• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODE PENELITIAN

B. Saran

2. Bagi orang tua dan sekolah

Pada penelitian terlihat bahwa masa anak-anak atau remaja adalah masa para pengarang sudah mulai aktif dalam dunia sastra. Peran orang tua sangat penting untuk menyediakan sarana maupun prasarana dalam bentuk apapun, termasuk kritik dan pujian.

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrofiah dan Sangidu. (2002). Novel Al-Lissu Wal-Kilab Karya Najib Machfuh: Analisis Psikologi Sastra. Jurnal Penelitian Humaniora, 2, 146-166.

Atmowiloto, Arswendo. (1983). Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif. Dalam Pamusuk Eneste (Edt.), Proses Kreatif : Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta : PT Gramedia.

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow The Psychology of Optimal Experience. New York: Harper & Rau.

--- (1996). Creativity: flow and the psychology of discovery and invention (1st ed). New York: HarperCollins Publesher. Inc.

--- (1998). Society, Culture, and Person: A System View of Creativity. In R. J. Sternberg (Edt). The Nature of Creativity. Cambridge University Press.

--- (1999). Implication of a system Perspective for study of creativity. In R. J. Sternberg (Edt). Handbook of Creativity. Cambridge University Press.

Damono, Sapardi Djoko. (1983). Permainan Makna. Dalam Pamusuk Eneste (Edt.), Proses Kreatif : Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang II. Jakarta : PT Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. (1979). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dharmayana, I Wayan & Martaniah, Sri Mulyani. (1989). Motivasi Intrinsik dan Kreativitas Para Siswa SMA Negeri di Kota Denpasar. Yogyakarta: BPPS-UGM

Franken, Robert E. (2002). Human Motivation 5th Edition. USA: Thomson Learning

Graneheim, U. H. dan Lundman, B. (2004). Qualitative Content Analysis in Nursing Research: Concepts, Procedures and Measures to Achieve Trustworthiness. Nurse Education Today, 224, 105-112.

Handoko, Martin. (1992). Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius.

Hurlock, Elizabeth B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Hidup. Jakarta: Erlangga.

Ihsan, Mohammad. 2007. Jelang Ulang Tahun Budi Darma dalam www.jawapos.co.id

Kartono, Kartini dan Gulo, Dali. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya. King, Laura. A. (2010). Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Aspiratif. Jakarta:

Salemba Humanika.

Luita Ariwibowo, Puji Karyanto, dan Sri Ratnawati. (2005). Ideologi Kepengarangan Tiga Pengarang Wanita Indonesia: Perspektif Kritik Sastra Feminis Terhadap Teks Proses Kreatif Titis Basino P. I, Toety Heraty, dan M. Poppy Donggo Huta Galung. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Merriam, Sharan B. (2009). Qualitative Reasearch : A Guide to Design and Implementation “Revised and Expanded from Qualitative Research and Case Study Applications in Education”. San Francisco: Jossey-Bass

Moesono, Anggadewi. (2003). Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Munandar, S. C. U. (1988). Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

--- (2000). Kretivitas Anak dan Strategi Pengembangannya. Anima: Indonesian Psychological Journal, 15, 4, 390-394.

Nashori, Fuad. (2009). The Creative Process of Indonesian Muslim Writers: An Islamic Psychology Perspective dalam www.pikirdong.com

Negara, C. S. Prihanto, F.S. & Sinambela, F.C. (2000). Analisis Faktor-Faktor Pembentuk Kreativitas Pada Tim Kreatif Biro Iklan di Surabaya. Anima: Indonesian Psychological Journal, 15, 280-292.

Noor, Acep Zamzam. (2009). Sekitar Proses Kreatif Saya. Dalam Pamusuk Eneste (Edt.), Proses Kreatif : Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta : PT Gramedia.

Pratitis, Niken Titi dan Pandin, Moses G. (2002). Hubungan Antara Karakteristik “Kepribadian Yang Kreatif” dan Motivasi Ekstrinsik-Intrinsik Dengan Kreativitas. Anima: Indonesian Psychological Journal, 17, 2, 120-130.

Poerwandari, E. Kristi. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.

Polkinghorne, Donanld. E. (2005). Language and Meaning: Data Collection in Qualitative Research. Journal of Counseling Psychology,52, 137-145.

Santrock, John W. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Sternberg, R. J & Lubart, T. I. (1999). Handbook of Creativity. Edited R. J. Sternberg. Cambridge University Press.

Suharnan. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

--- (2000). Teori Psiko-Komponensial Tentang Kreativitas. Anima: Indonesian Psychological Journal, 15, 166-179.

--- (1998). Motivasi dan Kreativitas: Peran Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Kreativitas. Anima: Indonesian Psychological Journal, 14, 18-27.

Supriadi, Dedi. (1994). Kreativitas, Kebudayaan, & Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.

Weisberg, R. W. (2006). Creativity: Understanding Innovation in Problem Solving, Science, Invention, and The Arts. New Jersey: John Wiley & Son Inc.

Wijaya, Putu. (1982). Dari Bila Malam Bertambah Malam sampai Nyali dan Gerr. Dalam Pamusuk Eneste (Edt.), Proses Kreatif : Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta : PT Gramedia.

Wijaya, Putu. (2001). Mengarang adalah Berjuang. Dalam Sigit B. Kresna (Edt.), Mengenal lebih dekat: Putu Wijaya Sang Teroris Mental dan Pertanggungjawaban Proses Kreatifnya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Yusuf, Syamsu. (2010). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung :

PT Remaja Rosdakarya.

www.pusatbahasa.diknas.go.id Biografi Putu Wijaya www.tokoh-indonesia.com Mantan Pemred Monitor www.wikipedia.org. Riwayat Hidup Acep Zamzam Noor www.wikipedia.org. Riwayat Hidup Sapardi Djoko Damono

Lampiran 1. Data hasil koding Putu Wijaya

Kategori Isi Data Tema

1. Domain a. Sumber tertulis

Mulai dari karangan-karangan Karl May sampai pada buku-buku sastra terjemahan seperti Komedi Manusia

(William Saroyan) dan cerita-cerita picisan yang merangsang birahi yang meledak di tahun 50-an. (MBS.145.PW)

Membaca karangan terjemahan dan roman picisan tahun 50-an.

Membaca Dari penulis-penulis mancanegara seperti Saroyan Hemingway, John Steinbeck, Anton Chevkov, O. Henry, Guy de Maupassant, Edgar Allan Poe, Christian Anderson, Boris Pasternak, Samuel Beckett, bahkan juga Agatha Christie dan Sir Canon Doyle, saya mempelajari teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukangan dan dimensi menulis. (STM.259.PW)

Belajar dari penulis-penulis luar negeri tentang teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukangan dan dimensi menulis.

Untunglah saya pernah membaca buku Teknik Mengarang -nya Mochtar Lubis waktu saya di SMA, sehingga saya tahu bagaimana mengatasi rasa jemu, lelah dan bagaimana memikat pembaca. (STM.260.PW)

Belajar dari Mochtar Lubis bagaimana mengatasi rasa jenuh, lelah dan bagaimana memikat pembaca

Menulis skenario merupakan pengalaman tersendiri karena saya biasanya menuliskan skenario berdasarkan novel orang lain. Mau tak mau saya terpaksa membaca novel itu. (MBS.162.PW)

Membuat skenario harus membaca novelnya terlebih dahulu.

Mengumpulkan cerita Mengumpulkan komik Tarzan, Flash Gordon, Mahabarata dan Ramayana serta cinta pada karton dan

Mengumpulkan berbagai komik, cerita sejarah, kartun dan anekdot.

anekdot.(MBS.145.PW) b. Sumber lisan Bertanya kepada rekan

seprofesi

Saya yang pernah ngobrol dengan Arifin C. Noer tentang intelektualitas dalam karya jadi senang. Waktu itu saya mengatakan pada Arifin, bahwa intelektualitas bukan hal yang terpenting dalam karya sastra maupun drama. Kalau tak salah Arifin berdiri sebaliknya, dia mengatakan itu menentukan sekali. (MBS.153.PW)

Belajar dari Arifin C. Noer tentang pentingnya intelektualitas dalam karya sastra maupun drama.

Saya teringat bahwa saya pernah bertanya pada Goenawan Mohamad, apakah tema itu menentukan besar-tidaknya sebuah karangan. Apakah tema itu penting dan sebagainya. Goenawan mungkin menjawab sambil lalu waktu itu, seraya lewat di depan meja saya. Ia menggeleng dan mengatakan tidak. Ternyata hal itu membantu sekali. (MBS.153.PW)

Belajar dari Goenawan Mohamad bahwa tema tidak menentukan besar-tidaknya sebuah karangan.

Saya menemukan diri paling sedikit membaca di antara rekan-rekan. Perhatian saya pun sangat terbatas dan sempit. Jadi saya berusaha “berjuang” untuk menyatakan bahwa bekal intuisi dan perasaan saja cukup untuk mencipta. Dalam hal ini saya katakana, pernyataan Goenawan membantu saya. (MBS.153.PW)

Belajar menggunakan intuisi dan perasaan saat menulis.

Mendengarkan pendapat

tokoh senior

Kemudian suatu hari saya pengalaman ketemu Kirjo Mulyo, pengarang asal Yogya yang dulu sering pergi ke Bali. Dia bilang, “Kalau kamu sudah punya mesin tulis, tidak dengan sendirinya bisa menjadi pengarang. Kamu

Belajar dari Kirjo Mulyo tentang berjuang dan bekerja keras dalam mengarang selalu diingat.

harus berjuang jadi pengarang!” Nah, kata-katanya itu seperti pedang tajam yang benar-benar menancap di jiwa saya. Jadi, kreativitas itu harus diciptakan. Kita harus bekerja keras melahirkannya. Bukan sekedar ilham. Saya buktikan itu dalam pengalaman pribadi bahwa mengarang itu berjuang! (STM.233.PW)

Mendengarkan pendapat

rekan

Waktu itu kalau tak salah, Goenawan Mohamad melontarkan kritik terhadap Edan. Di sini mungkin saya salah tangkap. Tapi kalau tak salah, dia mengatakan bahwa karya sastra yang tidak melibatkan pembacanya, yang hanya tetap mengelak untuk ditonton saja, tidak pernah abadi dan besar. Saat itu saya diam saja. Tapi belakangan saya tergoda sekali. Lalu saya ingin membuktikan itu tidak betul. (MBS.159.PW)

Belajar dari Goenawan Mohamad tentang karya sastra yang tidak akan pernah abadi dan besar jika tidak melibatkan pembacanya.

Mendengarkan musik Kembali kepada soal mengurangi bacaan; sebagai imbalannya saya mendengarkan musik banyak sekali. Saya suka musik dari dang-dut sampai hard-rock. Klasik tidak, karena kalau saya mendengarnya saya merasa harus berada dalam kondisi tertentu yang entah kenapa tidak saya sukai. Bahkan saya pernah benci pada msik klasik – sebelum benar-benar mendengarnya. Tapi belakangan saya mencoba mendengar. Ternyata saya senang sekali pada Bach dan Vivaldi. Mula-mula jazz juga say jauhi, tapi karena di Bengkel Teater jazz sering diputar, belakangan

Belajar dari musik yang mulanya tidak disukai tentang karya yang tak tertebak, tak terduga, liar, akan tetapi memiliki perhitungan.

saya mulai menangkap keindahannya secara diam-diam. Akhirnya cocok. Mulai dari Stan Get sampai ke Mile Davis. Tapi lewat dari itu hanya jkadang-kadang saja. Saya selalu mengarang dengan musik. Kalau saya mendapatkan lagu bagus, saya seperti mendapatkan stamina untuk menulis terus. Dari lagu-lagu Beatles banyak sekali saya mendapat pelajaran. Lagu-lagu itu sering sekali tak tertebak, tak terduga, liar, akan tetapi memiliki perhitungan. Saya sering menulis meniru Beatles menyanyi. Kadang-kadang saya merasa cocok sekali dengan Johm Lennon. (MBS.154.PW)

c. Interaksi langsung dalam kelompok

Bekerja di media cetak Jangan lupa, sebelum lahirnya Telegram, saya sudah menjalani pekerjaan sebagai redaktur di majalah Ekpres dan Tempo beberapa lama. Keharusan untuk menulis setiap waktu, efisiensi kata, soal kebahasaan dan sebagainya yang menjadi gaya Tempo, terutama usaha untuk tampil sebagai orang pintar yang begaya bodoh, sangat mempengaruhi saya. Itu pulalah yang mendorong lahirnya Aduh. Sebuah drama yang dialognya sangat sederhana dan bodoh-bodoh, yang kemudian juga saya mainkan dengan gaya “goblok-goblokan” di Taman Ismail Marzuki. (MBS.151.PW)

Belajar dari kebiasaan menulis yang menjadi ciri khas Ekpres dan Tempo, yaitu menulis setiap waktu, efisiensi kata, soal kebahasaan dan usaha untuk tampil sebagai orang pintar yang begaya bodoh.

Pekerjaan sebagai wartawan memberikan saya pemahaman pada deadline.(STM.259.PW)

Belajar tentang deadline dari pekerjaannya sebagai wartawan.

Bergabung dengan kelompok teater

Tahun 1967 saya tergabung dengan Rendra. Di situ saya mendapat banyak pengaruh. Terutama kemudian saya bertekad secara bersungguh-sungguh berjuang menjadi seorang pengarang. (MBS.149.PW)

Belajar tentang perjuangan yang sungguh-sungguh untuk menjadi pengarang ketika bergabung dengan teater Rendra.

Bermain drama/teater Misalnya terpengaruh oleh Waiting for Godot, karena saya pernah ikut main sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh Chekov, terpengaruh oleh Komedi Manusia, terpengaruh oleh Dr. Zhivago, terpengaruh oleh Pulang-nya Toha Mohtar, dan terpengaruh oleh Johny Gudel (Srimulat). (MBS.154.PW)

Mendapat pengaruh dari drama-drama yang pernah dimainkan.

Belajar kebudayaan lain

(Jawa)

Dag-Dig-Dug sebenarnya adalah rekaman dari pengalaman saya mondok di Jogja. Di situ saya tinggal sendiri pada dua orang tua yang selanjutnya saya anggap sebagai celah yang mengantarkan saya kepada sesuatu yang berbau Jawa. Sikap hidup, cara berpikir, pelontaran dialog dan sebagainya. Drama itu bukan peristiwa nyata, tetapi hanya settingnya yang merupakan pengalaman saya bergaul dengan mereka. (MBS.156.PW)

Menggunakan sebuah budaya (Jawa) sebagai latar (setting) dalam cerita.

d. Pengamatan Meniru gaya orang lain Saya juga menulis naskah Orang-orang Malam. Juga secara kebetulan membuat sebuah monolog bernama

Matahari Yang Penghabisan. Waktu itu saya dan kumpulan drama saya LDN menyelenggarakan Parade Drama selama 3 malam. Pada malam kedua belum ada acara. Saya dengar salah seorang rekan saya di Bali waktu

Meniru cara monolog seperti tokoh lain namun memberikan improvisasi sendiri.

itu (mungkin Ikranegara atau Herman Negara) main sendiri dan sukses. Saya jadi iri. Saya ingin membuktikan, bahwa saya juga bisa main sendiri. Lantas sore itu juga saya mereka-reka apa yang akan dikerjakan. Akhirnya, malamnya saya main secara improvisatoris seorang diri. (MBS.148.PW)

Setelah tawar-menawar, saya teken kontrak. Untuk hak menerbitkan selama 5 tahun saya harus menyerahkan 4 cerpen (@ 20 halaman kertas folio), 4 novelet dan 4 novel. Dua cerpen sudah saya penuhi, judulnya “Dor” dan “Tidak”. Kemudian keempat novelet juga saya penuhi: Sah, Tak Cukup Sedih, MS, dan Ratu. Semuanya adalah merupakan perpanjangan dari cerpen yang pernah dimuat di Koran Kompas (“Sedih”), majalah Lelaki (“Sah”), dan majalah Horison. Saya kebut dan sesuaikan dengan selera pop. Tapi karena saya tidak bisa ngepop seperti Eddy D. Iskandar atau Teguh Esha misalnya, saya tekankan pada keterusterangan. (MBS.161.PW)

Berusaha menyajikan cerita dalam bentuk pop seperti Eddy D. Iskandar atau Teguh Esha, namun tetap menekankan pada keterusterangan.

Meniru bentuk kesenian lain (lenong)

Di dalam Hitam-Putih saya meniru “bentuk” lenong. Naskah ini kemudian saya pentaskan dengan hampir seratus pemain, lengkap dengan drum-band, kungfu, tarian disko dan grup penyanyi. Menarik dan berhasil. (MBS.160.PW)

Mementaskan karya dengan banyak pemain seperti pada lenong.

sandiwara. (MBS.145.PW) pertunjukan sandiwara e. Pendidikan Masuk pendidikan khusus Ketika masuk Asdrafi di Jogja, saya menulis drama pendek

untuk dimainkan oleh teman-teman yang baru masuk. (MBS.147.PW)

Masuk akademi seni dan drama.

2. Pengalaman pribadi

Pengalaman memunculkan ketertarikan

Saya senang kalau disuruh guru bercerita di depan kelas sampai bel berbunyi. Saya senang lihat teman-teman pada ketawa mendengar saya bercerita. (STM. 232.PW)

Senang bercerita di depan orang.

Pengalaman menguatkan

ketertarikan

Saya menulis sejak SD. (STM. 232.PW) Sudah menulis sejak SD. Saya selalu dapat nilai bagus untuk mengarang.

(STM.233.PW)

Mendapat nilai bagus untuk mengarang.

Kalau saya tertekan, terluka atau kepepet, itulah masa yang paling produktif dalam penciptaan sebuah tulisan. (STM.235.PW)

Keadaan tertekan, terluka atau terdesak adalah masa paling produktif untuk menulis.

Yang tak kalah pentingnya adalah pertemuan saya dengan penyair dan dramawan Kirjomulyo ketika ia menyutradarai saya untuk memainkan drama Anton Chekov, Badak, di SMA. Ia menyadarkan saya bahwa mengarang adalah berjuang. (STM.260.PW)

Pertemuan dengan penyair dan dramawan, Kirjomulyo yang mengatakan tentang berjuang dalam mengarang.

Ditambah lagi di Jepang saya sempat bertemu dengan seorang pelukis. Ia mengatakan, bahwa pada suatu saat ia berhenti membaca. Berhenti belajar dan hanya bekerja. Rasanya itu sejalan dengan saya. Saya pun mulai malas membaca. Tapi kebetulan sekali rumah kontrakan saya

Mulai berhenti membaca karena sudah mulai percaya diri dalam menulis dan terpengaruh kata-kata seorang pelukis Jepang yang juga berhenti membaca.

tidak ada listrik, sehingga saya benar – benar hanya membeli dan menyimpan buku, tapi tak pernah membacanya lagi. (MBS.153.PW)

…. Pada malam kedua belum ada acara. Saya dengar salah seorang rekan saya di Bali waktu itu (mungkin Ikranegara atau Herman Negara) main sendiri dan sukses. Saya jadi iri. (MBS.153.PW)

Merasa tertantang untuk membuat karya hanya dengan mendengar hasil karya tokoh lain.

Sebagai sahabat, guru dan juga ‘musuh’, Kadang-kadang saya memerlukan bantuan istri seperti sparring partner, kalau saya memerlukan lawan diskusi. Seperti ‘frame’ kalau saya memerlukan disiplin. Seperti supporter kalau saya memerlukan dorongan. (STM.249.PW)

Istri sebagai lawan diskusi, pemberi batasan disiplin, dan pemberi semangat.

Pengalaman menguatkan

ketertarikan

Pada tahun 1977, saya tulis kembali naskah itu untuk mengikuti Sayembara Penulisan Novel Femina. Waktu itu saya sedang dalam pernikahan. Karena saya membutuhkan uang, sehari sesudah pernikahan, sambil menikmati suasana pengantin, saya tulis kembali naskah itu selama seminggu. (MBS.157.PW)

Menulis karena membutuhkan uang.

Pada suatu kali, saya mendengar ada kapal kandas di Sanur. Kabarnya kapten kapal tak mau turun. Waktu pulang ke Bali saya sempatkan untuk menengok, sebab saya merasa peristiwa itu teateral sekali. Saya liat kapalnya sudah hampir tenggelam ke pasir. Kemudian kebetulan malamnya keponakan saya minta dibuatkan sebuah

Membuat cerita berdasarkan apa yang dilihat ditambahkan dengan imajinasinya.

karangan. Maksudnya karangan itu dimuat di harian Denpasar dan menyeutkan, bahwa itu diperuntukkan untuk dia. Waktu itulah saya menulis cerpen “Lautan Bernyanyi”. (MBS. 147.PW)

Pada suatu kali misalnya, sedang berak di selokan di pinggir jalan, saya sedang memandang di seberang tabah lapang ada orang yang menebang pohon asam. Tiba-tiba saja saya lihat penebang itu terpental dan jatuh ke atas jalan aspal. Peristiwa itu membekas, lalu saya menulis cerpen “Pembunuh”: Kisah seorang istri yang bermimpi giginya tanggal dan mencegah agar suaminya jangan pergi menebang, karena ia percaya gigi tanggal artinya akan ada kematian ... (MBS.146.PW)

Membuat cerita berdasarkan apa yang dilihat ditambahkan dengan imajinasinya.

Pengalaman menguatkan

ketertarikan

Menulis dalam rentetan bulan-bulan yang sama, saya juga mulai menulis kembali Tak Sampai Tiga Bulan menjadi Pabrik. Waktunya sempit sekali. Saya bekerja setiap malam, berjuang dengan kantuk, terutama seklai melawan kata-kata yang sering macet. Kalau dalam Telegram segalanya mengalir lancer, dalam Pabrik saya sering terpojok – tidak tahu apanyang harus dikerjakan. Seringkali pula akhirnya saya menuliskan sesuatu yang tidak saya rencanakan terlebih dahulu, sesuatu yang belum saya ketahui, sehingga selanjutnya, setiap alinea hampir menyerupai usaha mencari. (MBS.152.PW)

Sering menuliskan sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya.

Saya tinggal 8 bulan di Iowa. Ongkang-ongkang saja dan dapat kesempatan menulis. Tetapi tidak banyak yang saya garap. Saya berhasil memulai sebuah naskah yang kemudian setelah di Indonesia saya sebut Edan (drama). (MBS.157.PW)

Meskipun memiliki banyak kesempatan menulis, namun tidak banyak yang dapat dikerjakan.

Saya mulai mencoba menulis untuk majalah-majalah wanita. Saya lihat tidak ada lagi kenikmatannya menulis di Horison, karena tidak banyak yang membaca. Lantas saya mulai menulis cerpen (berjudul “Oke”) di majalah Kartini. (MBS. 161.PW)

Berpindah menulis di majalah-majalah wanita karena tidak banyak lagi yang membaca Horison.

Sudah bertahun-tahun saya bekerja di Tempo dan kemudian di Zaman. Rasanya saya sudah lebih enteng dan ”ahli” dalam urusan teknis. (MBS.163.PW)

Pengalaman bekerja di media cetak membuatnya ahli dalam teknis menulis.

Tahun 1972 – 1973 saya mendapat kesempatan tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto, Jepang. Ittoen adalah sebuah tempat di lereng bukit.... Bagi mereka, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Buddha, tetapi sangat terpengaruh oleh Gandhi. Rombongan dramanya yang berkeliling menghibur orang tua dan anak – anak bernama “Swaraj”. (MBS.155.PW)

Merasakan kehidupan komunitas di Jepang, yang percaya bahwa hidup adalah bekerja dan beribadah.

Pengalaman menguatkan

ketertarikan

Saya ke Jepang berniat mempelajari Kabuki. Saya merasa tertarik sekali. Sebulan saya bekerja di ladang, kemudian 4 bulan mengikuti rombongan “Swaraj” keliling Jepang.

Memahami semangat dan kedisiplinan kerja.

Naik truk tiap malam berpindah, memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Bagi mereka “pekerjaan” bukan lagi seni. Saya dilatih secara fisik.. Kemudian saya kembali bekerja di ladang. Makin lama saya melihat adanya hipokrisi. Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu. Mereka juga tidak bisa mematikan emosi. Itu hanya ada dalam cita – cita. Saya menahan dorongan kebutuhan seksual setiap hari. Disitu saya menulis drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta persiapan sebuah novel yang kemudian saya beri nama Lho. Tetapi kalau saya renungkan, apa yang saya alami di Jepang itu kini menjadi disiplin saya dalam bekerja. Saya sering menyiksa diri untuk mengejar target. Saya malu sekali melihat Jepang yang makmur, tapi orang disana terus bekerja dengan gila. Semangat inilah yang secara heroik sering tidak sengaja saya rasuki. (MBS.155.PW)

Dari Iowa saya tidak langsung pulang, tapi singgah di Eropa, bahkan sempat main di Festival Nancy. Ketika main di Nancy, sebelumnya saya bingung, apa yang akan saya kerjakan. Di Belanda kebetulan saya bertemu dengan dua orang laki– perempuan yang punya boneka–boneka besar. Saya katakan pada mereka, bahwa saya punya kesempatan main di Nancy– karena undangan. Lalu mereka berlatih.

Berlatih dengan orang luar negeri yang mempunyai boneka-boneka untuk pementasan.

Ternyata hasil latihan itu setelah ditontonkan menarik. (MBS.157.PW)

3. Field a. Rekan

Meminta pendapat teman Saya hidup dari menulis resensi pertunjukkan dan esei-esei yang dimuat di Sinar Harapan. Beberapa cerpen saya mulai dimuat di Horison, antara lain “Ini Sebuah Surat”, kemudian “Firasat”. Cerita kedua saya tulis ketika sedang menunggu untuk menghadap seseorang yang akan melincinkan jalan saya untuk bekerja di sebuah majalah keluaran Inkopal. Ada mesin-tik di atas meja. Lalu saya tancap saja. Saya pikir waktu itu cara membuat novel adalah membuat beberapa cerpen lalu digabung. Ketika saya perlihatkan pada Arifin C. Noer, dia member komentar, bahwa kalau dia menulis cerpen, dia juga akan memakai pendekatan yang sama. (MBS.149.PW)

Teman (Arifin C. Noer) menyetujui bahwa cara membuat novel adalah membuat beberapa cerpen lalu digabung.

Saya buat drama pendek. Tapi meskipun pingpong

Dokumen terkait