• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KESENIAN TRADISIONAL CALUNG DI KABUPATEN BANDUNG : Kajian Historis Tahun 1970-2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN KESENIAN TRADISIONAL CALUNG DI KABUPATEN BANDUNG : Kajian Historis Tahun 1970-2013."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

No. 2091/UN.40.2.3/PL/2014

PERKEMBANGAN MUSIK TRADISIONAL CALUNG

DI KABUPATEN BANDUNG

(Kajian Historis Tahun 1970-2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh

Hasan Basri

0907202

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

PERKEMBANGAN MUSIK TRADISIONAL CALUNG

DI KABUPATEN BANDUNG

(Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh:

HASAN BASRI

Sebuah Skripsi Yang Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Hasan Basri 2014

Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

HASAN BASRI

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung

(Kajian Historis Dari Tahun 1970-2013)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH

PEMBIMBING:

PEMBIMBING I

Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si. NIP. 19630311 198901 1001

PEMBIMBING II

Drs. Syarif Moeis NIP. 19590305 198901 1001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

(4)

ABSTRAK

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh Hasan Basri

0907202

Masyarakat Sunda dan bambu (awi) adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Mulai dari rumah, perkakas, bahkan hingga alat-alat kesenian dan ritual pun banyak yang terbuat dari bambu. Alat musik bambu seperti calung sudah menjadi kesenian khas Sunda yang tidak hanya berfungsi sebagai wahana hiburan melainkan pula sarana ritual. Pada dasarnya ada 3 tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan sebuah tradisi menjadi suatu kesenian yang bahkan bisa bersifat komersil. Menurut Van Peursen (1988) tiga tahapan yaitu tahapan mistis, ontologis, serta fungsional. Dari hal tersebut kemudian muncul pertanyaan bagaimana kesenian calung dapat bertahan seiring perkembangan zaman dari tahun 1970-2009. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis yang dimuali dari tahapan pengumpulan data, analisis sumber, interpretasi hingga penulisan dalam sebuah historiografi. Dari hasil penelitian ini terdapat perubahan peran dan fungsi kesenian calung dari kesenian yang dikhususkan untuk ritual menjadi sarana hiburan yang digemari oleh masyarakat. Meskipun demikian kesenian calung modern pun banyak mengalami pasang surut seiring dengan berubahnya selera masarakat terhadap kesenian daerah yang kian tergerus kebudayaan asing.

(5)

ABSTRAK

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung

(Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh

Hasan Basri

0907202

bamboo (awi) has a philosophy for Sunda. bamboo is used as a building material, tools and art tools. bamboo art serves not only for entertainment but also ritual too. there are 3 stages to the traditional arts to be a commercial art. There are three stages according to Van Peursen (1988) that is a mystical stage, stage ontological and functional stages. From this arises the question how art calung art survive over the times in 1970-2013. The method used in this study is the historical method which starts from Heuristics, critics, interpretation and historiography. From the results of this study is a change in the role and function of art calung art. Arts ritual function calung art turned into entertainment favored by the people. However modern calung art have ups and downs along with the changing tastes of their community to the local arts.

(6)

DAFTAR ISI

1.6.Struktur Organisasi Skripsi 9

Bab II KAJIAN PUSTAKA

2.2.Keterkaitan kepercayaan dan seni 22

2.3.Penelitian terdahulu 26

(7)

BAB IV KESENIAN CALUNG: ANTARA SENI RITUAL

DAN SENI MODERN

4.1.Gambaran Umum 40

4.1.1. Lokasi Penelitian 40

4.1.2. Kepercayaan masyarakat Sunda 41

4.1.3. Fungsi Kesenian Calung Bagi Masyarakat 42

4.1.4. Seni Masyarakat Sunda 43

4.2.Sejarah Muncul Dan Berkembang Kesenian Calung 46

4.2.1. Calung Rantay 46

4.2.2. Calung Jinjing UNPAD 48

4.2.3. Calung Darso 50

4.3.Dari Seni Religi Hingga Seni Tradisi 55

4.3.1. Calung Sebagai Sarana Ritual 56

4.3.2. Pergeseran Nilai Tradisi 63

4.4.Pelestarian Kesenian Calung 70

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1.kesimpulan 77

5.2.Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup

(9)

DAFTAR GAMBAR

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Masyarakat Sunda dan bambu (awi) adalah dua hal yang sangat erat

kaitannya. Mulai dari rumah, perkakas, bahkan hingga alat-alat kesenian dan ritual

pun banyak yang terbuat dari bambu. Sebuah tradisi sering kali hadir karena adanya

penyesuaian antara masyarakat dengan alam. Dilihat dari kondisi alam tatar Sunda

yang banyak ditumbuhi oleh pohon bambu, tidak heran jika kemudian tradisi atau

kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat Sunda menggunakan bambu sebagai bahan

utamanya.

Alat musik bambu seperti calung sudah menjadi kesenian khas Sunda.

Namun jika ditelusuri lebih jauh, alat musik ataupun alat kesenian lainnya bukan

hanya menjadi sebuah alat penghibur yang bisa dimainkan kapan saja. Pada dasarnya

ada 3 tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan sebuah tradisi menjadi suatu

kesenian yang bahkan bisa bersifat komersil. Menurut Peursen (1988) tiga tahapan

yaitu tahapan mistis, ontologis, serta fungsional.

Tahapan mistis merupakan awal lahirnya kesenian tersebut. Biasanya, pada

tahapan ini kesenian dijadikan sebagai buah pemikiran yang ditujukan untuk

menyenangkan roh leluhur ataupun dewa-dewa yang mereka puja. Setelah pemikiran

mulai berkembang dan masyarakat sudah memiliki pemahaman nalar, masyarakat

akan bisa memisahkan benda untuk sebuah ritual yang dijaga kesakralannya dengan

benda serupa yang tidak digunakan untuk ritual. Dengan demikian masyarakat dapat

mengembangkan dan menciptakan sebuah kreasi dari benda yang awalnya hanya

digunakan sebagai alat ritual. Pada perkembangan selanjutnya, pada akhirnya

(11)

2

menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Pada masa inilah Peursen mengatakan

bahwa tahapan ini adalah tahapan fungsional.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai tahapan sebuah

kesenian, alat musik bambu pada awalnya digunakan masyarakat Sunda menjadi

sarana untuk mengucap syukur kepada yang kuasa. Kesenian bambu menjadi elemen

yang paling penting dalam upacara adat di bidang pertanian. Perubahan sosiokultural

yang terjadi di dalam masyarakat menyebabkan seakin tergerusnya nilai-nilai

tradisional. Beberapa alat musik bambu yang kini masih bertahan diantaranya

angkung, calung, badeng, dodod dan gonggong. Namun dalam penulisan ini saya

fokuskan terhadap kesenian calung.

Hampir sama dengan alat musik bambu lainnya, calung merupakan salah

satu benda yang selalu digunakan dalam upacara pertanian (Somawijaya, 1986a).

Menurut ibu Uum Juarsih (78 tahun) dalam upacara pertanian biasanya menggunakan

lagu kindung pangayun nyimas pakaci. Kedudukan calung adalah alat yang

disakralkan dan dalam memainkannya ada irama serta tembang tertentu. Selain itu

juga, memainkan calung dipercaya dapat mencegah bala (musibah) dan juga

dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Calung merupakan salah satu kesenian

yang masih bisa bertahan hingga kini bersama dengan angklung. Sedangkan tiga

kesenian lainnya tidak bisa lagi menjaga eksistensinya dan bahkan dikategorikan

kedalam warisan budaya Sunda yang hampir punah.

Kepunahan suatu kesenian menandakan hilangnya separuh identitas

masyarakat. kepunahan sebuah kesenian ataupun budaya bisa terjadi karena faktor

pewarisan yang bersifat keturunan ataupun kekerabatan. Perubahan sosio-kultural

masyarakat juga bisa menjadi faktor yang mempercepat hilangnya sebuah seni. Pada

masyarakat Sunda khususnya, kesenian calung yang ada dalam masyarakat mulai

(12)

3

pertanian menjadi masyarakat industri menyebabkan calung kehilangan tempatnya

dalam masyarakat.

Eksistensi calung itu sendiri dikarenakan inovasi yang dilakukan para

seniman sehingga peran serta fungsi calung yang lebih fleksibel. Calung

dikembangkan menjadi kesenian yang tidak hanya digunakan sebagai sarana ritual

saja, melainkan sebagai pengiring tebang-tembang yang tujuannya untuk menghibur.

Perubahan yang dialami oleh calung tidak menghilangkan budaya asalanya (Sunda).

Calung masih menggunakan standar nada yang identik dengan kesenian Sunda

lainnya yaitu pentatonis.

Hasil persinggungan antara kesenian kontemporer akan membentuk sebuah

karya yang menarik. Kesenian kontenporer yang mengadopsi nilai-nilai tradisi hanya

akan menjadikan kesenian tersebut dibalut dengan kemasan menarik dari etnis atau

tradisi tertentu. Sedangkan kesenian tradisional yang mengambil unsur-unsur

kontenporer ataupun nilai-nilai asing adalah sebuah terobosan ataupun inovasi dari

kebudayaan tersebut. Dengan tetap mengedepankan identitas kelokalan dan tradisi,

inovasi tersebut akan tetap dipandang sebagai kesenian tradisional bukan kesenian

kontenporer.

Proses perubahan calung yang seperti layaknya perkusi menjadi sebuah

kesenian yang memiliki tangga nada tidak lepas dari kreatifitas kelompok kesenian

Fakultas Pertanian UNPAD. Untuk membentuk nada calung, Ekik Barkah Dkk

menyamakan nada calung dengan nada yang ada pada piano (Suwarna, 1986b).

Calung yang sudah dimodifikasi tersebut kemudian menjadi salah satu instrumen

musik yang digunakan dalam pertunjukan musk yang mereka sajikan. Musik calung

pada saat ini masih belum menyebar secara luas karena hanya dipertontonkan dalam

pagelaran yang mereka adakan. Calung jinjing mulai mendapatkan tempatnya di

masyarakat setelah dipopulerkan oleh Questa dalam acara “Saba Desa” yang

(13)

4

Salah satu seniman yang tergabung dalam Questa adalah Hendarso (1970)

atau yang lebih dikenal sebagai Darso. Perubahan dari calung rantay menjadi calung

jinjing telah mengubah fungsi calung yang asalnya sebagai alat ritual menjadi sebuah

kesenian yang memiliki nilai komersial. Pergeseran fungsi ini menjadi kontroversi

bagi inahong atau pupuhu Sunda diawal kemunculannya. Kreatifitas yang tinggi dari

seorang Darso dalam memainkan calung dan mentransformasikan irama serta nada

calung ini dinilai telah menyalahi pakem serta adat yang sudah ada secara turun

temurun. Di sisi lain, kreatifitas Darso ini dinilai sebagai upaya yang ampuh serta

efektif untuk melestarikan musik calung yang mulai ditinggalkan.

Kesenian calung biasanya ditabuh dan diperdengarkan dengan menggunakan

kidung yang dianggap memiliki kekuatan mistis. Di tangan Darso calung menjadi

pengiring lagu yang sangat harmonis dan inilah yang mengantarkannya pada

pengembangan musik calung dalam lagu-lagu pop Sunda. Selain itu juga muncul

berbagai sanggar seni Sunda yang fokus dengan pengembangan seni pertunjukan

calung. Dalam perkembangannya, musik calung ini banyak menyita perhatian publik

dengan lahirnya berbagai macam lagu pop Sunda yang diiringi alat ini. Calung tidak

lagi menjadi musik penghibur semata tetapi calung juga menjelma sebagai seni

pertunjukan yang memberikan banyak keuntungan finansial bagi mereka yang kreatif

dalam mengembangkannya.

Seiring meningkatnya popularitas Darso dan produktifitas lagu-lagu Sunda

andalannya, calung kembali mendapatkan tempat di masyarakat sebagai kesenian

tradisional yang dapat memberikan hiburan tersendiri bagi para pendengarnya. Pada

perkembangan selanjutnya, muncul berbagai sanggar seni sebagai sarana pelatihan

yang secara tidak langsung turut serta dalam upaya pelestarian budaya khususnya

kesenian daerah. Dalam sanggar seni ini inovasi-inovasi mulai bermunculan dan terus

dikembangkan. Tidak hanya melulu dalam hal musik, seni pertunjukan calung ini

(14)

5

Kreatifitas Darso ini memang memiliki tujuan komersil sebagai musik

alternatif. Tranformasi musik calung sebagai musik pengiring upacara adat kini

berubah menjadi musik yang memiliki keunikan dan nilai jual yang menjanjikan.

Dengan kreatifitas yang terus dikembangkan pertunjukan ini tidak monoton dengan

calung sebagai alat pengiring utama dan lagu-lagu serta penyanyi saja yang

dimunculkan. Namun dalam pertunjukannya kini sudah mengalami banyak perubahan

dengan memadukan elektone sebagai nada pengiring lainnya tetapi tidak

menghilangkan unsur calung sebagai alat yang paling utama.

Pengambilan periode yang dimulai pada tahun 1970 dilihat dari kebangkitan

kembali musik calung yang sempat terlupakan. Kemunculan kembali calung tidak

lagi sebagai alat ritual melainkan sebagai kesenian daerah yang memiliki daya tarik

tersendiri. Sedangkan batasan tahun hingga 2013 sebagai pembanding kesenian

calung pada saat ini. Selama periode 1970-2013 penulis mengkaji mengenai

bagaimana perkembangannya, kemundurannya serta usaha-usaha untuk tetap

melestarikannya. Selain itu juga pemilihan Kabupaten Bandung dikarenakan di

daerah ini teradapat dua jenis kesenian calung yang akan dikaji oleh penulis. Kedua

jenis kesenian tersebut ialah kesenian calung rantay dan kesenian calung jinjing. Atas

dasar itu maka skripsi ini diberi judul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung

di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Tahun 1970-2013)”.

1.2.Perumusan Masalah

Permasalah utama yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah adalah

“Bagaimana kesenian calung dapat bertahan seiring perkembangan zaman pada tahun 1970-2013?” Agar kajian penelitian ini dapat menjadi lebih fokus, maka rumusan

masalah tersebut dibatasi dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan kesenian calung bagi masyarakat Kabupaten Bandung?

(15)

6

3. Bagaimana peran seniman Sunda dalam mengembangkan calung menjadi

kesenian tradisional yang bersifat komersil?

4. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melestarikan calung sebagai alat

kesenian tradisional?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

dilaksanakannya penulisan yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Adapun

tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan kesenian tradisoinal calung sebagai warisan budaya jawa barat.

2. Mendeskripsikan peranan seniman Sunda dalam melestarikan dan

mengembangkan kesenian calung.

3. Mendeskripsikan tanggapan serta peran masyarakat dalam mempertahankan dan

melestarian kesenian tradisional calung.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang

berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung. Adapun manfaat yang

diharapkan dari penelitian ini secara khusus adalah dapat:

1. Meningkatkan kesadaran generasi muda dalam melestarikan kesenian calung

sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Sunda dan juga budaya nasional

Indonesia.

2. Meningkatkan motivasi untuk terus berkreasi dan bereksperimen dengan

kesenian daerah agar identitas bangsa tidak tergerus dengan kebudayaan dan

(16)

7

3. Bagi sekolah, skripsi ini bisa menjadi bahan pengembangan ekstrakulikuler

sebagai upaya pelestarian kesenian daerah.

1.5.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yang lazim

digunakan dalam penelitian sejarah, yaitu metode historis. Metode Historis adalah

suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa

lampau (Gottschalk, 1986: 35). Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu pada

proses metodologi penelitian dalam penelitian sejarah, yang mengandung empat

langkah penting, adalah sebagai berikut:

1. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber

yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari

sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti

perpustakaan UPI, PUSDA, dan perpustakaan STSI dan wawancara langsung

kepada Asep Darso (anak dari alm. Darso). Selain itu penulis pun mencari

buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, seperti membeli

buku-buku di Gramedia, Palasari, Gunung Agung, pameran buku dan mencari

sumber-sumber melalui internet.

2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah,

baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan

oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang telah

diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan.

Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber

tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap

(17)

8

3. Interpretasi, setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut

diberikan komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi yang

disesuaikan dengan tujuan penulisan. Dalam hal ini penulis memberikan

penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian

berlangsung. Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan

fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh

penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta

dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain.

Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan

pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini.

4. Historiografi, tahapan ini merupakan tahapan akhir dalam langkah-langkah

penulisan dengan cara merangkaikan berbagai interpretasi sebelumnya

menjadi sebuah karya tulis sejarah. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil

temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara

menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana

dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

Adapun mengenai teknik penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung (kajian historis dari tahun

1970-2013)”. ini akan menggunakan teknik studi literatur dan wawancara. Teknik studi

literatur ini dilakukan dengan membaca dan mengkaji dari berbagai buku yang dapat

membantu penulis dalam memecahkan permasalahan yang dikaji. Diharapkan dengan

studi literatur ini akan diperoleh keobjektifan dan kemudahan dalam penyusunan

skripsi.

Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang

banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuntitatif.

(18)

9

1.6.Struktur Organisasi Skripsi

Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi

ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan

menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk

melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi

beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan,

pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan

permasalahan utama, tujuan penelitian dari penelitian yang dilakukan, metode dan

tekhnik penelitian serta struktur organisasi dalam penyusunan skripsi.

Bab II Kajian Pustaka, di sini akan dijabarkan mengenai daftar literatur

yang dipergunakan yang dapat mendukung dalam penulisan terhadap permasalahan

yang dikaji. Pada bagian bab kedua, berisi mengenai suatu pengarahan dan

penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis teliti dengan mengacu

pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga

penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi bahan acuan dalam

penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi pembahasan yang

diuraikan berdasarkan data-data temuan di lapangan.

Bab III Metode Penelitian, dalam bab ini mengkaji tentang langkah- langkah

yang dipergunakan dalam penulisan berupa metode penulisan dan teknik penelitian

yang menjadi titik tolak penulis dalam mencari sumber serta data-data, pengolahan

data dan cara penulisan. Dalam bab ini juga, penulis memaparkan metode yang

digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus

mampu menjelaskan langkah-langkah serta tahapan- tahapan apa saja yang

digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta

(19)

10

secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam

memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

Bab IV Perkembangan Calung: Antara Seni Dan Ritual, pada bab ini, yaitu

bab hasil penelitian dan pembahasan berisi mengenai keterangan-keterangan dari

data-data temuan di lapangan. Data-data temuan tersebut penulis paparkan secara

deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan

tersebut, khususnya baik bagi saya sebagai penulis dan umumnya bagi pembaca.

Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan

membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada

permasalahan yang penulis teliti. Selain itu juga dalam bab ini dipaparkan pula

mengenai pandangan penulis terhadap permasalahan yang menjadi titik fokos

dalam penelitian yang penulis lakukan.

Bab V Simpulan dan Saran, bab terakhir ini berisi suatu kesimpulan

dari pembahasan pada bab empat dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan

kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan perkembangan Kesenian

Tradisional Calung Tahun 1970-2013 berdasarkan rumusan masalah yang penulis

ajukan dalam penelitian ini. Adapun saran yang penulis tujukan kepada masyarakat

kepada umumnya dan pemerintah khususnya untuk turut serta dalam upaya

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, penulis akan mendeskripsikan mengenai metode penelitian

dalam mengkaji skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional

Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Penulis

akan memaparkan mengenai tahapan dalam proses penulisan skripsi ini. Pada

bagian pertama penulis akan menjelaskan mengenai metode serta teknik penelitian

yang digunakan. Selanjutnya penulis juga akan memaparkan tentang tahap-tahap

persiapan dalam penulisan skripsi ini. Dimulai dari tahap pencarian data atau

sumber (heuristik), menyeleksi sumber (kritik), serta interpretasi penulis hingga

pada akhirnya disusn menjadi sebuah historiografi sebagai laporan tertulis dari

penelitian yang telah dilakukan.

3.1. Metode Penelitian

Banyak para ahli yang menjelaskan mengenai metode sejarah. Di sini

penulis akan mengutip beberapa ungkapan para ahli mengenai metode sejarah :

1. Menurut Gottstchalk (1985:32) metode sejarah ialah suatu kegiatan

mengumpulkan, menguji dan menganalisis data yang diperoleh dari

peninggalan-peninggalan masa lampau kemudian direkonstruksikan

berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan kisah sejarah.

2. Menurut Sjamsuddin (2007:3) metode sejarah adalah sebagai salah satu

cara bagaimana mengetahui sejarah.

3. Menurut Sukardi (2003:203) metode sejarah ialah salah satu penelitian

mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik berkaitan

dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan

(21)

30

membantu dengan memberikan informasi pada kejadian sekaran dan

mengantisipasi kejadian yang akan datang.

4. Sedangkan menurut Nazir (2003:48-49) metode sejarah adalah sebagai

sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah.

Tujuan penelitian sejarah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan

masa kini dan masa mendatang. Oleh karena itu beberapa ciri-ciri khas dari

metode sejarah yaitu:

1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati

orang lain di masa-masa lampau.

2. Data yang digunakan lebih banyak bergantung pada data primer

dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik secara

internal maupun secara eksternal.

3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi

yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam

bahan acuan yang standar.

4. Sumber data harus dinyatakan secara definitif, baik nama pengarang,

tempat dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenaran dan

ketulenannya. Fakta harus dibenarkan oleh sekurang-kurangnya dua saksi

yang tidak pernah berhubungan (Nazir, 2003:48-49).

Adapun tahapan yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah menurut Wood

Gray (Sjamsuddin, 2007:89) yaitu:

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber)

5. Menyusun hasil-hasil penelitian kedalam suatu pola yang benar dan berarti.

(22)

31

Ernst Bernsheim (Ismaun, 2005:32) mengungkapkan ada beberapa langkah

yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian sejarah, yaitu:

1. Heuristik, yaitu menemukan jejak-jejak atau sumber-sumber dari sejarah

suatu peristiwa kemudian dirangkai menjadi satu. Heuristik bisa dikatakan

sebagai proses pencarian sumber tertulis maupun lisan. Pada tahap

heuristik ini penulis mengumpulkan data-data dari buku, jurnal serta

wawancara langsung dengan pelaku kesenian calung di Bandung dan

sekitarnya. Dalam proses mencari sumber-sumber ini, penulis mendatangi

berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI, PUSDA, dan

perpustakaan STSI dan wawancara langsung kepada Asep Darso (anak

dari alm. Darso).

2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber

sejarah, baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal

dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari

sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan

penelitian dan penulisan. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk

melihat bentuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha

melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan

topik penelitian ini.

3. Interpretasi, Setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut

diberikan komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi

yang disesuaikan dengan tujuan penulisan. Dalam hal ini penulis

memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan

selama penelitian berlangsung. Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan

jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori

yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan

pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun,

ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah

diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai

(23)

32

4. Historiografi, tahapan ini merupakan tahapan akhir dalam langkah-langkah

penulisan dengan cara merangkaikan berbagai interpretasi sebelumnya

menjadi sebuah karya tulis sejarah. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil

temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara

menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana

dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi kepustakaan dan

wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengkaji beberapa buku, artikel

serta penelitian terdahulu mengenai kesenian calung serta teori-teori yang

mendukung penelitian ini. Data-data dalam melakukan studi kepustakaan ini

penulis peroleh dari perpustakaan daerah, STSI, UPI serta UNPAD.

Adapun teknik wawancara yang digunakan penulis yaitu wawancara

terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur ialah

wawancara yang sudah direncanakan dengan mempersiapkan

pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada responden. Sedangkan wawancara tidak

terstruktur adalah wawancara yang bersifat spontan dan diajukan kepada

orang-orang yang terlibat langsung dalam kesenian calung ini.

Selain itu ada juga teknik wawancara campuran. Wawancara ini

menggabungkan teknik wawancara terstuktur dengan teknik wawancara tidak

terstruktur. Wawancara terstruktur yang dilakukan sebagai umpan untuk

mengembangkan pertanyaan yang kemudian dilanjutkan dengan wawancara tidak

terstruktur. Teknik wawancara ini sebagai metode untuk menggali sejarah lisan

(oral history). Sejarah lisan ialah ingatan yang dituturkan secara lisan oleh

orang-orang yang diwawancarai oleh penulis (Sjamsuddin, 2007:78). Berdasarkan

data-data yang sudah diperoleh tersebut maka penulis menyusunnya dalam penulisan

(24)

33

3.3. Persiapan Penelitian

3.3.1. Penentuan dan Pengajuan

Langkah awal yang dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian

yaitu menentukan tema, sebelum diserahkan kepada Tim Pertimbangan

Penulisan Skripsi (TPPS). Tema tersebut didapatkan selama mata kuliah seminar

penulisan karya ilmiah. Penentuan tema tersebut disebabkan oleh ketertarikan

penulis terhadap kesenian tradisional Sunda khususnya calung. Kemudian tema

tersebut dijabarkan dahulu dalam bentuk judul. Judul yang diajukan pada saat itu

ialah ”Perkembangan Musik Tradisional Calung di Bandung dan Sekitarnya (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Setelah judul yang diajukan disetujui

oleh TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, penulis mulai menyusun

suatu rancangan penelitian dalam bentuk Proposal.

3.3.2. Penyusunan Rancangan Penelitian

Penulis memulai dengan mengumpulkan data-data serta melakukan

wawanacara kepada orang-orang yang mengerti tentang kesenian calung ini.

Wawancara dilakukan kepada ibu Uum Juarsih dan juga Asep Darso. Kemudian

penulis menjabarkannya menjadi sebuah proposal penelitian yang selanjutnya

diajukan kepada TPPS jurusan pendidikan sejarah. Proposal tersebut kemudian

diseminarkan dan disetujui pada tanggal 27 Februai 2013. Proposal penelitian

yang telah disetujui itu kemudian ditetapkan dengan surat keputusan yang

ditandatangani oleh Ketua TPPS dan Ketua jurusan Pendidikan Sejarah

Universitas Pendidikan Indonesia.

3.3.3. Proses Bimbingan

Dalam tahapan ini dilakukan Proses Bimbingan dengan Pembimbing I

bapa Drs.H. Ayi Budi Santoso, M.Pd. dan Pembimbing II Drs. Syarif Moeis.

Proses Bimbingan merupakan proses yang sangat diperlukan, karena dalam proses

(25)

34

Dengan begitu, penulis dapat berdiskusi dan berkonsultasi kepada Pembing I

dan Pembimbing II sehingga penulis akan mendapatkan arahan, komentar dan

perbaikan dari kedua Pembimbing. Proses bimbingan dengan Pembimbing II

dilakukan setiap hari kamis. Sedangkan dengan pembimbing I dilakukan sesuai

kesepakatan sebelumnya.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Heuristik

Heuristik adalah proses pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang

dianggap relevan dengan topik yang dipilih. Heuristk merupakan langkah awal

yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini. Cara yang penulis

lakukan yaitu mencari buku-buku maupun artikel yang berhubungan dengan

prmasalahan yang dikaji. Penulis menemukan beberapa buku yang relevan dan

mendukung judul yang penulis kaji, diantaranya :

1. Perpustakaan STSI Bandung

Dalam kunjungan ke perpustakaan STSI Bandung penulis memperoleh

buku Deskripsi kesenian Jawa Barat karya Ganjar Kurnia. Calung Rantay

Di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung karya Cici Suwarna. Calung

Pertanian UNPAD Sebagai Cikal Bakal Seni Pertunjukan Calung karya

Cici Suwarna. Khasanah Musik Bambu karya Abun Somawijaya. Serta

jurnal panggung edisi 17.

2. Perpustakaan Provinsi Jawa Barat

Penulis melakukan pencarian ke perpustakaan Jawa Barat dan penulis

menemukan buku Strategi Kebudayaan karya Van Peursen. Manusia dan

Kebudayaan karya Ernst Cassirer. Ilmu Budaya Dasar karya Widagdo.

3. Perpustakaan UPI dan UNPAD

Penulis tidak terlalu banyak menemukan buku yang relevan pada kedua

perpustakaan ini. Namun penulis menemukan beberapa buku yang

(26)

35

Antropologi karya Koentjaraningrat.

Selain mencari sumber tertulis, penulis juga melakukan wawancara dengan

beberapa pihak terkait. Hal ini dilakukan untuk mendapakan tambahan informasi

agar dapat mengisi kekurangan dari sumber tertulis. Dalam pengumpulan sumber

lisan, penulis mencari narasumber yang menguasai dan memahami tentang

permasalahan yang penulis kaji.

Narasumber dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pelaku dan saksi.

Pelaku ialah orang yang benar-benar mengalami atau terlibat dalam kejadian yang

menjadi bahan kajian seperti seniman yang mengikuti perkembangan kesenian

calung dari waktu ke waktu. Sedangkan saksi ialah mereka yang melihat dan

mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi seperti misalnya masyarakat sekitar

maupun institusi pemerintah terkait.

Hasil wawancara dengan narasumber kemudian disalin kedalam bentuk

tulisan untuk memudahkan peneliti dalam pengkajian yang akan dibahas

pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang telah diperoleh yang

berhubungan dengan masalah penelitian ini dikumupulkan kemudian

menginterpretasikan terhadap sumber- sumber informasi, sehingga benar-benar

diperoleh dengan sumber yang relevan dengan penelitian yang akan dikaji oleh

penulis. Narasumber yang sudah diwawancara oleh penulis antara lain ibu Uum

Juarsih, Asep Darso, Pa Momo dan Suyitno.

3.4.2. Kritik Sumber

Kritik merupakan proses kajian mengenai sumber yang didapatkan oleh

penulis. Proses kajian ini meliputi isi serta bentuk dari sumber-sumber yang telah

diperoleh sebelumnya. Kririk sumber dilakukan untuk sebagai langkah antisipasi

dari pemalsuan sumber ataupun sumber yang bersifat subjektif dan tidak relevan

dengan fakta yang ada. Kritik terbagi menjadi dua, yaoutu kritik internal dan kritik

(27)

36

Kritik ekstrenal menguji tentang keaslian suatu sumber agar memperoleh

sumber yang benar-benar asli dan bukan tiruan maupun palsu. Sumber yang asli

biasanya waktu dan tempatnya diketahui. Makin luas dan makin dapat dipercaya

pengetahuan penulis mengenai suatu sumber sehingga terlihat jelas dan asli.

Hubungannya dengan Historiografi otentisitas (keaslian) suatu sumber

mengacu pada sumber primer dan sumber sekunder. Sehingga konsep

otentisitas (keaslian) suatu sumber yaitu asli, sebagian asli dan tidak asli.

Setelah itu diinterpretansikan bahwa sumber primer yaitu sepenuhnya asli, dan

sumber sekunder memiliki derajat keaslian.

Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis maupun

sumber lisan. Dalam melakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber

tertulis, penulis memperhatikan beberapa aspek dalam akademis dari penulis

yaitu : melihat latar belakang penulis buku tersebut untuk melihat keasliannya,

memperhatikan aspek tahun penerbitan, serta tempat buku diterbitkan.

Sehingga, penulis menyimpulkan bahwa sumber literatur tersebut merupakan

sumber tertulis yang dapat digunakan dipenelitian ini.

Kritik terhadap sumber tertulis dilakukan oleh penulis terhadap

sumber-sumber utama. Dalam laporan penelitian Cici Suwarna yang berjudul Rantay Di

Kecamatan Banjaran Kab.Bandung peneliti melakukan kritik dengan

membandingkan isi laporan ini dengan kondisi lapangan. Dari hasil kritik ini

ditemukan perbedaan dari hasil tulisan dengan apa yang diungkapkan oleh

narasumber. Perbedaan tersebut ialah adanya pewaris calung rantay yang

dikemukakan dalam laporan ini sedangkan menurut istri dari pewaris calung

rantay ini sudah tidak memiliki pewaris setelahnya.

Dalam jurnal pun terdapat perbedaan-perbedaan yang ditemukan penulis

dari hasil membaca dengan hasil wawancara dengan pelaku maupun saksi sejarah

yang berkaitan. Dalam artikel Perkembangan Calung Jinjing karya Cici Suwarna

dalam Jurnal Panggung edisi 17 juga terdapat perbedaan seperti urutan grup

(28)

37

dilalui setiap grup calung tersebut. Meskipun terdapat beberapa perbedaan dari

hasil wawancara dengan laporan penelitian maupun artikel yang ditulis oleh Cici

Suwarna, penulis hanya mengambil teori yang digunakan dalam laporan ini dan

tidak menggunakan hasil wawancara yang ada dilaporan ini.

Buku sumber yang ditulis oleh Van Peursen, digunakan penulis sebagai

teori utama yang digunakan oleh penulis. Sedangkan buku yang ditulis oleh

Koentjaraningrat, Umar Kayam, Bastomi, Usman Pelly dan Asih Menanti, serta

buku-buku lainya, menjadi pendukung dari teori utama yang ada dalam buku Van

Peursen. Buku-buku tersebut dianggap relevan dengan kajian penulis dan juga

beberapa buku tersebut juga menjadikan teori Van Peursen menjadi bagian dalam

kajiannya.

Kritik terhadap sumber lisan penulis lakukan dengan menelusuri

keterkaitan antara narasumber dengan objek yang dikaji. Di sini penulis baru

menemukan tiga sumber lisan yang memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan

kesenian calung di Kabupaten Bandung. narasumber yang pertama dipilih karena

mrupakan pewaris terakhir dari calung rantay yang dulu digunakan sebagai alat

ritual pertanian. Bukti yang menguatkan ibu Uum Juarsih sebagai pewaris calung

rantay tersebut ialah dilihat dari hubungan kekerabatan antara Abah Nurhaji

dengan alm. Mama Sukma yang merupakan suami dari ibu Uum Juarsih. Selain

itu juga terdapat calung rantay merupakan peninggalan alm. Mama Sukma.

Calung rantay yang dimiliki oleh ibu Uum Juarsih dikatakannya merupakan

calung rantay satu-satunya yang tersisa. Namun menurut Pa Momo (68 tahun)

calung rantay yang demikian ada juga di daerah Cibolang, Tasikmalaya.

Narasumber kedua ialah Asep Darso sebagai keturunan dari (alm)

H.Darso. Narasumber ini dipilih karena Asep Darso merupakan pewaris sanggar

calung Darso di Soreang Kabupaten Bandung. Darso merupakan murid langsung

dari ibu Uum Juarsih pewaris calung rantay. Asep Darso menjadi pelatih dan juga

(29)

38

calung yang dimainkan oleh sanggar calung Darso adalah calung modern yang

berbeda dengan calung yang ada pada ibu Uum Juarsih. Narasumber yang ketiga

yaitu warga disekitar sanggar calung Darso sebagai saksi dari eksistensi kesenian

calung di Kabupaten Bandung. Kesaksian warga sekitar dipilih untuk menilai

eksistensi dari kesenian calung itu sendiri. Ada beberapa warga sekitar yang

diwawancarai penulis. Namun wawancara ini hanya sebatas menanyakan

eksistensi kesenian calung di daerah tersebut. Proses wawancara ini tidak

berkaitan langsung dengan sejarah perkembangan kesenian calung ini. Pemilihan

ini dilihat dari berapa lama narasumber tersebut tinggal di daerah itu, serta yang

paling utama adalah beliau memiliki relasi yang cukup kuat dengan asep Darso

maupun alm.Darso.

Setelah melakukan kritik eksternal, penulis kemudian melakukan kritik

Internal terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara membandingkan hasil

wawancara dari narasumber satu dengan lainnya. Setelah penulis melakukan kaji

banding terhadap narasumber antara satu dengan lainnya, kemudian penulis

membandingkan dengan sumber tertulis. Kaji banding bertujuan untuk

mendapatkan kebenaran dari fakta yang telah didapat dari sumber tertulis maupun

sumber lisan yang digunakan dalam penelitian.

4.4.3. Interpretasi

Setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut diberikan

komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi yang disesuaikan

dengan penulisan. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap

sumber-sumber selama penelitian berlangsung. Kegiatan ini dilakukan dengan jalan

menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah

diteliti oleh penulis.

Interpretasi diperlukan karena bukti-bukti sejarah dan fakta-fakta

sebagai saksi-saksi sejarah tidak dapat berbicara sendiri mengenai apa yang

(30)

39

setelah itu fakta yang diperoleh dirangkaikan dan dihubungkan sehingga menjadi

satu kesatuan yang selaras dengan peristiwa satu dimasukan kedalam konteks

peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun, 2005:131).

4.4.4. Historiografi

Tahap ini ialah tahap akhir dari keseluruhan penulisan laporan

penelitian prosedur penelitian merupakan kegiatan intelektual dan cara utama

dalam memahami sejarah (Sjamsuddin, 2007:153). Penulisan skripsi ini

disajikan kedalam karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi. Skripsi ini

disusun dengan gaya bahasa yang sederhana, karya ilmiah dan menggunakan cara

penulisan yang seseuai dengan ejaan yang telah disempurnakan, sedangkan

sistematika penulisan yang digunakan mengacu kepada buku podoman karya

tulis ilmiah 2013 yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia.

Dalam aturan pengutipan juga menggunakan sistem Harvard sesuai dengan buku

(31)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dikaji pada bab sebelumnya, ada beberapa

poin penting dalam kesenian calung ini.

1. Kesenian calung memiliki peran serta fungsi tersendiri bagi masyarakat

sunda khususnya Kabupaten Bandung. Bagi masyarakat Kabupaten Bandung,

kesenian calung merupakan kesenian yang memiliki nilai religi di dalamnya.

Kesenian ini tidak serta merta digunakan sebagai media hiburan saja.

Kesenian calung digunakan sebagai media ritual pada awal pembuatannya.

Ritual yang diselenggarakan ialah ritual selametan padi atau yang lebih

dikenal dengan istilah ngaruat pare.

Penggunaan calung sebagai media ritual banyak digunakan ketika

masyarakat masih kental dengan nuansa animisme-dinamisme. Meskipun

masyarakat sudah memeluk agama monotheisme, penggunaan calung sebagai

media ritual masih digunakan oleh sebagian masyarakat yang masih

memegang teguh nilai tradisi. Biasanya penggunaan kesenian calung ini

selain untuk ruwatan padi, juga digunakan untuk ngaruat imah atau

selametan rumah yang akan ditempati. Ada juga yang menggunakannya

dalam acara pernikahan ataupun hajatan yang lain.

Meskipun demikian, penggunaan kesenian calung sebagai sarana ritual

sudah semakin jarang dilakukan. Selain karena kepercayaan baru yang

masyarakat yakini, hal ini juga dikarenakan pola pikir masyarakat yang sudah

berubah.

2. Setelah tidak lagi digunakan sebagai media ritual, kesenian calung

kemudian terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah kesenian

(32)

78

permainannya, kesenian calung ini sudah digunakan sebagai media hiburan

pula.

Jenis yang kedua ialah calung jinjing. Kesenian calung ini sudah berubah

secara total dari bentuk asalnya. Kesenian calung ini digunakan sebagai

media hiburan dan sudah tidak lagi mengandung-nilai-nilai kesakralan.

Kesenian ini menjadi kesenian calung yang lebih menghibur dan memiliki

vareasi nada yang lebih banyak dibandingkan calung rantay. Perkembangan

kesenian calung jinjing ini sejalan dengan eksistensi keluarga alm.Darso

sebagai maestro kesenian calung.

Inovasi yang ada pada kesenian calung jinjing ini banyak dilakukan oleh

Darso. Meskipun ada juga sanggar-sanggar calung yang bermunculan, namun

sosok Darso ini yang kemudian dijadikan panutan dan juga mentor. Calung

jinjing memiliki nilai komersial dibandingkan dengan calung rantay.

Sehingga kesenian calung rantay tidak lagi dikenal oleh masyarakat.

Kesenian calung jinjing yang lebih banyak digelar dan dipertontonkan

menjadikan masyarakat Sunda khususnya Kabupaten Bandung lebih

mengenal kesenian yang satu ini.

3. Sebagai kesenian tradisional yang terus dikembangkan, kesenian calung

memiliki nilai komersial. Minat masyarakat untuk mementaskan kesenian

calung pada saat pesta memunculkan grup-grup calung yang menggantukan

hidup dari kesenian ini. Era tahun 1970an menjadi puncak kekayaan kesenian

pemerintahan maupun acara lainnya semakin banyak. Agar pertunjukan

kesenian ini semakin menarik maka dalam penyajiannya kesenian ini juga

ditambahkan dengan beberapa waditra lainnya. Penggunaan kendang dan

(33)

79

berkembangnya zaman, pengunaan perangkat elektronik lainnya seperti

keyboard digunakan agar pertunjukan calung ini semakin meriah.

Dengan menambahkan beberapa waditra lainnya, kesenian calung tidak

hanya kepada lagu-lagu sunda saja. Kesenian calung juga bisa dipadukan

dengan lagu dangdut sehingga muncullah istilah “caldut” atau calung dangdut. Selain dangdut, kesenian calung juga dapat dipadukan dengan genre

musik lainnya. Kesenian calung bisa menjadi lebih hidup dan bisa

menyesuaikan diri dengan selera pasar. Inovasi-inovasi yang demikian ini

sebagai langkah untuk mengikuti selera penonton.

4. Sebagai upaya pelestarian kesenian calung ini, inovasi dari permainannya

harus tetap dilakukan. Pengenalan kesenian ini dari panggung ke panggung

oleh Asep Darso menjadi salah satu cara untuk mengenalkan kembali

kesenian calung ini. Hal ini ditujukan untuk menarik minat generasi muda

terhadap kesenian tradisional khususnya calung. Selama ini kesenian calung

cenderung lebih banyak dinikmati oleh orang tua. Sedangkan generasi muda

lebih tertarik pada kesenian modern yang datang dari luar.

Dengan menarik perhatian generasi muda diharapkan kesenian ini bisa

menunda kepunahannya. Sebagai media untuk mengenalkan kembali

kesenian calung ini pada masyarakat, maka media elektronik dinilai oleh

Asep Darso sebagai media yang efektif. Pembuatan stasiun televisi lokal yang

sedang dikerjakan oleh Asep Darso diharapkan bisa menjadi sarana bagi para

seniman sunda untuk bisa menampilkan kembali kesenian-kesenian sunda

yang sudah terancam punah.

5.2. Saran

Hilangnya minat masyarakat terhadap kesenian daerah menjadi faktor

yang menyebabkan punahnya kesenian tradisional. Agar kesenian daerah tidak

punah begitu saja, kita sebagai masyarakat harus bisa memberikan apresiasi yang

lebih terhadap kesenian tradisional dibandingkan dengan kesenian asing.

(34)

80

Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap kesenian tradisional sejak kecil

diharapkan akan mampu untuk memperlambat laju kepunahan. Promosi

besar-besaran juga bisa menjadi alternatif dalam melestarikn kesenian tradisional ini.

Seperti halnya angklung yang bisa menembus dunia Internasional, kesenian

calung pun dengan kesenian tradisional lainnya harus bisa menacapai prestasi

yang sama dengan itu. Meskipun kesenian calung lebih sulit dimainkan dari pada

kesenian angklung.

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang kampungan dan

ketinggalan zaman. Anggapan ini selalu dikeluarkan oleh generasi muda yang

lebih banyak mengemari kesenian asing dari pada kesenian daerah mereka

masing-masing. Padahal kesenian tradisional kita adalah kesenian yang disukai

oleh bangsa lain. Sehingga banyak kesenian daerah yang kemudian diakui oleh

mereka. Ini menjadi dilematis tersendiri, di sisi lain kita tidak mau kesenian kita

diakui bangsa lain. Namun bangsa kita sendiri juga yang tidak mau mempelajari

atau paling tidak memberikan apresiasi kepada kesenian daerah untuk tampil

sebagai hiburan.

Meskipun masih ada lingkung seni yang masih aktif, namun tidak adanya

panggilan untuk pentas menjadikan hal itu hanya sebatas hiburan untuk kalangan

mereka sendiri. Adanya rasa bangga dan penghargaan terhadap kesenian

tradisional adalah bentuk apresiasi yang dibutuhkan agar kesenian tradisional bisa

terus bertahan. Kesenian calung memang masih ada di beberapa desa bahkan di

sekitar Kota pun masih ada yang melestarikan calung. Namun kesenian calung ini

tidak nampak ke permukaan karena tidak adanya pagelaran.

Peran pemerintah sangat diperlukan dalam pelestarian kesenian tradisional

khususnya calung. Namun perlu diingat bahwa ada dua jenis kesenian calung pada

saat ini. Ada kesenian calung rantay dan ada juga kesenian calung jinjing.

Seringkali yang mendapatkan apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah ialah

kesenian calung jinjing. Sedangkan kesenian calung rantay sudah sangat jarang

(35)

81

masih dapat ditemukan di wilayah Banjaran. Sedangkan kesenian calung jinjing

masih tersebar diberbagai tempat di Kota maupun Kabupaten Bandung.

Kesenian tradisional harus diberi perhatian khusus terutama

kesenian-kesenian tradisional yang hampir punah seperti calung rantay. Kesenian calung

rantay yang ada di Kabupaten Bandung pun sudah tidak lagi memiliki generasi

penerus yang bisa diandalkan untuk melestarikan kesenian ini kelak. Pemain

calung rantay yang ada pada saat ini sudah sangat tua dan belum ada penerus

selanjutnya. Dari anak-anak maupun kerabat ibu Uum Juarsih tidak ada yang

berminat untuk mempelajari calung rantay. Kesenian yang masih mereka

kembangkan yaitu ketuk tilu dan kendang penca yang dianggap lebih

menguntungkan dan masih ada peminatnya. Sedangkan untuk calung rantay sudah

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, S. (1988). Apresisasi Kesenian Tradisional. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cassirer, E. (1990). Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.

Damayanti, I. (2006). Psikologi Seni. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Effendi, R. (2006). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya Dan Teknologi. Bandung: UPI Press.

Fathoni, A. (2006). Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gottschalk, L. (1985). Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.

Ihromi, TO. (1980). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia.

Ismaun. (2005. Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historia Utama Press.

Kayam, U. (1981). Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakjat.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kurnia, (G. 20030. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat.

Pelly, U dan Menanti, A. (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Dikti.

Peursen.V. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Rosidi.A. (2006). Kajian tentang Falsafah Sunda. Makalah Pada Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda, Bandung.

(37)

82

Somawijaya, A. (1996). Khasanah Musik Bambu. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumardjo, Y. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Suwarna, C. (1986a). Calung Rantay Di Kecamatan Banjaran Kab.Bandung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Suwarna, C. (1986b). Calung Pertanian Unpad Sebagai Cikal Bakal Seni Pertunjukan Calung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Waridi. (2005). Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Etnik Nusantara. Surakarta: The Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana STSI.

Widagdo, J. (2004). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber Jurnal

Suwarna, C. (2007. “Perkembangan Calung Jinjing”. Jurnal panggung dan budaya. 17, (3). 355-370.

Sumber Internet

www.googlemap.com

www.bandungkab.go.id/page/content/type/module/id/263/title/geografi-dandemografi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahapan ini penulis akan menyajikan fakta-fakta yang telah ditemukan, dianalisis dan ditafsirkan menjadi sebuah tulisan yang tersusun dalam bentuk skripsi

Adapun judul Skripsi ini adalah “ Akulturasi Alat Musik Tradisional Bansi (Minangkabau) Pada Iringan Tari Gobuk di Lembaga Kesenian YUSDA Kecamatan Tanjung

Sebagai bagian dari industri kuliner di tengah laju modernitas, rumah makan Sunda di Bandung tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi ciri khas

PERKEMBANGAN KESENIAN BANGKONG REANG DI KAMPUNG CIJAWURA DESA LEBAK MUNCANG KECAMATAN CIWIDEY KABUPATEN BANDUNG PADA TAHUN 1967-2014 (SUATU TINJAUAN. TERHADAP PELESTARIAN

Latar belakang munculnya kesenian tradisional Tari Topeng Getak Kaliwungu di Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang berkaitan dengan kondisi ekonomi, kondisi

Adapun tujuan adanya pendidikan musik gamelan di sekolah-sekolah (non kesenian) bukan dimaksudkan untuk menciptakan peserta didik menjadi pelaku seni/seniman yang

Cerminan gejala kebudayaan berdasarkan leksikon perkakas pertanian tradisional dalam bahasa Sunda di Desa Pangauban berdimensi vertikal bahwa orang Sunda mengenai hubungannya

Penelitian dengan judul Perkembangan Kesenian Grup Kenthongan Dalan Laras Kesugihan Kabupaten Cilacap ini memiliki tujuan untuk mengetahui: Keadaan sosial budaya desa