• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas ekstrak etanol batang sipatah-patah (Cissus quadrangula salisb) sebagai antiosteoporosis pada tikus (Rattus norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas ekstrak etanol batang sipatah-patah (Cissus quadrangula salisb) sebagai antiosteoporosis pada tikus (Rattus norvegicus)"

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH

(Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI

ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

MUSTAFA SABRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 17 Februari 2011

(3)
(4)

iii

ABSTRACT

Mustafa Sabri. The Activity of Ethanol-extract of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) as an Antiosteoporosis on Female Rats (Rattus norvegicus). Under the supervision of Nurhidayat as chairman, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, and Bambang Pontjo Priosoeryanto as members of the Supervisory Committee.

Osteoporosis relates to characteristic and microscopic structural changes of bones. An experiment was conducted to study the effect of sipatah-patah extract (ESP) on the prevention and treatment of osteoporosis. In this study, forty female rats were divided into two groups: nonovariectomized group (NOV group) (20 rats) used to study the ability of ESP in preventing osteoporosis and ovariectomized group (OV group) (20 rats) used to study the effect of ESP in treating osteoporosis. Nonovariectomized (NOV) and OV rats were adapted for 10 days before treatment. Nonovariectomized group was divided into five groups: control group (NOV-0) and groups given ESP at the age of 30 days (NOV-1), 60 days (NOV-2), 90 days (NOV-3), and 120 days (NOV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. Ovariectomized group was also divided into five groups: sham group (OV-0) consisted of rats that only sliced skin without ovariectomy and ESP administration, control group was ovarietomized group without ESP administration (OV-1), and ovariectomized groups given ESP at the age of 90 days (OV-2), 120 days (OV-3), and 150 days (OV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. All treatments were within 180 days period. Weighing was done every 15 days (twice a month), and blood samples were drawn every 30 days via coccygeal vein approximately 2 ml for analizing calcium and phosphate concentrations. At the end of treatment, rats were euthanized and, subsequently, radiography examination was done to observe bone mass. Then, necropsy was done to observe the histology of bone, liver, kidney, and parathyroid gland. Right tibio-fibula bones, kidney, liver, and parathyroid were sampled and fixated using Buffered Neutral Formalin 10%. Furthermore, left radio-ulna bones and lumbar vertebrae II-V bones were taken to analyze the calcium and phosphorous bone concentrations. The kidney, liver, and parathyroid gland tissues were stained using hematoxylin-eosin (HE) (Humason 1967) to observe the toxicity effect of ESP. The bones were stained with HE to count the osteoblast and the osteoclast, and also stained with Masson Trichrome staining (Kiernan 1990) to observe the trabecular changes.

The result showed that ESP administration for 150 days in nonovariectomized rats (NOV-1) optimized calcium and phosphate concentrations, solid trabeculae, and had an effect on increasing the active osteoblast without toxic effects on the liver and kidney. Meanwhile, ESP administration on ovariectomized rats for 120 days (OV-2) was able to maintain calcium and phosphate homeostasis, improved the density and solidity of microscopic image of trabecular bone, and histological examination showed that ESP inhibited the formation of the osteoclast. Both observations showed no toxicity effect on liver and kidney.

(5)
(6)

v

RINGKASAN

MUSTAFA SABRI. Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus). Di bawah bimbingan Nurhidayat sebagai ketua, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, dan Bambang Pontjo Priosoeryanto masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Osteoporosis pada wanita lanjut usia sulit disembuhkan secara sempurna. Berbagai risiko dapat timbul akibat terapi hormonal sintetis, sehingga usaha pengobatan osteoporosis dialihkan kepada pemberian kalsium dan fosfor dalam makanan disertai dengan peningkatan aktivitas fisik serta penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat di Aceh untuk mengobati fraktur tulang dan sakit sendi adalah sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang khasiat sipatah-patah pada tikus masa pertumbuhan (prepubertas) untuk mencegah kejadian osteoporosis pada masa tua dan mengobati tikus osteoporosis yang diinduksi melalui ovariektomi. Dalam pelaksanaan penelitian ini batang tanaman sipatah-patah diekstraksi dengan etanol sehingga diperoleh ekstrak etanol batang sipatah-patah (ESP).

Penelitian ini menggunakan 40 ekor tikus betina galur Spraque Dawley

umur 20 hari yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 20 ekor. Tikus-tikus penelitian ini diadaptasikan di dalam kandang selama 10 hari. Kelompok pertama nonovariektomi (NOV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mencegah osteoporosis, sedangkan 20 ekor lainnya diovariektomi pada umur 50 hari (OV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mengobati osteoporosis. Tikus kelompok NOV dibagi menjadi lima grup masing-masing empat ekor tikus, yang terdiri atas grup kontrol (NOV-0) tanpa ESP, sedang empat grup lainnya masing-masing diberi ESP mulai umur 30 hari (NOV-1), 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Tikus kelompok OV juga dibagi menjadi lima grup yaitu dua grup kontrol OV-0 (sham) dan kontrol OV-1 (osteoporosis), keduanya tidak diberi ESP. Tiga grup lainnya adalah tikus ovariektomi yang diberi ESP masing-masing mulai umur 90 hari (OV-2), 120 hari (OV-3), dan 150 hari (OV-4). Masa penyembuhan luka operasi tikus ovariektomi dilakukan selama sepuluh hari.

Dosis ESP adalah 750 mg/kgBB/24 jam/per oral. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 15 hari, dan pengambilan darah setiap 30 hari. Semua tikus NOV dieutanasi pada umur 180 hari sedangkan tikus OV pada umur 210 hari. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografi untuk menganalisis kondisi tulang. Sementara itu tulang radius-ulna kiri serta tulang vertebra lumbalis II-V diambil untuk analisis kadar kalsium dan fosfor. Dilakukan pula pengukuran panjang tulang femur. Sayatan tulang tibia-fibula diwarnai dengan Hematosilin-eosin (HE) dan Masson trichrome (MT) untuk menganalisis densitas osteoblas dan osteoklas, serta kepadatan trabekula tulang.

(7)

vi

Selain itu, perbedaan panjang tulang femur tikus NOV-1 sebesar 10,76 %, yang diikuti NOV-2 3,17 %, NOV-3 2,47 %, dan NOV-4 1,84 % lebih panjang dibanding kontrol (P<0,05). Hal ini menandakan bahwa ukuran kerangka tubuh semakin besar dan disertai peningkatan bobot badan.

Dari hasil pemeriksaan kadar kalsium darah tikus NOV-1 menunjukkan peningkatan dibandingkan pada tikus NOV-0 yang justru menurun. Peningkatan kadar kalsium tikus NOV-1 pada akhir perlakuan meningkat sebesar 4,49% yang dikuti NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 masing-masing 4,92%, 4,89% dan 0,26% dibanding tikus kontrol (P <0,05). Peningkatan kadar kalsium darah tertinggi selama masa pemberian ESP ditunjukkan tikus NOV-2 dan NOV-3, pada tikus tersebut masing dalam periode peningkatan. Pada tikus NOV-1 kadar kalsium sudah mencapai level optimum sehingga pemberian ESP secara terus menerus tidak meningkat, melainkan dideposit ke dalam tulang atau kelebihan kalsium diekskresikan melalui ginjal, oleh mekanisme homeostasis. Pada tikus NOV-4 diduga karena rentang waktu pemberian ESP terlalu singkat untuk dapat meningkatkan kadar kalsium darah. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium darah, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfor darah, karena kemungkinan kadar fosfor dalam darah sudah berada dalam level optimum. Pada gambaran mikroskopis sayatan memanjang tulang tibia masih ditemukan adanya sasaran epifisis disertai adanya sel-sel kondrosit yang sedang berproliferasi dan proses osifikasi pada trabekula. Hal ini menunjukkan bahwa tikus ini masih dalam masa pertumbuhan dan belum mencapai dewasa tubuh. Pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus dengan pewarnaan MT, tikus NOV-1 memiliki gambaran sasaran epifisis, substansia kompakta, dan trabekula dengan warna biru lebih pekat dibandingkan pada tikus NOV-0. Hal ini menandakan bahwa proses osifikasi sedang berlangsung.

Di samping itu, pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus juga ditemukan osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus NOV-0, maupun tikus perlakuan lainnya. Sementara itu aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan ditemukan pada substansia spongiosa bagian sentral, dibandingkan dengan bagian tepi, sebagai akibat tenaga tarik oleh tendo dan ligamentum yang bertaut di bagian tepi metafisis tulang tersebut. Pembuluh darah juga banyak ditemukan di daerah metafisis yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang untuk sarana transportasi hasil metabolisme tulang. Walaupun analisis terhadap kadar kalsium dan fosfor tulang tikus perlakuan memberikan hasil yang sama dengan tikus kontrol (P>0,05), kerangka tubuh tikus-tikus perlakuan lebih besar dibandingkan tikus kontrol, sehingga kadar kalsium total tulang perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan pada tikus kontrol. Kondisi ini dapat dilihat dari gambaran radiografi tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 150, 120, dan 90 hari menunjukkan densitas yang lebih radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus NOV-0. Dengan demikian, pemberian ESP di awal dan lama waktu pemberian ESP diduga berperan dalam peningkatan pertumbuhan bobot badan, ukuran tulang femur, kalsium dan fosfor, osteoblas aktif yang meningkat dan menekan keberadaan osteoklas sehingga terjadi perbaikan kualitas tulang yang ditunjukkan dengan kepadatan trabekula tulang yang meningkat.

(8)

vii

peningkatan bobot badan sejalan dengan lamanya waktu pemberian ESP dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1) (P<0,05). Bobot badan OV-2 meningkat sebesar 26,13 g (16,99 %) yang diikuti oleh OV-3 dan OV-4 masing-masing sebesar 20,43 g (13,28 %) dan 17,85 g (11,6 %) dibandingkan pada tikus OV-1. Sementara itu tikus ovariektomi yang diberi ESP secara umum mengalami pertambahan panjang tulang femur. Panjang tulang femur tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 di akhir penelitian masing-masing lebih panjang 4,11 %, 3,70 %, dan 2,12 % dibandingkan pada tikus OV-1 (P<0,05). Dengan demikian nutrisi yang terkandung dalam ESP yaitu kalsium, fosfor, dan fitoestrogen secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tulang dan secara tidak langsung dapat meningkatkan bobot badan akibat peningkatan pertumbuhan tulang.

Kadar kalsium darah pada tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 meningkat selama masa pemberian ESP, walaupun pada akhir perlakuan kadar kalsium tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 tidak setinggi kadar kalsium tikus sham (P>0,05) tetapi lebih tinggi dari OV-1 (P<0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian ESP dapat meningkatkan kadar kalsium darah pada tikus ovariektomi walaupun tidak setinggi pada tikus sham. Kondisi yang sama juga ditemukan pada kadar fosfor darah yang diberi ESP meningkat sejalan dengan lama pemberian ESP dibandingkan dengan tikus OV-1, walaupun belum dapat menyamai kadar fosfor pada tikus sham. Keadaan yang sama juga ditemukan pada kadar kalsium tulang. Pada tikus OV-2 peningkatan kadar kalsium tulang adalah sebesar 2,68 % dibandingkan pada tikus OV-1 yang diikuti OV-3 dan OV-4 masing-masing sebesar 2,32 % dan 1.97 % (P<0,05), walaupun kadar kalsium tulang tikus ovariektomi yang diberi ESP tidak setinggi pada tikus sham. Pola yang mirip ditemukan juga pada kadar fosfor. Peningkatan kadar fosfor tulang OV-2 sebesar 0,25 %, yang dikuti OV-3 dan OV-4 masing-masing 0,14 % dan 0,24 % dibandingkan pada tikus OV-1. Pada gambaran radiografi, tulang tibia tikus OV-2 terlihat lebih radiopaque dibandingkan tikus OV-1, gambaran tingkat kepadatan tulang ini dikuti oleh tikus OV-3 dan OV-4. Walau demikian gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan densitas yang lebih radiolucent

dibandingkan pada tikus sham. Sementara itu, pada tikus OV-2 densitas osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus OV-1 dan tikus perlakuan lainnya. Dengan demikian, ESP memengaruhi homeostasis kalsium dan fosfor darah. Hal ini terlihat pada peningkatan kadar kalsium tikus OV-2 yang meningkat pada level optimal walaupun produksi estrogen diduga sangat menurun. Waktu pemberian ESP yang lebih lama mampu mensubstitusi defisiensi kadar kalsium, fosfor, dan estrogen akibat ovariektomi. Tikus OV-2 menunjukkan densitas trabekula yang lebih rapat dibandingkan pada tikus OV-1 maupun pada tikus OV-3 dan OV-4. Pemberian ESP yang lebih lama pada tikus OV-2 dapat mengurangi kehilangan massa tulang yang ditunjukkan dengan mikrostruktur trabekula yang lebih rapat, dan juga mengurangi aktivitas osteoklas serta merangsang osteoblas dalam pembentukan massa tulang dibandingkan dengan tikus OV-1. Efek ini diduga erat hubungannya dengan interaksi fitoestrogen dalam ESP dengan reseptor estrogen alpha atau beta (ER-α, ER-β) pada osteoblas seperti halnya aktivitas estrogen endogen pada osteoblas. Dengan demikian pemberian ESP asal Aceh dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina nonovariektomi prepubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi dengan cara mempertahankan kadar kalsium darah, peningkatan densitas osteoblas aktif, dan penurunan densitas osteoklas sehingga terjadi peningkatan kepadatan trabekula tulang.

(9)

viii

©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

ix

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH

(

Cissus quadrangula

Salisb) SEBAGAI

ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (

Rattus norvegicus

)

MUSTAFA SABRI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

x

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Nastiti Kusumorini

(Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

2. Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet

(Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Drh. Yulvian Sani, Ph.D.

(Kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) Kementerian Pertanian Republik Indonesia di Bogor)

2. Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc.

(12)

xi

Judul Penelitian : Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus)

Nama : Mustafa Sabri

NIM : B 161060021

Disetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet

Anggota

Prof. Dr. drh. Koeswinarning Sigit, MS

Anggota

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu

Anggota

Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet

Mengetahui:

Ketua Program Studi Sains Veteriner

Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(13)
(14)

xiii

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahiim.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al Qu’ran yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulilah atas rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr.drh. Koeswinarning Sigit, MS, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, dan Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, APVet masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala atas izinnya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor, pada Program Studi Sains Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Laboratorium Riset Anatomi AFF FKH-IPB, Laboratorium Patologi KRP-FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi penulis mengucapkan terima kasih atas pemberian dana dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Program Sandwich, dan Program Hibah Doktor. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemerintah Aceh Darussalam atas Beasiswa NAD selama tiga tahun mengikuti pendidikan S3 di IPB.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada

Dr. drh. Heru Setijanto, PAVet (K), Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet (K), Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet, Dr. drh. Savitri Novelina, MSi, PAVet,

drh. Supratikno, MSi, PAVet, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan mahasiswa seangkatan yang setia dan penuh pengorbanan Dr. drh. I Nyoman Suarsana, MSi (FKH-UNUD), Dr. Ir. Najamuddin, MSi, (Universitas Tadulako), Dr. Muharram Saipulloh, SSi, MSc, drh. Sutiastuti, MSi. (BALIVET), Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina Jakarta), Dr. drh. Ni Ketut Natih Karuni, MSi. (BPMSOH), drh. Sri Wahyuni, MSi, Harry, SSi, drh. Mawar Subangkit, drh. Faisal, drh. Siti Asyiah, yang dengan setia menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.

(15)

xiv

Hj. Katidjah Main atas kasih sayang dan doa restunya, dan juga kepada kakak Maryani, SPd, Dra Nuraini, Ir. Drs. Hasan Basri, SpI. MSi, MT, Sofiati, SPd, Nurlaili, SH, SP, Rahmad Fadli, SE, MSi, dan adik Fauzi Helmi, ST, MT, Bambang Yusri, ST, MT, Yeni Yusraini, SP, MP, atas doanya serta kepada istri yang tercinta Safrida Afriana, ST, MSc, ananda Alya Kurnila Ramazani, atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan dorongannya yang telah mengantar penulis hingga dapat menyelesaikan studi S-3 saya.

Terima kasih kepada Ibu Nurtamani, Mas Bayu, Pak Holid, Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Ngdang, Mas Koko yang sangat banyak membantu selama penelitian berlangsung, juga Pak Hasanuddin, Pak Sayuti, Pak Ali, dan kawan-kawan di FORKUB dan IKAMAPA Universitas Syiah Kuala di Bogor serta kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerja samanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan semoga Allah SWT memberi rahmat bagi kita semua. Amin

Bogor, 17 Februari 2011

(16)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sigli pada tanggal 10 April 1969 sebagai putera ketujuh (dari sepuluh bersaudara) dari pasangan H.Yacub Hasan, SH (Alm) dan Hj. Sawiyah Puteh. Penulis diterima pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala melalui SIPENMARU pada tahun 1988, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1994 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 1995. Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan memperoleh gelar Magister Pertanian pada tahun 2000. Kesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang program Doktor pada program Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 yang dibiayai oleh BPPS, Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Sejak tahun 1997 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap di Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.

Selama mengikuti program S-3, penulis telah menghasilkan beberapa artikel. Artikel yang sudah diterbitkan dengan judul: “Analysis of Phytochemical and Mineral Content of Sipatah-patah Plant (Cissus quandrangula Salisb) from Aceh as Osteoporosis Premedication” pada Jurnal Rona Lingkungan Volume 1, No 2, September 2009. Artikel lain yang akan diterbitkan berjudul: “Kualitas Tulang Tikus Betina Normal yang diberi Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) pada Masa Pertumbuhan” pada Jurnal Veteriner (In press). Adapun artikel dengan judul: “The Effect of Sipatah-patah (Cissus quadrangula

(17)

xvi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xvi

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 5

1.3. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Struktur Tulang ... 7

2.1.1. Komposisi Tulang. ... 10

2.1.2. Metabolisme Tulang ... 11

2.1.3. Modeling dan Remodeling Tulang ... 16

2.2. Osteoporosis ... 18

2.2.1. Kalsium ... 21

2.2.2. Fosfor ... 23

2.2.3. Vitamin D ... 24

2.2.4. Hormon Paratiroid ... 26

2.2.5. Estrogen ... 28

2.2.6. Fitoestrogen ... 29

2.3. Ovariektomi ... 31

2.4. Aplikasi Pengobatan Osteoporosis ... 31

2.5. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ... 32

III. BAHAN DAN METODE ... 37

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.2. Materi ... 37

3.2.1. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ... 37

3.2.2. Hewan Coba ... 37

3.2.3. Bahan Penelitan ... 38

3.2.4. Alat Penelitian ... 38

3.3. Metode ... 39

3.3.1. Pembuatan Ekstrak Batang Sipatah-patah (ESP) ... 39

3.3.2. Analisis Kandungan Kalsium dan Fosfor Bahan Aktif dan Analisis Senyawa Fitokimia Batang Sipatah-patah ... 39

3.3.3. Pembagian Kelompok Tikus ... 39

3.3.4. Kelompok Tikus Nonovariektomi (NOV) ... 39

3.3.5. Kelompok Tikus Ovariektomi (OV) ... 41

3.4. Parameter ... 42

3.5. Analisis Hasil ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Hasil ... 46

(18)

xvii

4.1.2. Identifikasi Kandungan ESP ... 46

4.2. Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Nonovariektomi ... 48

4.2.1. Pertumbuhan Bobot Badan Tikus ... 48

4.2.2. Pengukuran Panjang Tulang Femur ... 49

4.2.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah ... 50

4.2.4. Gambaran Radiografi Tulang ... 53

4.2.5. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia ... 54

4.2.6. Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas ... 58

4.2.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid ... 63

4.2.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal ... 65

4.3. Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Ovariektomi ... 67

4.3.1. Bobot Badan Tikus ... 67

4.3.2. Panjang Tulang Femur ... 68

4.3.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah ... 68

4.3.4. Gambaran Radiografi Tulang ... 71

4.3.5. Densitas Osteoblas dan Osteoklas ... 71

4.3.6. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia ... 73

4.3.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid ... 78

4.3.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal ... 79

4.4. Pembahasan ... 81

4.4.1. Hasil Analisis Batang Sipatah-patah ... 81

4.4.2. Hasil Kelompok Tikus Nonovariektomi ... 82

4.4.3. Hasil Kelompok Tikus Ovariektomi ... 85

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komponen fitokimia ESP ... 46 Tabel 2. Komposisi kimia ekstrak etanol batang sipatah-patah

berdasarkan GC-MS . ... 47 Tabel 3. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah

tikus di awal dan di akhir pemberian ESP……….. ... 52 Tabel 4. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus selama

masa pemberian ESP . ... 53 Tabel 5. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah

pada tulang tibia tikus yang diberi ESP pada umur 30,60,90

dan 120 hari ... 63 Tabel 6. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah

tikus ovariektomi di awal dan di akhir pemberian ESP . ... 70 Tabel 7. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus ovariektomi

selama masa pemberian ESP ... 71 Tabel 8. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah

pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP

(20)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur tulang panjang ... 9

Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang ... 10

Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas .... 13

Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas ... 14

Gambar 5. Diagram interaksi dari osteoblas dan osteoklas dalam proses remodeling pada permukaan tulang ... 15

Gambar 6. Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia ... 16

Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis ... 20

Gambar 8. Peranan kelenjar paratiroid dan kelenjar tiroid dalam homeostasis kadar kalsium darah ... 27

Gambar 9. Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen

...

30

Gambar 10. Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) dari Aceh dan Cissus quadrangularis Linn. dari India ... 34

Gambar 11. Skema alur penelitian ... 43

Gambar 12. Alur penelitian tikus nonovariektomi ... 44

Gambar 13. Alur penelitian tikus ovariektomi ... 45

Gambar 14. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 30 hingga 180 hari pada grup NOV-0,NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4... 49

Gambar 15. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus setelah masa perlakuan selama 180 hari ... 50

Gambar 16. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ... 51

Gambar 17. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari ... 51

Gambar 18. Gambaran radiografi tulang tibia tikus dengan perlakuan pemberian ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ... 54

Gambar 19. Gambaran umum tulang tibia ... 55

Gambar 20. Gambaran trabekula pada potongan memanjang tulang tibia tikus ... 56

Gambar 21. Gambaran sketsa densitas trabekula pada tulang tibia setelah pembuangan sumsum tulang ... 57

Gambar 22. Osteoblas pada tulang tibia tikus ... 59

Gambar 23. Gambaran osteoklas yang sedang merusak trabekula ... 59

Gambar 24. Distribusi osteoblas aktif dan pasifpada tulang tibia tikus umur 180 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari ... 61

Gambar 25. Densitas osteoklas tulang tibia tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari ... 63

Gambar 26. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ... 64

Gambar 27. Gambaran mikroskopis hati ... 65

(21)

xx

Gambar 29. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus ovariektomi yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 60 hingga 210 hari

pada OV-0, OV-1, OV-2, OV-3, dan OV-4 ... 67 Gambar 30. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus ovariektomi

setelah masa perlakuan selama 180 hari ... 68 Gambar 31. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus ovariektomi yang

diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari ... 69 Gambar 32. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus ovariektomi yang

diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari ... 69 Gambar 33. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi

dengan perlakuan pemberian ESP pada umur 90,120, dan

150 hari ... 72 Gambar 34. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus

ovariektomi umur 210 hari pada tikus kontrol dan yang diberi

ESP pada umur 90,120, dan 150 hari ... 74 Gambar 35. Densitas osteoklas tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi

ESP pada umur 90,120, dan 150 hari ... 75 Gambar 36. Gambaran trabekula pada potongan memanjang dan sketsa

densitas trabekula tulang tibia setelah pembuangan bone marrow dari tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120, 90, dan 60 hari ... 77 Gambar 37. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi

(22)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat identifikasi sipatah-patah ... 106 Lampiran 2. Komposisi makanan tikus... 107 Lampiran 3. Penapisan fitokimia tanaman sipatah-patah ... 108 Lampiran 4. Metode analisis proksimat ... 104 Lampiran 5. Metode ekstraksi ... 110 Lampiran 6. Metode kromatografi gas ... 111 Lampiran 7. Prosedur analisis kadar kalsium dan fosfor ... 111 Lampiran 8. Metode pewarnaan ... 114 Lampiran 9. Rerata berat badan kelompok pencegahan yang

ditimbang 15 hari sekali dari awal pemeliharaan ... 115 Lampiran 10. Panjang tulang femur ... 115 Lampiran 11. Rerata kadar kalsium darah kelompok pencegahan

yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan ... 116 Lampiran 12. Rerata kadar fosfor darah pada grup percobaan sebelum

dan sesudah pemberian ekstrak etanol sipatah-patah ... 116 Lampiran 13. Kadar kalsium dan fosfor tulang pada masa pencegahan

yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah selama 180 hari

pada tikus putih ... 116 Lampiran 14. Rerata bobot badan kelompok pengobatan yang

ditimbang 2 minggu sekali dari awal pemeliharaan ... 117 Lampiran 15. Panjang tulang femur tikus perlakuan ovariektomi ... 117 Lampiran 16. Rerata kadar kalsium darah grup ovariektomi yang

diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan ... 117 Lampiran 17. Rerata kadar fosfor tikus ovariektomi yang diukur

1 bulan sekali dari awal pemeliharaan ... 118 Lampiran 18. Rerata kadar kalsium dan fosfor tulang pada grup

ovariektomi yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah

(23)
(24)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif dan

menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi

sebagai penopang tubuh, melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak,

memberi bentuk tubuh serta juga sebagai tempat hemopoiesis darah (Favus

1993; Leeson et al. 1996). Tulang menjadi keras dan kuat karena dibentuk oleh kristal kalsium yang padat serta serabut kolagen yang lentur (Stevenson dan

Marsh 1992), sehingga tulang juga berfungsi sebagai deposit mineral, khususnya

kalsium, fosfat, dan magnesium dengan kepadatan tertentu melalui pengaturan

sistem homeostasis tubuh (Burger et al. 1995).

Tulang skeletal dewasa secara umum memiliki dua bagian, yaitu bagian

kompakta yang mencapai proporsi sekitar 80 % dan bagian spongiosa sekitar

20 % (Stevenson dan Marsh 1992). Bagian kompakta bersifat lebih padat dan

terletak di bagian tepi tulang sehingga dinamakan juga bagian korteks, yaitu

bagian yang padat dan tebal sesuai dengan fungsinya sebagai penyangga tubuh.

Bagian spongiosa disebut juga bagian trabekula karena bentuknya yang

berongga atau lamelar yang tersusun dalam garis-garis trayektori dengan arah

sesuai dengan tuntutan gerakan yang ditimbulkan oleh tarikan otot-otot dan

ligamentum yang bertaut padanya. Pada tulang panjang, bagian korpus

sebagian besar terdiri atas bagian tulang kompakta yang mengelilingi sumsum

tulang dan pada kedua ujungnya (metafisis) mengandung bagian spongiosa yang dikelilingi oleh tulang kompakta. Seluruh permukaan tulang, kecuali pada

permukaan persendian, dibungkus oleh lapisan jaringan ikat khusus yang disebut

periosteum, sedang bagian dalam dilapisi oleh selapis endosteum yang

membatasi rongga-rongga di bagian spongiosa, yaitu suatu lapisan jaringan ikat

yang fungsinya sama dengan periosteum, yaitu menjadi tempat sel-sel osteoblas

(Carola et al. 1990).

Jaringan tulang dibentuk oleh sel-sel tulang, yaitu osteosit, osteoblas, dan

osteoklas. Osteosit adalah sel osteoblas yang terpendam di dalam matriks

(25)

2

penghancur tulang. Dalam keadaan normal, osteoblas dan osteoklas bekerja

sama dalam pembentukan struktur tulang yang mencakup proses modeling dan

remodeling (Smith 1993).

Faktor yang memengaruhi kepadatan tulang adalah cara hidup (pola

makan, aktivitas fisik, merokok, asupan kalsium), obesitas, paritas (jumlah anak),

Iaktasi, usia yang masih terlalu muda pada saat pertama kali hamil, penyakit

kelenjar tiroid, dan penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal (Winarno 1998).

Secara normal, puncak kepadatan tulang pada manusia dicapai pada usia

tiga puluhan. Setelah itu akan terjadi proses penurunan kepadatan tulang yang

biasanya disertai dengan atau tanpa kerusakan arsitektur tulang, sehingga

kekuatan tulang akan menurun yang mengarah kepada kerapuhan tulang

(porous) atau dikenal sebagai osteoporosis. Secara umum keadaan ini dijumpai pada manusia lanjut usia, terutama pada wanita (Ott 1990). Satu dari tiga wanita

yang berumur lebih dari 55 tahun akan terkena osteoporosis, sedangkan pada

pria, satu dari 12 pria di atas umur 55 tahun akan terkena osteoporosis. Pada

wanita kejadian ini menyebabkan kehilangan massa tulang yang lebih besar

dibandingkan pria, sehingga risiko terjadinya osteoporosis dan patah tulang akan

lebih tinggi pada wanita (Dawson-Hughes 1996; Magetsari 1999).

Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan

faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian hari

(Karlson et al. 1995). Kepadatan tulang yang tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga mengurangi kehilangan

atau penurunan kalsium pada masa menopause. Dengan demikian, individu

dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa

premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause

(Compston et al. 1993). Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun (Nguyen et al. 1995).

Pada saat tulang yang mengalami osteoporosis mencapai puncaknya,

maka tulang tersebut akan menjadi rapuh dan mudah patah. Hal ini merupakan

konsekuensi dari berkurangnya jumlah kalsium dalam massa tulang yang

merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis

(Rachman et al. 1996; Ott 2002). Kondisi demikian akan sangat berbahaya karena apabila berlanjut dalam jangka waktu yang cukup lama, tulang sebagai

(26)

3 patah tulang maka akan sulit untuk sembuh seperti sediakala. Studi epidemiologi

menunjukkan banyaknya cedera pada penderita osteoporosis adalah pada ossa

vertebrae, ossa coxae, dan collum femoris. Tulang-tulang ini lebih banyak mengandung trabekula dibandingkan tulang kompakta (Favus 1993).

Bukti substansial mengindikasikan bahwa osteoporosis merupakan

masalah kesehatan global dengan ciri kerusakan mikroarsitektur massa tulang,

dan terjadi pada 150 juta orang di seluruh dunia per tahun. Proses osteoporosis

terjadi karena berkurangnya kadar estrogen pascamenopause pada wanita.

Estrogen merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan dalam

mengaktifkan osteoblas di jaringan endosteum di sekitar jaringan mieloid

sumsum merah pada individu dewasa. Faktor lain yang memengaruhi aktivitas

osteoblas adalah nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D, sitokin, kortisol, dan

aktivitas individu (Smith 1993). Osteoblas ini berfungsi untuk sintesis unsur

organik matriks tulang (osteoid), yaitu kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein

(Carola et al. 1990; Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996). Memasuki usia 40 tahun, secara fisiologis produksi estrogen mulai berkurang hingga

konsentrasinya hanya mencapai 10 % saat wanita memasuki masa

pascamenopause (Smith 1993) yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal

(Guyton 1996).

Secara medis beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis dapat

dipakai untuk mengobati osteoporosis, namun dalam praktiknya hal ini sangat

berat karena harus diberikan seumur hidup (Gass dan Neff 1995). Selain itu

pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko

kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan per vagina,

tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998). Oleh karena itu, kini fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis diarahkan melalui

pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh, antara lain

memberikan penambahan dosis asupan mineral, khususnya imbangan kalsium

fosfat di dalam makanan, pemberian vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan

aktivitas fisik, dan penggunaan bahan alami dari tanaman yang mengandung

fitoestrogen. Bahan alami tanaman ini telah lama digunakan secara tradisional

oleh masyarakat untuk mengobati penyakit (Tiangburanatham 1996;

Dalimartha 2003). Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan

(27)

4

Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk

mengobati berbagai macam penyakit. Akhir-akhir ini hal tersebut semakin

gencar didengungkan dengan slogan back to nature. Di Afrika, India, Sri Lanka, Malaysia, dan Jawa, Cissusqudrangularis Linn. banyak dipakai untuk mengatasi sakit sendi, sipilis, penyakit kelamin, dan osteoporosis (Shirwaikar et al. 2003). Studi literatur menunjukkan bahwa batang Cissus qudrangularis Linn.

mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, β -karoten, dan vitamin C (Attawish et al. 2002), γ-amirin, δ-amiron (Mehta et al. 2001). Semua senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik

yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model

(Navarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002). Studi fitokimia pada Cissus qudrangularis Linn. menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti kuersetin dan vitamin C serta resveratrol, piceatannol, palidol, asam askorbat, ketosteroid,

dan karoten (Tiangburanatham 1996; Swamy et al. 2006). Di India dan Sri Langka, Cissusqudrangularis Linn. dikenal dapat mengobati patah tulangkarena kemampuannya mempertautkan tulang (Sivarajan dan Balachandran 1994).

Nadkarni (1954) menjelaskan bahwa akar Cissus qudrangularis Linn. sangat berguna untuk pengobatan retak tulang baik diminum maupun digunakan

sebagai plester eksternal.

Di Aceh tanaman sipatah-patah telah lama dikenal sangat mujarab

dipakai sebagai obat patah tulang dengan cara memakai tumbukan batangnya

yang dibalutkan pada daerah yang patah. Sipatah-patah mempunyai bentuk

struktur yang hampir sama dengan Cissus quadrangularis Linn. Tanaman ini tumbuh di Kecamatan Lam Nga, Kabupatan Aceh Besar, dan tanaman

sipatah-patah ini telah diidentifikasi sebagai Cissus quadrangula Salisb oleh Herbarium Bogorinsis. Mengingat besarnya potensi tanaman sipatah-patah dan khasiat

yang dikandungnya sebagai obat patah tulang, besar kemungkinan tanaman

sipatah-patah yang ada di Aceh juga berpotensi sebagai antiosteoporosis. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai peranan sipatah-patah sebagai

antiosteoporosis. Tanaman sipatah-patah ini belum pernah diteliti dan juga

belum diketahui kandungan fitokimia yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu

(28)

5 Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini

melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995). Untuk itu maka perlu diteliti pengaruh sipatah-patah pada hewan percobaan yang diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan dan menopause. Hewan

percobaan yang akan dipakai adalah tikus sesuai dengan penelitian Shirwaikar et al. (2003). Dengan demikian maka diperlukan dua kelompok penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan sipatah-patah dalam mencegah

osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan dan mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui

ovariektomi.

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan

melalui tiga hal yaitu:

1). Mengetahui kandungan mineral kalsium dan fosfat serta komposisi

fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh. 2). Menguji kemampuan ekstrak etanol batang sipatah-patah dalam

mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan. 3). Mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami

menopause melalui ovariektomi.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kandungan mineral

dan bahan fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh dalam rangka memperkaya data biologi sumber daya alam hayati tanaman

asli Indonesia dan memperteguh keyakinan kearifan lokal masyarakat dalam

pemanfaatan tanaman asli Indonesia, khususnya sipatah-patah dalam mencegah dan mengobati osteoporosis pada tikus melalui proses kajian ilmiah.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah:

1. Komponen utama sipatah-patah mengandung kalsium, fosfat, dan fitoestrogen.

2. Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat :

a. Mencegah kejadian osteoporosis pada tikus betina prepubertas

(29)

7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Tulang

Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif,

menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi

sebagai penopang tubuh, memberi bentuk tubuh, dan melindungi organ tubuh

yang lunak dan mudah rusak, serta menjadi tempat terjadinya proses

hemopoiesis darah (Favus 1993; Leeson et al. 1996). Tulang-tulang membentuk kerangka (skeleton). Kerangka manusia dibentuk oleh 206 buah tulang

(Akers dan Denbow 2008) sedangkan kerangka kuda mempunyai 208 buah

tulang (Getty 1975). Tulang berfungsi sebagai alat gerak pasif karena gerakan

tulang dilakukan oleh kontraksi otot yang bertaut ke tulang melalui tendo-tendo

(Leeson et al. 1996).

Tulang kerangka secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi ossa longa (tulang panjang), ossa plana (tulang pipih), ossa brevia (tulang pendek), dan ossa irregularia (tulang tidak beraturan). Tulang panjang (ossa tibia-fibula, ossa radius-ulna) bentuknya silindris dan panjang dengan kedua ujungnya membesar. Tulang panjang berfungsi untuk menahan beban tubuh dan di

daerah metafisis bagian dorsal terdapat sumsum merah. Berbeda dengan tulang

panjang, tulang pipih seperti os ilium dan ossa cranii bertugas untuk melindungi

bagian tubuh yang lunak. Tulang pendek (ossa carpi, ossa tarsi, dan ossa sesamoidea) mempunyai panjang, lebar, dan tinggi yang hampir sama dan

berfungsi untuk menahan benturan atau mengurangi pergeseran dan perubahan

arah dari tendo. Ossa vertebrae termasuk tulang tidak beraturan, yang terbagi dalam segmen-segmen yang terletak pada sumbu tubuh sehingga sangat

fleksibel dipakai untuk pergerakan tulang belakang dan menjadi tempat

beradanya sumsum merah (Carola et al. 1990).

Tulang tersusun atas tulang kompakta pada bagian luar dan tulang

trabekula pada bagian dalam (Smith 1993). Dengan susunan seperti ini massa

tulang menjadi lebih ringan tanpa mengurangi tingkat kekuatannya sehingga

fungsinya menjadi optimal (Fleisch 1993).

Bagian luar dari tulang berbentuk lapisan padat yang disebut tulang

kompakta (substansia compacta), sedangkan bagian dalamnya merupakan lempeng-lempeng tipis tersusun seperti bunga karang (kasau-kasau tulang yang

(30)

8

(substansia spongiosa) (Stevenson dan Marsh 1992; Carola et al. 1990). Proporsi substansia kompakta dan spongiosa masing-masing sekitar 80 % dan

20 % (Goldberg 2004), namun ditemukan banyak variasi sesuai dengan jenis

tulang dan dipengaruhi oleh daya tekan dan tarik yang dialami tulang tersebut

(Stevenson dan Marsh 1992; Leeson et al. 1996). Dengan struktur seperti ini, tulang mempunyai kekuatan yang optimum dengan bobot yang minimal sehingga

dapat menahan bobot badan maupun beban kerja (Parfitt 1984;

Carola et al. 1990).

Tulang kompakta terdiri atas jaringan kolagen dan hidroksiapatit yang

membentuk 3 lapisan, yaitu lapisan periosteum, intrakompakta, dan endosteum

(Rachman 1999). Periosteum adalah selubung fibrosa yang membungkus

tulang, kecuali pada permukaan sendi (Leeson et al. 1996). Periosteum pada hewan dewasa terdiri atas dua lapisan, tanpa batasan yang jelas. Lapisan luar

terdiri atas jaringan ikat padat fibrosa yang mengandung anyaman pembuluh

darah. Lapisan dalam terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar, mempunyai

sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey

(Carola et al. 1990), mengandung banyak sel jaringan ikat berbentuk gelondong yang disebut lapisan kambium, lapisan ini mengandung sel-sel osteoprogenitor

dan disebut periosteum. Sel-sel osteoprogenitor adalah sel-sel yang berfungsi

untuk membentuk jaringan tulang. Pada tulang yang sedang tumbuh, lapisan

kambium aktif membentuk tulang sehingga dinding tulang menjadi tebal. Dalam

keadaan normal, periosteum lebih tipis, kurang vaskularisasi dan berada dalam

keadaan istirahat, tetapi masih berpotensi osteogenik. Jika tulang mengalami

fraktura (retak), maka lapisan kambium dari periosteum akan aktif kembali dalam

usahanya mengadakan regenerasi tulang (Leeson et al. 1996).

Bagian intrakompakta merupakan bagian utama dari tulang kompakta

yang dibentuk oleh sistem Haver, membentuk bangun berupa tabung dengan

panjang 2 mm dan diameter 22 µm yang terdiri atas lapisan konsentrik dengan

osteosit yang berada di antaranya. Pada bagian tengah tulang kompakta

terdapat saluran Volkmann berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf

yang berperan mengangkut nutrisi dan sebagai alat sensoris (Carola et al. 1990). Dari periosteum dan endosteum akan masuk saluran Volkman atau saluran

nutrien secara tegak lurus ke dalam tulang dan berhubungan dengan saluran

(31)

9 Gambar 1. Struktur tulang panjang

(dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973).

dan saling berhubungan antara pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf

untuk tulang (Carola et al. 1990; Leeson et al. 1996). Setiap saluran Haver memiliki sejumlah lamel konsentris (5 sampai 20 lamel). Lamel matriks tulang,

sel-sel dan saluran pusatnya membentuk sistem Haver. Kanalikuli pada sistem

Haver akan berhubungan langsung dengan saluran Haver sehingga semua

lakuna akan berhubungan langsung dengan saluran Haver. Kanalikuli pada tepi

sistem Haver biasanya tidak berhubungan dengan kanalikuli yang berasal dari

sistem sebelahnya, melainkan membentuk lengkungan dan kembali ke

lakunanya sendiri. Sistem Haver terutama tersusun menurut sumbu panjang

tulang, sehingga pada potongan melintang terlihat sebagai lubang bulat yang

dikelilingi oleh lamel-lamel yang melingkar (Gambar 2), sedangkan pada

potongan memanjang sistem Haver terlihat sebagai celah memanjang yang

dibatasi kolom-kolom lamel (Leeson et al. 1996).

Bagian trabekula mengandung lempeng-lempeng yang saling

berhubungan dengan pola tertentu yang membentuk garis trayektori spesifik

menurut fungsi mekanis tulang tersebut. Tulang trabekula terdiri atas lamel-

lamel, di dalamnya terdapat lakuna yang mengandung osteosit dan sistem

kanalikuli yang saling berhubungan. Pada masa prenatal, pada tulang spongiosa

belum terlihat jelas adanya lamel-lamel karena serat-serat kolagen tulang

terdapat dalam anyaman tidak beraturan. Hal ini terlihat khas untuk tulang yang

[image:31.595.219.401.86.292.2]
(32)

10

Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996)

Endosteum adalah lapisan halus yang membatasi rongga sumsum dan meluas sebagai pelapis sistem saluran tulang kompakta. Endosteum terdiri atas

jaringan retikular padat yang memiliki kemampuan osteogenik dan hemopoetik

(Carola et al. 1990).

Endosteum merupakan permukaan dalam dari tulang yang terdiri atas sel osteoprogenitor dan hanya sebagian kecil jaringan ikat yang

melapisi permukaan trabekula dan permukaan medulla tulang kortikal serta kanal Harvesian. Endosteum menyediakan sel osteoprogenitor atau sel osteoblas

secara kontinyu untuk perbaikan dan pertumbuhan tulang yang berfungsi untuk

remodeling tulang (Einhorn 1996; Leeson et al. 1996).

2.1.1 Komposisi Tulang

Tulang terbentuk dari unsur mineral kira-kira 65 %, matriks organik ekstraseluler 30 %, sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air (sekitar 5 %).

Sebagian besar (95 %) dari mineral tulang merupakan kristal hidroksiapatit dan 5 % sisanya terdiri atas bahan organik (Favus 1993; Guyton 1996; Ott 2002).

Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya kristal kalsium fosfat atau kristal kalsium hidroksiapatit

[3Ca3(P04)2Ca(OH)2]. Kalsium hidroksiapatit berbentuk piringan kristal tajam

seperti jarum di dalam dan di antara serat kolagen dengan panjang 20-80 nm dan tebal 2-5 nm (Puzas 1993; Leeson et al. 1996). Selain komponen tersebut, kalsium hidroksiapatit juga mengandung komponen lain seperti karbonat, sitrat, magnesium, natrium, fluor, dan strontium yang terdapat pada kisi dari kristal atau

[image:32.595.92.463.85.519.2]
(33)

11 Bahan organik dari mineral tulang terdiri atas 98 % jaringan kolagen dan

2 % sisanya terdiri atas beberapa protein nonkolagen. Kolagen adalah protein

dengan daya larut yang sangat rendah, terdiri atas 3 rantai polipeptida

(triple helix) yang pada setiap rantai terdapat seribu (1000) asam amino (Shenk et al. 1993).

Protein nonkolagen tulang terdiri atas osteonektin, osteokalsin,

osteopentin, dan sialoprotein (Favus 1993). Osteonektin adalah protein besar

dengan bobot molekul 320 KDa yang disintesis oleh osteoblas. Protein ini

berfungsi untuk mengikat kolagen hidroksiapatit. Osteokalsin adalah protein kecil

dengan bobot molekul 5.8 KDa dan berjumlah sekitar 10-12 % dari total protein

nonkolagen, protein ini berhubungan erat dengan fase mineralisasi tulang

(Rachman 1999). Beberapa protein tulang yang lain seperti trombopontin, asam

glikoprotein, dan fibronektin merupakan protein yang mengandung asam

arginin-glisin aspartat yang bersifat asam dan berafinitas besar terhadap kalsium.

Protein-protein ini mempunyai kemampuan untuk diikat oleh reseptor integrin.

Growth factor dan sitokin seperti transforming growth factor beta (TGFβ), insulin growth factor (IGF), interleukin (IL), bone morphogenic protein (BMP) terdapat dalam jumlah kecil di matriks tulang (Shenk et al. 1993). Protein-protein tadi mengikat mineral tulang dan matriks dan dilepaskan saat terjadi proses resorbsi

tulang oleh osteoklas (Favus 1993).

2.1.2 Metabolisme Tulang

Metabolisme tulang diatur oleh osteoblas, osteosit, dan osteoklas

terhadap respons dari berbagai rangsangan di sekelilingnya termasuk

rangsangan kimia dan mekanik (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Rangsangan spesifik diatur oleh reseptor sel yang ditemukan pada membran sel atau di dalam

sel. Reseptor yang berada di membran sel menerima rangsangan dari luar dan

mengirimkan informasi tersebut ke inti menyeberangi sitoplasma sel melalui

mekanisme transduksi. Sementara itu reseptor dalam sel (di sitoplasma atau

di inti) mengikat rangsangan (biasanya hormon steroid) yang melewati membran

sel dan masuk ke dalam sel untuk memindahkan efektor ke nukleus yang di

dalamnya terdapat reseptor steroid kompleks yang terikat pada asam

(34)

12

Pada tulang dapat dibedakan tiga jenis sel tulang, yaitu osteoblas,

osteosit, dan osteoklas (Rachman 1999) (Gambar 3). Osteoblas merupakan sel

yang berhubungan dengan pembentukan tulang dan ditemukan pada permukaan

tulang, yaitu periosteum dan endosteum. Osteoblas dibentuk dari sel stroma

dari mesoderm (totipotent mesenchymal stem cell) (Smith 1993; Ott 2002). Pembentukan osteoblas dimulai dari prekusor sel stroma menjadi preosteoblas

yang kemudian berkembang menjadi osteoblas yang dapat diaktifkan sehingga

akhirnya dapat membentuk osteosit (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Osteoblas merupakan sel berinti tunggal yang terdapat di permukaan luar

(periosteum) dan di dalam tulang (endosteum). Sitoplasmanya bersifat basofil

karena mengandung nukleoprotein. Apabila sel ini berada dalam keadaan aktif

berbentuk kuboid, sedangkan dalam keadaan tidak aktif, osteoblas berbentuk

pipih (Einhorn 1996). Dalam proses perbaikan kondisi tulang setelah adanya

perombakan tulang oleh osteoklas, biasanya ditemukan adanya osteoblas aktif di

tempat itu untuk mensintesis matriks tulang baru yang diawali dengan proses

mineralisasi dan kolagenasi matriks tulang (Price 1995; Lian dan Stein 1996).

Osteoblas berfungsi menghasilkan kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein untuk

pembuatan dan pertumbuhan tulang baru pada daerah permukaan tulang dan

juga untuk pembentukan tulang pada kartilago (Telford dan Bridgman 1995).

Proses perkembangan dan pembentukan tulang oleh osteoblas

dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lokal maupun sistemik. Faktor lokal yang

berpengaruh dalam meningkatkan pembentukan tulang adalah BMP (bone morphogenic protein), TGF-β, IGF (insulin-like growth factor-1), estrogen, triiodotironin (T3), tetraiodotironin (T4), kalsitriol [1,25-(OH)2D3

Saat menjalankan fungsinya, osteoblas juga memproduksi enzim alkalin

fosfatase. Enzim ini mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan alkalin

fosfatase yang dihasilkan oleh jaringan lainnya. Fungsi alkalin fosfatase ini

bekerja dengan cara membebaskan protein nonkolagen osteokalsin dalam

proses pembentukan tulang. Aktivitas osteoblas dapat dipantau secara biokimia ], dan

prostaglandin E2 (PGE2). Faktor sistemik yang meningkatkan pembentukan

tulang adalah fluorida, PTH (hormon paratiroid) nutrisi, vitamin D, sitokin, kortisol,

dan aktivitas individu (Gambar 4). Faktor sistemik lainnya yang bekerja dengan

menghambat formasi tulang adalah hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh

(35)

13 Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas

(dimodifikasi dari Leeson et al. 1996).

dengan menilai kadar enzim alkalin fosfatase tulang dan kadar osteokalsin dalam

serum (Price 1995). Dalam perkembangan penelitian selanjutnya telah

ditemukan reseptor estrogen dan reseptor kalsitriol di osteoblas (Gallaher 1986;

Reid 1996).

Tipe sel tulang yang kedua adalah osteosit, yaitu osteoblas yang sudah

menetap dalam lakuna pada saat pembentukan lapisan permukaan tulang

berlangsung. Osteosit merupakan sel peralihan dari sel-sel osteoblas yang

berhenti membentuk matriks tulang dan terperangkap di dalam tulang. Sel ini

memiliki peran dalam memelihara matriks tulang sehingga tersimpan di dalam

tulang (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Sel tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya melalui penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli dan

berperan dalam membantu koordinasi respons tulang terhadap stres atau

deformasi (Stevenson dan Marsh 1992). Tidak semua osteoblas berkembang

menjadi osteosit (hanya 10-12 %), hal ini disebabkan oleh kegagalan difusi

nutrisi. Pembuluh darah masuk melalui kanal kecil yang dikenal sebagai

kanalikuli. Kanalikuli adalah satu-satunya saluran untuk nutrisi dan pertukaran

gas yang akan digunakan oleh osteosit. Bentuk kanalikuli beraturan seperti

tubulus penghubung (Lian dan Stein 1996). Osteosit juga diduga memiliki

kemampuan merespons mekanisme rangsangan gaya mekanik dan neuroelektrik

yang berhubungan dengan aktivitas individu. Gaya fisioelektrik ini diduga

merangsang pengeluaran IGF-1 untuk mengaktifkan osteoblas dan juga

(36)

14

Sel ketiga pada tulang adalah osteoklas yang bertanggung jawab

terhadap resorbsi kalsium tulang dan kartilago (Ott 2002). Osteoklas memiliki

progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel

mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid, yaitu monosit atau makrofag pada

sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas ini bersifat mirip dengan sel

fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas

merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus

(10-20 nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang

trabekular (Marcus et al. 1996). Di dalam menjalankan tugasnya, osteoklas mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam laktat, serta asam

sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini memecah atau

melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan melarutkan

garam-garam tulang. Osteoklas mempunyai ruffled border yaitu daerah spesifik dari membran sel berbentuk jari-jari atau gelambir-gelambir, yang biasanya

berhadapan dengan permukaan tulang. Sekresi enzim-enzim, asam laktat, dan

asam sitrat dilepaskan keluar sel melalui ruffled border. Di area ruffled border ini terjadi proses resorbsi tulang sehingga mengakibatkan terbentuknya

Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas (dimodifikasi dari Smith 1993)

Osteoblas

Kortisol

Osteosit

Pre-osteoblas Osteoblas pasif

Sintesis kolagen protein non-kolagen

proteoglikan

Sitokin

Sel pengendali osteoklas

Mineralisasi

PTH 1,25(OH)2D3

Jarak jauh

Estrogen

Nutrisional Mekanik

Endokrin

[image:36.595.72.476.340.759.2]
(37)

15 cekungan sebagai akibat hilangnya matriks di daerah itu, dan cekungan yang

terbentuk ini dinamakan lakuna Howship (Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996).

Interaksi antara osteoklas dan osteoblas (Gambar 5) secara normal selalu

terjadi pada proses remodeling tulang. Osteoblas diduga mengambil bone morphogenetic protein (BMP) sebelum osteoklas merusak tulang. Resorbsi tulang akan membebaskan protein tulang yang berpengaruh timbal balik yaitu

dapat menstimulasi aktivitas osteoblas. Proses remodeling ini masih belum diketahui dengan pasti (Smith 1993). Sel-sel osteoklas menangkap

partikel-partikel matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya melarutkan

benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton 1996;

Smith 1993). Proses ini selalu dalam keadaan seimbang dalam mengatur

formasi dan resorbsi tulang sehingga dikenal dengan istilah berpasangan atau

coupling (Suda et al. 1992; Smith 1993). Dalam proses peningkatan aktivitas osteoklas, osteoblas menghasilkan beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor beta(TNF β), IL-1, dan IL- 6,sehingga dapat dikatakan terdapat poros osteoblas-osteoklas dalam pengendalian densitas tulang. Sebaliknya, aktivitas osteoblas-osteoklas

dihambat oleh estrogen, kalsitonin, TGF β, interferon gamma (IFN- ), dan

prostaglandin (PGE2) (Suda et al. 1992).

Gambar 5. Diagram interaksi osteoblas dan osteoklas dalam proses

[image:37.595.93.483.466.736.2]
(38)

16

Bone morphogenetic protein merupakan pemicu osteoblastogenesis dengan merangsang osteoblastic specific factor-2 (OSF-2) atau core binding factor A1 (Cbf A1) yang berfungsi mengaktifkan gen spesifik osteoblas, seperti osteokalsin, osteopontin, sialoprotein, dan kolagen tipe I. Selain hormon sistemik

dan sinyal mekanis, perkembangan dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas diatur juga oleh growth factor (GF) dan sitokin (Manolagas 2000).

2.1.3 Modeling dan Remodeling Tulang

Carola et al. 1990 menyatakan bahwa tulang merupakan suatu organ yang mengalami metabolisme aktif berupa proses penyerapan dan pembentukan

tulang. Proses ini berlangsung secara simultan dan menyangkut semua perubahan yaitu modeling dan remodeling.

Modeling adalah perubahan struktur atau bentuk pada jaringan tulang akibat formasi dan resorbsi matriks tulang dalam proses pertumbuhan (contoh:

perubahan bentuk tulang kepala dari bayi sampai tua). Pada manusia, memasuki usia 20 sampai 30 tahun (Gambar 6) terjadi peningkatan

pembentukan massa tulang dengan tercapainya massa tulang puncak (Goldberg 2004). Proses modeling terjadi pada bagian growth plate (lempengan tulang rawan yang aktif berproliferasi atau disebut juga sasaran epifise) atau

pada lokasi perubahan tulang rawan menjadi tulang termineralisasi (Eriksen et al. 1994). Selama proses pertumbuhan terjadi pemisahan badan tulang (corpus) dengan area ujung tulang (epifisis) oleh sasaran epifise.

(39)

17 Pertumbuhan memanjang terjadi karena sasaran epifise tersebut terisi oleh

tulang baru pada ujung badan tulang. Lebar sasaran epifise sebanding dengan

kecepatan pertumbuhan tubuh dan dipengaruhi oleh sejumlah hormon terutama

hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh hipofisa dan insulin growth factor-1 (IGF-1) (Ganong 1995). Sementara itu Goldberg (2004) menyatakan bahwa

modeling dimulai sejak di dalam kandungan sampai mencapai puncak massa tulang yang dipengaruh oleh faktor-faktor fisiologis dan mekanis. Pembentukan

tulang terjadi melalui mekanisme pengerasan tulang endokondrial. Hal itu

termasuk perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas

selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar

dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler,

berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas (yang

menurunkan kalsifikasi tulang rawan) dan prekursor osteoblas. Proses kalsifikasi

tulang rawan menghasilkan the primary spongiosum, sedangkan tulang yang terbentuk di antara jaringan disebut the secondary spongiosum yang nantinya dikenal sebagai tulang woven (Leeson et al. 1996).

Remodeling adalah proses yang berlangsung terus-menerus secara aktif dengan membangun dan memperbaiki pembentukan tulang yang dilakukan oleh

osteoklas (resorbsi tulang) dan osteoblas (formasi tulang). Proses remodeling

pada kondisi normal adalah massa tulang yang diresorbsi seimbang dengan

jumlah massa tulang yang diformasi, terutama pada individu berusia sekitar

30-40 tahun (Goldberg 2004). Remodeling juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan biokimia tulang, memelihara dan memperbaiki kerusakan tulang

(Rachman 1999). Keseimbangan ini mulai terganggu melewati usia 40 tahun.

Pada usia tersebut proses remodeling tulang mulai tidak seimbang yaitu, kecepatan formasi tulang tidak sama dengan resorbsi tulang dan lebih cenderung

ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause. Pada saat ini

terjadi proses uncoupling, yaitu awal proses penuaan (Goldberg 2004). Menurut Leeson et al. (1996) dan Rodan (1996) tahapan proses remodeling tulang normal meliputi enam tahap, yaitu quiescence (istirahat), aktivasi, resorbsi, proses balik (reversal), formasi, dan berakhir pada tahap istirahat.

Remodeling tulang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti hormon paratiroid (PTH), kalsitonin, sitokin, kalsitriol dan faktor-faktor lokal nutrisi, faktor

(40)

18

remodeling tulang masih berjalan normal dengan jumlah massa tulang yang masih stabil. Memasuki usia 40 tahun atau tepatnya memasuki usia menopause,

proses remodeling mulai berjalan tidak seimbang (Rachman 1999).

Secara fisiologis, pada wanita pascamenopause karena kadar estrogen

yang mulai menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel

osteoklas dan osteoblas (Mizuno et al. 1995). Kekurangan estrogen akan menyebabkan menurunnya kadar kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar

paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk

merangsang pembentukan sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi

osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang (Potu et al. 2009).

Secara mikroskopis, proses remodeling tulang dimulai dengan sekresi kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan oleh osteoblas. Kolagen mengalami

polimerisasi membentuk serabut kolagen atau semacam tulang rawan yang

belum mengalami proses mineralisasi yang disebut osteoid. Osteoblas yang

terperangkap di dalam osteoid akan menjadi osteosit dan berperan dalam

regulasi mineral tulang (Favus 1993). Penumpukan mineral terjadi beberapa hari

setelah terbentuknya osteoid dengan susunan berselang seling dengan serabut

kolagen menjadi kristal hidroksiapatit. Pada remodeling proses pembentukan mineral diikuti juga oleh proses penyerapan mineral dan berlangsung dalam

keseimbangan yang dinamis di dalam tulang (Leeson et al. 1996).

2.2. Osteoporosis

Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada

tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang

(Sabri 2000; Anderson et al. 2008), sehingga kepadatan tulang berkurang atau tulang menjadi keropos. Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadi

sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang

(Palmer 1993; Shin et al. 2007).

Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis

ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan,

hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum

alkohol, serta warna kulit (Lane, 2001

Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa

(41)

19 hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk. Pada usia remaja,

pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya

produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama

masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya

osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya (Karlson et al. 1995). Setelah usia antara 35-40 tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang

sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 % per tahun. Wanita

pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai

2% per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang (Endris dan Rude 1994).

Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi

trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula. Kedua proses

tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling

(Eriksen et al. 1994). Selanjutnya Croucher et al. (1994) menegaskan bahwa struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya

perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang.

Pada penelitian lain, Kalu et al. (1993) menyatakan bahwa penentuan dasar proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang

trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional.

Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah

parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium

tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet

(Sabri 2000). Tingginya konsumsi fosfat mengakibatkan terjadinya

hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengga

Gambar

Gambar 1. Struktur tulang panjang   (dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973).
Gambar 2. Gambaran
Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas
Gambar 5. Diagram
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak biji fenugreek dosis 120 mg/200 gramBB meningkatkan kadar estrogen secara bermakna pada tikus betina menopause

Efek Diuresis Ekstrak Propolis pada Tikus Puti.... Efek Diuresis Ekstrak Propolis pada

Gambar 2 memperlihatkan histogram rerata ketebalan endometrium pada tikus betina Rattus norvegicus yang tidak diberi apapun (kontrol negatif), tikus betina Rattus norvegicus

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba kemangi pada dosis 0,8g/200g BB mampu meningkatkan vaskularisasi dari mukosa ovarium dan uterus tikus

Perlakuan pemberian variasi dosis ekstrak daun bangun-bangun yaitu dosis 150mg/200gBB tikus, 200mg/200gBB tikus, dan 250mg/200gBB tikus menunjukan aktivitas yang berbeda dari

Berdasarkan latar belakang maka perlu dilakukan uji analisa biokimia klinis analisa kadar kolesterol pada darah tikus putih betina ( Rattus norvegicus ) setelah

Data rata-rata jumlah implantasi setelah pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada tahap praimplantasi (hari ke-1 hingga ke-4) terhadap fertilitas tikus betina,

Pemberian Ekstrak Terhadap Hewan Uji Tikus putih jantan sebanyak 16 ekor dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, masing-masing perlakuan sebanyak 4 ekor tikus dengan perlakuan seperti