• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan PEMP didukung semua pihak, mulai tingkat pusat hingga lokal. Program PEMP merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan di bawah Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). Sebagai penanggung-jawab program di tingkat pusat adalah Direktur Jenderal KP3K bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti Departemen Keuangan dan BAPPEDA. Hirarki penanggung-jawab program di bawah Ditjen KP3K adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi atas nama Gubernur dan Bupati (Walikota) di tingkat Kabupaten (Kota) dengan tugas-tugas yang berbeda. Kadis Propinsi bertugas melakukan sosialisasi program PEMP di tingkat Propinsi dan melakukan sinkronisasi program PEMP dengan program lain di bawahnya agar tidak terjadi overlaping. Selain itu Kadis Propinsi melakukan koordinasi lintas Kabupaten (Kota) dan pembinaan teknis pelaksanaan program PEMP serta melakukan monitoring dan Analisis. Hasil kegiatan ini dilaporkan ke Gubernur dan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Sementara itu Bupati (Walikota) sebagai penanggung-jawab program di wilayah kerjanya bertugas melakukan pembinaan teknis implementasi serta mengkoordinasikan perencanaan dan pengendalian program PEMP dengan program

sektoral dan regional.

Selanjutnya pelaksanaan teknis Program PEMP di tingkat Kabupaten (Kota) dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten (Kota) yang mencakup sosialisasi, koordinasi dengan BAPPEDA, memberikan bimbingan, memfasilitasi terbentuknya hubungan kemitraan antara KMP dan perorangan atau lembaga yang perduli terhadap program pengembangan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Selanjutnya melakukan monitoring dan analisis hasil pelaksanaan kegiatan PEMP.

Dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten (Kota) dibantu Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten (Kota) dan Tenaga Pendamping Desa (TPD) yang telah dilatih TOT oleh Pusat. TPD tersebut mempunyai kemampuan mengelola kegiatan PEMP dan mampu berperan sebagai Fasilitator, Dinamisator dan Motivator dalam kegiatan PEMP.

Untuk mengkoordinasikan KMP, dibentuk Lembaga Ekonomi Pengem- bangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). LEPP-M3 bertugas mengelola Dana Ekonomi Produktif yang disalurkan ke KMP. Pengurus LEPP-M3 merupakan perwakilan dari KMP dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan selaku penanggung jawab operasional program PEMP.

Dalam pelaksanaannya LEPP-M3 dibentuk di tingkat Kabupaten (Kota), sehingga dalam implementasinya selalu berkoordinasi dengan Mitra Desa yang merupakan Kepala Desa atau tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama), serta Kantor Cabang Dinas (KCD) dan instansi terkait lainnya.

1.5 Perumusan Masalah

Dua masalah utama yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Sejauh mana dampak pelaksanaan program PEMP terhadap pendapatan masyarakat pesisir? Permasalahan ini akan ditelaah dengan memperhatikan perubahan tingkat pendapatan; kemudian akan dibandingkan signifikansi perubahan itu antara sebelum dengan sesudah proyek PEMP. Oleh sebab itu

(2001-2003).

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan program PEMP? Secara kuantitatif hal ini akan diukur dengan regresi berganda untuk melihat pengaruh-pengaruh modal awal (sebelum program PEMP diintroduksikan), besarnya tambahan modal ketika program PEMP diintroduksikan, tingkat pendidikan masyarakat pesisir, persepsi responden tentang prospek ekonomi yang dijalankannya, terhadap peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat pengguna (KMP) 1.6 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dampak pelaksanaan program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah:

1.Menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan sasaran program (target beneficiaries); dan

2.Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sasaran program dilokasi penelitian

1.7 Manfaat Penelitian Bagi Pemerintah Pusat:

Manfaat penelitian bagi pemerintah pusat adalah memperoleh masukan bagi perbaikan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, tidak terbatas pada lingkup program PEMP dan cakupan lokasi penelitian.

Bagi Pemerintah Daerah:

Manfaat penelitian bagi pemerintah daerah adalah:

1) Memperoleh masukan bagi perbaikan program PEMP di lokasi penelitian; dan

2) Memperoleh alternatif instrumen analisis program PEMP yang sederhana tapi dapat dipercaya.

Manfaat penelitian bagi akademisi adalah memberikan gambaran salah satu model pemberdayaan masyarakat pesisir

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pemberdayaan

Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidak-puasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat, dan diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah (trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat centralized, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin.

Sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan pertumbuhan tersebut, maka muncul tuntutan yang sangat keras agar pembangunan pada masa yang akan datang lebih bersifat bottom up, dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk menunjang pendekatan yang seperti itu maka pemberdayaan masyarakat harus dilakukan.

Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu; tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan.

Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan mencapai tataran kualitas tertentu. Namun kemudian

tumbuh keinginan untuk meningkatkan kualitas, maka pemberdayaan pun terus dilakukan.

Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat adalah suatu proses untuk meraih atau mencapai tahapan dan kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Karena masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, maka ketidakpuasan itu membuat pemberdayaan perlu terus dilaksanakan.

Menurut Haque (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain, membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang −yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan.

Merevisi berbagai pendekatan pembangunan perikanan yang dianggap belum memuaskan, Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri, 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang.

Secara holistik Departemen Kelautan dan Perikanan berusaha menyempur- nakan pendekatan agribisnis yang berorientasi bisnis semata. Karena itu dilakukan pencermatan terhadap empat dimensi, yaitu: (1) dimensi ekologis, (2) dimensi sosial-ekonomi, (3) dimensi sosial politik, dan (4) dimensi hukum dan kelembagaan. Keempat dimensi itu di dalam implementasinya dilakukan dengan berbasis pada masyarakat, atau yang disebut sebagai inklusi sosial, yang merupakan perubahan paradigma pembangunan (Tabel 2).

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya itu diidentikkan dengan

keadaan keterbelakangan. Dalam hal ini keterbelakangan itu bisa bermakna ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek yang lain. Karena itu, istilah pemberdayaan menjadi identik dengan community development; sehingga berbicara tentang pemberdayaan tidak dapat dipisahkan dari diskusi tentang pembangunan itu sendiri.

Tabel 2. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan

PARADIGMA LAMA BARU

Pendekatan Ekslusi Sosial Inklusi Sosial Orientasi

Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi

Pemertaan Dan Kesejahteraan

Fungsi Pemerintah Provider Enabler/Facilitator

Tata Pemerintahan Sentralisasi/Dekonsentrasi Desentralisasi Pelayanan Birokrasi Normatif Responsif Fleksibel Pengambilan

Keputusan Top Down Bottom Up & Top Down Sumber: Dahuri (2002)

Secara umum pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengarah pada suatu keadaan yang diharapkan dapat mempunyai nilai lebih, dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, nilai lebih itu memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga penafsirannya cenderung bersifat cultural specific, yaitu dipengaruhi oleh suatu kondisi lingkungan kebudayaan tertentu.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, nilai lebih yang dimaksudkan tentunya cenderung mengarah pada suatu keadaan masyarakat yang lebih berdaya. Meskipun demikian, apa yang dimaksud dengan berdaya juga memiliki pengertian yang beraneka ragam. Bauer, (1973) mengartikan istilah berdaya semata-mata dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, yaitu berupa kemampuan meningkatkan kondisi ekonomi dari yang lebih rendah ke keadaan yang lebih tinggi, sebagaimana yang dikemukakan:

“The central problem in the theory of economic growth is to understand the process by which a community is converted from being a five percent saver to a 12 percent saver with all the changes in attitudes and institutions and in techniques which accompany this conversion”.

Berbeda dengan Bauer, Brandt (1980) memberi pengertian nilai lebih dalam pemberdayaan bukan semata-mata dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial; walaupun diakui bahwa nilai lebih dalam aspek ekonomi merupakan yang utama. Todaro (1983) bahkan memberi pengertian pemberdayaan secara lebih luas, yaitu sebagai suatu proses multi dimensional, yang melibatkan reorganisasi dan reorientasi semua sistem ekonomi dan sosial. Termasuk dalam hal ini adalah perombakan dalam kelembagaan, struktur sosial, administrasi, sikap mental serta mengubah adat istiadat dan kepercayaan. Hal ini dipertegas lagi oleh Katz, yang menekankan bahwa pembangunan adalah suatu usaha dari suatu kondisi kemasyarakatan tertentu ke dalam suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih bernilai (more valued) (Katz, 1970):

“Development as major societal change from one state of national being to another, more valued state. It involves a complex of mutually related economic, social, and political changes”.

Sasaran akhir dari sebuah pemberdayaan adalah terciptanya suatu kesejahteraan yang dialami secara bersama oleh masyarakat. Dalam hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Isbandi (2003), kesejahteraan itu dapat didefinisikan sebagai:

“...suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia...”.

Pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk meningkat kemampuan dan potensi masyarakat miskin agar dapat memecahkan masalahnya secara mandiri dan berkelanjutan. Upaya pencapaian tujuan pemberdayaan ini dapat terjadi apabila kesadaran masyarakat tentang implementasi nilai moral dan keswadayaan masyarakat pesisir, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pemberdayaan adalah pembebasan diri dari ketergantungan materi

Lebih jauh, Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasi dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri. Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan suatu sistem yang berinterasi dengan lingkungan sosial dan fisik.

2.2 Masyarakat Pesisir

Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.

Namun untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi masyarakat pesisir yang luas ini tidak seluruhnya diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula

yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek.

Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.

Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan yang rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah

Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir . Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir. Karena itu sumberdaya perikanan mengambil peranan yang besar sebagai pengerak dinamika ekonomi lokal didesa pesisir.

Dalam konteks tersebut Kusnadi (2006) menyatakan bahwa, masyarakat nelayan merupakan pelaku utama yang menentukan dinamika ekonomi lokal dan kondisi ini merupakan merupakan hasil kebijakan pembangunan sektor perikanan sejak awal tahun 1970-an yang bertumpu pada orientasi produktivitas yang melahirkan berbagai perubahan penting dibidang sosial, ekonomi dan ekologi di masyarakat pesisir.

Sementara itu Dahuri (2002) menyatakan bahwa kebudayaan pesisir yang outward looking , kosmopolit, egaliter dan demokratis, sebagaimana ciri masyarakat pesisir menjadi resesif dalam kebudayaan nasional. Nilai-nilai tersebut dimasa kini menjadi penting untuk digali kembali, ketika bangsa Indonesia mulai membangun demokrasi dan tatanan masyarakat madani (civil society). Sedangkan dari perspektif mata pencahariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik toko, pengolah hasil tangkapan serta pelaku industri kecil dan menengah. Keberagaman jenis pekerjaan penduduk diwilayah pesisir ditentukan oleh sumberdaya ekonomi lokal (Kusnadi, 2006).

Lebih jauh Kusnadi (2006) mengemukakan sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan salah satunya adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan sehingga berdampak terhadap peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas kehidupan mereka. Untuk mengatasi diperlukan upaya sebagai berikut ;

1) Meningkatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar nelayan dapat menangkap ikan sepanjang waktu

2) Mengembangkan diversifikasi usaha berbasis sumberdaya lokal

3) Memperluas kesempatan kerja off fishing sehingga pendapatan rumah tangga nelayan tidak sepenuhnya bergantung pada pendapatan melaut.

pengalaman kerja, produksi dan biaya merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan dalam penelitian yang menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di tujuh desa tertinggal menyebutkan faktor-faktor yang menambah peluang kemiskinan rumah tangga responden yakni jumlah anggota keluarga, curahan waktu rumah tangga pada

sektor pertanian dan faktor jenis mata pencaharian utama. Sedangkan faktor yang mengurangi peluang kemiskinan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, luas sawah garapan setahun, luas sawah milik, total pendapatan dari kegiatan pertanian, total pendapatan dari kegiatan non pertanian dan curahan kerja rumah tangga pada sektor non pertanian.

Dokumen terkait