• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdullah Syafei (1910-1985): Produk Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Abdullah Syafei (1910-1985): Produk Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Menurut Azyumardi Azra, jaringan ulama Nusantara dan Dunia Islam tidak hanya di wilayah yang sekarang dikenal dengan Timur Tengah, tetapi juga mencakup Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Oleh karena itu, Azra berargumentasi bahwa Islam Indonesia sangat kosmopolitan; terkait dengan dinamika dan perkembangan Islam di wilayah-wilayah lain Dunia Muslim, sehingga Islam di Indonesia tidak berkembang secara terpisah. Sayangnya, biografi ulama Nusantara secara lengkap masih sangat langka. Salah seorang pioner penulis buku biografi ulama Nusantra adalah Sirajuddin Abbas yang menulis Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah dan mulai muncul semacam ‘kamus biografi ulama’ mulai abad ke-17. Genre literatur tarajim (biografi) para ulama Nusantara sangat dibutuhkan. Kebutuhan itu bukan hanya untuk mengetahui biografi ulama tersebut, tetapi juga untuk merekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam. 1

Belakangan ini, kajian tentang ulama dan tokoh di Indonesia telah diakukan oleh berbagai kalangan akademisi dengan pendekatan dan disiplin keilmuan yang beragam. Secara umum, berbagai kajian dan penelitian itu telah membuktikan tingginya peran dan posisi ulama dan tokoh agama dalam perkembangan budaya, dakwah keagamaan, transmisi keilmuan-pendidikan keagamaan, perubahan sosial, dan pertumbuhan lembaga-lembaga keagamaan, dan pembentukan corak pemikiran keagamaan masyarakat sekitar. Bahkan, para ulama dan tokoh

1

Azyumardi Azra, “Pengantar” dalam Rakhmad Zailani Kiki dkk.

Genealogi Intelektual Ulama Betawi, (Jakarta: Jakarta Islamic Centre, 2011), h. xiv-xvi.

(2)

agama juga dipandang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan karakter bangsa, perjuangan kemerdekaan, perkembangan politik lokal, dan pengembangan wacana keagamaan di masyarakat. Sedemikian tingginya peran pengaruh agama bagi masyarakat sekitar, sampai-sampai kehidupannya memiliki pengaruh terhadap sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sebagainya.

Tentang pentingnya peran ulama dalam pembentukan corak keagamaan, transmisi keilmuan Islam, perkembangan pendidikan keagamaan dan lembaga sosial dan dakwah, tampak dari berbagai buku biografi ulama dan tokoh agama yang ditulis dalam beberapa dekade terakhir ini. Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya adalah: Biografi K.H. Zarkasyi (pendiri pesantren Darussalam, Gontor), K.H. E. Muttaqin (Ketua MUI Jawa Barat), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Prof. Dr. Hamka (ulama, mufassir, budayawan, sejarahwan), Prof. Dr. Harun Nasution (pembaharu Islam, Rektor IAIN [UIN] Jakarta), K.H. Saifuddin Zuhri (mantan menteri Agama, tokoh NU), dan sederet ulama dan tokoh agama lainnya. Dalam konteks penulisan biografi ulama dan tokoh agama Jakarta, antara lain dapat disebut buku yang ditulis oleh Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai Abad ke-21, (Februari, 2011) dan tulisan Ahmad Fadli HS yang menyusun buku Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 (Mei, 2011).

(3)

bagi pembentukan corak pemikiran keagamaan, memiliki jasa yang tidak kecil terhadap perkembangan lembaga keagamaan dan institusi pendidikan, memiliki karya intelektual yang patut dibanggakan dalam bidang keislaman, serta menjadi tokoh panutan bagi pembentukan watak keulamaan di tingkat lokal dan nasional.

Salah satu ulama yang lokal yang memiliki peran yang signifikan bagi pengembangan dakwah dan pendidikan di Indonesia adalah K.H. Abdullah Syafi’ie. Ulama ini mengalami masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang dan tinggal di pusat pergolakan dan perjuangan kemerdekaan di Jakarta. Beliau tidak pernah sekolah di Timur Tengah, bahkan dapat dikatakan tidak pernah keluar dari wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) untuk belajar, namun keulamaannya setara dengan ulama-ulama Nusantara di jamannya. K. H. Abdullah Syafi'ie adalah ulama yang berani mengatakan benar itu benar dan salah itu salah, seperti menetang masalah perjudian (kebijakan lokalisasi perjudian oleh Ali Sadikin, pen.). Sangat merakyat, pendiriannya kuat, dan ilmunya tinggi. Beliau tidak radikal tetapi tegas. “Keras dalam pendirian tetapi tidak radikal.”2 Selain itu, beliau dapat disebut sebagai ulama yang berpaham Ahlussunnah Waljama’ah (Nahdlatul Ulama) dalam paham keagamaan tetapi berpikiran Muhammadiyah dari segi pengembangan dakwah dan pendidikan dalam merespons modernisasi.

Masalah pokok yang dibahas dalam buku adalah bagaimana latar belakang sosial historis dan keagamaan serta kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie? Apa saja warisan intelektual dan lembaga pendidikan keagamaan K.H. Abdullah Syafi’ie? Dan bagaimana pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam pengembangan dakwah dan pendidikan Islam?

Dengan demikian, buku ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang sosial historis dan keagamaan serta kiprah K.H. Abdullah Syafi’ie; warisan intelektual dan lembaga pendidikan keagamaan beliau; pemikirannya dalam bidang dakwah dan

2

H. M. Yusuf Kalla, “K.H. Abdullah Syafi’ie Ulama Yang Merakyat,

Keras, Tetapi Tidak Radikal” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah

Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 3

(4)

pendidikan Islam; dan secara akademik, tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Islam di Betawi atau Jakarta pada masa-masa akhir penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Masa Kemerdekaan, Pascakemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru. Lebih khususnya menyangkut peran dan kipra ulama Betawi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi ummat Islam masa kini dalam memilih metode dakwah dan pendidikan dalam rangka menjadikan Islam sebagai solusi bagi permasalahan masyarakat modern; dan secara praktis, buku ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah, khususnya kementerian agama, dalam melakukan pembinaan masyarakat menuju masyarakat seutuhnya, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinaungi oleh keberkahan dan rahmat dari Allah Swt.

Sebetulnya, tulisan mengenai K.H. Abdullah Syafi’ie sudah cukup banyak yang mengungkap berbagai hal, seperti riwayat hidup, pemikiran, dan kiprahnya sebagai ulama. Tulisan-tulisan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, buku yang disunting oleh Hj. Tutty Alawiyah berjudul K.H. Abdulllah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985 yang diterbitkan oleh Yayasan Alawiyah Jakarta tahun 1999. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dengan penulis Hj. Tuti Alawiyah, Utomo Dananjaya, Badaruzzaman, Sulastomo, dan Adi Badjuri. Dalam buku tersebut, Hj. Tuti Alawiyah menyatakan bahwa ayahnya (K.H. Abdullah Syafi’ie) bukan saja sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai pengabdi pada dunia pendidikan Islam. Ia mengelola dan mengembangkan madrasah/pesantren dari tahun ke tahun dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia mendidik para siswa baik laki-laki maupun perempuansebagai kader-kader yang pada waktu itu disebut sebagai musā’id-musā’idah (para penolong). Mereka inilah yang kelak menjadi ustaz dan ustazah. K.H. Abdullah Syafi’ie adalah seorang guru yang tawaduk dan di setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa dirinya adalah

(5)

Dalam buku tersebut, Utomo Dananjaya menulis artikel dengan judul “K.H. Abdullah Syafi’ie - Khādimutthalabah Pergu -ruan Al-Syāfi’iyah (Kharismatik dan Rendah Hati). Dananjaya memastikan sebutan Khādim al-Ṭalabah (pelayan para siswa) kepada K.H. Abdullah Syafi’ie. Dalam tulisan tersebut diketahui bahwa K.H. Abdullah Syafi’ie sendiri karena rendah hatinya tidak berkenan menempelkan huruf “K” (singkatan dari Kiai) di depan namanya. Sehari-hari ia menyebut dirinya sebagai ustaz kepada murid dan jamaahnya. Sifat kerendahan hati itulah yang menjadikan K.H. Abdullah Syafi’ie mendapatkan kepercayaan dari berbagai kalangan.

Sementara Badaruzzaman dalam tulisannya yang berjudul “Goresan dan Kumpulan Tulisan” menggambarkan bahwa K.H. Abdullah Syafi’ie hingga usianya 70-an dihabiskan untuk dakwah islamiyah. Beliau telah membangun masjid, musalla, dan langgar. Beliau juga membangun pesantren, madrasah, dan tempat kegiatan keagamaan lainnya. Berbagai komentar tokoh, seperti HAMKA, Yunan Nasution, Osman Raliby, dan K.H. Hasan Basri, juga ditampilkan dalam tulisan ini. Sulastomo dalam artikelnya “K.H. Abdullah Syafi’ie” menuliskan kekagumannya kepada beliau karena walaupun sangat sibuk tetapi tetap mau menerima tamu walaupun sebentar. Dan tulisan terakhir dari Adi Badjuri dengan judul “K.H. Abdullah Syafi’ie” menjelaskan beberapa isi ceramah beliau yang pernah diikutinya. Badjuri juga menjelaskan bahwa setiap pagi, siang, sore, dan malam, K.H. Abdullah Syafi’ie duduk bersila membaca kitab al-Naā’iḥ

al-Dīniyyah, Tafsīr Jalālain, dan Riyāḍ al-Ṣāliḥīn.

(6)

Syafi’ie, kiprah dan peranannya dalam perkembangan Islam di Jakarta, serta lembaga pendidikan Pesantren Al-Syafi’iyah yang dibinanya.

Ketiga, buku yang ditulis oleh Abuddin Nata dengan judul Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia yang diterbitkan oleh Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2005. Dalam buku ini, secara sekilas dijelaskan tentang ketokohan K.H. Abdullah Syafi’ie dalam pembaruan pendidikan di Indonesia.

Keempat, sebuah tesis magister yang ditulis oleh Nur Rahmah dengan judul Model Pendekatan Dakwah K.H. Abdullah Syafi'ie pada pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005. Tulisan ini menyoroti beberapa pendekatan yang digunakan oleh K.H. Abdullah Syafi'ie dalam berdakwah, mulai dari pendekatan tradisional hingga pemanfaatan teknologi informasi modern.

Kelima, buku yang disunting oleh Hj. Tuti Alawiyah yang berjudul Kepemimpinan dan Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, diterbitkan oleh Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta tahun 2010. Buku ini khusus menyoroti bagaimana gaya kepemimpinan K.H. Abdullah Syafi’ie dalam mengelola perguruan as-Syafi’iyah dan kepribadiannya. Di dalamnya juga terdapat berbagai komentar ulama, tokoh masyarakat, para dosen, santri, dan jama’ah yang pernah berguru kepada beliau.

Keenam, buku K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial yang juga disunting oleh Hj. Tuti Alawiyah dan diterbitkan oleh Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta tahun 2010.

(7)

Kedelapan, buku yang ditulis oleh Ahmad Fadli HS dengan judul Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Buku ini diterbitkkan oleh Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, tahun 2011. Penulis buku ini menyajikan secara singkat sosok K.H. Abdullah Syafi’ie sebagai salah satu ulama Betawi yang cukup berpengaruh di era pasca kemerdekaan dalam pengembangan Islam di Jakarta pada khususnya.

Memperhatikan buku-buku yang telah ditulis mengenai K.H. Abdullah Syafi’ie, maka hampir tidak ada lagi aspek yang tersisa. Untuk itu, tulisan ini hanyalah usaha untuk merekonstruksi kembali riwayat hidup K.H. Abdullah Syafi’ie serta kiprahnya dalam pengambangan dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan penelusuran bahan pustaka. Pengumpulan data melalui wawancara yang penulis lakukan hanya dengan beberapa orang saja, karena sejumlah informan kunci (key informan), meliputi istri, anak, saudara, murid, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan teman seperjuangan telah memberikan informasi tentang figur yang diteliti. Bahkan, komentar beberapa tokoh politik, pejabat pemerintah setempat, tokoh pemuda, penguasaha, budayawan, dan sebagainya juga telah dilakukan secara lengkap oleh Tutty Alawiyah AS sebagaimana termuat di dalam bukunya.3

Sementara teknik pengamatan dilakukan untuk memahami lingkungan sosial, ekonomi budaya, dan keagamaan di daerah K.H. Abdullah Syafi’ie berkiprah; untuk mengenali lebih dekat perkembangan dari perjalanan lembaga keagamaan yang didirikan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie; dan mengenali pengaruh kiprah dan pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam kehidupan dan praktik keagamaan masyarakat. Adapun telaah dokumen meliputi buku-buku yang ditulis K.H. Abdullah Syafi’ie; bahan materi dakwah dan bimbingan agama yang ditulis oleh K.H. Abdullah Syafi’ie; dan okumen lain yang menyangkut K.H.

3

Lihat Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie di Mata Para

Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, (Jakarta: UIA, 2010); dan Tutty

Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa Melalui

Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, (Jakarta: UIA, 2010).

(8)

Abdullah Syafi’ie dan kiprahnya dalam pengembagan Islam dan pembinaan umat.

Pendekatan penelitian dan penulisan biografi ulama dan tokoh agama ini tentu menggunakan pendekatan sejarah, dengan melihat dan mengkaji seluruh aspek kehidupan sang tokoh. Dengan perspektif ini, diharapkan dapat diungkap keseluruhan sosok K.H. Abdullah Syafi’ie, mulai dari latar belakang keluarga, latar sosial, perjalanan hidup, kehidupan keluarga, dan rumah tangga, perannya dalam kegiatan dakwah dan pendidikan, corak pemikiran dan karya-karya keagama-annya, kitab-kitab dan tokoh yang mempengaruhinya, warisan kelembagaan, pengaruh pemikirannya bagi masyarakat, guru-gurunya, murid-muridnya, dan lain sebagainya. Yang tidak kurang pentingnya adalah tantangan yang dihadapi dalam seluruh peran keulamaannya, pandangan murid dan tokoh masyarakat terhadapnya, ciri khas pakaiannya, gaya bicaranya, semangat keilmuannya, kepedulian sosialnya, dan pelbagai aspek human interest lainnya.

Dengan mempertimbangkan kemungkinan terbatasnya data tertulis tentang kehidupan K.H. Abdullah Syafi’ie, pengumpulan data dilakukan dengan mengandalkan pendekatan life history dalam konteks penekanannya pada wawancara dan kesaksian lisan (sejarah lisan) berbagai sumber data (istri, anak, saudara, teman seperjuangan, tokoh masyarakat, warga setempat, pengurus yayasan, tokoh politik, pengusaha, pejabat pemerintah, dan lain-lain sesuai dengan koteks permasalahan yang dialami.

Defenisi Operasional

1. Biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang yang ditulis oleh orang lain.

(9)

masyarakat, baik dalam bidang pendidikan maupun bidang pemikiran.4

3. Betawi adalah suatu kelompok komunitas masyarakat baru di Batavia (Jakarta sekarang) yang lahir dari hasil pembauran orang-orang yang berasal dari berbagai daerah di kepulauan Indonesia dan juga orang asing yang berasal dari berbagai negeri melalui pergaulan dan perkawinan.5 Buku ini terdiri atas lima bab, bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan, kegunaan, tinjauan pustakan, metolodogi, definisi operasional dan sistimatika penulisan.

Bab kedua membahas tentang sejarah hidup K.H. Abdullah Syafi'ie yang meliputi setting sosial budaya yang melingkupinya, kelahiran dan dibesarkan, kehidupan keluarga, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, dan akhir hayatnya.

Pada bab ketiga diuraikan tentang kiprahnya di bidang dakwah, keilmuan, dan pendidikan serta pengaruhnya kepada masyarakat Islam di Jakarta. Bab ini meliputi kiprahnya di bidang dakwah yang mencakup Majelis Taklim as-Syafi’iyah, pemba-ngunan Masjid Al-Barkah, pendirian stasiun radio siaran As-Syafi’iyah, dan pelembagaan organisasi dakwah Islam yang terdiri atas Muazakarah ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Di bidang pendidikan, K.H. Abdullah Syafi'ie juga menjdirikan banyak lembaga pendidikan, seperti pesantren putra putri, pesantren salafiyah, pesantren khusus yatim, dan perguruan tinggi. Bab ini juga menguraikan tentang karya akademik dan rekaman ceramah K.H. Abdullah Syafi'ie serta pengaruh dakwahnya bagi masyarakat Jakarta.

Bab keempat berisi tentang ide-ide pembaruan yang dilakukan K.H. Abdullah Syafi'ie selama hidupnya di bidang dakwah dan pendidikan Islam. Bab ini membahas ide pembaruan di bidang dakwah yang terdiri atas penamaan masjid dengan shigat bahasa Arab, dakwah melalui media massa, organisasi lembaga dakwah, dan pelibatan perempuan dalam dakwah. Di

4

Badri Yatim, “Peran Ulama dalam Masyarakta Betawi,” dalam Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), h. 132.

5

Siswantari, “Kedudukan dan Peran Bek Betawi dalam Pemerintahan serta Masyarakat di Jakarta (19800-1960), Tesis, Program Studi Ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Program Pascasarjana UI, Depok, 2000, h. 13.

(10)

bidang pendidikan, diuraikan tentang integrasi keilmuan dan modernisasi lembaga pendidikan Islam.

(11)

Sejarah Hidup K.H. Abdullah Syafi'ie

Setting Sosio-Historis dan Keagamaan

Terdapat beberapa versi mengenai awal masuknya Islam di Betawi. Pendapat yang umum dan populer adalah apa yang dikutip oleh Abdul Aziz bahwa Islam masuk di Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk mengusir pendudukan bangsa Portugis pada tanggal 22 Juni 1527.1 Menurut catatan Portugis, panglima tentara Demak yang berhasil mengusir mereka dari Kota Bandar Kalapa bernama Faletehan pada tanggal 22 Juni 1527. Ketika itu, Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon (1720M), nama pemimpin tentara tersebut adalah Fadhillah atau Fadhillah Khan. Setelah berhasil direbut, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta.2 Nama Fadhillah ini, menurut Uka Tjandrasasmita, lebih dekat dengan nama Fatahillah, sehingga yang dimaksud Faletehan dalam berita Portugis adalah Fadhillah Khan. Hal ini sekaligus mengoreksi pendapat Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya Critische Bershouwing van den Sejarah Banten (Diss. 1913) sampai karya “Hari Lahirnya Jayakarta” (1956) yang masih

1

Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, , h. 41.

2

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG,

2009), h. 152

(12)

berpendapat bahwa Faletehan (berita Portugis) sama dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.3

Ridwan Saidi, seorang budayawan Betawi, mengemukakan versi lain, yaitu bahwa Islam datang ke Betawi berawal dari kedatangan Syekh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro adalah seorang ulama yang datang pada tahun 1409 dari Kamboja. Berawal dari tahun tersebut, Ridwan Saidi membuat fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan Betawi. Sayangnya, Ridwan Saidi tidak menyebut nama Fatahillah, Dato Wan, dan Dato Makhtom pada fase perkembangan Islam Betawi tahun 1522-1650. Ridwan Saidi juga mengatakan bahwa pada fase lanjutan antara tahun 1650-1750 tidak ada rekam jejak ulama Betawi yang tertulis maupun lisan.4 Adapun fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527). Ulama yang masuk dalam fase ini adalah Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pengeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.

2. Fase penyebaran Islam lanjutan (1522-1650). Pada masa ini terdapat tokoh ulama Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda.

3. Fase penyebaran Islam lanjutan kedua (1650-1750). Pada fase ini terdapat nama Abdul Mihid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al-Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak, yang berbasis di Masjid al-Makmur, Tanah Abang.

4. Fase perkembangan Islam pertama (1750 sampai awal abad ke-19). Pada fase ini muncul nama Habib Husein Alaidrus Luar Batang, dan Syekh Junaid al-Batawi, Pekojan.

3

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 141-142.

4

Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…”, h.

11-12.

(13)

5. Fase perkembangan Islam kedua (dari abad ke-19 hingga sekarang).5

Pada fase perkembangan Islam terakhir ini, Abdullah Syafi’ie (1910-1985) mengambil peranan. Abdullah Syafi’ie telah mengalami pengalaman hidup dan banyak peristiwa sejarah yang dilaluinya. Ia berada di Jakarta ketika masa penjajahan Belanda (VOC), Jepang, lalu Belanda kembali lagi, masa kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Ini juga berarti bahwa ia sangat memahami betapa menderitanya hidup di bawah bayang-bayang para penjajah. Masyarakat pribumi dalam hal ini orang Betawi, selalu mendapatkan perlakuan diksriminatif dari para penjajah. Pada masa VOC saja, dapat dilihat bentuk pelapisan dan perbeda-an sosial perbeda-antara orperbeda-ang Eropa yperbeda-ang mendapatkperbeda-ankehidupperbeda-an yperbeda-ang mewah di Jakarta, sementara orang pribumi pada umumnya hanya mendiami rumah bambu dan beratap jerami. Mereka pun hanya bekerja sebagai petani, nelayan, serdadu, bahkan menjadi babu.

Sebagai bagian dari masyarakat Betawi, Abdullah Syafi’ie hidup dalam suasana pengembangan Islam dalam bentuk pengaji-an pada para guru mengaji atau ulama ypengaji-ang berasalah dari keturunan Arab Yaman atau Hadramaut. Tradisi keagamaan ini diteruskan dan diwariskan dari masa ke masa kepada masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi memandang bahwa para penjajah itu adalah kafir sehingga segala yang berbau penjajah harus dijauhi, termasuk bersekolah pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda. Orang Betawi ketika itu lebih senang belajar dari satu Muallim kepada Muallim yang lain, dari satu guru kepada guru yang lain.

Jepang datang memasuki Batavia tanggal 5 Maret 1942. Jepang menerapkan ajaran “Seikeirei”, yaitu kegiatan membung-kukkan badan sebagai penghormatan terhadap matahari. Hal ini sangat ditentang oleh ummat Islam, termasuk Islam di Batavia. Hal ini yang menyebabkan ditangkapnya Kiai Zainal Musrafa dan dibunuh. Ummat Islam Baravia sangat marah sehingga Jepang terpaksa berusaha meraih simpati mereka dengan menghidupkan kembali Majelis Islam Indonesia pada tanggal 13 Juli 1942

5

Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…, h.

12-13.

(14)

kemudian majelis ini berubah nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kemudian senjutnya menjadi partai politik pada tanggal 7 November 1945.

Pada awal kemerdekaan, perjuangan fisik tidak terlalu banyak dilakukan lagi, tetapi yang paling pokok dan krusial adalah menetapkan dasar dan simbol negara Republik Indonesia yang baru merdeka. Perdebatan mengenai dasar negara ini menjadi hangat. Masyumi sebagai wadah bagi ummat Islam dalam menyuarakan aspirasinya menginginkan Islam sebagai dasar, sementara kelompok lainnya yang diwakili oleh PNI tidak menginginkan Pancasila. Karena perdebatan itu, Soekarno dengan terpaksa membubarkan Masyumi dan menganggapnya sebagai partai terlarang. Selanjutnya, Soekarno membentuk Demokrasi Terpimpin dengan jargon NASAKOM (Nasional, Agamis, dan Komunis). Yang pada akhirnya Partai Komunis Indonesia melakukan percobaan kudeta melalui Gerakan 30 September 1965 dan berhasil menumbangkan rezim Soekarno yang selanjutnya digantikan oleh Soeharto.

Di masa Orde Baru, masyarakat Islam yang dipimpin oleh para alim ulama bersama-sama pemerintah bahu membahu memberantas komunisme sampai ke akar-akarnya. Setelah berhasil menumpas komunisme, ummat Islam mencoba menyam-paikan aspirasinya kepada pemerintah Soeharto mengenai kesatuan ummat Islam dalam wadah Masyumi serta member-lakukan Piagama Jakarta sebagai dasar negara, tetapi ternyata tidak mendapat respons yang baik. Yang ada waktu itu adalah marginalisasi politik Islam dengan menjadikan satu (fusi) partai-partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai-partai nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan partai pemerintah dalam Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya, Golkarlah merupakan motor pembangunan nasional.

Dari segi sosial budaya, di masyarakat Betawi telah berkembang tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka, yaitu pondok pesantren, madrasah, dan majelis taklim.

(15)

Sebelum kemerdekaan, model pondok pesantren di Betawi bersifat salafi. Pesantren yang terkenal ketika itu adalah yang didirikan dan dipimpin oleh K.H. Marzuki, Cipinan Muara. Mayoritas warga Betawi menyekolahkan putra-putrinya di pesantren Guru Marzuki, Cipinan Muara tersebut. Pada saat ini, model pesantren salafi di Betawi sudah tidak ada lagi. Yang mampu bertahan adalah pesantren salafi non pondok, seperti Pesantren al-Ihsan, Cakung Barat yang dipimpin oleh K.H. Hifdzillah.

Madrasah yang pertama kali berdiri di Betawi adalah Madrasah Jam’iyatul Khair yang didirikan oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab. Ulama Betawi yang pernah belajar di madrasah ini adalah Dr. Nahrawi Abdussalam al-Indunisi. Selanjutnya berdiri pula Madrasah Unwanul Falah yang didirikan oleh Habib Ali al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911. Murid-murid yang dididik di madrasah ini yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Betawi adalah K.H. Abdullah Syafii, K.H. Thohir Rahili, K.H. Jayadi Muhadjir, K.H. Haji Ismailo Pendurenan, K.H. Muhammad Naim Cipete, K.H. Fathullah Harun dan Mu’allim K.H. M. Syafi’i, Cepete, K.H. Muhammad Naim, K.H. Syafi’I Hadzami. Lalu berdiri pula Madrasah al-Ihsaniyah, di Salemba Tagelan, yang salah satu muridnya adalah K.H. Fathullah Harun.

Majelis Taklim merupakan lembaga pendidikan informal yang dikelola oleh masyarakat yang berbasis masjid dan mushalla. Menurut Ridwan Saidi dan Alwi Sahab, majelis taklim binaan Habib Ali Kwitang (Habib Ali al-Habsyi) merupakan yang pertama di Betawi dan mulai melakukan kegiatan pada tanggal 20 April 1870.6 Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh putranya, Habib Muhammad al-Habsyi dan cucunya Habib Abdurrahman al-al-Habsyi. Dari majelis taklim ini, muncul ulama-ulama besar Betawi, seperti K.H. Abdullah Syafi’ie (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyah) dan K.H. Thohir Rohili (pendiri perguruan Islam Ath-Thahiriyah).

Majelis taklim ini berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya. Salah seorang ulama

6

Disampaikan oleh Ridwan Saidi dan Alwi Sahab pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi, 27 Maret 2007 di JIC.

(16)

yang masuk kategori ini adalah Mu’allim K.H. Syafi’i Hadzami yang sangat ahli di bidang fikih mazhab Syafi’i dan memiliki pengaruh yang sangat luas hingga hari ini. Beliau benar-benar merupakan produk dari majelis taklim yang tidak kurang dari 11 majelis taklim yang didatanginya dalam rangka menuntut ilmu di berbagai bidang ilmu agama. Setelah menjadi ulama, beliau pun mengajar pada tidak kurang dari 30 majelis taklim dan telah mencetak beberapa ulama Betawi terkemuka, antara lain K.H. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, dan K.H. Abdurrahman Nawi. Mereka pun meneruskan kegiatan pendidikan di berbagai majelis taklim.7

Menurut K.H. Saifuddin Amsir, keberhasilan majelis taklim mencetak ulama Betawi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pendidikan informal ini tidak dibatasi oleh waktu seperti sistem kredit semester (sks) di perguruan tinggi saat ini; kedua, anak didik memiliki kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dipahami-nya kepada guru; dan ketiga, anak didik langsung dihadapkan kepada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.8

Sistim pendidikan majelis taklim di Betawi memang memungkinkan mencetak ulama. Hal itu dapat dipahami karena setiap pengajian melakukan kajian terhadap kitab-kitab utama yang jarang dikaji di perguruan tinggi secara tuntas. Kitab-kitab yang diajarkan di majelis taklim mencakup kajian tasawuf, fikih, hadis, tafsir, ilmu al-Qur’an dan sejarah. Kitab kategori tasawuf antara lain adalah Syarḥ Hidāyat al-Atqiyā’, Syarḥ al-Ḥikam,

Kifāyat al-Atqiyā’, Anwār al-Masālik, dan Tanbīh al-Mughtarrīn. Kitab kategori fikih antara lain Sab`ah Kutub Mufīdah, Fatḥ

al-Mu`īn, Bidāyat al-M ujtahid, Mughni al-Muhtāj, Minhāj al

-Ṭālibīn, al-Maḥallī, Fatḥ al-Qarīb, Kifāyat al-Akhyār, Fatḥ

al-Wahhāb, dan Tuḥfat al-Ṭullāb. Kitab kategori tafsir antara lain

Tafsīr Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Nasafī, dan Tafsīr Jalālain. Kategori kitab hadis antara lain Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, dan Nail

7

Rakhmad Zailani dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h. 25.

8

Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h.

26.

(17)

al-Auṭār. Kategori kitab ulum al-Qur’an adalah al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān. Kategori kitab sejarah adalah Tārīkh Muḥammad.9

Di sini juga perlu dikemukakan tentang sentra intelektual Betawi pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai latar belakang keulamaan K.H. Abdullah Syafi'ie. Kawasan yang menjadi sentra intelektual di wilayah Betawi, khususnya Jakarta pada masa itu adalah sebagai berikut:10

1. Pekojan, sebagai kawasan tempat lahirnya Syaikh Junaid al-Batawi. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal sebagai syaik al-masyayikh yang tekenal di dunia Islam Sunni sepanjang abad ke-19. Ulama lain yang berasal dari Pekojan adalah Muallim Rojiun, Kiai Syam’un Kampun Mauk (menurut dugaan), Guru Manshur Jembatan Lima, dan Guru Madjid Pekojan.

2. Mester, sebagai kawasan yang didiami oleh Syaikh Mujitaba.

3. Paseban, sebagai kawasan yang menjadi pusat kegiatan dakwah dan pendidikan Muallim Thabrani.

4. Cipinan Muara, sebagai wilayah yang menjadi basis Guru Marzuki. Pondok pesantren yang didirikannya telah melahirkan banyak ulama Betawi terkemuka.

5. Kuningan, merupakan pusat kegiatan dakwah dan pendidikan Guru Mughni.

6. Menteng Atas, sebagai pusat majelis taklim dan dakwah Guru Mahmud.

7. Gondangdia, sebagai basis pengajaran dan pendidikan Guru Khalid.

8. Basmol, yang merupakan sentra majelis taklim dan dakwah Guru Madjid Pekojan.

9. Cengkareng, yang merupakan poros majelis taklim di kawan ini adalah K.H. Usman Perak.

10.Tenabang, sebagai tepat mengajar dan dakwah Guru Mujib bin Sa’abah.

Pada masa Pasca-kemerdekaan sampai Orde Baru di mana K.H. Abdullah Syafi'ie berkiprah, sentra intelektual Betawi telah

9

Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi…., h.

27-28.

10

Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi….,

h. 30-31.

(18)

berubah sehubungan dengan meninggalnya generasi sebelumnya. Sentra intelektual yang tetap hanyalah Gondangdia di mana terdapat Muallim K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami; dan Kuningan yang merupakan tempat K.H. Syibromalisi melakukan kiprah keulamaannya. Selain itu, sentra ulama sudah berpindah sesuai dengan tempat kediaman ulama yang menjadi sentralnya. Wilayah itu meliputi Klender di mana K.H. Hasbiyallah; Matraman tempat K.H. Abdullah Syafi'ie, Kampung Melayu tempat pengabdian K.H. Thohir Rohili; Tegal Parang sebagai tempat pengajaran K.H. Abdul Razak Ma’mun; Pancoran tempat Syaikh Dr. H. Nahrawi Abdussalam; Cipete tempat Guru Naim; Kampung Baru-Cakung Barat di mana Guru Asmat berkiprah; Kampung Mangga Koja-Jakarta Utara di mana yang menjadi sentralnya adalah Mu’allim Rasyid; Mangga Besar sebagai tempat K.H. Abdul Hanan Said; Duri Kosambi yang merupakan tempat pengajaran K.H. Asirun; dan Rawa Buaya yang merupakan tempat Guru Ma’mun.11

Lahir dan Dibesarkan

Putri K.H. Abdullah Syafi'ie, Tutty Alawiyah AS, menulis tentang figur ayahnya yang lahir dari H. Syafi’ie bin H. Sairan dan Nona binti Sa’ari, seorang pengusaha kelahiran Betawi. Pengusaha grosiran mangga itu tinggal di Kampung Balimatraman, Tebet, Jakarta Selatan. Setiap harinya, H. Syafi’ie bin H. Sairan sang pengusaha mangga itu berpangkalan di Pasar Manggarai dan mendapatkan mangga dari Indramayu dan disalurkan grosiran ke berbagai pasar di sekitar Jakarta, sementara istrinya, Nona binti Sa’ari, membuat kecap untuk diperdagangkan (home industri).

H. Syafi’ie bersama istrinya Nona binti Sa’ari mempunyai tiga orang anak. Pada tanggal 10 Agustus 1910, Abdullah dilahirkan sebagai anak pertama. Abdullah memiliki dua saudara, yaitu Rogayah dan Aminah. Nona binti Sa’ari meninggal pada usia yang relatif masih muda, sehingga suaminya H. Syafi’ie

11

Rakhmad Zailani Kiki dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi….,

h. 31-32.

(19)

menikahi Siti Chodijah dari Kampung Celilitan. Sayangnya, dari pernikahannya yang kedua itu, H. Syafi’ie tidak dikaruniai seorang anak hingga dipanggil menghadap Allah Swt.12

Pada usianya 13 tahun, Abdullah Syafi’ie diajak kakeknya H. Rahimun dan neneknya Hj. Najehah untuk naik haji. Pulang dari haji, sekalipun kakinya terluka akibat terkena cangkul, Abdullah Syafi'ie tetap kuat tekadnya untuk menjadi seorang muallim. Dia diberikan hadiah oleh bapaknya berupa sepeda Releigh, sepeda mewah ketika itu, untuk digunakan pergi belajar agama. Dirinya tidak diperkenankan untuk mengurusi dagang yang dikelola ayahnya.13

Beliau memiliki portur tubuh tinggi besar. Dalam penampilannya, beliau kalau berpakaian biasanya memakai kopiah hitam, sementara kopiah putih dipakainya belakangan. Itulah gaya muslim Betawi, khas, dengan jas tertutup. Kadang juga memakai kacamata dan sorban putih di sampirin. Sampai kini belum ada lagi ulama seperti beliau dan Buya Hamka.14

Kehidupan Keluarga

Pada tahun 1928, Abdullah Syafi’ie menikahi seorang gadis yang bernama Rogayyah binti K.H. Ahmad Muchtar. Siti Rogayyah adalah seorang gadis terpelajar dan pernah berkesempatan menjadi pembaca al-Qur’an di Istana Negara di depan Presiden Soekarno pada tahun 1949. Dari pernikahannya, Abdullah Syafi’ie bersama istrinya memperoleh karunia 5 orang putra, yaitu Muhibbah, Tutty Alawiyah, Abdul Rasyid, Abdul Hakim, dan Ida Farida. Pada tahun 1951, Rogayah meninggal dunia dan pada tahun 1958, putra pertamanya, Muhibbah, juga

12

Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah

Catatan Lintas Sejarah” dalam Tutty Alawiyah (Ed.), Kepemimpinan dan

Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, (Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 2.

13

Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik

1910-1985, h. 12

14

Ridwan Saidi, “K.H. Abdullah Syafi'ie Bertahta di Hati Ummat”

dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh,

Ulama, dan Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 106-107.

(20)

meninggal. Setelah beberapa tahun ditinggal Rogayah istrinya, beliau menikah dengan Salamah atas ijin dari keluarga dan putra-putrinya. Dari pernikahan dengan Salamah, beliau dikarunia 10 orang anak, yaitu: Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’ie Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.

K.H. Abdullah Syafi'ie sangat dekat dengan para keluarganya, kepada istri, anak, dan familinya yang lain. Bila K.H. Abdullah Syafi'ie hendak bepergian, istrinya Hj. Rogayyah selalu yang memakaikan jasnya, sebaliknya bila Hj. Rogayyah yang bepergian K.H. Abdullah Syafi'ie selalu mendampinginya.15

Dulloh, sapaan akrab untuk Abdullah Syafie, mewarisi bakat dagang ayahnya. Ketika menuntut ilmu di berbagai tempat, dia telah berdagang barang-barang keperluan masyarakat berupa kain dan songkok. Bahkan, setelah aktif di masyarakat, dia dikenal sebagai ulama yang energik. Berbagai kegiatan yang dilakukan, mulai dari memberikan pengajian di beberapa majlis taklim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama yang kemudian berkembang secara luas, namun profesi dagangnya beliau lakukan, baik di daerah Jakarta maupun di luar Jakarta. Tampaknya, berdagang menjadi sumber ekonomi keluarga dan penopang dakwahnya. Dari hasil laba perdagangan itulah dijadikan modal untuk mendirikan dan mengembangkan institusi pendidikannya. Namun, yang sangat perlu mendapat apresisasi generasi muda Islam, bahwa betapa pun besar bakat dagangnya Abdullah Syafi’i tidak lupa terus menuntut ilmu pengetahuan agama.16

15

K.H. Syatiri Ahmad, “K.H. Abdullah Syafi'ie Disiplin Waktu, Gemar

Membaca, dan Santun Pada Istri” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H.

Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 100.

16

Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi Atas

Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pena Madani, 2003), h. 109.

(21)

Pengalaman Pendidikan

Abdullah Syafi’ie di waktu kecil sekolah di Sekolah Rakyat (SR) di Laan Meni Jatinegara selama 2 tahun, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ayahnya membawanya ke rumah guru-guru yang alim, para habib, dan ulama terkemuka di Jakarta ketika itu. Di antara guru-gurunya adalah Muallim Amin dan Mu’allim al-Musannif bidang ilmu nahwu dan beberapa kitab seperti Jurmiyah, Riyad al-Badiah, Kafrawi, dan lain-lain. Dari Muallim Subeki belajar kitab Asymawi, Mutamminah, dan Immiriti. Dari Muallim Subeki juga mulai berlajar pidato. Dari Muallim H. Ahmad Mukhtar kecuali belajar wirid, juga mendapatkan putrinya, Rugayyah sebagai istrinya. Ustaz Abdul Madjid dan K.H. Ahmad Marzuki bidang ilmu fiqh, dengan K.H. Ahmad Marzuki mendalami ilmu tasawuf dan tafsir, juga belajar berpidato ke Habib Alwi al-Hadad yang tinggal di kota Bogor. Kemudian, pada tahun 50-an kepada Habib Salim bin Jindan di Jatinegara menekuni bidang hadis.17

Abdullah kecil diberikan sepeda mahal dan pakaian yang sangat necis dan parlente. Ayahnya membayar guru-gurunya bisa lima sampai sepuluh kali lipat dar i pembayaran orang lain. 18 Ketika usianya 17 tahun, Abdullah Syafi’ie memperoleh pemberi-tahuan untuk belajar di langgar partikelir dan setahun sesudahnya (usia 18 tahun) berhasil membujuk ayahnya agar menjual sapi-sapinya karena kandangnya hendak dijadikan sebagai tempat belajar agama bersama dengan teman-temannya. Tempat itulah yang kemudian dijadikan lokasi untuk mendirikan madrasah pertama yang berdiri pada tahun 1928.

Pada usia 21 tahun, Abdullah Syafi’ie telah memiliki sertifikat pendidik atau beslit dari rachen scahf sebagai pertanda kelayakan menjadi guru. Di madrasah yang telah didirikan, beliau bersama istrinya Rogayah mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, dan ilmu-ilmu lainnya.

17

Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik

1910-1985, h. 12-13.

18

Tutty Alawiyah AS, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah

Catatan Lintas Sejarah” dalam Tutty Alawiyah (Ed.), Kepemimpinan dan

Keteladanan K.H. Abdullah Syafi’ie, , h. 2.

(22)

Keulamaan Abdullah Syafi'ie tidak hanya terbangun melalui kegiatannya mengikuti halaqah dari satu guru kepada guru yang lain, atau dari satu habib ke habib yang lain, tetapi yang paling kuat membentuk keulamaannya adalah kebiasannya berdiskusi, muzakarah dengan ulama lain, serta ketekunannya dalam membaca kitab setiap hari. Abdullah Syafi’ie, menempat-kan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di kemudian hari, yang memang telah tumbuh sejak usia muda dan berlanjut sampai usia tuanya. Yang menarik, selesai mendalami pelajarannya, lalu beliau mendiskusikannya dengan saudara-saudaranya atau di lingkungan tetangga rumahnya. Hingga usia tuanya, tradisi menuntut ilmu ini tetap tinggi sebagaimana dikatakan oleh K.H. Abdul Hakim putranya, “Dia meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya dibuat intisarinya. Bahkan, pada menit terakhir dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab. Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan semangat membaca yang kuat.19

K.H. Syatiri Ahmad—adik ipar dari istrinya Hj. Rogayyah—menceritakan bahwa K.H. Abdullah Syafi'ie sebagai orang yang disiplin, selalu membaca, dan menulis. Beliau sangat komitmen dengan waktu. Di meja kamarnya, beliau tidak bisa diam, selalu menulis, membaca, dan mengumpulkan kitab. Beliau memiliki sekretaris yang selalu menuliskan ceramahnya beliau, yaitu Ustadz Rohomi. Beliaulah yang selalu menyalin kutipan dari K.H. Abdullah Syafi'ie. Selain itu, juga ada sekretaris yang lain yang selalu membantu, seperti Satiri Nur dan Ahmad Muchtar. Itulah sebabnya sehingga rumah beliau berantakan, teapi oleh buku-buku yang menjadi gudang ilmunya. Beliau itu seorang yang kutu buku. Setiap hari, beliau tidak penah melewatkan untuk tidak membaca dan menulis.20

19

Lihat Hasbi, Pesantren dan Transfrmasi Sosial…, h. 111

20

K.H. Syatiri Ahmad, “K.H. Abdullah Syafi'ie Disiplin Waktu, Gemar

Membaca, dan Santun Pada Istri” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K.H.

Abdullah Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 100.

(23)

Menurut A. Ilyas Ismail, beliau cinta kepada ilmu pengetahuan. Semua orang, termasuk para ulama, teman seperjuangan, dan murid-murid yang mengenal beliau menge-tahui betul hobinya kepada ilmu pengetahuan. Karena cinta ilmu, Abdullah Syafi’ie menyempatkan diri untuk belajar setiap hari, tiada hari tanpa belajar. Belaiu membaca buku bukan hanya dimasjid atau dikelas sewaktu mengajar, tetapi di mana saja dan dalam keesempatan apa saja. Beliau senantiasa membaca dan membaca kitab pada saat datang ke proyek pembangunan sambil mengontrol tukang pun tetap disempatkan untuk membaca.21

Walaupun telah memiliki madrasah dan menjadi pembina Majelis Taklim di Masjid Al-Barkah, Abdullah Syafi’ie tetap saja gigih menuntut ilmu kepada guru-guru sampai ke Bogor, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad. 22 Silsilah keilmuan K.H. Abdullah Syafi'ie dalam kaitannya dengan guru-guru tempatnya belajar dapat dilihat dalam dua skema berikut ini. Skema pertama dibuat oleh Abdul Aziz tahun 2002 dan skema kedua dibuat oleh Ahmad Fadli HS tahun 2010.

21

A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam Melalui Pilar Dakwah, Pendidikan, dan

Sosial,” dalam Tutty Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi'ie: Membangun

Bangsa Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, h. 28-29.

22

Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah”, h. 3

(24)

Sumber: Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, 2002.

*Tahun lahir atau tahun wafat tidak dapat dilacak. Ulama Betawi Abad

ke-Isnad Ulama Betawi pada abad-17

Umar Bajunaid* Mukhtar Atharid* Umar Sumbawa*

(25)

Silsilah yang berdasarkan tahun lahir dan atau wafat yang lebih lengkap dapat dilihat pada skema yang dibuat oleh Ahmad Fadli HS. berikut:

Silsilah ini memeperlihatkan isnad para ulama Betawi kepada tiga ulama (Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid dan Umar Sumbawa) dan selanjutnya kepada dua ulama Haramain ternama abad ke-17 (Al-Qusyasyi dan Al-Zamzami).23 Dari beberapa ulama itu telah memproduksi ulama-ulama Betawi yang disegani yaitu K.H. Moh. Mansur (1878-1967),24 K.H. Abdul Majid

23

Lihat Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, h. 65; dan Ahmad

Fadhli HS, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan

Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011), h. 215-216.

24Moh. Mansur,

lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, ayahnya seorang yang alim yang meneruskan kepemimpinan masjid kuno di Kampung

(26)

(1887-1947),25 K.H. Ahmad Khalid (1874-1946),26 K.H Mahmud Romli (1866-1959),27 K.H. Ahmad Marzuki (1876-1934),28 dan

Sawah (sekarang bernama al-Mansyuriah) yang didirikan oleh kakek buyutnya yang bernama Abdul Muhit. Kepada ayahnya ia pertama kali berguru belajar agama, dan setelah ayahnya meninggal ia berguru kepada kakaknya kandungnya, K.H. Mahbub. Ia belajar di Makkah selama 4 tahun dan berguru kepada Syeikh Mukhtar Atharid Bogori, Umar Bajunaid Hadrami, Ali al-Maliki, Said al-Yamani dan Umar Sumbawa. Gurunya yang terakhir pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi, karena dianggap cakap dan rapih serta tertib tulisannya. Ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu fiqh, qira’at, ushul fiqh, beberapa cabang ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits dan ilmu falak; ia dikenal sebagai ahli falak. Abdul Aziz, Islam, h. 56; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi,

h. 107-112.

25

Abdul Majid, lahir di Pekajon tahun 1887, ayahnya bernama K.H. Abdurrahman bin Sulaiman Nur bin Rahmatullah – Rahmatullah ini konon masih keturunan Pangeran Diponegoro. Pertama kali ia belajar agama pada ayahnya sendiri. Setelah belajar di Makkah ia berguru ke Mukhtar Atharid, Umar Bajunaid al-Hadrami, Ali Maliki dan Said al-Yamani. Ilmu yang dipelajarinya adalah fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan bahasa Arab. Ia dikenal alim dalam tashawuf, tafsir, ilmu falak dan bahasa Arab. Di mata murid-muridnya ia k menunjukkan keluarbiasaan, yang dalam bahasa Arab, disebut

Khariqul ‘adab. Ia meninggal dan dimakamkan di Pesolo Bosmol. Abdul Aziz,

Islam, h. 57; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 113-117.

26 Ahmad Khalid

, anak orang biasa yang bukan ulama,ia berasal dari Bogor dan menikah dengan orang Gondangdia. Tidak ada catatan guru mengajinya yang paling awal, tetapi ia pernah bermukim di Tanah Suci selama 11 tahun. Guru-gurunya adalah Syaikh Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid. Ia belajar ilmu agama pada umumnya. Ia dikenal di kalangan ulama Betawi sebagai ahli hadits dan tashawuf. Ia terkenal di kalangan muridnya anti merokok dan suara radio. Ia dikubur di Tanah Abang dalam usia 72 tahun. Abdul Aziz, Islam, h. 57; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 99-101.

27 Mahmud Romli

, lahir daerah Menteng, asal usul yang lain tidak terlalu jelas. Para muridnya dan bahkan anaknya sendiri berprinsip tidak sopan untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kecuali kepada gurunya, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa diminta oleh muridnya. Sedikit informasi yang ada bahwa ia pergi ke Makkah bersama orang tua dan tiga saudaranya. Namun, mereka meninggal di sana kecuali Guru Mahmud. Ia kemudian mengembara di sana selama 17 tahun. Ia dikenal sebagai “jagoan” yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniannya berhadapan dengan siapapun. Ia dikenal sebagai ulama tafsir. Ia meninggal sekitar tahun 1959 – dalam usia 93 tahun. Abdul Aziz, Islam, h. 57;

Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 91-93.

28

Ahmad Marzuki, lahir tahun 1876 di Meester Cornelis, ayahnya bernama Ahmad Mirsad, merupakan keturunan keempat dari Sultan Laksana Mayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai

(27)

K.H. Abdul Mughni (1860-1935).29 Adapun Abdullah Syafi’ie berguru ke Guru Mahmud Ramli dan Habib Ali al-Habsyi yang keduanya memiliki isnad ke Ahmad Al-Qusyasyi dan juga kepada Guru Marzuki dan Guru Majid yang keduanya memiliki isnad ke Abdul Aziz Al-Zamzami.

Salah satu kebiasaan Abdullah Syafi’ie yang sampai sekarang masih diteruskan oleh putra-putri dan santrinya adalah setiap selesai shalat, memimpin dzikir, seperti membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali dan seperti juga pada umumnya ulama Betawi di acara tertentu membaca ratib Hadad.

Selatan, meninggal ketika usia Ahmad Marzuki 6 tahun. Melalui ibunya Siti Fatimah, ia diminta belajar agama ke kakeknya Syihabuddin al-Maduri, khatib dan pendiri masjid Rawa Bangke. Ia mendalami al-Qur’an kepada Haji Anwar dan belajar mengkaji kitab ke Sayyid Usman bin Muhamdmad Banashan yang kelak menjadi ayah tirinya. Di usia yang keenam belas tahun ia belajar di Makkah, berguru dengan Syakh Ali al-Maliki, Umar Bajunaid, Umar Sumbawa, Mukhar Atharid, Ahmad Khatib al-Minangkabau, Mahfudz At-Tremasi, Said al-Yamani, Abdul Karim al-Degestani dan yang lainnya dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, dan mantiq. Ia juga mendalami tashawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata. Setelah kembali ke tanah air, atas permintaan Usman Banahsan ia mengajar di masjid Rawabangke selama 5 tahun. Di sini ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya. Santrinya ditaksir sekitar 50 orang. Metode mengajarnya tidak lazim pada waktu itu, ia mengajar sambil berjalan di kebun dan berburu tupai. Santri belajar perkelompok sebanyak 5 orang untuk kitab yang sama. Seseorang dari mereka menjadi juru baca, selesai membaca Ahmad Marzuki m,emberikan penjelasan. Selesai satu kelompok dilanjutkan oleh kelompok yang lain, mengkaji kitab yang lain dengan metode yang sama. Mengajar dengan cara duduk dilakukannya untuk konsumsi masyarakat umum. Meskipun demikian ada pula santrinya yang mengikuti pelajarannya menjadi juru baca. Ia di samping guru agama, juga sibuk berbisnis (antara lain usaha taksi dalam kota dan angkutan bus trayek

Jakarta-Kerawang). Abdul Aziz, Islam, h. 58; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h.

101-106.

29Abdul Mughni

, lahir pada tahun 1860 di daerah Kuningan. Ia belajar agama pertama kali pada ayahnya, H. Sanusi bin Qais. Ia belajar pula ke H. Jabir dan Sayyid Usman bin Yahya. Dalam usia 16 tahun ia belajar di Makkah ke Syaikh Atharid, Umar Bajunaid, Said al-Yamani, Ali Maliki, Abdul Karim al-Dagestani, Mahfudz At-tremasi dan Muhammad Umar Syata. Setelah di tanah air, ia mengajar ilmu fiqh, tauhid, tafsir, hadits dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Ia dikenal ulama yang kaya harta, sehingga mengurus

kekayaannya itu sengaja menyewa pengacara. Lihat Abdul Aziz, Islam, h.

49-60; Ahmad Fadhli HS, Ulama Betawi, h. 86-90.

(28)

Ratib ini biasanya disebut dengan “wirid Betawi” karena tidak ditemukan pada komunitas etnis lainnya, dan juga selalu dibaca dalam kegiatan keagamaan yang penting seperti pada saat mengantar orang naik haji.30

Didorong ajaran Islam yang mewajibkan ummatnya menuntut ilmu hingga akhir inilah akhir hayatnya, Abdullah Syafi’ie menempatkan diri sebagai penuntut ilmu agama yang tekun dan tahan uji serta mengantarkannya menjadi ulama yang tangguh di kemudian hari, yang memang telah tumbuh sejak usia muda dan berlanjut sampai usia tuanya. Yang menarik, selesai mendalami pelajarannya, lalu beliau mendiskusikannya dengan saudara-saudaranya atau di lingkungan tetangga rumahnya. Hingga sampai usia tuanya, tradisi menuntut ilmu ini tetap tinggi sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hakim: “Dia meluangkan waktunya kurang lebih 4 jam setiap hari untuk membaca kitab, dan di setiap habis membaca kitabnya dibuat intisarinya.31 Bahkan, pada menit terakhir dia akan dipanggil Tuhan, dia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab, seperti yang diungkapkkan Abdul Rasyid, “Beliau memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan semangat membaca yang kuat, bahkan sebelum dipanggil Allah masih sempat mengingatkan sebuah kitab untuk dibaca.32

Adapun murid-murid K.H. Abdullah Syafi’ie yang menjadi ulama terkemuka antara lain, K.H. Saifuddin Amsir, K.H. Abdul Rasyid AS (putranya dan kini sebagai pimpinan Pesantren As-Syafi’iyah, Pulo Air, Lido, Sukabumi), Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS (putrinya, pimpinan Yayasan Perguruan Islam as-Syafi’iyah), K.H. Abdurrahman Nawi (pendiri Perguruan Al-Awwabin), K.H. Rahmat Abdullah, dan K.H. A. Syanwani (Tanah Sereal, Bogor).33

30

Lihat Abdul Aziz, Islamdan Masyarakat Betawi, h. 107. Bunyi salah

satu Ratib Hadad, yakni Bismillah alladzi la yadlurru ma’a ismibi syai’un fi

al-ardli wa la fi al-samai wa buwa al-sami al-‘amin.

31

Lihat Hasbi Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial…, h. 111

32

Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial…, h. 111

33

Rakhmad Jailani Kiki dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi, h.

86.

(29)

Pengalaman Organisasi

Di tengah kota Jakarta yang kompleks, Abdullah Syafi’ie tumbuh dan berkembang serta berinteraksi dengan penduduk ibukota Jakarta yang beranekaragam. Dia berinteraksi, berkenal-an, dan bersosialisasi dengan banyak orang yang bukan saja berasal dari etnis Betawi, tetapi juga berasal dari etnis Ambon, Bali, Jawa, dan Sumatera. Hasil dari interaksi itu, tumbuhlah kesadaran di dalam diri Abdullah untuk berkelompok atau berorganisasi. Dia aktif menjadi anggota partai politik Islam Masyumi, dan bergaul akrab dengan pemimpinnya seperti M. Natsir. Bahkan, dia dapat mengajak M. Natsir untuk bergabung dalam Mudzakarah Ulama yang beliau pimpin, yang biasanya dalam mudzakarah itu para peserta mengkaji agama melalui kitab kuning. Setelah Masyumi membubarkan diri, Abdullah Syafi’ie tidak lagi menjadi anggota partai politik mana pun.

Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memisahkan diri dari Masyumi, K.H. Abdullah Syafi'ie memilih Masyumi, sementara banyak ulama Betawi yang memilih bergabung dengan NU. K.H. Abdullah Syafi'ie bersama K.H. Sasih Kramat Jati dan K.H. Rahmatullah Sidik memilih menjadi kiai Masyumi bersama Habib Salim bin Djindang. Ia juga menjadi juru kampanye Masyumi pada pemilihan umum tahun 1955. Walaupun sering ikut kampanye, tetapi K.H. Abdullah Syafi'ie tidak suka terlibat dalam intrik-intrik politik. Beliau tampak kurang berselera bersama dalam jabatan politik. Hal itu pulalah yang menyela-matkan perannya sebagai guru sehingga madrasah dan lembaga pendidikannya semkin maju.34

Beliau tidak masuk dalam salah satu organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Perserikatan Muhamma-diyah, al-Wasliyah, Persatuan Islam (Persis), dan lain sebagai-nya.35 Walaupun tidak termasuk dalam ormas-ormas tersebut, namun beliau tetap bergaul dan akrab dengan tokoh-tokohnya. Apalagi pada tahun 1977, ia ikut mendirikan dan mengaktifkan

34

Tutty Alawiyah As (Ed.), K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik

110-1985, h. 18-19.

35

Tri Sutrisno, “KH. Abdullah Syafi’ie: Ulama Besar yang Rendah

Hati,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah Syafi'ie di Mata Para

Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 17.

(30)

diri di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ia menjadi Ketua I di MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia dipercaya menduduki jabatan puncak sebagai Ketua Umum MUI di DKI Jakarta dan kemudian pada tahun 1982, ia ditunjuk sebagai anggota penasihat MUI Pusat yang diketuai oleh HAMKA.36

Abdullah Syafi’ie sebagai ulama, sangat diharapkan sumbang-sihnya di organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di organisasi MUI ini, dia menjalin komunikasi yang baik dengan Ali Sadikin sebagai gubernur DKI, dan menjadi mitra pemerintah dalam mendorong adanya modernisasi atau pemba-ngunan di segala sektor kehidupan masyarakat. Namun, dalam hal-hal tertentu, untuk membentengi moral masyarakat banyak kebijakan pemerintah DKI, dia kritik dan kritik itu ada yang mendapat perhatian, ada pula yang tidak. Misalnya kebijakan pemerintah dalam melokalisasi wanita tuna susila; melegalisasi perjudian dan sebagainya. Begitu pula denga kritiknya terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan berbagai kepentingan umat Islam.

Dalam hal melokalisasi wanita tuna susila, pemerintah DKI berpandangan vahwa pelacuran hal yang sudah berlangsung lama dalam kehidupan manusia. Upaya untuk membatasi ekses-ekses pelacuran agar tidak menjangkiti masyarakat luas, karena sering dilakukan di sembarang tempat, pemerintah mengajukan konsep “lokalisasi” untuk mengatasinya.

Kebijakan pemerintah itu sangat ditentang oleh Abdullah Syafi’ie dengan MUI-nya. Abdullah Syafi’ie berpandangan bahwa tindakan pemerintah yang telah melegalisasi perbuatan pelacuran sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pelacuran tersebut sangat dilarang agama karena termasuk perbuatan zina. Jangankan melakukan zina, mendekatinya saja tidak dibolehkan oleh agama. Karena itu, Abdullah Syafi’ie menentang keras upaya lokalisasi pelacuran yang dilakukan oleh Pemda DKI, walaupun hal itu masih tetap berlangsung.

Demikian pula yang berkaitan dengan kebijakan melegali-sasi perjudian. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) di bawah Gubernur Ali Sadikin telah melegalisasi perjudian. Ali Sadikin dan pemerintahannya memandang bahwa dana yang akan

36

Hasbi Indra, Pesantren dan Transfromasi Sosial…, h. 115

(31)

diterima dari hasil perjudian sangat besar dan dapat mendukung percepatan pembangunan kota Jakarta. Pemerintah berpandangan pula bahwa, daripada para penjudi itu berjudi ke negara lain seperti Singapura, lebih baik mereka berjudi di Jakarta serta ikut membangun kotanya.

Abdullah Syafi’ie dan MUI melihat kebijakan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama. Perbuatan itu sendiri di dalam agama Islam sebagai perbuatan dosa, karenanya hasil yang diperoleh melalui perjudian otomatis bersifat haram untuk dimakan dan dikonsumsi.

Pada contoh yang lain, terhadap adanya wacana di pemerintahan untuk mengambil jalan yang pragmatis untuk membakar orang yang meninggal dunia, atau memindahkan tempat pemakaman dari daerah Karet ke Tanah Kusir. Pemerintah DKI melihat bahwa kota Jakarta sudah sangat ramai dan padat, sementara itu, lahan yang ada sudah sangat terbatas untuk menampung semakin bertambahnya orang yang meninggal dunia. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya ada wacana yang berkembang di pemerintahan untuk membakar mayat. Abdullah Syafi’ie juga menentang wacana ini.37.

Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, ingin menerapkan pembatasan adzan pada waktu subuh sebagai respons dari banyaknya warga non Muslim, seperti daerah Menteng yang merasa terganggu dengan suara adzan. Ummat Islam di Jakarta marah dengan rencana itu. Dan yang paling keras dan terus-menerus menentang adalah K.H. Abdullah Syafi'ie karena memiliki radio siaran. Melalui radionya itu, K. H. Abdullah Syafi'ie menentang terus sampai akhirnya Ali Sadikin mundur dari jabatannya. Makanya, menurut K.H. Ali Yafie, yang paling berkesan dari sosok K.H. Abdullah Syafi'ie adalah berani sepanjang itu al-haq. Beliaulah ulama yang disebut al-dā’i ila

Allāh atau “berbicara menyampaikan agama Allah apa adanya. Beliau betul-betul berpegang kepada sabda Nabi Saw, “Qul

al-37

Dailami Firdaus, “Latar Belakang Pemikiran Dakwah K.H. Abdullah

Syafi’ie”, dalam Tutty Alawiyah AS, K.H. Abdullah Syafi’ie …, h. 14. Hasbi

Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial ..., h. 116-117

(32)

haqq walau kāna murra” atau “Katakan yang benar walaupun pahit.” 38

Itulah di antara ketegasan beliau, sehingga Tri Sutrisno menilainya sebagai orang yang memiliki sifat rendah hati yang senantiasa “Manghayu hayuning bawana, ibarat sugih tanpa bandha, ngluruk tanpa bala, dan menang tanpa ngasorake” (memelihara dan menyelamatkan dunia, ibarat orang yang kaya tanpa harta, berani tanpa bantuan, dan menang tanpa merendah-kan, pen.).39

Akhir Hayatnya

Abdullah Syafi’ie memilki semangat tinggi, di sela-sela memimpin MUI, ia tetap meluangkan waktunya untuk mengelola atau mengontrol institusi pendidikannya yang beraneka ragam mulai dari pondok pesantren, sekolah umum hingga Universitas Islam Al-Syafi’iyah (UIA). Dia meluangkan waktunya yang cukup untuk mengabdi di dunia pendidikan yang dia rintis. Selain itu, ia juga seorang muballigh yang handal dan orator yang hebat sehingga selalu diundang ceramah, bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti ke Negara Malaysia dan Singapura. Selain melalui forum majelis taklim ini, ia menyampaikan dakwahnya melalui pemancar radio yang didirikannya di Balimatraman. Risalah dakwahnya direkam di studionya agar dapat didengar oleh peminatnya di waktu yang lain.

Abdullah Syafi’ie, di saat ia memimpin MUI Jakarta, ia masih meneruskan aktivitas kesehariannya. Perjuangan yang dilakukannya telah banyak dirasakan dan banyak memberi manfaat kepada orang banyak, karena dilakukannya sejak ia masih muda hingga ke usia tuanya. Di usianya yang kurang lebih 75 tahun, fisiknya sudah sangat lemah, dia dirawat di Rumah

38

KH. Ali Yafie “K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Berani, Ikhlas, dan

Tak Jemu Berdakwah,” dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), K. H. Abdullah

Syafi'ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, h. 34.

39

Tri Sutrisno, “KH. Abdullah Syafi’ie: Ulama Besar yang Rendah Hati,” h. 10

(33)

Sakit Islam, dan tepat pada tanggal 3 september 1985 ia menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di Jatiwaringin Jakarta. Ia menerima rasa belasungkawa dari Presiden Soeharto,40 dan pemimpin MUI pusat mengajak kaum muslimin untuk melakukan shalat gaib.41

Lebih kurang 5 surat kabar Nasional dan Warta Berita Antara, dan mengungkapkan sejarah hidupnya. Harian Sinar Harapan memuat judul: “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Meninggal Dunia Selasa Dini Hari”;42 Pos Kota Berjudul: “Kita Kehilangan Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Tutup Usia”,43 Suara Karya mengambil judul: “Ulama Besar K.H. Abdullaah Syafi’ie Telah Tiada”;44 Pikiran Rakyat memberi judul: “K.H. Abdullah Syafi’ie Tutup Usia”; Kompas member judul: “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie Telah Tiada”.45 Pelita mengambil judul: “K.H. Abdullah Syafi’ie Berpulang ke Rahmatullah”,46 dan Widuarta Berita Nusantara yang berjudul “Ulama Besar K.H. Abdullah Syafi’ie”.47

40

Lihat Koran Harian Berita Buana, 4 Sepetember 1985.

41

Berita Buana, 6 Sepetember 1985.

42

Koran Harian Sinar Harapan, Selasa 3 Sepetember 1985.

43

Koran Harian Pos Kota, Rabu 4 Sepetember 1985.

44

Koran Harian Suara Karya, Rabu 4 Sepetember 1985.

45

Koran Harian Kompas, Rabu 4 Sepetember 1985.

46

Koran Harian Pelita, Rabu 4 Sepetember 1985.

47

Warta Berita Antara, 3 Sepetember 1985.

(34)
(35)

Kiprah Dakwah dan Pendidikan

Serta Pengaruhnya Bagi Masyarakat

Jakarta

Sebagai ulama, K.H. Abdullah Syafi’ie memiliki lima ciri yang menonjol. Kelima ciri ini membentuk kekhasan, identitas, dan sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh beliau dan membedakannya dan ulama-ulama yang lain,1 yaitu:

Pertama, beliau cinta kepada ilmu pengetahuan. Semua orang, termasuk para ulama, teman seperjuangan, dan murid-murid yang mengenal beliau mengetahui betul hobinya kepada ilmu pengetahuan. Karena cinta ilmu, K.H. Abdullah Syafi’ie menyempatkan diri untuk belajar setiap hari, tiada hari tanpa belajar. Belaiu membaca buku bukan hanya dimasjid atau dikelas sewaktu mengajar, tetapi di mana saja dan dalam keesempatan apa saja. Beliau senantiasa membaca dan membaca kitab pada saat datang ke proyek pembangunan sambil mengontrol tukang pun tetap disempatkan untuk membaca.

Kedua, beliau cinta kepada ulama. Ini merupakan kelanjutan logis dari ciri yang pertama. Karena cinta ilmu, maka beliau pun sangat mencintai orang-orang yang berilmu dan

1

A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah KH. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,”

dalam Tutty Alawiyah (Ed.), K.H. Abdullah Syafi’ie Membangun Bangsa

Melalui Dakwah, Pendidikan, dan Sosial (Jakarta: Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 28-30.

(36)

beramal dengan ilmunya. Beliau selalu bergaul dengan para ulama. Dalam kesehariannya, beliau seringkali menjamu para ulama yang mengunjunginya, baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam aktivitas dakwahnya, beliau juga membentuk semacam jaringan ulama, tidak saja di wilayah Jabodetabek, tetapi juga di daerah lain di pulau Jawa. Dalam pertemuannya dengan para ulama ini, K.H. Abdullah Syafi’ie mengembagkan diskusi-diskusi tentang berbagai hal yangpenting menyangkut pengembangan Islam dan masyarakat Islam. Dalam tradisi dikusi ini, lahir ungkapan beliau yang kemudian luas dikenal, yaitu ungkapan Niṣfu ra’yika ‘ala akhīka (separuh pendapatmu ada pada pikiran saudaramu). Ungkapan ini, menurut Utomo Dananjaya, mengandung semangat demokrasi, dalam arti kesediaan mendenarkan dan menghargai pendapat dan pemikiran orang lain di satu sisi, dan kelapangan untuk tidak a-priori terhadap pemikiran dan pandangan sendiri.

Ketiga, beliau sangat cinta kepada orang-orang yang mencari ilmu, yaitu pada santri/pelajar dan mahasiswa. Untuk yang satu ini, boleh dikatakan bahwa seluruh hidup Abdullah Syafi’ie didedikasikan untuk pentingan melayani para santri. Tak heran bila beliau disebut dengan gelar Khadum al-Thalabah (pelayan para pelajar). Istilah khadim juga mengandung makna kerendahan hati, tidak sombong.

Keempat, cinta kepada orang-orang yang lebih, seperti kaum du’afa. Hal ini beliau buktikan dengan mendirikan pesantren khusus anak-anak yatim dan orang yang tidak mampu, yaitu disebut dengan Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah. Ide ini termasuk sesuatu yang baru karena biasanya pendidikan khusus yatim dilembagakan dalam bentuk panti asuhan.

Kelima, cinta perjuangan (jihad) untuk kemuliaan Islam dan ummat Islam. Ini menjadi dasar danlandasan bagi semua ciri dan karakter K.H. Abdullah Syafi’ie sebelumnya. Aktivitas dakwah dan pendidikan yang dikembangkan beliau lahir dari semangat perjuangan jihad ini

(37)

membuat kawasan kota pelajar di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.

Kiprah di Bidang Dakwah

1. Majelis Taklim As-Syafi’iyah

Kiprah dakwahnya dimulai memulai membuka pengajian di rumahnya pada umur 17 tahun. Pada awalnya, beliau mengadakan semacam tempat diskusi dengan teman-teman dan keluarganya menyangkut berbagai masalah keagamaan. Semakin hari semakin banyak yang terlibat sehingga dibuatlah semacam majelis taklim. Maka, majelis taklim yang dibinanya mulai dirintis pada tahun 1928.

(38)

Majelis Taklim As-Syafi’iyah Minggu Pagi

Sementara untuk kalangan ibu-ibu dan remaja putri, pengajian dipimpin oleh Hj. Rogayah, istri K.H. Abdullah Syafi’ie. Setelah Hj. Rogayah meninggal, pengajian dipimpin oleh putrinya, Tutty Alawiyah. Pengajian kaum ibu Majelis Taklim As-Syafi’iyah merupakan pengajian yang fenomenal dan paling besar hingga saat ini. Pengajian ini sudah dikembangkan sehingga memiliki kurikulum dan materi ajar yang terstruktur. Dulu, pengajian hanya dilakukan dengan sistem “jiping” (Betawi: mengaji dengan menguping saja) tanpa ada materi ajar yang jelas. Metode pengajian majelis taklim dengan menerapkan kurikulum saat ini sudah mulai banyak yang menirunya.2

Majelis taklim yang dibina oleh K.H. Abdullah Syafi'ie sangat ramai. Majelis taklim untuk bapak-bapak rutin dilaksanakan pada setiap hari Ahad bertempat di Masjid Al-Barkah, sementara majelis taklim untuk ibu-ibu dipimpin oleh putrinya Tutty Alawiyah. Beliau pernah mengumpulkan jama’ahnya pada suatu acara tablik akbar di lapangan senayan Jakarta yang dihadiri oleh puluhan ribu orang.

2

A. Ilyas Ismail, “Konsep Dakwah K.H. Abdullah Syafi’ie: Membangun Masyarakat Islam melalui Pilar Dakwah, Pendidikan dan Sosial,” h. 33-35.

(39)

Sebelumnya, selama bertahun-tahun, majelis taklim hanya berpusat di Masjid Jami’ Kwitang yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi setiap hari Ahad. Setelah beliau wafat, maka K.H. Abdullah Syafi'ie mulai membuka pengajian atau majelis taklim. Pada tahun 1971, setelah dengan tekun dan dengan pertimbangan beberapa ulama maka dimulailah Majelis Taklim pertama di Masjid al-Barkah yang juga diadakan pada hari Ahad. Sejak itu pula, berbagai majelis taklim bermunculan di Ibukota. Majelis Taklim as-Syafi’iyah merupakan majelis taklim kedua sesudah majelis taklim Kwitang.3

Majelis taklim yang dibina tidak hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke Malaysia dan Singapura. Harian Pelita

3

Harian Terbit, 11 Maret 1984.

(40)

memberitakan bahwa K.H. Abdullah Syafi'ie bersama Tutty Alawiyah mendapat kehormatan melakukan lawatan dakwah ke Malaysia Timur. Undangan itu datang dari Menteri Pertahanan Malaysia Abubakar. Tempat-tempat yang dikunjungi adalah Serawak, Kota Kuching, Masjid Negeri, Masjid Kampung Lintang, Masjid Patra Jaya, Gedung Aula Majelis Islam Serawak, Komplek Tentara Brigade 4 Kuching, Intitute Teknologi MARA, Masjid Negeri di kota Cibu, Masjid kampung Bandung Cibu. Perjalanan mereka berlangsung dari tanggal 3 sampai dengan 11 Agustus 1984, dan pulangnya mampir satu malam di Singapura.4

K. H. Abdullah Syafi'ie dikenal sebagai “singa podium” di kalangan rakyat Betawi. Suaranya lantang, tetapi berisi dan menyejukkan. Kesan mendalam dari dakwah beliau, menurut Harmoko, selalu menggunakan bahasa yang terang dan sederhana sehingga dapat dicerna oleh rakyat. Dakwahnya yang sejuk dan menyentuh hati serta meningkatkan ketakwaan dan keimanan dan itulah yang seharusnya dikembankan di pesantren. Beliau tidak pernah menyinggung masalah politik. Memang menyenangkan, karena beliau mampu menempatkan dakwah Islam dan soal politik dalam porsi yang tepat.5

4

Harian Pelita, 1 September 1984.

5

Harmoko, “K.H. Abdullah Syafi'ie Berdakwah dengan Bahasa

Terang,” dalam dalam Tutty Alawiyah AS (Ed.), KH. Abdullah Syafi’ie di

(41)

2. Pembangunan Masjid

Setelah mulai banyak jama’ah yang mengikuti majelis taklim yang dibinanya, K.H. Abdullah Syafi'ie sangat berkeinginan untuk mendirikan masjid karena tempat yang selama ini digunakan sudah tidak lagi memadai untuk menampung jama’ah yang semakin hari semakin besar.

Setelah halaqahnya mulai berjalan, Abdullah Syafi’ie kembali punya keinginan untuk melengkapinya dengan membangun masjid. Abdullah Syafi’ie ingin segera memiliki masjid sehingga ingin membeli tanah dan telah menentukan lokasi. Sayangnya, uang dimilikinya tidak cukup untuk membeli tanah. Kemudian, Abdullah Syafi’ie mendekati istri dan ibudanya untuk meminta dukungannya membangun masjid. Akhirnya, kedua wanita hebat itu bersedia membantu dengan menyerahkan kalung emas permata untuk djual dan membeli tanah wakaf untuk masjid.

Pada usia 23 tahun, Abdullah Syafi’ie mulai merancang pembangunan Masjid Al-Barkah di kampung Bali Matraman. Masjid ini berdiri atas usaha dan pengorbanan beliau, orang tua, dan istrinya. Ketika itu, masjid-masjid yang ada di wilayah Jakarta tidak diberi nama khusus dan biasanya dikenal berdasarkan kampung tempatnya berdiri, seperti Masjid Manggarai, Masjid Kebon Jeruk, Masjid Matraman, dan lain sebagainya. Berdirinya Masjdi Al-Barkah merupakan pembaruan bagi penamaan masjid-masjid yang ada di Jakarta pada umumnya. 6 Pada tanggal 15 November 1933, Habib Ali bin Abdurrahman dari Kwitang datang meresmikan Masjid Al-Barkah. Upacara peresmian dilakukan setelah shalat magrib, dengan hiasan lampu terang benderang di sekitarnya.7 Dari masjid ini, Abdulah Syafi’ie lebih menekuni pembinanaan masyarakat ummat, mengajak mereka ke jalan Alah.

Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim,” (Jakarta: Univeristas Islam As-Syafi’iyah, 2010), h. 39-40.

6

Tutty Alawiyah, “Mengenal Figur K.H. Abdullah Syafi’ie Sebuah Catatan Lintas Sejarah”, h. 3

7

Utomo Dananjaya, “K.H. Abdullah Syafi'ie Khodimatuthalabah Perguruan As-Syafiiyah: Kharismatik dan Rendah Hati,” dalam Tutty

Alawiyah, K.H. Abdullah Syafi'ie Tokoh Kharismatik 1910-1985, h. 13.

Referensi

Dokumen terkait

4 Pada Penilaian Kompetensi Penyelenggara Layanan yang dilakukan oleh Ombudsman RI berfokus pada reaksi penyelenggara layanan dalam hal Tahu atau Tidak Tahu serta

Posisi dalam pekerjaan mendapatkan hasil bahwa ketua tim memiliki ekspektasi terhadap penerapan jenjang karir lebih tinggi dari pe- rawat pelaksana Penelitian Han dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative dan permisive akan menciptakan lebih banyak anak yang memiliki harga diri

AMPAS TAHU DALAM UPAYA PEMANFAATAN LIMBAH TAHU SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DI DESA PASUNCEN KECAMATAN TRANGKIL KABUPATEN PATI. PKM Pengabdian

Selain variabel responsiveness (daya tanggap), pada variabel tangible (bentuk fisik) rata-rata jawaban juga menunjukkan jawaban tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju

Total phenolicic content of the six seeded pummelo cultivars were 1.24 to 2.28 mg GAE ml -1 , Banyuwangi cultivar had the highest total phenolic content followed

Upaya menghambat penurunan jumlah energi tak-terbarukan dengan memanfaatkan energi terbarukan salahsatunya adalah energi air untuk PLTM, berdasarkan

Program PKW, PKK, dan Magang dilakukan berbasis pada SKL dan menggunakan acuan kurikulum berbasis kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). Selanjutnya, SKL digunakan