• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Osteoporosis

Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang (Sabri 2000; Anderson et al. 2008), sehingga kepadatan tulang berkurang atau tulang menjadi keropos. Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang (Palmer 1993; Shin et al. 2007).

Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan, hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum alkohol, serta warna kulit (Lane, 2001

Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa tulang berubah seiring dengan bertambahnya usia dan jaringan tulang yang

19 hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk. Pada usia remaja, pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya (Karlson et al. 1995). Setelah usia antara 35-40 tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 % per tahun. Wanita pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai 2% per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang (Endris dan Rude 1994).

Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula. Kedua proses tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling

(Eriksen et al. 1994). Selanjutnya Croucher et al. (1994) menegaskan bahwa struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang. Pada penelitian lain, Kalu et al. (1993) menyatakan bahwa penentuan dasar proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional.

Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet (Sabri 2000). Tingginya konsumsi fosfat mengakibatkan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengganggu homeostasis kalsium terutama pada manula (Anderson 1996). Calvo dan Park (1996) juga menyebutkan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh faktor defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor.

Manifestasi klinis osteoporosis adalah rasa nyeri, yang baru timbul setelah ada komplikasi seperti fraktur dan deformitas. Akibat lanjut permasalahan osteoporosis pada wanita pascamenopause terdiri atas 75 % patah tulang lumbal (fraktur vertebrae) dan 25 % patah tulang paha (Gambar 7). Fraktur tulang lumbal, sering terjadi tanpa gejala, bila terdapat nyeri maka nyeri

20

Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis (dimodifikasi dari Wark 1993)

yang dialami bersifat akut, terlokalisasi pada tulang belakang, rasa nyeri akan berkurang setelah 2-6 minggu. Keadaan kifosis oleh karena fraktur akan muncul secara bertahap sehingga makin lama makin tampak nyata. Fraktur tulang paha biasanya oleh karena adanya trauma atau jatuh. Fraktur ini ditandai dengan adanya rasa nyeri terlokalisasi pada daerah fraktur dan hilangnya fungsi tulang sebagai penyangga tubuh. Keadaan tersebut merupakan gejala khas osteoporosis (Rachman et al. 1996).

Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995; Goldberg 2004). Menurut Jubb et al. (1993), diagnosis osteoporosis stadium awal banyak mengalami kesulitan, apalagi jika hanya menggunakan metode diagnostik yang sederhana. Oleh karena itu, osteoporosis biasanya baru dapat terdiagnosa apabila penyakit sudah melanjut. Gambaran radiologi tulang penderita osteoporosis terlihat radiolucent, kepadatan tulangnya menurun, tetapi gambaran ini umumnya hanya akan terlihat pada kasus osteoporosis yang sudah melanjut. Tulang rapuh Mudah kena trauma Penyakit dan faktor sporadis Kehilangan massa tulang meningkat Menopause

Puncak massa tulang tidak optimal - Asupan makanan - Genetis Penuaan Densitas tulang rendah

21 2.2.1. Kalsium.

Kalsium sangat berperan dalam berbagai proses biologik seperti koagulasi darah, aktivitas enzim, kontraksi otot, eksitabilitas saraf, pembebasan hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang (Nieves 2005). Aktivitas tersebut di atas dapat berlangsung normal apabila kadar kalsium dalam darah berada dalam kisaran normal (Winarno 1998). Untuk mempertahankan dalam keadaan normal kalsium dipengaruhi oleh PTH, vitamin D, dan kalsitonin (Zhang et.al. 2006).

Penyerapan kalsium sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum bagian proksimal karena keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian usus yang lainnya. Penyerapan kalsium di usus halus berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu dengan transpor aktif dan transpor pasif. Mekanisme transpor aktif diatur oleh 1,25 - Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2

Kadar kalsium plasma normal berkisar antara 9,2-10,4 mg/dl (2,4 mEq/L), dari jumlah tersebut sekitar 6 % berikatan dengan sitrat, fosfat dan anion lain, sedangkan sisanya 94 % terbagi dua, yaitu bentuk yang terikat protein plasma dan bentuk terionisasi atau tidak terikat. Bentuk terikat protein plasma terutama dengan albumin (47 %) dan bentuk yang terionisasi atau yang tak terikat (47 %), dapat berdifusi melalui membran sel semipermeabel (Murray et al. 2003).

D], suatu bentuk vitamin D paling aktif yang diproduksi dalam ginjal (Baylink 2000; Parfitt 2005). Transpor aktif diatur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh yang meningkat, misalnya pada periode pertumbuhan, kehamilan, laktasi, atau pada saat diet rendah kalsium. Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2D] menyebabkan terbentuknya protein pengikat kalsium di sel-sel epitel usus. Protein tersebut berfungsi untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel, selanjutnya kalsium bergerak melewati membran basolateral dengan cara difusi terfasilitasi (Guyton 1996). Protein pengikat kalsium tetap di dalam sel plasma beberapa minggu sesudah [1,25-(OH)2D] dikeluarkan dari tubuh sehingga memperpanjang waktu absorbsi kalsium. Absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan biasanya berkisar antara 30-80 % dari total asupan kalsium. Tubuh manusia menyerap sekitar 20 % hingga 40 % kalsium dari makanan yang dikonsumsi, namun pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Penyerapan kalsium meningkat apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah. Sebaliknya penyerapan kalsium menurun apabila kadar kalsium darah tinggi (Murray et al. 2003).

22

Kalsium dalam bentuk ion diperlukan untuk mengatur sejumlah proses fisiologik dan biokimia penting termasuk eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses-proses yang sifatnya sekresi, integritas membran serta pengangkutan membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon serta neurotransmiter, dan kerja intrasel sejumlah hormon (Bringhurst 1995; Ganong 1995). Aktivitas biologik seperti tersebut di atas dapat berjalan normal apabila kadar kalsium berada dalam kisaran normal. Kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme homeostasis (Guyton 1996). Adanya perubahan 1-5 % dari kalsium darah menyebabkan mekanisme homeostasis mulai berperan untuk mengembalikan kadar kalsium pada kadar yang normal (Cunningham, 1992). Kalsium plasma berada dalam keseimbangan dengan kadar kalsium tulang yang siap melakukan pertukaran. Jumlah kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh PTH, kalsitriol, dan kalsitonin yaitu dengan cara memengaruhi transpor kalsium melalui membran yang memisahkan cairan ekstrasel dengan cairan periosteum (Ganong 1995).

Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka tubuh. Kalsium harus tersedia dengan cukup pada makanan untuk mempertahankan kadar normalnya dalam serum. Nutrisi rendah kalsium menyebabkan individu akan memasuki kehidupan dewasa dengan massa tulang yang kurang padat. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis (Ott 2002). Mulai usia sekitar 50-an pada pria dan saat menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan terjadi kehilangan massa tulang pada seluruh bagian dari kerangka. Kehilangan kalsium ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita (Eastwood 2003). Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun (Nguyen et al. 1995).

Kekurangan asupan kalsium atau gangguan penyerapan kalsium dari usus memberikan pengaruh berbeda pada berbagai tingkat usia. Apabila kondisi ini terjadi pada masa anak-anak maka akan menimbulkan penyakit rhakhitis atau osteomalasia pada orang dewasa (Parfitt 2005; Anderson et al. 2008). Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, 98-99 % dari jumlah kalsium yang difiltrasi akan diserap kembali (Cunningham, 1992). Penyerapan kembali dari kalsium 65 % terjadi di tubulus proksimal, sedangkan sisanya sebagian

23 besar diserap kembali melalui tubulus distal dan sebagian kecil melalui bagian asendens jerat Henle. Penyerapan kembali di tubulus distal merupakan proses transpor aktif yang diatur oleh hormon paratiroid (Ganong 1995; Parfitt 2005). Sebagian besar kalsium diekskresikan lewat tinja dan hanya sebagian kecil lewat urin. Ekskresi kalsium lewat urin maupun tinja menurun apabila terjadi hipokalsemia (Parfitt 2005)

2.2.2. Fosfor

Sebagai suatu bahan anorganik, kadar fosfor yang terkandung dalam tubuh manusia menempati jumlah kedua terbanyak setelah kalsium, dan kira-kira 85-90 % fosfor ini terikat dalam kerangka (Ganong 1995).

Fosfor plasma total sekitar 12 mg/dl, dua per tiga dari jumlah tersebut berupa senyawa organik dan sisanya merupakan fosfor anorganik. Fosfor anorganik dalam plasma terdapat dalam dua bentuk yaitu HPO4-

serta H2PO4-. Konsentrasi HPO4- adalah sekitar 1,05 mmol/L, sedangkan

konsentrasi H2PO4- sekitar 0,26 mmol/L. Apabila jumlah total fosfor dalam

cairan ekstraselular meningkat, kedua bentuk ion fosfor tersebut juga akan meningkat. Secara kimiawi sangat sulit untuk menentukan jumlah yang tepat dari HPO4- dan H2PO4-

Fosfor berfungsi antara lain sebagai unsur pembentuk tulang, energi metabolik, memelihara integritas membran, metabolisme asam nukleat, dan sebagai bufer (Linder 1985). Di dalam tubuh fosfor secara normal mempertahankan suatu keseimbangan dengan kadar kalsium yang serasi. Kadar fosfor dalam darah cenderung berbanding terbalik dengan kadar kalsium dalam darah. Naiknya salah satu dari ke dua unsur tersebut akan diikuti oleh turunnya unsur yang satunya (Cunningham 1992)

, hal ini karena jumlah total fosfor biasanya dinyatakan dengan miligram fosfor per desiliter (100 ml) darah. Jumlah rata-rata fosfor anorganik dalam plasma pada orang dewasa sekitar 4 mg/dl, yang bervariasi antara batas normal sebesar 3 sampai 4 mg/dl dan 4 sampai 5 mg/dl pada anak-anak (Guyton 1996).

Peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan konsentrasi fosfor serum, sementara kalsium yang terionisasi dalam serum akan mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang potensial dalam menyerap tulang. Jumlah normal fosfor yang masuk ke dalam tulang sekitar 3-4 mg/kg/hari, jumlah yang sama

24

meningggalkan tulang melalui proses penyerapan kembali. Fosfor dalam plasma disaring pada glomerulus melalui proses transpor aktif, 80-90 % dari jumlah fosfor yang disaring, sebagian besar diserap kembali melalui tubulus proksimal dan sebagian kecil diserap kembali malalui tubulus distal, sedangkan sisanya sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal (Cunningham 1992). Proses transpor aktif ini sangat dihambat oleh hormon paratiroid. Hambatan proses penyerapan kembali fosfor dalam tubulus proksimal dan distal akan mendorong terjadinya fosfaturia (Guyton 1996; Murray et al. 2003).

2.2.3. Vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan merupakan turunan dari senyawa sterol serta mempunyai beberapa bentuk senyawa dengan fungsi yang sama. Sebagian besar vitamin D terdapat dalam bentuk vitamin D2

(ergokalsiferol) dan vitamin D3

Vitamin D

(kolekalsiferol). Kedua vitamin tersebut mempunyai aktivitas biologik dan aktivitas nutrisional yang sama. Vitamin ini secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh untuk kelangsungan proses metabolisme sel normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang terkait dengan pembentukan jaringan tulang (Keith 1994). Fungsi utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral dari makanan (Muhilal dan Sulaeman 2004).

2 dibentuk melalui irradiasi sinar ultraviolet dari suatu sterol atau

ergosterol yang disintesis di dalam tanaman (Palmer 1993). Vitamin D3 dibentuk

di dalam kelenjar sebaseus kulit 7-dehidrokolesterol yang diubah oleh sinar ultraviolet menjadi previtamin D3 (Murray et al. 2003). Vitamin D3 yang disintesis

dalam kulit diangkut oleh α-1-globulin atau α-2-globulin (Palmer 1993) yang terkandung di dalam serum untuk selanjutnya dibawa ke hati (Guyton 1996), demikian halnya dengan vitamin D2 atau vitamin D3 suplemen yang berasal

dari makanan, setelah diserap di dalam usus (jejenum dan ileum) selanjutnya dibawa ke hati (Palmer 1993). Vitamin tersebut dapat berfungsi setelah diaktifkan melalui beberapa tahapan. Pengaktifan tahap pertama melalui hidroksilasi kolekalsiferol pada posisi C-25 dilakukan oleh enzim 25-hidroksilase,

25 sehingga terbentuk 25-hidroksikolekalsiferol (25-HCC). Proses ini terjadi di dalam sitoplasma sel hati (Guyton 1996). Perubahan vitamin D3 menjadi 25-

HCC diperlukan ion magnesium, NADPH, oksigen molekuler, protein sitoplasmik, dan sitokrom P450 untuk mengaktivasi enzim 25- hidroksilase (Ganong 1995; Guyton 1996). Aktivitas enzim 25-hidroksilase untuk mengubah kolekalsiferol menjadi 25-HCC juga diatur oleh suatu mekanisme umpan balik, oleh karena itu jumlah 25-HCC yang dihasilkan relatif tetap meskipun diberikan vitamin D3 dosis

tinggi (Bank 1993; Guyton 1996). Kolekalsiferol yang tidak mengalami hidroksilasi disimpan di dalam hati sebagai cadangan (Bank 1993) dengan demikian toksisitas akibat tingginya vitamin D3

Setelah terjadi proses hidroksilasi, senyawa 25-HCC berikatan dengan protein pembawa yang terdapat di dalam plasma secara cepat meninggalkan hati menuju ginjal (Bank 1993; Freskanich et al. 2003). Pengaktifan tahap ke dua, proses metabolik mengalami hidroksilasi di dalam mitokondria sel tubulus proksimal ginjal menjadi metabolik aktif yaitu 1,25-dehidrokolekalsiferol (1,25-DHCC) yang bertanggung jawab terhadap fungsi biologis utama vitamin D untuk mempertahankan serum kalsium dalam kondisi fisiologis normal melalui perannya pada usus, ginjal, dan tulang (Dawson-Hughes et al. 1997; Murray et al. 2003). Reaksi pembentukan senyawa 1,25-DHCC di dalam ginjal dirangsang oleh rendahnya kadar kalsitriol dalam plasma, kalsium, fosfor dan hormon paratiroid. Penurunan konsentrasi kalsium darah akan merangsang kelenjar hipofise untuk meningkatkan sintesis dan sekresi PTH (Guyton 1996).

dapat dicegah (Ganong 1995).

Metabolisme kalsium tulang tidak lepas dari peran vitamin D3 (kalsitriol)

pada saluran pencernaan dan sintesis vitamin D3 endogen. Apabila terjadi

kekurangan vitamin D, absorbsi kalsium dan fosfor berkurang sehingga menyebabkan hipokalsemia (Passeri et.al. 2008). Kondisi ini menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH dalam jumlah tinggi, yakni dengan menstimulasi secara tidak langsung aktivitas osteoklas untuk meningkatkan proses resorbsi tulang sehingga kalsium dan fosfor masuk ke dalam darah. Hormon paratiroid juga merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kalsium pada

tubuli dan meningkatkan ekskresi fosfat, serta mengubah 25-hidroksikolekalsiferol (25-OHD) menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol

26

[1,25-(OH)2D3] yang merupakan metabolit aktif vitamin D, yaitu vitamin D3.

Selanjutnya vitamin D3 ini

Vitamin D berpengaruh pada kemampuan osteoblas dalam memelihara kesehatan tulang. Pengaruh ini ditentukan oleh kemampuan vitamin D mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler yang cukup, agar dapat dideposisi ke dalam matriks tulang. Matriks tulang merupakan hasil sintesis osteoblas (Hollick 1996) dan vitamin D memengaruhi osteoblas melalui lintasan genomik maupun nongenomik. Lintasan genomik memengaruhi osteoblas melalui stimulasi biosintesis matriks yaitu meningkatkan produksi osteopontin (OPN) dan osteoklasin (OCN) (Khoury et al. 1995).

menstimuli usus halus untuk menyerap lebih banyak kalsium dan fosfor (Favus 1993).

Vitamin D memengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor pada organ target, yaitu usus halus, tulang, dan ginjal. Metabolit aktif vitamin D3

(kalsitriol) mempermudah penyerapan kalsium secara aktif di dalam usus halus dengan merangsang sintesis kalsium yang terikat dengan protein (Ilich-Ernst dan Kerstetter 2000). Vitamin D3 mempermudah masuknya

kalsium ke dalam sel melalui protein pengikat kalsium kalmodulin (Guyton 1996).

2.2.4. Hormon Paratiroid

Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon utama yang bertanggung jawab memelihara konsentrasi kalsium setiap saat. Pengaruh biologis yang sangat penting dari PTH meliputi: 1). meningkatkan kalsium plasma yang bersamaan dengan penurunan fosfat plasma, 2). meningkatkan ekskresi fosfat urin (fosfaturia), 3). meningkatkan resorbsi kalsium urin, 4). meningkatkan kecepatan remodeling tulang, 5). meningkatkan osteolisis osteosit, 6). membantu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D3

Sebagai respons terhadap keadaan hipokalsemia, PTH disekresikan oleh kelenjar paratiroid. Hormon ini mengikat reseptor khusus pada tulang dan sel tubulus ginjal. Pada ginjal, PTH merangsang produksi vitamin D yang disebut dengan 1,25-(OH)

dengan memengaruhi sistem 1-hidrolase, dan 7). meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat dari usus halus oleh pengaruh langsung pada pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol (Banks 1993).

2D3. Metabolit ini bekerja pada usus halus untuk merangsang

27 kalsium dari tulang. Pada saat yang sama 1,25-(OH)2D3

Pelepasan hormon paratiroid menyebabkan meningkatnya kalsium plasma. Pengaruhnya pada kerangka menyebabkan pelepasan 1,66 mol kalsium untuk setiap mol fosfor (Calvo et al. 1988; Banks 1993). Meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat meningkatkan absorbsi garam-garam kalsium dari tulang sehingga menimbulkan hiperkalsemia, sebaliknya hipofungsi kelenjar tiroid (menghasilkan kalsitonin) dapat menimbulkan hipokalsemia (Guyton 1996).

dan PTH menyebabkan ginjal meresorbsi lebih banyak ion kalsium, sehingga pada plasma dan kalsium ekstraseluler akan meningkat ke level normal (normokalsemia), dan akan menghambat sekresi PTH melalui puncak umpan balik yang negatif (Murray et al. 2003) (Gambar 8).

Pengaruh kalsitonin pada sel osteoklas dan osteosit bersifat antagonis terhadap aksi hormon paratiroid. Pengaruh kalsitonin pada ginjal mengimbangi aksi hormon paratiroid. Kalsitonin juga menunjukkan suatu pengaruh penghambatan penyerapan kalsium dan fosfor pada usus kecil. Pengaruh kalsitonin dalam sistem homeostasis di antaranya adalah: 1). mereduksi kalsium dan fosfor, 2). menghambat rangsangan hormon

Gambar 8. Peranan kelenjar paratioid dan kelenjar tiroid dalam homeostasis kadar kalsium darah.

Hormon mengaktifkan stimulasi osteoklas Reabsorpsi tulang melepaskan Ca ke darah Mengaktifkan stimulasi osteoblas Deposit Ca pada tulang

Sensor kel tiroid terhadap [Ca] darah Sensor kel paratiroid

terhadap [Ca] darah Sekresi hormon paratiroid [Ca] darah naik ke

normal Sekresi kalsitoni

[Ca] darah turun ke

normal

[Ca] darah tinggi [Ca] darah rendah

28

paratiroid terhadap osteoklas dan osteolisis osteosit, 3). secara tidak langsung menghambat penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus, dan 4). melakukan perangsangan jangka pendek pada aktivitas osteoblas. Pengaruh kalsitonin pada lambung diduga terjadi secara tidak langsung, yaitu menghambat sintesis 1,25-dihidroksikolekasiferol. Peranan langsung kalsitonin pada ginjal belum diketahui dengan jelas. Pengaturan ganda kalsium oleh hormon paratiroid dan kalsitonin lebih jelas dibandingkan dengan kemungkinan yang dilakukan oleh satu hormon secara tunggal (Banks 1993).

2.2.5. Estrogen

Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid, yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel ovarium, korpus luteum, plasenta dan sedikit dihasilkan oleh korteks adrenal (Ganong 1995). Oleh karena itu wanita tetap memiliki estrogen dalam kadar rendah walaupun telah terjadi menopause karena masih ada estrogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Carola et al. 1990). Tiga jenis estrogen dapat ditemukan pada tubuh wanita, yakni estradiol, estron, dan estriol (Rachman 1999). Kekurangan hormon estrogen akan menyebabkan meningkatnya kadar PTH, sehingga akan meningkatkan resorbsi tulang, sehingga terjadi penurunan massa tulang (Lindsay 1991; Gruber et al. 2002).

Tulang merupakan target hormon estrogen, yang memiliki reseptor α dan β

(Pollard 1999). Secara seluler, mekanisme kerja hormon estrogen pada tulang dimulai dari interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang timbul merupakan hasil interaksi keduanya (Albert et al. 1998).

Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di tulang yang potensial karena keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan produksi kalsitonin serta menurunkan sekresi hormon paratiroid. Estrogen juga dapat meningkatkan kadar 1,25 dihidroksikalsiferol sehingga akan meningkatkan penyerapan kalsium di dalam usus. Penurunan produksi estrogen juga menggagalkan osteoblas mendeposit jaringan matriks (osteoid) (Stevenson dan Marsh 1992).

Estrogen bertanggung jawab pada fase pertumbuhan dan menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang masa pubertas (Greenspan dan Strewler 1993

).

Defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang.

29 Akibat defisiensi estrogen ini akan terjadi peningkatan produksi dari IL-1, IL-6,

dan TNFα lebih lanjut. Estrogen juga merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan transforming growth factor- β (TGF-β) oleh sel osteoblas dan sel stroma, sehingga estrogen berfungsi menghambat penyerapan tulang dengan cara mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas (Oursler 2003).

Pada wanita pascamenopause, kadar estrogen mulai menurun. Akibat dari penurunan hormon estrogen ini, maka proses resorbsi tulang terganggu (Mizuno et al. 1995; Fitzpatrick 2003; Rachman 2004). Estrogen memengaruhi kehilangan tulang baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada tulang dan secara tidak langsung dengan memengaruhi hormon pengatur kalsium (PTH dan Vitamin D) dan sitokin interleukin (IL-1 , IL-6 dan TNFα) (Potu et al, 2009).

Kadar estradiol pada masa premenopause sebesar 100-1000 pmol/l, sedangkan pada masa menopause menurun secara drastis hingga 20-50 pmoI/l. Kadar estron masa premenopause juga menurun, namun tidak sebanyak penurunan estradiol. Pada masa pascamenopause tidak dijumpai sama sekali adanya folikel ovarium sehingga terjadi penurunan kadar estradiol ke tingkat yang sangat rendah dan disertai dengan penurunan kadar progesteron. Rasio kadar estron dan estradiol pada wanita pascamenopause sangat besar yaitu 930:70 pg/ml.

2.2.6.

Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon sudah banyak dikembangkan saat ini. Salah satunya adalah fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen di tulang (Adlercreutz et al. 2002; Dewell et al. 2002).

Fitoestrogen

Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement therapy/HRT). Pada tanaman dikenal beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui antara lain isoflavon, flavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan asiklik (Rachman et al.1996; Adlercreutz et al. 2002).

30

Estrogen Fitoestrogen

Gambar 9. Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen (Guyton 1996)

Umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa saja, tetapi selalu dalam bentuk berbagai senyawa estrogenik secara bersamaan. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Dewell et al. 2002). Hasil penelitian Turner (2007) menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen pada sel-sel duktus kelenjar susu dan jika seluruh reseptor diblokir oleh fitoestrogen (genestain) estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor tersebut.

Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun

Dokumen terkait