KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O l e h
Dedi Supriady
Nim. 030706022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMAN ILMU SEJARAH MEDAN
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
l e h
Dedi Supriady Nim 030706022
Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Nip 131 412 311
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
Yang diajukan oleh Nama : Dedi Supriady
Nim : 030706022
Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Tanggal Nip 131 412 311
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal
Nip 131 284 309
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SEMATERA UTARA MEDAN
Lembar Pengesahan Pembibing skripsi
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O
l e h
Dedi Supriady Nim 030706022
Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Nip 131 412 311
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian
Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi Salah satu syarat Ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua Departemen
Dra. Fitriaty Harahap, S.U Nip. 131 284 309
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
Diterima oleh.
Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D Nip: 132 098 531
Panitia Ujian.
No. Nama Tanda Tangan
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah...
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.Tidak lupa Shalawat beserta Salam penulis limpahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan pencerahan kehidupan bagi seluruh umat manusia.
Sesuai dengan judulnya “Kedatangan dan Perkembangan Wayang
Kulit di Kota Medan Tahun 1970-1990”, tulisan ini membahas tentang
bagaimana kesenian wayang kulit dapat tumbuh dan berkembang di kota
Medan yang telah diketahui bahwa kota Medan adalah sebuah kota industri
yang multietnis. Kesenian wayang kulit pada awal kedatangannya tidak terlepas
dari masuknya para buruh perkebunan di perusahaan asing milik pemerintah
kolonial Belanda pada saat dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera
Timur pada tahun 1886. Kesenian tersebut selain dibawa oleh orang-orang Jawa
juga sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan agar para kuli kontrak yang
umumnya berasal dari pulau Jawa dapat bertahan dalam perkebunan. Namun
seiring dengan perkembangan zaman dan arus budaya asing yang masuk ke
kota Medan akhirnya kesenian wayang ini mulai tergeser kedudukannya dan
menjadi kurang diminati. Untuk lebih jelasnya didalam tulisan ini akan
Medan serta sikap orang-orang Jawa dalam mempertahankan kesenian
tradisional mereka.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena keterbatasan penulis, baik pada
interpretasi konsep maupun teknis dan juga kurangnya referensi yang penulis
peroleh. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan dan
kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua sebagai penikmat sejarah, karena sejarah merupakan bagian dari hidup
kita.
Medan, Juli 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ...iii
ABSTRAK ...v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...11
1.3 Tujuan dan Manfaat ...12
1.4 Tinjauan Pustaka ...13
1.5 Metode Penulisan ...14
BAB II. GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN 2.1 Kondisi Geografis ...16
2.2 Keadaan Penduduk ...19
2.3 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya ...26
BAB III. LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 3.1 Datangnya Wayang Kulit di Kota Medan ...30
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan ...34
BAB IV. PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 1970-1990
4.1 Sejarah Perkembangan Wayang Kulit ...46
4.1.1 Makna Kesenian Wayang Kulit ...49
4.1.2 Wayang Kulit Sebagai Pertunjukan ...55
4.1.3 Wayang Kulit Sebagai Pendidikan ...56
4.2 Pasang Surut Kesenian Wayang Kulit ...57
BAB V KESIMPULAN ...65
DAFTAR PUSTAKA ...70
Abstrak
Kehadiran etnis Jawa di kota Medan dilatarbelakangi beberapa faktor. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, mereka didatangkan dari pulau Jawa untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur. Pada masa inilah yang menyebabkan masyarakat etnis Jawa memayoritaskan diri di Sumatera khususnya kota Medan sampai saat ini. Pada periode selanjutnya, kedatangan orang Jawa ke kota Medan disebabkan program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah, dan disusul adanya penempatan terhadap pegawai birokrasi, militer maupun instansi-instansi lainnya yang berasal dari pulau Jawa untuk bertugas di kota Medan.
Kesenian tradisional wayang kulit merupakan suatu bentuk kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Jawa dan berkembang di kota Medan. Masuknya kesenian wayang kulit ke kota Medan berjalan seiring dengan kedatangan etnis Jawa ke kota Medan. Kesenian wayang kulit yang ada di kota Medan merupakan bentuk kehidupan budaya etnis Jawa yang dituangkan dan ditampil dalam bentuk seni dan budaya sebagai hiburan berupa tontonan yang bisa menyampaikan ajaran dan falsafah hidup bagi etnis Jawa.
Seiring dengan berjalannya waktu kesenian wayang kulit di kota Medan juga mengalami perkembangan yaitu pada saat menjadi hiburan primadona bagi etnis Jawa pada era tahun 1970-an dan juga mengalami kemunduran karena pergeseran selera masyarakat pada era tahun 1980-an.
Abstrak
Kehadiran etnis Jawa di kota Medan dilatarbelakangi beberapa faktor. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, mereka didatangkan dari pulau Jawa untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur. Pada masa inilah yang menyebabkan masyarakat etnis Jawa memayoritaskan diri di Sumatera khususnya kota Medan sampai saat ini. Pada periode selanjutnya, kedatangan orang Jawa ke kota Medan disebabkan program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah, dan disusul adanya penempatan terhadap pegawai birokrasi, militer maupun instansi-instansi lainnya yang berasal dari pulau Jawa untuk bertugas di kota Medan.
Kesenian tradisional wayang kulit merupakan suatu bentuk kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Jawa dan berkembang di kota Medan. Masuknya kesenian wayang kulit ke kota Medan berjalan seiring dengan kedatangan etnis Jawa ke kota Medan. Kesenian wayang kulit yang ada di kota Medan merupakan bentuk kehidupan budaya etnis Jawa yang dituangkan dan ditampil dalam bentuk seni dan budaya sebagai hiburan berupa tontonan yang bisa menyampaikan ajaran dan falsafah hidup bagi etnis Jawa.
Seiring dengan berjalannya waktu kesenian wayang kulit di kota Medan juga mengalami perkembangan yaitu pada saat menjadi hiburan primadona bagi etnis Jawa pada era tahun 1970-an dan juga mengalami kemunduran karena pergeseran selera masyarakat pada era tahun 1980-an.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnik dan
memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Budaya adalah hasil budi
dan daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung
kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Bronislow
Malinowsky, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa,
religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem
teknologi dan kesenian.1
1
M.Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama. 1998, hlm.14
Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, maka
fungsi kesenian dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pedoman hidup bagi
masyarakat pendukungnya dalam melaksanakan kegiatan khususnya yang
bertalian dengan keindahan. Secara umum, kesenian dapat dibagi menjadi
beberapa cabang antara lain: seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni
pertunjukan. Cabang-cabang kesenian tradisional juga dapat digolongkan dalam
kesenian tradisional dan kesenian modern. Kesenian tradisional adalah bentuk
kesenian yang lahir berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakatnya, dan kesenian
Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang telah ada sejak
beberapa abad yang lalu yaitu sejak zaman prasejarah, yang kemudian
berkembang sesuai zamannya dengan mengambil cerita dari Ramayana dan
Mahabarata yang berasal dari India dan kemudian diadopsi oleh masyarakat
Jawa pada masa masuknya Islam di Jawa sekitar abad ke-15.2 Wayang kulit
adalah bayangan yang merujuk pada boneka dari kulit binatang (belulang
kerbau), pipih, di pahat, di warna dan bertangkai.3
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa
pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang
2
Sumber : Berdasarkan silsilah keturunan dalang yang berasal dari pulau Jawa yang diperbaharui tahun 1982. Melalui daftar silsilah keturunan dalang-dalang wayang kulit, dapat dilihat bahwa kesenian wayang kulit memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang berada di pulau Jawa. Agama Islam mulai masuk ke Pulau Jawa sekitar abad 15 sebelum keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berdiri Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama serta mulai mengambil alih kekuasaan Majapahit, salah satunya melalui kebudayaan secara khusus pada kesenian wayang kulit. Para Wali dan Sultan sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa mulai merintis kesenian yang bercirikan Islam, agar menarik simpati masyarakat Jawa maka kesenian yang sudah ada di poles berbentuk ke Islaman. Misalnya kesenian wayang kulit yang sudah merupakan kesenian dari masyarakat Jawa. Pada masa periode Islam wayang kulit mengalami perubahan dan perkembangan yang mendasar, sehingga sekarang sudah dibakukan dalam beberapa bentuk gagrak. Hasil karya para Wali mulai menyempurnakan wayang kulit antara lain pada bentuk muka, yang semula berwajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak samping; warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa pada boneka wayang semula menyatu dengan tubuhnya (tidak dapat digerakkan dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan), selain itu juga menambah ragam wayang. Para Wali mengubah tokoh wayang kulit yang semula adalah para dewa dalam agama Hindu menjadi babad dengan silsilah wayang purwa yang disesuaikan dengan misi Islam yaitu dengan mengatur posisi mulai dari para dewa, pendahulu Bharata, keturunan Bharata, sampai kerajaan Mataram Kuno, Majapahit, dan Surakarta-Yogyakarta semuanya disusun dibawah satu keturunan Nabi Adam. Perkembangan wayang pada periode Islam makin memperjelas kesinambungan perjalanan seni tradisi di Indonesia, bahkan ada beberapa daerah di luar Jawa yang mengenal wayang, hal ini diperkirakan akibat asimilasi budaya yang menggunakan wayang sebagai media penyebaran ajaran agama.
3
diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Dalam perkembangannya wayang
dibagi kedalam beberapa periode antara lain :
a. Periode Prasejarah
Pada dasarnya pertunjukan wayang kulit adalah sisa-sisa upacara
keagamaan orang Jawa. Pada saat itu bangsa Indonesia yang masyarakatnya
masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Pada zaman itu para
pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai
media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan
Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan
pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan
mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut
mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti,
selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk
mempermudah proses pemujaan.4
b. Periode Hindu-Budha
Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan
perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama
yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam
perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman
Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
4
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang
semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek
moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India
yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c. Periode Islam
Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan
perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan
dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam
menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari
depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya
putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi
berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya
dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain
itu juga menambah ragam wayang.5
d. Periode Kolonial
Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman
kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat
II (1680) dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke
Kartasura. Pada saat yang bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai
disempur nakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan
iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
5
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama,
tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil
masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
e. Periode Pasca kemerdekaan
Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi
perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru.
Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk
wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada
periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan
lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang
menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon
yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana
pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra,
filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul
adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun.
Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan
wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian
wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita,
gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang
dengan baik.
6
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga
sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu
pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota
Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang
merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi
karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang
disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain
misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya
sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah
ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan
yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur
sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota
Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa.
Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang
kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan
didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing,
Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian
dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak
kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan,
tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat
Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat
diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai
wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini
berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera
Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar
tahun 1864.7
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan
ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak
khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan
mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming
milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak.
Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang
kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke
kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam
perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh
kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka,
dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong
perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan uangnya
sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan
memperbaharui kontraknya kembali.
7
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi
kecil-kecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang
habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari
dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami
oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun,
mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8
8
Anthoni Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hlm. 87
Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada
awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar
pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja
dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan
mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan
wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun
mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan
orang-orang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata,
kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa
keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi.
Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai
budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur
sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur
umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal
dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada
para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu
adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan
lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera
Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan
masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan
Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang
lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak
dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa
Melayu.
10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang
tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya
banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera
Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses
perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
9
Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu.
10
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di
Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman
awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya
peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk
mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh
masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini
menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti
halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi
yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan
tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta
perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak
sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat
laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat
adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu
dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan,
meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih
tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian
tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam
pancasila, karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah
mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus
modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa.
Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau
oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya
pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit
sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa
yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit
penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk
pewayangan.
1.2Rumusan Masalah
Seiring dengan banyaknya suku yang terdapat di Medan, dengan
begitu gaya hidup masyarakatnya semakin modern dan kebutuhan hidup yang
lebih praktis tentulah hal ini menimbulkan permasalahan terhadap eksistensi
dari kesenian tradisional wayang kulit dan apakah keberadaanya masih relevan
dengan kondisi masyarakat sekarang.
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan periodeisasi yang
akan diteliti mulai dari tahun 1970 sampai dengan 1990. Dimulai tahun 1970
hal ini atas pertimbangan bahwa mulai tahun tersebut kesenian tradisional Jawa
telah berkembang di Medan, sedangkan pada tahun 1990 keberadaan kesenian
Hal ini disebabkan karena kesenian ini telah dikomersilkan dan adanya budaya
lain yang masuk melalui arus modernisasi.
Rumusan masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kesenian wayang kulit di kota Medan ?
2. Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan ?
3. Bagaimana dampak modernisasi terhadap keberadaan kesenian wayang
kulit di kota Medan ?
4. Apakah fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan ?
1.3Tujuan dan Manfaat
Manusia tidak pernah lepas dari masa lalunya, melalui pengetahuan
tentang masa lalu akan dapat di ambil langkah selanjutnya untuk melaksanakan
yang terbaik bagi kehidupan.
Secara umum penelitian yang dimaksud untuk mendeskripsikan
eksistensi sebenarnya kesenian wayang kulit di Medan, khususnya ditekankan
pada aspek sosial, budaya, sejarah lahirnya, perkembangan serta
penyebarannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam
studi tentang wayang kulit dan sebagai bahan tambahan pemikiran untuk
langkah selanjutnya agar keberadaan kesenian wayang kulit dapat
dipertahankan kelestariannya.
Tujuan penelitian ini adalah :
2. Mengungkapkan perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan.
3. Menjelaskan dampak modernisasi terhadap kesenian wayang kulit di
kota Medan.
4. Menjelaskan fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai tambahan refensi jika ada yang melanjutkan penelitian ini.
2. Menjadi satu informasi penting bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya dan terutama bagi masyarakat Jawa baik yang menetap di
Medan maupun Pulau Jawa.
3. Menjadi satu tambahan literatur dan kajian terhadapa sejarah kesenian
wayang kulit bagi Suku Jawa.
1.4Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini selain melakukan penelitian ke lapangan, penulis
juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan
dokumen sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama
penelitian. Buku-buku tersebut digunakan sebagi pendekatan awal dari
penelitian selanjutnya.
Karl J. Pelzer dalam bukunya yang berjudul Toean Keboen dan
Petani, menguraikan tentang politik-politik para tuan kebun dalam menjerat
para kuli yang bekerja pada mereka. buku ini juga menulis tentang bagaimana
perkebunan asing yang ada di Sumatera Timur. Kehidupan para kuli Jawa di
perkebunan baik itu menyangkut kebutuhan sosial antar sesama pekerja
maupun pekerja dengan majikan yang ada di perkebunan. Tujuan penulis
menggunakan buku ini sebagai bahan acuan karena didalamnya menceritakan
bagaimana kehidupan para kuli perkebunan terutama yang berasal dari Pulau
Jawa.
Jan Breman dalam bukunya yang berjudul Menjinakkan sang Kuli
Politik Kolonial pada awal abad ke-20. Dalam buku ini menceritakan awal
kedatangan para kuli kontrak ke tanah Sumatera Timur serta dalam buku ini
juga menjelaskan kehidupan para kuli sebagai masyarakat perkebunan yang
berada di bawah tekanan para tuan kebun serta gejolak-gejolak yang terjadi
didalamnya. Secara rinci juga dijelaskan bagaimana upaya para tuan kebun
untuk memikat para kuli kontrak agar bertahan untuk bekerja di
perkebunan.Tujuan penulis mengambil buku ini dalam penelitiannya karena
menceritakan kedatangan awal masyarakat Jawa sebagai ujung tombak
sampainya kesenian tradisional masyarakat Jawa di Sumatera Timur.
Suwaji Bustami dalam bukunya yang berjudul Gemar Wayang,
menceritakan arti dari kesenian wayang kulit yang disertai dengan beberapa
cerita Ramayana yang di adopsi sesuai dengan kehidupan sekarang. Buku ini
merupakan sumber yang sangat penting bagi penelitian karena menjelaskan arti
dan bentuk dari setiap warna yang terdapat pada wayang kulit secara
1.5Metode Penulisan
Agar hasil penelitian dapat maksimal dan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan maka diterapkan metode
untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan masalah yang akan
diteliti, agar hasilnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis memulai penelitian ini dengan menggunakan metode Heuristik,
yaitu mengumpulkan informasi mengenai bahan yang berhubungan dengan
penelitian ini, antara lain mengenai data masuk dan perkembangan wayang
kulit di Medan Sumatera Utara dengan menggunakan literatur dari buku-buku,
dokumen-dokumen, situs internet dan wawancara dengan informan yang
memiliki informasi mengenai perkembangan wayang kulit di Medan Sumatera
Utara. Ketika mengadakan penelitian yang berhubungan dengan informan
penulis melakukan pendekatan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti
ilmu Sosiologi dan ilmu Antropologi yang dianggap dapat digunakan dalam
proses penelitian yang sedang dilakukan penulis. Tujuan penggunaan ilmu-ilmu
bantu seperti ilmu sosiologi dan ilmu antropologi ini hanya sebagai metode
perbandingan dan pendekatan sosial dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya setelah dikumpulkan dilakukan Kritik Sumber (intern dan
ekstern) terhadap data dan sumber-sumber tersebut. Kemudian Interpretasi
yang menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta sejarah
yang valid. Langkah yang terakhir adalah Historiografi yaitu tulisan sejarah
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
2.1 Kondisi Geografis Kota Medan
Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan letak
wilayah pada posisi 30.30’ LU-30.48’ LU dan 980.39’BT-980.47’36”BT
dengan ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut.11
11
Gindo Maraganti Hasibuan, Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu
dalam Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan: 2005,
hlm. 10
Posisi dan letak kota
Medan berada di dataran pantai Timur Sumatera, persis di antara Selat Malaka
dan jajaran pegunungan yang membujur dari Barat Daya sampai wilayah
tenggara Pulau Sumatera menjadikan kota Medan daerah yang strategis baik
untuk menjalankan roda perekonomian hingga pusat kebudayaan, Medan
adalah tempat yang selalu terbuka bagi siapa saja yang memiliki kompeten dan
kemampuan bertahan hidup sebagai orang kota. Topografinya miring ke utara
dan berada pada ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut dengan
kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai curah hujan di Tanah
Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama yang
berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan Maksima
Tambahan yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah hujan.
Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah
hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat,
tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini
merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh
penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi
ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan
Belanda berada di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan
Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan
salah satu pabrik batu bata pada zaman itu bernama Deli Klei.
Letak kota Medan tidak jauh dari selat Malaka, sehingga sangat strategis
dari segi ekonomi terutama dalam hubungan perdagangan dengan luar negeri.
Kota Medan memiliki batasan dengan wilayah lain diantaranya sebagai berikut:
Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang; Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang; Sebelah Selatan berbatasan dengan
Selat Malaka; Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat
Kota Medan pada Jaman kolonial Belanda merupakan bagian dari
keresidenan Sumatera Timur, yang terkenal dengan perkebunan
tembakaunya. Keadaan tanah yang subur menghasilkan produksi tembakau
yang bernilai jual tinggi menjadikan tanah Deli dan kota Medan sebagai
salah satu primadona perkebunan bagi para pedagang, pendatang dan para
pemilik perkebunan. Pada masa pemerintah kolonial menguasai wilayah
misalnya beberapa penelitian tentang keadaan tanah di kawasan tanah Deli
atau Sumatera Timur umumnya. Penelitian itu dilakukan oleh para pakar
atau ilmuan untuk kepentingan perusahaan perkebunan tambakau milik
Belanda. Salah satu ilmuan yang melakukan penelitian tentang tanah di
Sumatera Timur adalah Van Hissing pada tahun 1900, dari hasil
penelitian itu menunjukkan bahwa tanah di Deli terdiri dari tanah liat,
tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah cokelat, dan tanah merah.
Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui letak kota Medan diatas
tanah jenis tanah liat, tanah campuran, dan tanah pasir.
Ketika kota Medan menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur
wilayahnya mencakup empat buah kampung asli Deli yaitu, Kampung
Petisah Hulu, Kampung Petisah Hilir, Kampung Kesawan, Kampung Sungai
Rengas. 12
12
Roestam Thaib, et, al., 50 Tahun Kota Praja Medan, Medan: Djawatan Penerangan Kotapraja I, 1959, hlm. 101.
Selain itu Medan dikelilingi oleh kampung-kampung lain seperti
Kampung Kota Maksun, Glugur, Kampung Sungai Mati, Sungai Agul dan
lain-lain yang kesemuanya termasuk bagian dari wilayah kekuasaan
teritorial Kerajaan Deli. Namun seiring dengan perkembangannya Kota
Medan berbatasan dengan daerah-daerah yang masih tergolong sebagai
teritorial Sumatera Utara. Batas-batas tersebut adalah sebelah Timur dan Barat
berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang; Utara berbatasan dengan Selat
Luas Kota Medan sebelum dilakukannya perluasan wilayah hanya
seluas 1.150 Ha, tetapi sejak tahun 1943 sampai tahun 1971 luas Kota
Medan mencapai 5.130 Ha, kemudian tahun 1973 luas Kota Medan
mengalami pertambahan lagi yaitu menjadi 26.510 Ha.13
Penduduk kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di
nusantara ini, sehingga kota Medan sering disebut sebagai kota yang multi Pada tahun 1973 dikeluarkan PP No.22. Luas Kotamadya Medan
diperlebar menjadi 26.510 Ha, yang terdiri dari 11 (sebelas) Kecamatan dan
116 (seratus enam belas) Kelurahan. Kemudian disusul dengan adanya surat
persetujuan Mendagri No. 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1989, maka jumlah
Kelurahan di Kotamadya Medan menjadi 144 (seratus empat puluh empat)
Kelurahan, yaitu:Kecamatan Medan Kota terdiri dari 26 Kelurahan, Kecamatan
Medan Timur terdiri dari 18 Kelurahan, Kecamatan Medan Barat terdiri dari 13
Kelurahan, Kecamatan Medan Baru terdirri dari 18 Kelurahan, Kecamatan
Medan Deli terdiri dari 6 Kelurahan, Kecamatan Medan Labuhan terdiri dari 7
Kelurahan, Kecamatan Medan Johor terdiri dari 11 Kelurahan, Kecamatan
Medan Sunggal terdiiri dari 14 Kelurahan, Kecamatan Medan Tuntungan terdiri
dari 11 Kelurahan, Kecamatan Medan Denai terdiri dari 14 Kelurahan,
Kecamatan Medan Belawan trdiri dari 6 Kelurahan.
2.2 Keadaan Penduduk
13
etnis. Setiap suku bangsa yang menempati kota Medan memiliki kebudayaan
yang berbeda-beda. Suku bangsa yang ada di kota Medan terdiri atas suku
Aceh, Melayu, Batak , Jawa, Minangkabau, dan pendatang dari negara asing
seperti India, China, Eropa dan sebagainya yang membaur menjadi penduduk
yang menempai kota Medan.
Kota Medan yang pada masa kolonial adalah bagian dari wilayah
Sumatera Timur merupakan kampung halamannya orang Karo, Melayu, dan
Simalungun. Suku bangsa Karo dan Simalungun menempati wilayah di
sekitar dataran tinggi dan orang-orang Melayu menempati wilayah pesisir.
Akan tetapi setelah masuknya pengaruh kolonial Belanda, yang ditandai
dengan pembukaan lahan-lahan menjadi lokasi perkebunan, maka terjadi
perubahan yang sangat besar dalam susunan masyarakat di Sumatera
Timur tidak terkecuali kota Medan. Pesatnya perkembangan perkebuanan
pada waktu itu menyebabkan jumlah penduduk di kawasan Sumatera
Timur cepat bertambah, terutama karena banyak didatangkan buruh-buruh
dari luar untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau.
Kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki pola masyarakat
yang heterogen di Indonesia. Heterogenitas penduduk Kota Medan muncul
karena faktor urbanisasi, yang erat kaitannya dengan usaha-usaha
perkebunan yang banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja. Masyarakat
yang didatangkan dari luar Medan, pada dasarnya dipekerjakan sebagai
buruh di perkebunan. Menurut Tengku Lukman Sinar, dalam tahun 1905
jumlah itu bertambah menjadi 43.826 orang, jumlah itu terus bertambah
pada tahun 1920 menjadi 45.248 orang, serta jumlah penduduk kota
Medan tahun 1930 menjadi 74.976 orang.14
Berdasarkan pencatatan sensus penduduk kota Medan yang diadakan
pada tahun 1961. mulai tahun tresebut penduduk Medan tercatat sebanyak
479.098 jiwa. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1971 menjadi 635.532
jiwa, yaitu terdiri dari 571.468 jiwa orang Indonesia, dan selebihnya orang
asing. Pada tahun 1973, penduduk kota Medan mencapai 1.107.509. pada
sensus nasional tahun 1980 jumlahnya bertambah menjadi 1.373.747 jiwa15 dan
pada sensus tahun 1990 penduduk kota Medan berjumlah 10.256.027 jiwa.16
Pertambahan penduduk kota Medan tersebut sebagian besar berasal dari
pendatang. Sejak sensus pertama dan terakhir pada tahun 1930 yang dilakukan
oleh pemerintah Kolonial pertambahan penduduk melalui arus perpindahan
antar pulau misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Sedang sensus
nasional diadakan sejak tahun 1961, 1971, 1981 dan 1991 dapat diambil
kesimpulan bahwa laju pertumbuhan penduduk di wilayah kota Medan
mengalami perkembangan pesat. Pada sensus nasional yang diadakan
pemerintah tidak lagi berdasarkan komposisi etnis. Sedangkan pada tabel
berikut ini dibagi berdasarkan hasil pencatatan kartu rumah tangga model tahun
14
Tengku Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan : Satgas MAMBI, 1991, hlm. 58.
15
Sumber dari Data Sensus tahun 1980, BPS Medan tahun 1981 16
1970-an yang dikerjakan per desa dan kemudian disatukan per kecamatan.17
Medan Pada Tahun 1980
Dari perbandingan antara sensus tahun 1930 dan tahun 1980 terdapat pesamaan
bahwa penduduk yang mendominasi di kota Medan adalah etnis Jawa.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Sukubangsa Di Kotamadya
18
Sukubangsa Jumlah %
Melayu 100.915 8,57
Minangkabau 141.507 10,93
Batak Toba 182.686 14,11
Batak Mandailing 154.172 11,91
Jawa 380.570 29,43
Batak Karo 51.651 3,99
Aceh 28.390 2,19
Sunda 24.572 1,90
Nias 2.355 0,18
Batak Simalungun 8.667 0,67
Batak Dairi 3.150 0,24
Cina 166.159 12,84
17
Usman Pelly, dkk, Sejarah Kota Madya Medan 1950-1979, Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1985, hlm.36
18
Lain-lain Suku 39.332 3,04
Jumlah 1.294.132 100,00
Persebaran penduduk kota Medan setelah kemerdekaan tidak lagi di
kotak-kotakkan berdasarkan ras sukubangsa, akan tetapi merata ke seluruh
wilayah kecamatan yang ada di kota Medan.
Setelah dibentuknya Gemente Medan pada tahun 1909, maka
terjadi perubahan status pada penduduk Medan. Pertama, penduduk yang
berada dibawah pemerintahan kerajaan Deli dan yang kedua adalah
penduduk yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Perbedaan
status ini lebih nyata terlihat dalam kewajiban penduduk dalam membayar
pajak. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah kolonial menciptakan
tiga macm lingkungan pemukimam penduduk yang diskriminatif di
Medan, yaitu :
1. Eropeese Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang khusus
ditempati oleh penduduk golongan eropa. Penduduk pribumi dan golonga non-Eropa lainnya tidak di ijinkan untuk bertempat tinggal dalam lingkungan ini.
2. Chinesee Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang ditempati
oleh orang-orang Cina. Selain sebagai tempat pemukiman orang Cina, juga berfungsi sebagai tempat kegiatan jual beli (perdagangan), karena dalam lingkungan terssebut terdapat banyak toko-toko kepunyaan orang Cina.
kecil berada dekat lingkungan pemukiman orang-orang Cina.
19
Hingga masa akhir pendudukan pemerintahan kolonial Belanda
sekitar tahun 1940-an jumlah penduduk kota Medan tidak banyak
bertambah hanya berjumlah kira-kira 76.000 orang. Pada masa
pendudukan Jepang terjadi peningkatan jumlah penduduk kota Medan,
yaitu berjumlah kira-kira 93.000 orang.
Berdasarkan letak geografis kota Medan seperti yang telah di jelaskan
pada sub bab sebelumnya, masyarakat Sumatera Utara khususnya terbagai atas
dua wilayah yaitu, wilayah pesisir yang umumnya memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan dan masyarakat pedalaman yang umumnya bermata
pencaharian sebagai petani. Masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan yang
hidup dalam kondisi kemiskinan berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke
kota Medan yang sudah menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara pada tahun
1953.
Sebagai kota yang mengutamakan roda perekonomian dalam bidang
perdagangan dan industri membuat masyarakat banyak yang mencari pekerjaan
ke Medan. Perubahan mata pencaharian yang dialami penduduk mengakibatkan
perubahan gaya hidup menjadikan mereka sebagai masyarakat yang konsumtif,
sehingga pada tahun 1990 yang menjadi batasan penelitian mulai tumbuh
pusat-pusat pembelanjaan yang bersifat modern.
19
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, dalam Sejarah Perkembangan
Akibat perpindahan penduduk menyebabkan kota Medan memiliki
banyak ragam etnis yang menjadi penduduk tetap. Menurut literatur yang ada,
kota Medan sebenarnya memiliki penduduk asli dari etnis Melayu, akan tetapi
ada yang menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang yang berasal dari etnis
Karo dan Batak yang telah masuk Islam dan mereka mengistilahkan dengan
menjadi orang Melayu.20
Untuk menjelaskan satu indentitas yang ada di Medan, maka banyak
bangunan-bangunan pemerintahan dibangun dengan arsitektur ornamen berciri
khas Melayu. Tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi dalam tatacara Proses perpindahan penduduk dari luar Sumatera
seperti dari pulau Jawa yang terjadi ke Medan, lama kelamaan membuat kota
Medan menjadi sebuah kota yang multietnis sehingga masing-masing etnis
yang ada menonjolkan kebudayaan mereka dan kota Medan menjadi kota yang
kaya akan kebudayaan seni dan adat istiadat.
Walaupun sebenarnya yang dianggap sebagai penduduk asli Medan
adalah suku Melayu, namun akibat kedatangan penduduk dari berbagai etnis
yang ada di Medan menyebabkan terjadinya perubahan identitas penduduk
Medan. Masyarakat di luar Sumatera Utara beranggapan bahwa orang Medan
lebih identik dengan Suku Batak, terlihat dari Media massa, reaksi lawan bicara
dan Media elektronik, ketika ada yang mengatakan asalnya dari Sumatera
Utara khususnya Medan reaksi lawan bicara berubah mulai dari logat dan tata
krama lebih mengacu kepada suku Batak bukan Suku Melayu.
20
Suprayitno, Medan sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara
penyambutan tamu-tamu resmi juga menggunakan sistem adat Melayu dapat
dilihat dalam acara resmi yang diadakan.
Secara tidak langsung mungkin karena sudah menjadi sifat yang sudah
mendarah daging dalam diri orang Melayu ingin terkesan lebih eksklusif
sehingga karena sikap yang seperti ini lama kelamaan tenggelam oleh sikap
orang Batak yang ada di Sumatera Utara umumnya dan Medan pada khususnya,
lebih menonjolkan jati diri mereka sehingga masyarakat luar lebih mengenal
dari pada suku Batak sendiri di banding dari suku Melayu.
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Penduduk Medan
Multietnis yang menempati wilayah kota Medan memiliki mata
pencaharian yang berbeda-beda. Dari berbagai etnis yang ada, walaupun
sebenarnya etnis Melayu dianggap sebagai penduduk asli, tetapi mereka bukan
sebagai penggerak roda perekonomian yang ada di Medan.
Perekonomian kota Medan mulai tampak sejak kedatangan bangsa
asing dan mulai membuka lahan perkebunan tembakau pada tahun 1864,
sebagai pekerja didatangkan buruh dari luar seperti India, Tionghoa sementara
dari dalam negeri yang menjadi buruh perkebunan adalah suku Jawa.
Setelah kemerdekaan roda perekonomian kota Medan lebih
digerakkan dalam bidang perdagangan yang dimotori oleh orang-orang
Tionghoa dan suku Minangkabau. Sedangkan dalam bidang pertanian dan
buruh kasar lebih banyak dari masyarakat Jawa, Karo dan Batak. Suku Melayu
Dalam tatanan struktur kota Medan, penduduk Medan
dikotak-kotakkan berdasarkan suku mereka, misalnya etnis Tionghoa lebih berpusat di
Pusat kota Medan tepatnya di daerah Sambu, etnis India Tamil tinggal di
Wilayah Kampung Keling sekarang dikenal dengan nama kampung Madras,
etnis Mandailing di wilayah kampung Baru, etnis Karo di wilayah Padang
Bulan, etnis Minangkabau berpusat di wilayah Medan Maimun dan lain-lain.
Untuk lebih memfokuskan pada masalah yang akan dibahas dan
sesuai dengan tema penelitian, maka penulis akan membahas sistem
kekarabatan yang terdapat dari suku Jawa. Dalam masyarakat Jawa terdapat
sistem kekarabatan yang disebut Bebrayan21
a. Sedulur Kandung, merupakan saudara lahir dari ayah dan ibu yang sama.
, yang dilandasi oleh sikap gotong
royong. Sistem tersebut, pada prinsipnya berangkat dari sikap bahwa semua
manusia yang ada merupakan keluarga, namun dalam penjabaran prihal hak dan
tanggung jawab selalu dikaitkan dengan konsep perseduluran dengan rincian
sebagai berikut;
b. Sedulur Sambungan, yaitu saudara lain ayah tetapi ibu yang sama, atau
saudara lain ibu namun ayah yang sama. Dalam istilah umum kita kenal
dengan sebutan saudara tiri.
c. Sedulur Misanan22
21
Bebrayan, berasal dari kata brayan mendapat awalan “be” sehingga secara keseluruhan berarti sistem berkeluarga.
22
Misanan, berasal dari kata pisan yang berarti pertama, lalu Mindoan dan Mintelu
berarti kedua dan ketiga.
, merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang
d. Sedulur Mindoan, adalah satu Buyut23
e. Sedulur Mentelu, saudara satu Sanggah
, berlaku saudara kandung atau
saudara tiri.
24
f. Balo, merupkan saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya.
baik saudara kandung maupun
tiri.
g. Tangga/Jiran, konsep bertetangga ini tidak terbatas kepada letak rumah
berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling
membutuhkan.
Dengan melihat sistem kekerabatan diatas, dapat diambil kesimpulan
mayoritas masyarakat Jawa yang ada di Medan menganut kepercayaan agama
Islam. Walaupun menganut agama Islam, namun dalam pelaksanaan ritual
keagamaan masyarakat Jawa masih menjalankan kepercayaan Hindu, sehingga
sehingga disebut sebagai Islam Abangan25, menurut penuturan informan tradisi
selametan, kenduri dan nyekar masih dijalankan oleh sebagian masyarakat
Jawa26
23
Buyut yaitu orang tuanya kakek atau nenek 24
Sanggah yaitu buyutnya ayah atau ibu 25
Islam abangan adalah pemeluk agama Islam tetapi dalam pengamalannya tidak semua syariat agama dilaksanakan, justru banyak ritual khusus yang seharusnya tidak perlu dijalankan, namun hal tersebut masih juga diilaksanakan, kalau dikaji sebenarnya ritual tersebut merupakan peninggalan ajaran terdahulu sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Dalam tatacara pelaksanaan ritual Hindu terlihat seperti sesajen dan slametan.
26
Wawancara dengan bapak Suratman B, Medan, 24 Maret 2009.
. Padahal ajaran tersebut bukanlah sesuatu yang wajib dalam Islam,
bahkan jika pelaksanaannya di luar batas syariat, maka justru perbuatan tersebut
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Seperti tradisi nyekar, merupakan
Selain masalah keyakinan, seni yang dimiliki tidak terlepas dari
kehidupan yang mereka jalani. Sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat pada
umumnya akan hiburan, dalam diri manusia sendiri memiliki rasa untuk
menampilkan keindahan, hal ini diwujudkan dalam bentuk seni. Dalam
masyarakat Jawa banyak sekali hasil-hasil kesenian yang menjadi ciri khas
mereka seperti, ludruk, ketoprak, wayang kulit, jaran kepang, reog dan
sebagainya..
Akibat perkembangan dalam bidang hiburan, kesenian tradisional
mulai tergusur. Menurut wawancara dengan seorang informan bapak Sunardi,
sebagian dari kesenian tradisional mulai tergusur. sejak ada adanya kemajuan
teknologi pada sekitar akhir tahun 1980-an, yaitu layar tancap27, video kaset28,
keybord29
27
Layar Tancap adalah hiburan rakyat berupa film yang digelar di tanah lapang dengan menggunakan media kain yang dibentangkan dan disorot lampu serta rol film.
28
Video kaset adalah tontonan melalui layar televisi yang memutar video rekaman film.
29
Keyboard adalah hiburan musik berbetuk piano yang diiringi oleh penyanyi dan orkes musik.
. Proses perubahan mulai terjadi sejak masuk era tahun 1980-an,
padahal pada masa 1970-an kesenian tradisional masih menjadi primadona bagi
BAB III
LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN
3.1 Datangnya Wayang Kulit di Kota Medan
Kedatangan masyarakat Jawa ke Sumatera Utara khususnya di Medan
tahun 1865, bersamaan dengan dibukanya lahan perkebunan tembakau di
wilayah sungai Belawan. Secara tidak langsung membawa masuk kesenian
tradisional Jawa ke Medan. Masyarakat Jawa datang ke Medan bertujuan untuk
bekerja sebagai buruh kontrak di perkebunan tembakau asing.
Pihak perkebunan juga dengan sengaja membawa perkelengkapan
kesenian-kesenian tradisional Jawa untuk dijadikan hiburan bagi para buruh
Jawa yang tinggal di dalam perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada
periode tertentu, ketika para buruh menerima gaji, pihak majikan perkebunan
sengaja mengadakan berbagai hiburan terutama wayang kulit yang menjadi
primadona sebagai hiburan bagi buruh Jawa. Hiburan kesenian tradisional
wayang kulit ini lebih sering diadakan untuk menjaga agar masyarakat Jawa
dapat bertahan di Medan.
Selain itu, sebenarnya hubungan para majikan perkebunan dengan
pekerja tidak begitu harmonis, dalam perkebunan-perkebunan terdapat sistem
kerja rodi, hal ini dapat dilihat dari pekerjaan para buruh yang selalu diawasi
dengan ketat oleh mandor kebun dan biasanya adalah orang Batak. Apabila
terdapat kesalahan yang dilakukan oleh buruh tersebut maka sanksi yang
gaji, hukuman mati seperti hukuman gantung, penyiksaan ataupun kurungan.
Kesalahan yang dilakukan para buruh biasanya adalah tidak mampu bekerja
secara maksimal, melawan para tuan kebun dan berkelahi, hal ini diakibatkan
karena pasokan makanan yang diberikan oleh tuan kebun juga tidak sesuai
dengan pekerjaan mereka.30
30
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria, Jakarta : Sinar Harapan, 1985, hlm : 57
Akibatnya banyak dari para buruh yang bekerja di
perkebunan merasa tidak betah dan berusaha untuk melarikan diri.
Jan Breman dalam bukunya yang berjudul “menjinakkan sang kuli
politik kolonial awal abad ke 20” menyatakan bahwa para kuli perkebunan
banyak yang berusaha untuk kabur dan banyak juga yang berhasil ditangkap,
akibatnya para buruh tersebut mendapat sanksi yang berat. Kehidupan dalam
perkebunan sendiri layaknya sebuah pemerintahan dengan hukum yang berlaku
berdasarkan ketentuan dari pengusaha-pengusaha perkebunan.
Untuk memikat para buruh agar tetap bertahan bekerja di perkebunan
para pengusaha berusaha menjerat pekerjanya pada saat penerimaan gaji
dengan diadakannya hiburan-hiburan rakyat seperti wayang kulit agar mereka
dapat mengobati rindu terhadap kampung halaman, selain itu arena perjudian
dan wanita penghibur juga tidak lepas dari acara tersebut, sehingga banyak dari
pekerja yang tidak sadar telah menghabiskan gaji mereka untuk hiburan, maka
untuk biaya hidup secara terpaksa mereka memperpanjang kembali kontrak
Biaya pagelaran wayang kulit dikutip dari masyarakat Jawa itu
sendiri dengan istilah pajak kepada penonton dan untuk biaya pertunjukan
tersebut masyarakat dikenakan perorangnya satu ketip.31
Kelompok kesenian wayang kulit tidak semua terikat dengan pihak
perkebunan. Kelompok ini datang secara tidak sengaja ke Medan, pada tahun
1905 ada seorang penjual gamelan asli dari pulau Jawa yang berdagang ke
Medan, pedagang ini berkeliling dari satu pekebunan ke perkebunan lain hanya
untuk menjajakan barang dagangannya yaitu gamelan. Melihat banyaknya
kebutuhan hiburan bagi para buruh Jawa yang haus akan hiburan maka dia Menurut informan
yang sama juga pada masa Belanda juga sering diadakan pertunjukan wayang
kulit alasannya tidak hanya karena mayoritas pekerja banyak dari orang Jawa
tetapi orang-orang Belanda juga suka terhadap hiburan wayang kulit.
Di perkebunan-perkebunan asing seperti Tembung, Tanjung Selamat,
Kebun Pisang, pihak majikan sengaja menyediakan satu perangkat kesenian
Wayang Kulit mulai dari dalang, sinden, pemain musik serta perlengkapan
untuk pertunjukan wayang kulit. Semuanya ini sengaja didatangkan dari Pulau
Jawa untuk memenuhi kebutuhan hiburan para buruh terutama orang-orang
Jawa yang banyak menjadi kuli di perkebunan. Tugas dari mereka khususnya
para pemain wayang kulit hanya sebagai penghibur bagi orang-orang yang
tinggal di perkebunan namun bukan hanya untuk orang-orang Jawa saja yang
boleh menikmati hiburan tersebut tetapi seluruh masyarakat yang ada di
perkebunan boleh menikmati hiburan tersebut.
31
mendatangkan kelompok kesenian wayang kulit dan yang bertindak sebagai
pimpinan adalah beliau sendiri.32
Kesenian wayang kulit bisa sampai ke Medan tahun 1970 dikarenakan
persebaran penduduk terutama masyarakat Jawa yang tidak lagi bekerja di
perkebunan atau telah habis masa kontraknya tetap berusaha untuk
mempertahankan hidup mereka dengan cara meminjam atau menyewa tanah
untuk bermukim di desa-desa Melayu. Cara mereka khususnya orang-orang
Jawa dalam mempertahankan hidupnya adalah dengan melakukan pekerjaan
pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh makan dan hak atas tanah yang
mereka sewa. Selain itu kebanyakan dari mereka hidup dalam keadaan yang
tidak menentu dan tersembunyi. Menjelang tahun 1920-an hampir sepertiga
orang Jawa tinggal di perkebunan Simalungun yang berpenduduk padat
menetap di luar perkebunan. Angka-angka dari sensus tahun 1930 untuk
Sumatera Timur memperkirakan bahwa hampir seluruh dari setengah juta lebih
orang Jawa di daerah tersebut tidak bertempat tinggal di dalam perkebunan. Jadi kedatangan kesenian wayang kulit ini ke
Medan karena kebutuhan penikmat hiburan dengan istilah komersialisasi dan
bukan didatangkan sebagai kebutuhan hiburan semata .
33
32
Wawancara dengan Dalang Sunardi, Medan, tanggal 5 Mei 2009, beliau adalah anak seorang pedagang alat-alat kesenian tradisional Jawa yang berasal dari Pulau Jawa.
33
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan sumatera
1870-1979, Yogyakarta : Karsa, 2005, hlm. 57
Dengan begini maka mereka bebas untuk melaksanakan pertunjukan wayang
kulit. Selain itu juga mereka mengadakan pertunjukan kesenian wayang kulit
dari hasil pertunjukan ini mereka akan mendapatkan upah untuk
mempertahankan kelangsungan hidup mereka di samping itu juga agar mereka
tetap dapat mempertahankan kesenian tradisional asli masyarakat Jawa.
Umumya jika dilihat dari tempat tinggal orang-orang Jawa yang
berada di luar perkebunan, mereka selalu meminta keselamatan dimanapun
mereka berada dengan cara mengadakan acara bersih desa yang dilakukan
dengan menggelar pertunjukan kesenian tradisional wayang kulit. Karena pada
dasarnya kesenian ini bukan sarana hiburan namun lebih kepada acara adat
yang bersifat sakral. Oleh karena itu dimanapun mereka bertempat tinggal dan
telah membentuk sub kelas baru, mereka khususnya orang-orang Jawa ini tetap
melaksanakan acara bersih desa agar daerah atau wilayah tempat tinggal
mereka selalu dilindungi dari ancaman yang datang dari luar ataupun dalam
seperti bencana alam, roh-roh jahat yang mengganggu kelangsungan hidup
mereka. Maka dari itu tidak heran apabila kesenian wayang kulit ini cepat
tersebar luas ke pelosok penjuru kota Medan, khususnya wilayah yang banyak
didiami oleh orang-orang Jawa.
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan
Wayang kulit di kota Medan menyebar ke seluruh wilayah
perkebunan yang ada di Medan seperti Kebun Pisang, Tembung, Sei
Sikambing, Belawan, Tanjung Selamat dan Pondok Batuan. Penyebaran
kesenian wayang kulit bersamaan dengan penyebaran penduduk Medan
yang menjadi tempat tinggal masyarakat Jawa, karena pada waktu-waktu
tertentu diadakan pertunjukan wayang kulit, seperti pada acara bersih desa,
ruwatan dan hari besar Jawa lainnya.
Orang-orang Cina merupakan mayoritas buruh yang ada di
perkebunan. Pada tahun 1871 sudah bekerja lebih kurang 3000 buruh Cina di
perkebunan Sumatera Timur. Namun, jumlah orang-orang Jawa yang dijadikan
buruh terus membesar dan semakin banyak sampai pada akhirnya melebihi
jumlah buruh Cina. Di tahun 1930-an, terjadi perubahan besar dalam kontrak
kerja yang memungkinkan para kuli perkebunan Jawa meninggalkan
perkebunan setelah masa kontrak habis.34
Banyaknya masyarakat etnis Jawa yang masuk ke Sumatera Timur
juga berlangsung ketika pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1952
melaksanakan program transmigrasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
kepadatan penduduk di pulau Jawa dan salah satu tujuan transmigrasi tersebut Mereka tidak dapat kembali ke
kampung asalnya di pulau Jawa karena kondisi mereka yang memprihatinkan
dan ekonomi yang kurang mendukung sehingga mereka hidup menetap di
daerah Sumatera khususnya di kota Medan. Kebanyakan yang meninggalkan
perkebunan tetap hidup berkelompok di pinggir-pinggir perkebunan sebagai
petani atau pindah ke kota-kota terdekat. Di kota Medan mereka tinggal secara
turun-temurun di daerah pinggiran kota dan di areal bekas perkebunan yang
telah dinasionalisasikan.
34
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peran Misi Budaya Minangkabau dan
adalah Pulau Sumatera. Kota Medan sebagai kota yang lebih maju
dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Sumatera menjadi obyek
para transmigran untuk bertempat tinggal. Etnis Jawa di kota Medan pada
umumnya banyak bertempat tinggal di daerah pinggiran kota Medan seperti
Tembung tepatnya di Kampung Kolam, Saentis, Sampali, Batang Kuis,
Kelambir Lima, Labuhan, Tandem, Glugur Darat, Pulo Brayan, Simpang
Limun, Kampung Anggrung, Kampung Lalang, Sei Agul, Marelan serta
Tanjung Morawa. Menurut informan Bapak Muhalim, orang Jawa di kota
Medan juga banyak bertempat tinggal di daerah Sunggal tepatnya di Jalan
Dwikora, Jalan Perjuangan yang rata-rata bermatapencaharian sebagai tukang
bakso dan tukang es.35
Masyarakat Jawa yang tersebar di berbagai daerah pinggiran kota
Medan ini membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk membahas
persoalan-persoalan hidup mereka dan juga mengadakan kegiatan berupa pertunjukan
kesenian tradisional Jawa yang salah satunya adalah kesenian tradisional
wayang kulit. Karena sebagai warga pendatang atau perantauan yang jauh dari
kampung halamannya pasti akan menimbulkan rasa rindu tersendiri bagi
mereka. Oleh karena itu dengan seseringnya mereka berkumpul dan melakukan
kegiatan kesenian tradisional Jawa seperti wayang kulit, seolah-olah mereka
berada di kampung sendiri. Dari sinilah akhirnya kesenian wayang kulit Banyak juga dari mereka yang tersebar di beberapa
kecamatan Deli Serdang seperti di Denai, Tuntungan, Sunggal dan Johor.
Mayoritas mereka beragama Islam.
35
semakin terus berkembang hingga masa keemasannya sekitar tahun 1970-an,
apalagi kegiatan kesenian mereka ini didukung dengan dibentuknya suatu
organisasi masyarakat Jawa yang ada di Medan yaitu Pujakesuma (Putra Jawa
Kelahiran Sumatera) pada tahun 1978. Sebelum organisasi Pujakesuma ini
dibentuk telah ada perhimpunan yang khusus untuk melestarikan berbagai
kesenian Jawa seperti BKKJ (Badan Kesenian Keluarga Jawa), namun badan
kesenian tersebut hanya menampung masalah kesenian Jawa, maka dibentuklah
organisasi Pujakesuma yang sifatnya lebih nasionalis. Hal inilah yang menjadi
penyebab kesenian tradisional wayang kulit dapat berkembang di kota Medan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebaran kesenian wayang
kulit hingga sampai ke Medan dimulai dari terbentuknya perhimpunan
masyarakat Jawa pada tahun 1978, meskipun pada tahun 1950 kesenian wayang
kulit telah ada di Sumatera. Dengan dibentuknya perhimpunan tersebut maka
kesenian wayang kulit cepat merambah ke berbagai wilayah di kota Medan
terutama di sekitar pinggiran kota Medan yang banyak terdapat pemukiman
masyarakat Jawa. Hingga pada akhirnya dari perkumpulan masyarakat Jawa
yang ada di Medan mereka sering menyelenggarakan pergelaran wayang kulit
akbar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali yang dimulai dari tahun
1970 sampai pada tahun 1980. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari bibit-bibit
dalang yang dapat memainkan wayang dengan baik. Namun kegiatan ini tidak
di khususkan untuk orang-orang yang berada di Medan saja melainkan yang
berada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar dapat turut serta dalam
menyebar hingga ke wilayah pelosok Medan seperti Tembung, Kebun Pisang,
Batangkuis, Pondok Batuan dan Sunggal. Selain itu juga di Medan terdapat
sanggar yang dikhususkan untuk keterampilan kesenian wayang kulit pada
tahun 1970-an yang berada di daerah Sei Mencirim yaitu Badan Kesenian
Kebudayaan Jawa (BKKJ).36
Penyebaran kesenian wayang kulit di kota Medan tidak berlangsung
dengan lancar karena menurut hasil wawancara dengan bapak Selamet, beliau
mengatakan bahwa kesenian wayang kulit dalam proses penyebarannya
terdapat berbagai halangan, karena para pemimpin yang biasanya membuat
pagelaran wayang tidak berdomosili di kota Medan, sehingga untuk
melaksanakan kesenian wayang kulit mereka yang ada di Medan harus
menghubungi pemimpin-pemimpin mereka yang ada di luar Medan seperti
Kisaran dan Siantar. Para pemimpin mereka khususnya masyarakat Jawa ini
adalah golongan Priyayi, karena mereka adalah golongan bangsawan Jawa yang
mempunyai tradisi Hindu-Jawa dan mempunyai kebudayaan yang halus Namun pada kenyataannya sanggar tersebut tidak
bertahan lama dikarenakan pengurus badan kesenian tersebut telah meninggal
dunia dan tidak ada lagi yang meneruskannya, hal ini yang akhirnya membuat
kesenian wayang kulit terhambat dalam proses penyebarannya.
37
36
Wawancara dengan Ibu Cempluk, Medan tanggal 10 Mei 2009 37
Kebudayaan yang halus dalam masyarakat Jawa adalah kebudayaan yang masih memegang adat-istiadat para leluhur mereka.
.
Ketika akan diadakan pertunjukan kesenian wayang kulit biasanya pencetusnya
atau idenya berasal dari para golongan bangsawan, sementara yang termasuk
Medan yang pada awalnya adalah kota yang berfungsi sebagai
pendukung industri agraria seperti perkebunan secara cepat berkembang
menjadi kota industri, administrasi pemerintah dan bisnis modern yang lengkap
dengan berbagai macam bentuk industri jasa dan hiburan. Perkembangan yang
mencakup perluasan kota sejak pertengahan tahun 1970-an telah menyebabkan
daerah-daerah pinggiran kota Medan tersebut menjadi tempat berbagai kesenian
khususnya Jawa, perlahan berkembang dan menjadi bagian dari kota Medan.
Namun eksistensi kesenian Jawa khususnya yang bersifat tradisional seperti
kesenian wayang kulit tergeser kedudukannya oleh adanya budaya modern
yang masuk ke kota Medan sekitar tahun 1990-an seperti hiburan keyboard,
layar tancap, vcd dan lain sebagainya. Akibat masuknya budaya modern ini
membuat kesenian tradisional kurang diminati, karena dianggap sebagai budaya
kuno. Akan tetapi khususnya masyarakat Jawa berusaha untuk tetap
mempertahankan kesenian tradisional yang bersaing dengan budaya modern
dengan tetap terus menggelar pertunjukan kesenian tradisional khususnya
wayang kulit pada acara-acara seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan
ruwatan.
3.3 Orang Jawa di Kota Medan
Salah satu etnis yang menghuni kota Medan adalah etnis Jawa.
Kedatangannya ke Sumatera Utara khususnya kota Medan memiliki berbagai
faktor antara lain adanya kepentingan kolonialisme bangsa Barat, transmigrasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa kolonial
Belanda berkuasa di Indonesia, arus kedatangan para pekerja dari Jawa ke
Sumatera Utara cukup besar. Terutama saat ramai dibukanya
perkebunan-perkebunan besar seperti tembakau, teh, karet dan coklat. Setiap areal
perkebunan menyerap banyak tenaga kerja sebagai kuli kontrak untuk
diperkerjakan mulai dari membuka lahan, menanam, memelihara serta sampai
ke aktivitas memetik hasil untuk di ekspor ke luar negeri.
Masuknya tenaga kerja ke perkebunan di Sumatera Timur berasal dari
orang-orang Cina yang dipindahkan dari Penang