... 106 24 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar ... 107 25 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi ransum
26 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi
per kg bobot badan 0.75 ... 109
27 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering
per kg bobot badan 0.75 ... 110
28 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik
per kg bobot badan 0.75 ... 111 29 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi protein kasar
per kg bobot badan 0.75 ... 112 30 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar
per kg bobot badan 0.75 ... 113 31 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap kecernaan Bahan kering... 114 32 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan organik ... 115 33 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap kecernaan protein... 116
34 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap kecernaan serat kasar... 117 35 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap retensi nitrogen ... 118 36 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan... 119 37 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh
Latar Belakang
Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363 ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil (kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan 178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan kualitas pakan.
Kondisi alam yang kering (8 – 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha (Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan lokal merupakan solusi terbaik.
Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah
Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 – 10% dari luasan padang penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al.
(1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ) dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%).
tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000).
Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau (Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94% meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs 11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung.
Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991), fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masing-masing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba tersebut.
Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya, organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran.
Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang yang banyak diteliti terutama karena kemampuannya menghasilkan enzim selulase seperti endoglukanase dan selobiohidrolase tetapi sedikit memproduksi selobiase (Panda
menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti -amilase, glukoamilase, - dan - glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan berpati (Moo-Young 1983).
Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Hasil-hasil penelitian kultur campuran yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999), bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan
S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda
et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T.reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs
et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni 18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar. b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam
memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro.
c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan penyusun konsentrat berdasarkan parameter pertumbuhan, jumlah konsumsi ransum dan nutrien serta kecernaan nutrien, efisiensi penggunaan ransum.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal dapat meningkatkan kualitas putak
2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur tunggal
3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon positif terhadap pertumbuhan ternak.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai sumber pakan baru yang prospektif
TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gewang ( Corypha elata robx) dan Produksinya
Pohon gewang (Corypha elata robx) merupakan genus palam-palaman. Khusus di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini banyak dijumpai terutama di P. Timor dan Rote. Tumbuh baik pada dataran rendah (kurang dari 400 m dpl), tinggi batang mencapai 15 meter dan tumbuh secara tunggal, batang besar dan lurus, tahan kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah kurang subur dengan pH 6 – 8.
Isi (empulur) batang gewang telah lama dikenal masyarakat setempat dengan nama putak dan digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia terutama ternak babi. Putak sangat potensil sebagai pakan karena tidak digunakan sebagai pangan, demikian juga jumlah dan ketersediaannya masih cukup terjamin. Berdasarkan data yang dilaporkan Ditjennak (2007) bahwa luas padang penggembalaan alam di P. Timor adalah 24 382 04 ha dan diperkirakan sekitar 5 – 10% dari luasan tersebut ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ), dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Waktu terbaik untuk pemotongan adalah saat tanaman menjelang berbunga yang dapat diketahui dari posisi pelepah daun paling bawah membentuk garis horisontal.
Gambar 1 Pohon gewang (Corypha elata robx)
Penerapan teknologi pengolahan untuk meminimalisir keterbatasan yang dimiliki putak yang pernah dilakukan misalnya, dengan penambahan urea; (Bamualim et al. 1993, Nulik et al. 1993, Kana Hau et al. 1993), pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) (Wie Lawa 1996), semuanya sebagai pakan ruminansia, serta pengolahan secara biologis, yaitu fermentasi dengan
Saccharomyces cereviciae (Ginting 2000) untuk pakan ternak babi.
Bamualim et al. (1993) melaporkan penelitian yang dilakukan pada ternak sapi dengan pemberian putak dicampur urea sebanyak 30 g/e/h diperoleh tingkat penurunan bobot badan selama musim kemarau adalah sebesar -0.16 kg/e/h dibanding pemberian jerami yang mencapai -0.39 kg/e/h, sedangkan pada musim hujan tingkat pertambahan bobot badan mencapai 370 g/e/h vs jerami 170 g/e/h.
penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h.
Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh
Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000). Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 % turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10% menggantikan jagung.
Fermentasi dan Medium Fermentasi
Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dalam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara aerob dan anaerob, dimana enzim dari mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidase, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu.
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrob penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermenasi menurut Winarno (1981), dapat menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan (pangan) tersebut. Hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikrob tersebut. Menurut Rachman (1989), pemilihan jenis mikrob dalam proses fermentasi merupakan salah satu unsur penentu terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi bersangkutan.
fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen.
Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992).
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy
et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Fardiaz 1988).
Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian medium (Hardjo et al. 1989 ).
Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti : a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang
Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi, kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ).
Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi 2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme 3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam menguraikan medium.
Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses pengkayaan protein (protein enrichment) bahan dengan menggunakan mikroorganisme tertentu. Proses pengkayaan protein identik dengan pembuatan protein sel tunggal akan tetapi pada pengkayaan tidak dilakukan pemisahan sel mikrob dari substrat (Gushairiyanto 2004).
Secara umum medium fermentasi menyediakan semua nutrien yang dibutuhkan mikrob untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesa produk-produk metabolisme, tergantung kepada jenis mikroba dan produk yang akan dihasilkan maka setiap fermentasi memerlukan medium yang juga tertentu.
mengemukakan bahwa nitrogen mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim, sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel.
Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh konsentrasi komponen-komponen penyusun media pertumbuhannya. Karbon adalah elemen terbanyak dalam sel mikroorganisme meliputi kira-kira 50% dari biomassanya, karena itu sumber karbon merupakan bahan terbesar yang harus tersedia dalam media karena merupakan sumber nutrien utama dalam pertumbuhan mikrob.
Dikemukakan oleh Wang et al. (1979) bahwa konsentrasi sumber nutrien juga mempunyai batas maksimum, garam ammonium dan nitrat mulai menimbulkan penghambatan pada konsentrasi lima gram per liter dan garam phospat pada 10 gram per liter. Oleh karena itu Litchfield (1979) menyarankan penambahan nutrien ke dalam substrat dilakukan pada range yang sesuai antara unsur karbon dan nitrogen. Dalam hubungan dengan peningkatan kadar protein substrat (PST), tergantung kepada jenis mikrob, dimana ratio C terhadap N (C : N ratio) dapat berkisar antara 20 : 1 tetapi ratio C : N yang paling sering digunakan adalah antara 5 : 1 hingga 15 : 1
Efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat merubah bentuk fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik (Ginting 2000).
konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut.
Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang
et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap
pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh
hasil yang maksimal.
Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah. Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada asal.
Trichoderma reseei
Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa. Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan membentuk bola-bola berlendir.
Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan Oldman 1984). Pada sistem selulase, enzim selulase yang dihasilkan genus
Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei
dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003).
Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan ekso-glukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBH I) merupakan komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan.
Kondisi optimum yang dibutuhkan T.reesei untuk bertumbuh berbeda dengan untuk produksi enzim. Selama fase pertumbuhan, terjadi akumulasi massa sel dan setelah massa sel mencapai konsentrasi optimum, produksi enzim baru dimulai. Temperatur dan pH yang optimum pada kedua fase ini juga berbeda yakni untuk pertumbuhan adalah 31-35oC dan pH 4 sedangkan untuk produksi enzim 26-28oC dengan pH 3. Aerasi merupakan faktor yang sangat penting pada semua fase oleh karena oksigen diperlukan untuk metabolisme energi agar produk fermentasi yang dihasilkan maksimal (Tsao et al. 1983).
Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili
Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu 25 - 28 oC (Enari 1983).
sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh menjulang ke udara (Pelczar 1986).
Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak
macam enzim ekstraseluler, seperti -amilase, glukoamilase, - dan - glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang
et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994). Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim -glukosidase (Gong dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa.
Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari. Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi terrendam.
Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati menjadi protein.
Fermentasi Kultur Campuran
Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur, bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila menggunakan banyak mikrob yang berbeda.
Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur campuran.
Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat.
Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol, biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi, dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masing-masing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai.
Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo glukanase, exo -glukanase dan -glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah -glukosidase lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger
memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan -glukosidase. Menurut Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau -glukosidase yang dihasilkan oleh
T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan kualitas substrat.
Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang
T.reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah (Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum
dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan
menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus
dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.
Sumber Nutrien pada Ternak Ruminansia
Kelompok ternak ruminansia memiliki keunikan dalam hal pemanfaatan sumber-sumber pakan yang sangat beragam secara kualitas. Proses pencernaan fermentatif yang terjadi di dalam lambung depan dan dengan kapasitas yang sangat besar sangat menguntungkan ternak ini karena : (1) pakan dapat diubah dan tersedia dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih banyak dan lebih efisien.
Kebutuhan nutrien pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yakni : nutrien hasil fermentasi rumen, nutrien pakan yang lolos degradasi rumen, serta dari mikroba rumen yang masuk usus halus dan mengalami pencernaan. Ternak yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah, pemenuhan kebutuhan nutrien diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk fermentasi seperti asam lemak volatil (VFA) ( Sutardi 1995). Oleh karena itu ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah, salah satu aspek penting yang perlu ditingkatkan adalah pertumbuhan mikroba.
Untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, semua nutrien prekursor seperti energi, nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Huber dan Kung (1981) bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua nutrien prekursor tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini bermakna suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya.
karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Kadar VFA antara 8 –16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995).
Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein (NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM
cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).
Metabolisme Protein pada Ruminansia
Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat dan sumber nitrogen yang tersedia dalam rumen. Laju pencernaan unsur-unsur tersebut merupakan faktor penentu produksi protein mikroba. Menurut Sutardi (1979), protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam amino akan mengalami katabolisme dan menghasilkan amonia, VFA dan CO2.
Proses proteolisis oleh mikrob rumen menghasilkan peptida dan asam amino (Nolan 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian mikrob rumen untuk pertumbuhannya (Wallace dan Cotta 1988). Oleh karena tidak semua peptida dan asam amino yang terbentuk dalam rumen digunakan oleh mikroba, sebagian akan mengalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Russel
et al. (1992) bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi pada sapi perah, 30% dari NAN (Non Amonia Nitrogen) yang masuk ke dalam usus halus dalam bentuk peptida dan asam amino.
Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikrob rumen. Jika pakan defisiensi protein atau proteinnya tahan degradasi, konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikrob rumen menjadi lambat sehingga menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonalld et al. 1988). Bila kecepatan degradasi melebihi kecepatan sintesis protein mikrob akan terjadi akumulasi NH3 dalam rumen.
akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng 1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).
Gambar 2 Metabolisme protein pada ruminansia (Kempton et al. 1978) Protein pakan Protein endogen
Asam amino NH3
Protein mikrob
diabsorbsi RUMEN
Protein endogen Protein
mikrob Protein
pakan
USUS HALUS Tak
terdegradasi
Asam amino
diabsorbsi
Protein tak tercerna
Protein endogen
feses NH3
Protein mikrob
diabsorbsi
Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen. Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 40–80% dan fraksi nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang.
Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein endogenous).
Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.
Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia
Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yakni mencapai 60 – 75% dari total bahan kering ransum dimana dalam makanan kasar (hijauan) sebagian besar terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa, sedangkan dalam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati (Sutardi 1979). Senada dengan pernyataan tersebut Russel dan Hespel (1981) menyatakan bahwa pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa polimer kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan lain-lain sehingga menyebabkan jenis pakan ruminansia memiliki nilai kelarutan yang rendah.
rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang akan segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam rumen, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) atau lebih dikenal sebagai asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) (France dan Siddons 1993).
Karbohidrat dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan yaitu pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan intraseluler mikrob. Tahap pencernaan oleh enzim ekstraseluler, karbohidrat yang masuk rumen difermentasi menjadi monomer berupa oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua, monomer difermentasi lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat melalui jalur Embden Meyerhoff dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993). Piruvat merupakan produk intermedier akan dimetabolisasi menjadi VFA. Perubahan asam piruvat menjadi VFA melalui beberapa lintasan. Oksidasi asam piruvat menjadi asam asetat dan butirat terjadi melalui lintasan asetil-KoA, untuk pembentukan asam propionat ada dua lintasan yaitu lintasan suksinat dan laktat atau akrilat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993).
Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam bentuk gas CO2, CH4 dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons 1993).
redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri.
Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon, karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP (Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979). Selanjutnya menurut Russel dan Wallace (1988) bahwa pertumbuhan mikrob rumen proporsional terhadap jumlah ATP yang dihasilkan dari katabolisme energi. Maksimum sintesis sel mikrob yang dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP.
Gambar 3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia (France and Siddons 1993) Selulosa Pati Pektin Hemiselulosa
Pentosa
Heksosasa
Piruvat
Format
CO2 + H2O
Metan
Asetil Ko-A
Asetat Butirat Propionat
LINTASAN AKRILAT LINTASAN PENTOSA LINTASAN
EMBDEN MEYERHOFF
Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam
propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat
(CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam
2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari
(Czerkawski 1986).
Ternak Kambing Kacang
Kambing kacang adalah kambing lokal yang banyak terdapat di Indonesia, termasuk tipe daging dengan bobot badan dewasa jantan sekitar 25 kg dan betina 20 kg. Kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan dan pakan sangat baik, serta lebih efisien dalam menggunakan pakan menjadikan ternak ini sangat digemari untuk diternakkan (Devendra dan Burns 1994).
Selain merumput, kambing juga memakan berbagai jenis hijauan sehingga membedakannya dengan sapi maupun domba. Kambing juga mampu merumput di padang dengan rumput yang terlalu pendek bagi ternak sapi dan di tempat-tempat yang kurang tersedia pakan atau hijauan berkualitas baik bahkan mengkonsumsi serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh domba (Devendra dan Burns 1994).
Tempat dan Waktu
Penelitian telah dilaksanakan dari Pebruari 2006 sampai dengan Januari 2008, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (I) optimasi proses fermentasi putak oleh T.reesei dan A.niger, (II) fermentasi kultur campuran T.reesei dan
A.niger dalam putak sebagai substrat, (III) respon ternak kambing jantan lokal terhadap pemberian putak fermentasi.
Pelaksanaan percobaan I dan II adalah uji in vitro dilaksanakan di Laboratorium Biotek Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Balitnak Ciawi Bogor sedangkan percobaan III yaitu uji in vivo dilaksanakan di peternakan rakyat di kelurahan Lasiana, Kecamatan Lasiana, Kota Kupang, dengan menggunakan 20 ekor ternak kambing jantan lokal.
Putak diperoleh dari penjual putak di Desa NoElbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Semua bahan pakan yang digunakan seperti jerami padi, dedak padi, jagung kuning, bungkil kelapa adalah bahan lokal yang diperoleh dari pasar tradisional setempat, sedangkan daun gamal diambil dari sekitar lokasi peternakan tempat percobaan dilaksanakan selama musim hujan dan dikeringkan.
Penyiapan Proses Fermentasi a.Penyiapan Putak
Putak yang digunakan adalah dalam bentuk cacahan berukuran ±1,0x1,5 cm, setelah dicacah dijemur matahari selama 3 hari agar tidak berjamur. Putak kering ini selanjutnya digunakan dalam pembuatan putak fermentasi.
b.Penyiapan Larutan Inokulum
Gambar 5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang hingga menjadi putak cacah
c.Pembuatan Bubuk Inokulum.
Sebanyak 100 g putak direndam dalam air selama 30 menit kemudian ditiriskan, dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Sebanyak 2 g mineral KH2PO4, 4.62 g (NH4)2SO4 dan 3.15 g Urea dicampur air menjadi 100 ml
kemudian dimasukkan kedalam plastik berisi putak, selanjutnya disterilisasi dalam
autoclave pada tekanan 1 Atm selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam baki plastik steril, kemudian dicampurkan 9 ml larutan inokulum dan diinkubasi pada suhu kamar selama 5 hari, selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 3 hari, kemudian digiling untuk digunakan sebagai kultur. Hasil propagasi diperoleh jumlah koloni (cfu) per gram kultur masing-masing untuk
Kultur T. reesei Kultur A. niger
Gambar 6 Kultur hasil pembiakan pada substrat putak
Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
Untuk mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara kultur tunggal dalam memperbaiki kualitas substrat, maka percobaan dilaksanakan dengan membandingkan beberapa level inokulan dan lama waktu fermentasi dalam meningkatkan nilai nutrien putak yang paling optimum. Oleh karena itu pada
T. reesei dicobakan 9 kombinasi yakni 3 level kultur T1 , T2 dan T3 yaitu 5, 7.5
dan 10% (b/b), sedangkan untuk A.niger terdapat 12 kombinasi yaitu empat (4) kombinasi level kultur A1, A2, A3 dan A4 yakni : 0.5, 1.0, 1.5 dan 2% (b/b)
masing-masing dengan tiga lama inkubasi W2, W3 dan W4 yaitu 2, 3 dan 4 hari. Penyiapan putak dan larutan mineral sama seperti pada pembuatan bubuk inokulum. Putak yang telah dicampur larutan mineral dikukus selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam baki steril dan dicampur bubuk kultur sesuai perlakuan, diaduk hingga rata kemudian ditutup dan diinkubasi sesuai lama waktu perlakuan. Produk hasil fermentasi, selanjutnya dikukus selama 15 menit untuk menghentikan proses fermentasi kemudian dikeringkan untuk dianalisa komposisi nutrien melalui analisa Proksimat.
Peubah yang dikaji adalah kadar komposisi nutrien substrat (Proksimat) dan protein murni
Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam Putak sebagai Substrat
Percobaan bertujuan mengkaji kemampuan mikroba secara bersama-sama untuk meningkatkan kualitas putak. Salah satu faktor yang menentukan dalam fermentasi campuran adalah waktu pencampuran, karena masing-masing mikrob mempunyai kemampuan fisiologis yang berbeda. Berdasarkan pengamatan pertumbuhan T.reesei dan A.niger secara tunggal serta hasil terbaik yang diperoleh pada percobaan I, maka ditentukan lama waktu penundaan pencampuran kedua kapang pada kultur campuran adalah 0, 1 dan 2 hari. Penundaan pencampuran 0 hari (D0), adalah bila kultur T.reesei dan A.niger
dinokulasikan pada waktu yang bersamaan; penundaan pencampuran 1 hari (D1) bila inokulasi kultur A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 1 hari; dan penundaan pencampuran 2 hari (D2) bila inokulasi dengan kultur A.niger
dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari.
Percobaan dirancang dengan RAL dengan 12 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing untuk D0, D1 dan D2. Pengukuran peubah dilakukan
melalui analisis Proksimat untuk komposisi nutrien putak fermentasi, protein murni, serta fermentabilitas in vitro VFA, NH3, KcBK, KcBO.
Percobaan III Respon Pertumbuhan Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian Putak Fermentasi
4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 macam ransum dengan tingkat penggunaan putak fermentasi (PF) yang berbeda yaitu, R0, R1, R2, R3 dan R4. Sebelum
pelaksanaan penelitian semua ternak diberi obat cacing dan vitamin. Ransum perlakuan terdiri dari :
R0 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak tanpa olah
R1 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak fermentasi
R2 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 20% putak fermentasi
R3 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 30% putak fermentasi
R4 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 40% putak fermentasi
Percobaan berlangsung selama 12 minggu yang terdiri dari dua minggu pra penelitian (preliminary period) dan 10 minggu pengumpulan data (collecting period). Pemberian ransum berdasarkan kebutuhan bahan kering ternak yaitu 3% bobot badan. Konsentrat disusun isoenergi–protein yakni protein 17% dan TDN 75% dengan ratio pemberian hijauan dan konsentrat 40 % : 60 %, hijauan adalah jerami padi sedangkan konsentrat adalah campuran jagung, dedak halus, bungkil kelapa, tepung daun gamal serta putak terfermentasi sesuai perlakuan. Komposisi bahan pakan konsentrat perlakuan hasil perhitungan disajikan pada Tabel 1 sedangkan kandungan nutrien hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 2.
Perubahan konsumsi pakan diamati secara berkala dari perubahan bobot badan melalui penimbangan pada setiap minggu. Jerami padi dan air minum diberikan secara ad libitum. Konsentrat diberikan sebanyak 60% dari kebutuhan BK yakni 3% bobot badan. Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien serta retensi nitrogen.
Pembuatan Putak Fermentasi
media 4 cm, kemudian diinkubasi selama dua (2) hari, pada hari ketiga dicampur
lagi dengan 15 g kultur A. niger selanjutnya diinkubasi lagi selama 2 hari. Setelah masa inkubasi selesai putak fermentasi dikukus 15 menit untuk
menghentikan proses fermentasi selanjutnya dijemur matahari selama 2 hari kemudian digiling untuk dicampur dalam ransum.
Tabel 1. Komposisi bahan makanan konsentrat percobaan
Bahan (%) R0 R1 R2 R3 R4
Teknik fermentasi in vitro yang digunakan adalah metode batch culture
(GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum dari rumen kambing dengan menggunakan stomach tube dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok yang sebelumnya dijenuhkan dengan CO2 agar pH berkisar antara 6.8 - 6.9.
Sebelum difermentasi isi fermentor juga dialiri CO2 agar terjadi suasana anaerob