• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Lembaga Dakwah a Muzakarah Ulama

Kiprah Dakwah dan Pendidikan Serta Pengaruhnya Bagi Masyarakat

4. Organisasi Lembaga Dakwah a Muzakarah Ulama

Pada tahun 1973, K.H. Abdullah Syafi'ie bersama dengan ulama lainnya mendirikan Majelis Muzakarah Ulama. Untuk ide tersebut, K.H. Abdullah Syafi'ie datang sendiri ke rumah K.H. Abdussalam Djaelani mendiskusikan rencana tersebut. K.H. Abdussalam Djaelani mendukung rencana itu dengan kesediaan memberikan bantuan berupa tenaga, pikiran, dan dana. Bersama dengan K.H. Abdussalam Djaelani, menemui K.H. Abdullah Musa di Tegal Parang dan juga setuju dengan rencana tersebut.13 K.H. Abdullah Musa setuju untuk membuka Majelis Muzakarah Ulama. Mereka bertiga kemudian mulai bergerak. Mereka mengundang seluruh ulama di Jakarta tanpa memandang golongan, ide khilafiah dalam soal furu’iyah. Dalam forum itulah, para ulama dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis) senantiasa berdiskusi untuk membicarakan perkembangan dakwah dan pendidikan Islam saat ini. Pertemuan Majelis Muzakarah Ulama pertama kali di kediaman K.H. Abdullah

12

Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty

Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 19; lihat

pula Utomo Dananjaya, “Kedekatan K. H. Abdullah Syafi'ie dengan Gubernur

Ali Sadikin,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata

Para Tokoh…, h. 89.

13

Badaruzaman, “Goresan dan Kumpulan Tulisan,” dalam Tutty

Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 26.

Musa, yang kedua dilaksanakan di Masjid Attahiriyah, ketiganya di rumah K.H. Abdussalam Djaelani.14

Menurut Ridwan Saidi, K.H. Abdullah Syafi'ie berhasil mengumpulkan 1000 orang ulama membaiat padanya untuk menolak aliran kepercayaan. Adanya 1000 ulama yang memiliki integritas mendukung K. H. Abdullah Syafi'ie, Soeharto akhirnya Pak Harto urung melanjutkan idenya untuk mengakui Aliran Kepercayaan sebagai agama yang diakui di Indonesia.15

b. Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah- langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.16

Para pendiri tersebut terdiri atas dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. K.H. Abdullah Syafi'ie merupakan wakil dari propinsi DKI Jakarta.

14

Utomo Dananjaya, “As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,”

dalam Tutty Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985,

h. 26.

15

Ridwan Saidi, “K.H. Abdullah Syafi'ie Bertahta di Hati Ummat”

dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh,

Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 107

16

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article& id=49&Itemid=53, diakses tanggal 11 Desember 2011.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.

Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.

Dalam perjalanannya, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan

muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar. 17

K.H. Abdullah Syafi'ie aktif di Majelis Ulama Indonesia pada masa kepemimpinan Ketua Umum Prof. Dr. Hamka, K.H. Syukri Ghozali, dan K.H. Hasan Basri.

17

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49&It emid=53, diakses tanggal 11 Desember 2011.

K.H. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa sebagai orang yang pernah aktif di MUI DKI maupun MUI Pusat, K. H. Abdullah Syafi'ie adalah seorang yang tidak hanya ulama yang mengajak di surau, masjid, tetapi juga di berbagai lini melakukan kegiatannya. Dulu, Ali Sadikin yang sempat berseberangan dengan K. H. Abdullah Syafi'ie dan saling menuding di radio tetapi pada akhirnya juga akrab kembali. Jadi, menurut K.H. Ma’ruf Amin, beliau itu berhadap-hadapan mau, tetapi berangkulan juga mau kalau orang itu sudah kembali kepada yang benar. Kalau orang lain sudah baik maka akan dirangkul oleh K. H. Abdullah Syafi'ie, tetapi apabila bermusuhan beliau akan menghadapinya dengan gentlement. Beliau adalah sosok ulama yang berani memberika koreksi walaupun ketika itu mengeritik dan mengoreksi pejabat, apalagi gubernur, tidak ada yang berani.18

18

K.H. Ma’ruf Amin (Ketua MUI), K. H. Abdullah Syafi'ie Ulama

yang Keras Sekaligus Lembut” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah

Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 83

c. Badan Kontak Majelis Taklim

Seiring dengan semakin berkembangannya majelis taklim yang dibinanya, begitu pula dengan majelis taklim ibu- ibu yang dibina oleh putrinya Tutty Alawiyah, berkembang pula berbagai majelis taklim yang lain di Jakarta dan semakin ramai. Perkembangan majelis taklim tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga berkembangan di seluruh Indonesia. Semua majelis tersebut tentu saja dimaksudkan untuk pembinaan ummat Islam. Oleh karena itu, timbul ide agar lembaga-lembaga tersebut diwadahi dalam satu organisasi tersendiri. Dengan alasan itu, Tutty Alawiyah mempelopori dibentuknya organisasi yang mengkoordinasi kegiatan majelis taklim dengan nama Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Adalah K.H. Abdullah Syafi'ie yang meresmikan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) pimpinan putrinya tahun 1981.

Kiprah di Bidang Pendidikan

Dalam usianya yang masih muda, Abdullah Syafi’ie sudah mulai muncul ide-ide cemerlangnya. Ketika itu, Abdullah Syafi’ie membayangkan sebuah halaqah di rumahnya sebagai tempat diskusi. Cinta-cita itu kemudian disampaikan kepada ayahnya dan lokasi yang dipilih adalah kandang sapi yang ada di belakang rumahnya. Ayahnya pun setuju dengan keinginan Abdullah, maka berubahlah kandang sapi menjadi tempat pengajian. Setelah halaqahnya mulai berjalan, K.H. Abdullah Syafi'ie kemudian mendirikan masjid al-Barkah. Pada usianya yang ke 23 tahun atau pada tahun 1933, Masjid al-Barkah pun selesai dibangun di Bali Matraman.

Pada tahun 1940-an, Abdullah Syafi’ie telah membangun madrasah tingkat ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari kalangan keluarga dekat. Antara tahun 1954-1980, beliau mengembangkan lembaga pendidikannya dalam bentuk

pesantren. Institusi pesantren ini kemudian mengambil beragama bentuk, yaitu pesantren putra, pesantren putri, pesantren trandisional dan pesantren khusus anak yatim. Selain mendirikan pesantren, juga merintis pengajian bagi kaum ibu. Pada tahun 1948, Abdullah Syafi’ie telah mendatangkan guru bahasa Inggris untuk murid-murid madrasahnya. Setelah itu, beliau juga mendirikan sekolah umum (SMU) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), pendidikan taman kanak-kanak, majelis taklim, poliklinik, hingga universitas.19

Pada tahun 1968, beliau mengembangkan sayap pembangunan lembaga pendidikan Islam di Jatiwaringin Bekasi dan menjadikan kota itu sebagai kota pelajar. Pada tahun 1974- 1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978, membangun pesantren khusus untuk Yatama dan Masakin. Pengembangansarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke skitar Jakarta, seperti Cilangkap-Pasar Rebo, Payangan-Bekasi, Kampung Jakasampurna-Bekasi. Sebelum meninggal, beliau bercita-cita ingin punya pesantren al-Qur’an. Cita-cita itu diwujudkan oleh putranya K.H. Abdul Rasyid yang membangun pesantren al- Qur’an di Pulo Ari-Sukabumi dari tanah wakaf seorang pengusaha restoren Lembur Kuring, H. Sukarno, mewakafkan tanahnya seluas 3,3 hektar di Jl. Sukabumi – Cianjur. Pada awalnya tanah itu adalah tempat rekreasi. Sekarang, pesantren K.H. Abdullah Syafi'ie telah menempati tanah seluas 27 hektar dengan sarana bangunan yang cukup lengkap. K.H. Abdullah Syafi'ie telah meninggalkan 63 buah lembaga pendidikan Islam sebagai wujud cita-citanya yang mulia dalam rangka memajukan ummat Islam Indonesia.20

Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Abdullah Syafi’ie secara singkat adalah sebagai berikut:

1. Madrasah al-Islamiyah tahun 1940

19

Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Jakarta:

Penamadani, 2003), h. 113.

20

H. Adi Badjuri (mantan wartawan TPI dan Pengurus Besar Mathla’ul

Anwar), “Mengenal K.H. Abdullah Syafi’ie dari Dekat, “ dalam Tutty

Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan

Cendekiawan Muslim, h. 124.

2. Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (Pagi Sore) 1954 dan secara resmi berada di bawah Yayasan Perguruan Islam As- Syafi’iyah.

3. Madrasah Tsanawiyah lil Muballighin wal Muallimin tahun 1957.

4. SD, SMP, SMA, SMK as-Syafi’iyah

5. Pesantren putra dan pesantren putri 1963 (tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah).

6. Akademi Pendidikan Islam (AKPI) as-Syafi’iyah tahun 1965.

7. Pesantren Tradisional (Salaf) tahun 1977 8. Pesantren Khusus Yatim tahun 1977

9. AKPI menjadi Universitas Islam As-Syafi’iyah tahun 1984.

Dokumen terkait