• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan

BAB III. LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN

3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan

Wayang kulit di kota Medan menyebar ke seluruh wilayah perkebunan yang ada di Medan seperti Kebun Pisang, Tembung, Sei Sikambing, Belawan, Tanjung Selamat dan Pondok Batuan. Penyebaran kesenian wayang kulit bersamaan dengan penyebaran penduduk Medan khususnya orang-orang Jawa yang menyebar ke seluruh wilayah kota Medan

yang menjadi tempat tinggal masyarakat Jawa, karena pada waktu-waktu tertentu diadakan pertunjukan wayang kulit, seperti pada acara bersih desa, ruwatan dan hari besar Jawa lainnya.

Orang-orang Cina merupakan mayoritas buruh yang ada di perkebunan. Pada tahun 1871 sudah bekerja lebih kurang 3000 buruh Cina di perkebunan Sumatera Timur. Namun, jumlah orang-orang Jawa yang dijadikan buruh terus membesar dan semakin banyak sampai pada akhirnya melebihi jumlah buruh Cina. Di tahun 1930-an, terjadi perubahan besar dalam kontrak kerja yang memungkinkan para kuli perkebunan Jawa meninggalkan perkebunan setelah masa kontrak habis.34

Banyaknya masyarakat etnis Jawa yang masuk ke Sumatera Timur juga berlangsung ketika pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1952 melaksanakan program transmigrasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan salah satu tujuan transmigrasi tersebut

Mereka tidak dapat kembali ke kampung asalnya di pulau Jawa karena kondisi mereka yang memprihatinkan dan ekonomi yang kurang mendukung sehingga mereka hidup menetap di daerah Sumatera khususnya di kota Medan. Kebanyakan yang meninggalkan perkebunan tetap hidup berkelompok di pinggir-pinggir perkebunan sebagai petani atau pindah ke kota-kota terdekat. Di kota Medan mereka tinggal secara turun-temurun di daerah pinggiran kota dan di areal bekas perkebunan yang telah dinasionalisasikan.

34

Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peran Misi Budaya Minangkabau dan

adalah Pulau Sumatera. Kota Medan sebagai kota yang lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Sumatera menjadi obyek para transmigran untuk bertempat tinggal. Etnis Jawa di kota Medan pada umumnya banyak bertempat tinggal di daerah pinggiran kota Medan seperti Tembung tepatnya di Kampung Kolam, Saentis, Sampali, Batang Kuis, Kelambir Lima, Labuhan, Tandem, Glugur Darat, Pulo Brayan, Simpang Limun, Kampung Anggrung, Kampung Lalang, Sei Agul, Marelan serta Tanjung Morawa. Menurut informan Bapak Muhalim, orang Jawa di kota Medan juga banyak bertempat tinggal di daerah Sunggal tepatnya di Jalan Dwikora, Jalan Perjuangan yang rata-rata bermatapencaharian sebagai tukang bakso dan tukang es.35

Masyarakat Jawa yang tersebar di berbagai daerah pinggiran kota Medan ini membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk membahas persoalan-persoalan hidup mereka dan juga mengadakan kegiatan berupa pertunjukan kesenian tradisional Jawa yang salah satunya adalah kesenian tradisional wayang kulit. Karena sebagai warga pendatang atau perantauan yang jauh dari kampung halamannya pasti akan menimbulkan rasa rindu tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu dengan seseringnya mereka berkumpul dan melakukan kegiatan kesenian tradisional Jawa seperti wayang kulit, seolah-olah mereka berada di kampung sendiri. Dari sinilah akhirnya kesenian wayang kulit

Banyak juga dari mereka yang tersebar di beberapa kecamatan Deli Serdang seperti di Denai, Tuntungan, Sunggal dan Johor. Mayoritas mereka beragama Islam.

35

semakin terus berkembang hingga masa keemasannya sekitar tahun 1970-an, apalagi kegiatan kesenian mereka ini didukung dengan dibentuknya suatu organisasi masyarakat Jawa yang ada di Medan yaitu Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) pada tahun 1978. Sebelum organisasi Pujakesuma ini dibentuk telah ada perhimpunan yang khusus untuk melestarikan berbagai kesenian Jawa seperti BKKJ (Badan Kesenian Keluarga Jawa), namun badan kesenian tersebut hanya menampung masalah kesenian Jawa, maka dibentuklah organisasi Pujakesuma yang sifatnya lebih nasionalis. Hal inilah yang menjadi penyebab kesenian tradisional wayang kulit dapat berkembang di kota Medan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebaran kesenian wayang kulit hingga sampai ke Medan dimulai dari terbentuknya perhimpunan masyarakat Jawa pada tahun 1978, meskipun pada tahun 1950 kesenian wayang kulit telah ada di Sumatera. Dengan dibentuknya perhimpunan tersebut maka kesenian wayang kulit cepat merambah ke berbagai wilayah di kota Medan terutama di sekitar pinggiran kota Medan yang banyak terdapat pemukiman masyarakat Jawa. Hingga pada akhirnya dari perkumpulan masyarakat Jawa yang ada di Medan mereka sering menyelenggarakan pergelaran wayang kulit akbar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali yang dimulai dari tahun 1970 sampai pada tahun 1980. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari bibit-bibit dalang yang dapat memainkan wayang dengan baik. Namun kegiatan ini tidak di khususkan untuk orang-orang yang berada di Medan saja melainkan yang berada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar dapat turut serta dalam pagelaran kesenian wayang kulit ini. Dari kegiatan inilah kesenian wayang kulit

menyebar hingga ke wilayah pelosok Medan seperti Tembung, Kebun Pisang, Batangkuis, Pondok Batuan dan Sunggal. Selain itu juga di Medan terdapat sanggar yang dikhususkan untuk keterampilan kesenian wayang kulit pada tahun 1970-an yang berada di daerah Sei Mencirim yaitu Badan Kesenian Kebudayaan Jawa (BKKJ).36

Penyebaran kesenian wayang kulit di kota Medan tidak berlangsung dengan lancar karena menurut hasil wawancara dengan bapak Selamet, beliau mengatakan bahwa kesenian wayang kulit dalam proses penyebarannya terdapat berbagai halangan, karena para pemimpin yang biasanya membuat pagelaran wayang tidak berdomosili di kota Medan, sehingga untuk melaksanakan kesenian wayang kulit mereka yang ada di Medan harus menghubungi pemimpin-pemimpin mereka yang ada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar. Para pemimpin mereka khususnya masyarakat Jawa ini adalah golongan Priyayi, karena mereka adalah golongan bangsawan Jawa yang mempunyai tradisi Hindu-Jawa dan mempunyai kebudayaan yang halus

Namun pada kenyataannya sanggar tersebut tidak bertahan lama dikarenakan pengurus badan kesenian tersebut telah meninggal dunia dan tidak ada lagi yang meneruskannya, hal ini yang akhirnya membuat kesenian wayang kulit terhambat dalam proses penyebarannya.

37

36

Wawancara dengan Ibu Cempluk, Medan tanggal 10 Mei 2009 37

Kebudayaan yang halus dalam masyarakat Jawa adalah kebudayaan yang masih memegang adat-istiadat para leluhur mereka.

. Ketika akan diadakan pertunjukan kesenian wayang kulit biasanya pencetusnya atau idenya berasal dari para golongan bangsawan, sementara yang termasuk dalam golongan abangan, santri hanya sebagai pendukung pelaksana.

Medan yang pada awalnya adalah kota yang berfungsi sebagai pendukung industri agraria seperti perkebunan secara cepat berkembang menjadi kota industri, administrasi pemerintah dan bisnis modern yang lengkap dengan berbagai macam bentuk industri jasa dan hiburan. Perkembangan yang mencakup perluasan kota sejak pertengahan tahun 1970-an telah menyebabkan daerah-daerah pinggiran kota Medan tersebut menjadi tempat berbagai kesenian khususnya Jawa, perlahan berkembang dan menjadi bagian dari kota Medan. Namun eksistensi kesenian Jawa khususnya yang bersifat tradisional seperti kesenian wayang kulit tergeser kedudukannya oleh adanya budaya modern yang masuk ke kota Medan sekitar tahun 1990-an seperti hiburan keyboard, layar tancap, vcd dan lain sebagainya. Akibat masuknya budaya modern ini membuat kesenian tradisional kurang diminati, karena dianggap sebagai budaya kuno. Akan tetapi khususnya masyarakat Jawa berusaha untuk tetap mempertahankan kesenian tradisional yang bersaing dengan budaya modern dengan tetap terus menggelar pertunjukan kesenian tradisional khususnya wayang kulit pada acara-acara seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan ruwatan.

Dokumen terkait