• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN

3.3 Orang Jawa di Kota Medan

Salah satu etnis yang menghuni kota Medan adalah etnis Jawa. Kedatangannya ke Sumatera Utara khususnya kota Medan memiliki berbagai faktor antara lain adanya kepentingan kolonialisme bangsa Barat, transmigrasi ataupun kepentingan polotik masa Orde Baru tahun 1966.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, arus kedatangan para pekerja dari Jawa ke Sumatera Utara cukup besar. Terutama saat ramai dibukanya perkebunan-perkebunan besar seperti tembakau, teh, karet dan coklat. Setiap areal perkebunan menyerap banyak tenaga kerja sebagai kuli kontrak untuk diperkerjakan mulai dari membuka lahan, menanam, memelihara serta sampai ke aktivitas memetik hasil untuk di ekspor ke luar negeri.

Masuknya tenaga kerja ke perkebunan di Sumatera Timur berasal dari orang-orang Cina yang dipindahkan dari Penang melalui pelabuhan Belawan. Kedatangan para buruh asal Penang ini sekitar tahun 1868 merupakan awal masuknya golongan kuli kontrak ke Sumatera Timur. Selanjutnya langkah ini diikuti pula oleh kelompok buruh orang-orang India yang juga direkrut dan didatangkan dari Penang sekitar tahun 1871 Namun, proses mendatangkan tenaga kerja asal luar negeri tidak berjalan dengan mulus sebagaimana yang diharapkan pemerintah kolonial Belanda. Karena pada saat pengiriman buruh tersebut menggunakan jasa para makelar (perentara), sementara para makelar tersebut dalam pengiriman buruh tidak terlebih dahulu menyeleksi sehingga buruh-buruh yang dikirim kebanyakan tidak mampu bekerja. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan solusi yang terbaik dengan cara mengusahakan untuk mendatangkan tenaga kerja dari daerah pulau Jawa. Ketidaklancaran pengiriman buruh dari luar Indonesia telah membawa pengaruh terhadap dominasi arus migrasi bangsa Cina ke Sumatera Timur. Pada tahun 1880, perusahaan berhenti membawa masuk orang-orang Cina karena banyak dari

mereka yang pergi meninggalkan kebun atau sering terjadi kerusuhan. Oleh karena itu, banyak perusahaan asing yang beralih untuk mendatangkan para kuli kontrak dari orang Cina ke orang Jawa. Pertengahan tahun 1900, arus migrasi para buruh Cina terus mengalami penurunan yang sangat drastis dan dihentikan untuk mengambil buruh dari Cina pada tahun 1930. Sebaliknya, para pekerja yang didatangkan dari Pulau Jawa mengalami kenaikan yang terus meningkat.

Masuknya tenaga kerja sebagai kuli kontrak oleh etnis Jawa kebanyakan berasal dari Jawa Tengah. Mereka bersedia menjadi kuli kontrak dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, karena di daerah asalnya, mereka mengalami himpitan ekonomi. Sehingga dengan pergi menjadi kuli kontrak mereka dapat terhindar dari jeratan hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Pada awal abad ke-20, para kuli Jawa telah menjadi mayoritas buruh yang ada di kantong-kantong perkebunan. Mereka secara terus-menerus didatangkan dari Pulau Jawa. Kedatangan mereka ke tanah Deli ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal. Keadaan perjalanan yang lama, melelahkan dan cukup panjang, telah memberikan dampak timbulnya perasaan senasib dan sepenanggungan dengan sesama mereka yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Pulau Jawa. Perasaan tersebut telah mengikat mereka untuk menjadi saudara sebagaimana timbulnya falsafah di kalangan orang Jawa yang berbunyi

yang terbentuk karena faktor senasib dan seperjuangan selama di kapal ini berlaku sampai mereka hidup di daerah tujuan.38

Besarnya arus kedatangan etnis Jawa sebagai kuli kontrak tersebut terus bertambah, dengan demikin jelas bahwa mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang besar.39

Tujuan transmigrasi bukan hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk pulau Jawa saja, namun juga sebagai peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan para transmigran itu sendiri bersama-sama dengan penduduk

Selain karena faktor perekrutan kuli kontrak kedatangan masyarakat Jawa ke Medan juga diakibatkan program transmigrasi oleh pemerintah dalam rangka penyebaran penduduk yang serasi dan seimbang pada tahun 1952. Meskipun sebenarnya program tersebut sudah pernah dilakukan pada masa kolonial Belanda pada tahun 1905, dengan memindahkan ratusan keluarga ke Lampung. Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu menyadari bahwa penduduk di daerah pulau Jawa pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat ekonomi pedesaan akibat adanya kegiatan perusahaan-perusahaan asing yang mengelola berbagai tanaman sebagai komoditi ekspor telah berdampak buruk bagi penduduk setempat.

38

Sihar Pandapotan, Proses Adaptasi Etnis Jawa Asal Solo di Kota Medan, Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan, 2006, hlm. 42

39

Suprayino, Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hlm. 27

setempat di daerah penerima transmigran. Obyek transmigran di wilayah Sumatera dianggap layak untuk dihuni transmigran asal Jawa, seperti di Secanggang (Kabupaten Langkat), Bukit Rata (Pangkalan Susu), Bulungihit (Kabupaten Labuhan Batu) maupun di Manduamas (Kabupaten Tapanuli Tengah). Namun timbul kekecewaan dari para transmigran karena berbagai faktor, salah satunya adalah bertambah padatnya jumlah penduduk di daerah mereka dan semakin tingginya persaingan. Hal ini mengakibatkan beberapa daerah transmigran seperti Bulungihit, Bukit Rata dan juga di daerah Secanggang ditinggalkan warganya. Bagi sebahagian kelompok yang masih mampu dari segi finansial mengambil jalan untuk pulang kembali ke Jawa. Sedangkan bagi beberapa kelompok atau warga lainnya tidak mampu secara finansial mencari jalan dengan mengadu nasib ke kota lain, termasuk kota Medan.

Selain program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah Indonesia, masuknya etnis Jawa ke Medan juga dilatarbelakangi adanya kepentingan di masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, banyaknya etnis Jawa masuk ke kota Medan disebabkan adanya kepentingan militer dari pemerintahan Orde Baru. Keadaan ini menyebabkan munculnya kesempatan bagi etnis Jawa untuk masuk ke beberapa daerah di Indonesia termasuk kota Medan sebagai kepentingan untuk memperkuat kesinambungan pemerintahan Orde Baru.

Masuknya etnis Jawa ke kota Medan tidak berdasarkan konsep merantau, sebagaimana yang diterapkan oleh etnis Minangkabau dan Batak. Di

kalangan orang Jawa, perantauan tidak berakar dalam sistem sosial mereka dan dalam beberapa hal, mereka memiliki sikap negatif terhadap migrasi, terutama mengenai tempat-tempat di luar Jawa. Bagi mereka, Jawa adalah pusat dunia dan mereka percaya bahwa di luar Jawa tidak terdapat masa depan yang baik. Seperti yang telah dipaparkan bahwa kebanyakan etnis Jawa datang ke kota Medan terutama sebagai kuli kontrak. Namun, tidak selamanya kepercayaan atau adat tidak merantau dipegang teguh oleh etnis Jawa. Sihar Pandapotan dalam tesisnya menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1980-an, banyak etnis Jawa asal Solo yang telah datang ke Medan dan menetap didasarkan keinginan untuk merantau.40

Pada awalnya kedatangan para etnis Jawa ke Sumatera bukanlah untuk melakukan Jawanisasi seperti program yang dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru. Namun seiring dengan menguatnya kekuasaan Orde Baru sejak tahun 1996 sampai dengan 1997. Jawanisasi menjadi sangat mudah ditularkan kepada mereka khususnya etnis Jawa yang jauh sebelum Orde Baru ada, mereka sudah bertempat tinggal di kota Medan, dimana budaya serta bahasa yang mereka gunakan masih bercorak budaya Jawa. Tentu hal ini akan mengobati kerinduan para etnis Jawa yang berada jauh dari kampung halaman atau pulau Jawa, yaitu kerinduan akan budaya Jawa yang dulu mereka agungkan di tempat asalnya. Untuk mengobati rasa kerinduan tersebut mereka khususnya orang-orang Jawa membentuk perkumpulan masyarakat Jawa dari berbagai golongan seperti yang telah disebutkan di atas, maka melalui

40

perkumpulan tersebut diharapkan antar sesama etnis Jawa yang berada di kota Medan atau yang bukan etnis Jawa di kota Medan dapat menjalin hubungan dengan baik dan harmonis serta melalui perkumpulan tersebut diharapkan kesenian Jawa tetap dapat dilestarikan sekaligus dapat mengatasi persoalan-persoalan sosial, budaya maupun ekonomi yang menimpa masyarakat etins Jawa di Sumatera yang pada waktu itu khusus kota Medan yang merupakan kot a multietnis.

BAB IV

PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 1970-1990

Dokumen terkait