INTEGRITAS SEKTOR PUBLIK TINGKAT PUSAT
3.1. Total Integritas Tingkat Pusat
3.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Pusatdi Pelayanan Publik Tingkat Pusat
Bagaimana masyarakat memandang korupsi di lembaga layanan publik di tingkat pusat?, bagaimana masyarakat mengartikan biaya-biaya atau imbalan yang mereka keluarkan, apakah tergolong korupsi atau tidak? Apa tujuan mereka
membayar biaya tambahan tersebut, dan seberapa jauh tingkat toleransi masyarakat terhadap biaya-biaya tambahan yang harus mereka keluarkan?
Walaupun nilai cara pandang terhadap korupsi tingkat pusat secara rata-rata telah memenuhi standar minimal integritas, namun secara umum masih bisa dinyatakan bahwa masyarakat memiliki toleransi yang cukup tinggi dalam memandang korupsi di lembaga layanan publik. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh masih adanya 41 persen masyarakat yang menganggap bahwa pemberian uang tambahan dalam pengurusan layanan publik merupakan perbuatan yang boleh dilakukan bahkan lazim dan harus di-lakukan dalam setiap pelayanan.
Bagaimana masyarakat pengguna layanan mengartikan pemberian gratifikasi? Sebagian besar masyarakat pengguna layanan di tingkat pusat menyatakan gratifikasi merupakan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan (65%) bahkan 41% responden menyatakan gratifikasi merupakan perbuatan yang memalukan dan tercela. Berikut adalah gambaran mengenai bagaimana masyarakat mengartikan pemberian uang tambahan pada pengurusan layanan publik di 5 instansi pusat dengan nilai integritas tertinggi dan terendah
Gambar tersebut menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pandangan dari pengguna layanan di instansi dengan nilai integritas tinggi dan rendah. Pada instansi dengan nilai integritas tinggi terlihat bahwa sebagian besar responden mengartikan gratifikasi dalam layanan publik adalah per-buatan yang tidak boleh dilakukan dan tercela. Sementara pada instansi dengan nilai integritas rendah, responden mengartikan pemberian gratifikasi pada layanan publik
Tabel 3.9.
Nilai Indikator Cara Pandang terhadap Korupsi dan Sub Indikatornya Pusat
Gambar 3.8.
Arti Pemberian Gratifikasi Instansi Tingkat Pusat (pada instansi dengan nilai integritas 5 tertinggi dan 5 terendah)
(jawaban multiple)
Indikator
Cara Pandang Terhadap Korupsi (0,200)= 6,71
Sub-Indikator
Arti pemberian gratifikasi (0,167)= 6
Tujuan pemberian gratifikasi (0,833) = 7
dengan lebih menyebar antara perbuatan tercela sampai dianggap lazim dilakukan.
Namun bila diperhatikan padai 10 unit layanan dengan pem-berian gratifikasi yang paling banyak, terlihat bahwa masih banyak unit layanan yang menyatakan bahwa pemberian biaya tambahan pada pengurusan layanan merupakan hal yang boleh dilakukan atau bahkan dianggap lazim terjadi. tercela tidak boleh boleh kalau terpaksa
Kementerian Pertanian PT. Pos Indonesia PT. Pertamina BPOM PT. Jamsostek Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Perumahan Rakyat Kepolisian Kementerian Perindustrian
boleh sesekali lazim harus
3%5%1% 72% 66% 8% 26% 71% 2%5% 14% 35% 72% 3% 10% 25% 32% 68% 7% 4% 10% 54% 72% 4% 6% 14% 41% 61% 16% 12% 28% 1% 29% 11% 27% 59% 51% 23% 45% 13% 9% 30% 2% 33% 64% 12% 19% 15% 6% 32% 6% 3% 64%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
40
Berdasarkan fakta yang dijumpai di unit layanan, tujuan utama pengguna layanan memberikan uang tambahan atau gratifikasi adalah sebagai ucapan terima kasih (57%), mempercepat waktu pengurusan (54%), selanjutnya adalah meluluskan pengurusan walaupun syarat – syarat tidak ter-penuhi (15%), menghindarkan perlakuan semena mena dari petugas (7%), hanya 2% yang menjawab sebagai wujud rasa kasihan karena petugas dianggap memiliki gaji yang rendah.
Pada instansi dengan nilai integritas 5 tertinggi dan 5 terendah terlihat bahwa instansi dengan nilai integritas tinggi, tujuan utama pengguna layanan memberikan gratifikasi adalah sebagai ucapan terimakasih, sedangkan pada instansi dengan nilai integritas rendah, tujuan utama pengguna layanan memberikan uang tambahan adalah untuk mempercepat proses pengurusan layanan. Lihat gambar berikut.
Bila dilihat dari tujuan responden sesuai dengan unit layanan yang didatangi, pada 10 unit layanan dengan pemberian gratifikasi terbanyak, terlihat bahwa tujuan utama pengguna
layanan di unit layanan/gratifikasi adalah untuk mempercepat pengurusan layanan. Alasan tersebut tidak berbeda jauh dengan unit layanan di instansi lain. Lihat gambar berikut.
Gambar 3.9.
Arti Pemberian Gratifikasi (Uang Tambahan) dalam Pengurusan Layanan pada 10 unit layanan dengan kondisi pemberian gratifikasi paling banyak)
(jawaban multiple)
Gambar 3.10.
Tujuan Pemberian Gratifikasi Instansi Tingkat Pusat pada Instansi dengan Nilai Integritas 5 Tertinggi dan Terendah
(jawaban multiple) tercela
boleh dilakukan sesekali
tidak boleh dilakukan lazim terjadi
boleh kalau terpaksa
harus dilakukan dalam setiap pelayanan
47% 53% 23% 7% 44% 2% 47% 55% 15% 13% 43% 19% 43% 5%12% 40% 31% 59% 14% 14% 3% 34% 63% 22% 25% 13% 13% 30% 27% 17% 50% 30% 63% 7% 20% 17% 21% 48% 21% 14% 28% 10% 37% 30% 27% 86% 7% 3% 14%
Pemberian Fasilitas Industri Kecil Menengah (Kemenperin) Pelayanan Gangguan (PLN) SIM (Kepolisian) Layanan Penganduan (curanmor, pencurian, dll) (Kepolisian) PBJ (Kemenpera) SKCK (Kepolisian) Legalitas Dokumen (Kemenlu) PBJ (Kemenkominfo) PBJ (Kementerian PU) Rawat Inap (RSCM)
tidak ada alasan terima kasih meluluskan pengurusan lainnya
kasihan petugas hindari perlakuan semena2 mempercepat 1% 7% 2%1%2% 2% 5% 7% 0% 1% 3% 4% 1% 36% 1% 4% 28% 35% 1% 14% 38% 2% 3% 15% 1% 16% 1% 2%3% 9% 3% 6% 22% 13% 33% 4% 48% Kementerian Pertanian PT. Pos Indonesia PT. Pertamina PT. Jamsostek Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Perumahan Rakyat Kepolisian Kementerian Perindustrian Badan Pengawas obat dan Makanan
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
41
Bila pertanyaan diperdalam lagi mengenai alasan mem-berikan uang tambahan, sebagian besar responden (51%) menyatakan bahwa mereka memberikan uang tambahan karena merasa telah dibantu oleh petugas, responden lain (45%) menyatakan karena ingin mempercepat proses pengurusan dari waktu yang seharusnya dan (14%) menya-takan jika merasa puas dengan pelayanan petugas dan (14%)
jika ada sinyal – sinyal dari petugas yang menginginkan uang tambahan.
Bila dilihat alasan responden berdasarkan instansi tempat unit layanan yang didatangi, pada 10 instansi dengan frekuensi gratifikasi terbanyak, ditunjukkan oleh gambar berikut.
Fakta-fakta yang dijumpai dalam pengalaman integritas ini mencerminkan kondisi nyata dari unit layanan dan instansi berdasarkan pengalaman yang langsung dirasakan oleh pengguna layanan. Penilaian pengalaman integritas yang
buruk mencerminkan kondisi pelayanan aktual yang buruk menurut penilaian pengguna layanan yang selama setahun terakhir melakukan pengurusan layanan di unit layanan yang bersangkutan.
Gambar 3.11 .
Tujuan Pemberian Gratifikasi pada Unit Layanan Pusat pada 10 Unit Layanan Pusat dengan Frekuensi Gratifikasi Terbanyak (jawaban multiple) Gambar 3.12. Alasan Pengguna Layanan Memberikan Uang Tambahan dalam Proses Pengurusan Layanan
(jawaban multiple) tidak ada alasan khusus
Meluluskan pengurusan walaupun syarat2 tidak terpenuhi
rasa kasihan petugas gajinya rendah Mempercepat waktu pengurusan
ucapan terima kasih lainnya
menghindarkan perlakuan semena mena petugas Pemberian Fasilitas Industri Kecil Menengah
(Kemenperin) Pelayanan Gangguan (PLN) SIM (Kepolisian) Layanan Penganduan (curanmor, pencurian, dll) (Kepolisian) PBJ (Kemenpera) SKCK (Kepolisian) Legalitas Dokumen (Kemlu) PBJ (Kemenkominfo) PBJ (Kementerian PU) Rawat Inap (RSCM) 100% 100% 100% 6% 17% 89% 33% 28% 50% 11% 61% 78% 14% 14% 14% 9% 18% 27% 32% 32% 18% 50% 86% 5% 55% 95% 96% 17% 65% 17% 13% 71% 17% 4% 6% 6% 5% Mereduksi sebagian persyaratan Ada sinyal dari petugas
Mempercepat proses pengurusan Jika petugas meminta secara langsung
Pengguna memulai tawarkan uang tambahan Petugas mempersulit pengurusan
Puas dengan pelayanan petugas
Merasa telah dibantu oleh petugas
Merasa kasihan sama petugas
Kementerian Perdagangan Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Luar Negeri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kementerian Agama Kementerian Komunikasi dan Informatika
Kementerian Hukum dan HAM Kepolisian Kementerian Perindustrian 23% 2% 71% 2% 8% 44% 3% 14% 39% 7% 17% 3% 2% 40% 11% 13% 9% 18% 44% 9% 16% 23% 5% 2% 7% 75% 2% 5% 18% 52% 14% 16% 5%11% 70% 2% 55% 40% 5% 19% 12% 7% 64% 19% 2% 10%5%5% 59% 2% 12% 2% 61% 7%5% 15% 49% 24% 34% 10% 5% 20% 80% 5% 63% 12% 13% 9% 57% 6% 17% 3% 29% 9% 6% 20% 5% 4% 10% 2%
PT Perusahaan Listrik Negara
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
42
3.3. Potensi Integritas Tingkat Pusat
Indikator Potensi Integritas adalah Lingkungan Kerja dengan bobot 0,357, Sistem Administrasi dengan bobot 0,394, Perilaku Individu dengan bobot 0,156 dan Pencegahan
Korupsi dengan bobot 0,094 seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut.
Nilai rata-rata potensi integritas dari 39 instansi pusat dan 136 unit layanan di tingkat pusat adalah 5,99. Nilai tersebut walaupun tidak jauh dari standar minimal KPK namun masih cukup banyak indikator potensi integritas terutama sistem administrasi dan pencegahan korupsi yang nilainya masih sangat rendah (5,75 dan 3,12). Namun demikian seperti halnya di tingkat nasional, indikator lingkungan kerja juga terlihat masih kurang memuaskan.
Dari 39 instansi pusat yang disurvei, terdapat 5 instansi den-gan nilai potensi integritas tertinggi yaitu: Kementerian Perta-nian (6,70), Badan Pengawas Obat dan Makanan (6,68), Badan Akreditasi Negara (6,50), PT Pertamina (6,43) dan PT Angkasa Pura II (6,37). Sedangkan 5 instansi tingkat pusat dengan nilai potensi integritas terendah adalah: Kepolisian RI (5,04), Ba-dan Pertanahan Nasional (5,52), Kementerian Perumahan Rakyat (5,55), PT Kereta Api Indonesia (5,55) dan Kejaksaan RI (5,62). Terlihat bahwa tidak ada pola khusus tentang asal instansi dari Kementerian, BUMN, ataupun LPND terkait kelompok potensi integritas tinggi maupun rendah. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa tinggi rendahnya potensi in-tegritas tercermin dari kemauan dan usaha instansi itu
send-iri dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam layanan publiknya. Peringkat dan nilai potensi integritas seluruh in-stansi tingkat pusat ditunjukkan dalam Lampiran 12.
Pada tingkat unit layanan, 5 unit layanan tingkat pusat dengan nilai potensi integritas tertinggi adalah Izin pemasukan dan pengeluaran benih dari Kementerian Pertanian (7,09), Program bantuan sosial dari Kemenkokesra (6,96), Rekomendasi visa Taiwan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindun-gan Tenaga Kerja Indonesia (6.94), Pengadaan barang dan jasa dari Kementerian Pertanian (6,91), dan Izin ekspor/impor atas barang kategori makanan dan obat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (6,87). Sedangkan 5 unit layanan dengan nilai potensi integritas terendah adalah Layanan pengaduan (curanmor,pencurian,dll) dari Kepolisian RI (4,64), SKCK dari Kepolisian RI (4,73), Penerbitan sertifikat tanah dari BPN (4,91), Pembuatan dan perpanjangan SIM dari Kepolisian (4,95), dan Layanan rumah tahanan dari Kejaksaan RI (5,11). Peringkat dan nilai potensi integritas seluruh unit layanan tingkat pusat ditunjukkan dalam Lampiran 13. Gambar berikut me-nampilkan 10 unit layanan dengan nilai potensi integritas terendah.
Tabel 3.10.
Variabel, Indikator dan Sub Indikator Potensi Integritas Tingkat Pusat
Variabel Potensi Integritas (0,250)= 5,99 Indikator Lingkungan Kerja (0,357)= 6,54 Sistem Administrasi (0,394)= 5,75 Perilaku Individu (0,156)= 7,02 Pencegahan Korupsi (0,094)= 3,12 Sub-Indikator
Kebiasaan pemberian gratifikasi (0,502) = 6
Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,058) = 8
Keterlibatan calo (0,222) =7
Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,107) = 6 Suasana/kondisi di sekitar pelayanan(0,112) = 7 Kepraktisan SOP (0,258)= 6 Keterbukaan informasi (0,637)= 6
Pemanfaatan teknologi informasi (0,105) = 4
Keadilan dalam layanan (0,281)= 6
Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (0,584)= 7 Perilaku pengguna layanan (0,135) = 7
Tingkat Upaya Anti Korupsi (0,800)= 3
Mekanisme Pengaduan Masyarakat (0,200) = 3
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
43
Bagian selanjutnya akan membahas 4 indikator dari potensi integritas, yaitu lingkungan kerja, sistem administrasi,
perilaku individu dan pencegahan korupsi.
Gambar 3.13.
Sepuluh Unit Layanan Tingkat Pusat dengan Nilai Potensi Integritas Terendah
Tabel 3.11.
Nilai Indikator Lingkungan Kerja dan Sub Indikatornya Pusat
Indikator
Lingkungan Kerja (0,357)= 6,54
Sub-Indikator
Kebiasaan pemberian gratifikasi (0,502) = 6
Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,058) = 8
Keterlibatan calo 0,222) =7
Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,107) = 6
Suasana/kondisi di sekitar pelayanan (0,112) = 7
Nilai 6 pada sub indikator kebiasaan pemberian gratifikasi menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut walaupun sedikit tetapi masih terjadi. Lebih dari 52% masyarakat pengguna layanan tingkat pusat menyatakan bahwa praktek pembe-rian uang tambahan di lingkungan pelayanan yang mereka datangi masih ada.
Gambar berikut menjelaskan pendapat responden terkait dengan praktek pemberian uang tambahan di unit-unit layanan yang mayoritas pengguna layanannya memang mengeluarkan biaya tambahan dalam pengurusan layanan. 3.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan Publik
Tingkat Pusat
Berdasarkan fakta di lapangan, kebiasaan pemberian gratifikasi dan adanya keterlibatan calo akan menurunkan nilai potensi integritas secara signifikan. Pada unit layanan di tingkat pusat keterlibatan calo sudah tidak terlalu signifikan,
hanya kebiasaan pemberian gratifikasi dan fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan yang masih memerlukan perbaikan serius.
Layanan pengaduan ke polisi (curanmor, pencurian, dll) (Kepolisian) Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) (Kepolisian)
Pembuatan dan Perpanjangan SIM (Kepolisian)
Layanan Rutan milik Kejaksaan (Kepolisian) Teknik Pengujian dan Kalibrasi dalam bentuk JPT (Kemenperin) Layanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah (BPN) Layanan Keperdataan (Mahkamah Agung) Pengadaan barang dan jasa (Kemenpera) Layanan Pemeriksaan dalam proses penyidikan (Kejaksaan)
4.64 4.73 4.91 4.95 5.11 5.14 5.33 5.33 5.37 5.39
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
44
Gambar tersebut menjelaskan bahwa pada sepuluh unit layanan tingkat pusat di atas hampir semua pengguna layanannya menyatakan bahwa masih terjadi pemberian uang tambahan pada saat pengurusan layanan. Bahkan pada layanan paspor keimigrasian dari Kemenkumham, pengaduan dan SKCK dari Kepolisian dan layanan Keper-dataan dari Mahkamah Agung mayoritas pengguna layanan
menyatakan bahwa intensitas praktek pemberian uang tambahan di layanan tersebut sering dan selalu terjadi. Untuk memberi gambaran lebih luas terkait intensitas praktek gratifikasi di instansi pusat, gambar berikut menjelas-kan intensitas pemberian uang tambahan pada 5 instansi dengan integritas tertinggi dan terendah.
Gambar 3.14. Intensitas Praktek Pemberian Uang Tambahan di Lingkungan Pelayanan (pada 10 unit layanan dengan intensitas praktek pemberian uang tambahan tersering).
Gambar 3.15. Intensitas Praktek Pemberian Uang Tambahan di 5 instansi pusat dengan integritas tertinggi dan terendah Pada gambar terlihat bahwa pada kelompok nilai integritas
tinggi, praktek pemberian uang tambahan dalam penguru-san layanan dominan ‘tidak ada’, sedangkan pada kelompok dengan integritas rendah yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagian besar pengguna layanan menjawab ‘kadang-kadang’ maupun ‘sering’ terjadi’ bahkan ‘selalu terjadi’ untuk pertanyaan bagaimana intensitas praktek pemberian uang tambahan di unit layanan yang mereka datangi.
Pertanyaan lanjutan disampaikan bahwa menurut pengalaman yang dirasakan sendiri oleh pengguna layanan, bagaimana pemberian uang tambahan di lingkungan pelayanan,sebagian besar pengguna layanan (49%) me-nyatakan bahwa masih dilakukan oleh pengguna layanan (dari sisi pengguna layanan). Dari sisi petugas, 24% peng-guna layanan menyatakan bahwa uang tambahan masih diterima oleh petugas, dan mengenai pengawasan 6% responden tingkat pusat menyatakan bahwa pemberian uang tambahan sebagian ditolerir oleh pengawas/pimpinan di unit layanan.
Kepidanaan (Mahkamah Agung) Keperdataan (Mahkamah Agung) SKCK (Kepolisian RI) SIM (Kepolisian RI) Pengaduan Kepolisian (Kepolisian RI) Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah (BPN)
Jasa Pelayanan Teknis (JPT) (Kemenperin) Pengujian Beton dan Jembatan (Kementerian PU) Paspor Keimigrasian (Kemenkumham)
tidak ada Kadang-kadang terjadi sering terjadi selalu terjadi
63% 50% 16% 3% 3% 37% 43% 69% 7% 13% 48% 30% 7% 34% 43% 10% 23% 4% 78% 4% 13% 63% 23% 13% 53% 27% 20% 4% 58% 38% 33% 56% 11%
tidak ada Kadang-kadang terjadi sering terjadi selalu terjadi
80% 14% 4% 2% 80% 14% 4% 2% 20% 66% 10% 4% 28% 49% 19% 4% 44% 37% 17% 2% 23% 28% 37% 11% 86% 12% 2% 58% 32% 9% 14% 72% 14% 85% 15% 1% Kementerian Pertanian PT. Pos Indonesia PT. PERTAMINA PT. Jamsostek
Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Perumahan Rakyat Kepolisian Kementerian Perindustrian Kementerian Pekerjaan Umum Badan Pengawas obat dan Makanan
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
45
Pernyataan Persen
Dilakukan oleh semua pengguna layanan 5%
Dilakukan oleh sebagian besar pengguna layanan 16%
Dilakukan oleh sebagian kecil pengguna layanan 28%
Tidak pernah dilakukan oleh pengguna layanan 32%
Pernyataan Persen
Ditolerir oleh pimpinan/pengawas di unit layanan 3%
Sebagian ditolerir oleh pengawas/pimpinan unit layanan 3%
Tidak ditolerir sama sekali oleh pengawas/pimpinan unit layanan 7%
Pernyataan Persen
Diterima oleh hampir semua petugas 8%
Diterima oleh sebagian petugas 16%
Tidak diterima oleh petugas sama sekali 15%
Tabel 3.12.
Kondisi Pemberian Uang Tambahan pada Layanan Tingkat Pusat
(jawaban multiple)
Kebutuhan pertemuan di luar prosedur dalam pengurusan layanan diakui oleh sebagian besar pengguna layanan sudah tidak ada. Hanya sekitar 5% dari pengguna layanan yang masih melakukan pertemuan di luar prosedur pada saat mengurus layanan. Pertemuan di luar prosedur tersebut umumnya hanya dibutuhkan dalam satu tahapan saja (50%). Dan hanya 2% yang menjawab dibutuhkan di setiap tahapan
Tujuan masyarakat melakukan pertemuan di luar prosedur berdasarkan unit layanan yang mereka datangi pada 10 unit layanan yang dinilai respondennya paling sering melakukan pertemuan di luar prosedur pada saat mengurus layanan ditunjukkan oleh gambar berikut
Gambar 3.16. Tujuan Masyarakat Melakukan Pertemuan di Luar Prosedur (jawaban multiple) Mengambil dokumen yg diurus Memasukkan permohonan Menjalin perkenalan dg petugas Menegosiasikan biaya Mempercepat waktu pengurusan Melengkapi sejumlah persyaratan Memanipulasi sebagian persyaratan Penjualan tiket luar kota
(bukan KRL) (PT. KAI) PBJ (MA) PBJ (BKKBN) PBJ (Kemenhub) PBJ (Kemenag) PBJ (Kemenakertrans) PBJ (Kemenkominfo) Tower Rusunami dan Rusunawa (Kemenpera) 33% 17% 17% 29% 57% 13% 88% 13% 13% 38% 38% 75% 63% 13% 57% 43% 29% 29% 100% 100% 67% 82% 55% 91% 18% 18% 44% 40% 10% 40% 100% 11% 100% 56% 100% 33% 11% 60% 30% 100% 10% 9% 11% PBJ (Kemenkop UKM) PBJ (Kemenkumham)
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
46
Bagi masyarakat yang pernah melakukan pertemuan di luar prosedur, tujuan utama mereka melakukan hal tersebut adalah untuk mempercepat waktu pengurusan dan menjalin perkenalan/hubungan dengan petugas. Tujuan lain adalah untuk menegosiasikan biaya. Ketiga jawaban masyarakat tersebut sangat membuka peluang terjadinya korupsi dalam kegiatan layanan publik. Olehkarena itu penetapan prosedur, biaya serta persyaratan yang transparan sangat dibutuhkan
untuk mencegah terjadinya pertemuan di luar prosedur tersebut.
Keterlibatan calo di unit layanan tingkat pusat secara umum dianggap cukup rendah oleh masyarakat. Namun bila diperhatikan lebih jauh beberapa unit layanan dan instansi tingkat pusat dalam praktek pelayanannya masih ada calo yang terlibat. Lihat gambar berikut.
Kegiatan pelayanan yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum termasuk pengusaha ternyata dilihat masyarakat masih rawan dikuasai calo. Penjualan tiket kereta api luar kota, pelayanan SIM oleh Kepolisian, layanan kapal dan rupa-rupa oleh Pelindo II, hak kekayaan intelektual, paspor sampai layanan jasa angkutan penumpang dalam negeri oleh PELNI keseluruhannya merupakan layanan yang langsung menyentuh masyarakat secara luas. Peluang keberadaan calo terbuka lebar karena frekuensi pelayanan untuk unit layanan-unit layanan tersebut memang tinggi.
Bila diperluas dalam perspektif instansi pusat, PT Pelindo II, PT KAI, dan PT Pelayaran Nasional Indonesia merupakan instansi yang menurut penilaian pengguna layanannya paling rawan dikuasai calo. Ketiga instansi tersebut merupakan instansi yang melayani kebutuhan pokok masyarakat dalam transportasi. Kemenkumham, Kepolisian, RSCM dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia merupakan instansi lain yang juga dinilai masyarakat rawan calo. Lihat gambar berikut.
Gambar 3.17.
Keberadaan Perantara di Luar Prosedur (calo) pada Unit Layanan Publik (pada 10 Unit Layanan dengan Intensitas Calo Tertinggi) Gambar 3.18. Apakah Anda melihat perantara di luar prosedur (calo) pada instansi ini?
71% 29% 69% 31% 62% 38% 58% 42% 50% 50% 48% 52% 47% 53% 46% 54% 41% 59% 40% 60% Ya Tidak Penjualan tiket luar kota (bukan KRL) (PT.KAI)
SIM (Kepolisian) Layanan Kapal (Jasa labuh&tambat) (PT. Pelindo II) Hak Kekayaan Intelektual (Kemenkumham) Pelayanan rupa-rupa (PT. Pelindo II) Paspor Keimigrasian (Kemenkumham) PBJ (Kemenpera) Jasa Pelayanan Teknis (JPT) (Kemenperin) Pelayanan cargo (PT. Angkasa Pura II) Layanan jasa angkutan penumpang DN (di atas kapal) (PT. PELNI)
16% 84% 17% 83% 17% 83% 17% 83% 18% 82% 25% 75% 25% 75% 30% 70% 34% 66% 39% 61% Ya Tidak PT. Pelabuhan Indonesia II
PT. Kereta Api Indonesia PT. Pelayaran Nasional Indonesia Kementerian Hukum dan HAM Kementerian Perumahan Rakyat Kepolisian
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo PT. Angkasa Pura II Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
47
Siapakah perantara/calo tersebut? Jawaban yang didapat dari responden pengguna layanan ternyata cukup mengejut-kan. Jawaban responden pada 10 instansi dengan intensitas calo tertinggi menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar
perantara/calo adalah petugas sendiri, baik petugas yang langsung mengurus layanan atau petugas yang bekerja di instansi tersebut tetapi tidak berurusan langsung dengan layanan. Lihat penjelasan gambar berikut.
Bila diperhatikan berdasarkan unit layanan, gambar berikut menjelaskan peran calo/perantara pada unit layanan-unit
layanan tingkat pusat dengan intensitas calo tertinggi. Menurut pengguna layanan, peran calo/perantara memang
masih ada dalam proses pengurusan layanan. Peran tersebut bisa dalam bentuk mempercepat waktu pengurusan. Untuk responden yang melihat terdapat perantara di luar prosedur di unit layanan yang mereka datangi, sebagian besar (51%) menyatakan bahwa calo/perantara di luar prosedur berperan
dalam mempercepat waktu pengurusan. Peran lain yang signifikan adalah untuk mempermudah komunikasi petugas dan pengguna dan perantara untuk tawar menawar biaya, persyaratan dan prosedur, seperti ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 3.20.
Peran dari Perantara di Luar Prosedur/Calo
(jawaban multiple)
Gambar 3.19. Perantara di Luar Prosedur yang Ada pada Unit Layanan yang Didatangi oleh Pengguna Layanan (pada 10 instansi dengan intensitas calo tertinggi)
(jawaban multiple) 51% 32% 26% 18% 17% 11% 8% 4% Mempercepat waktu pengurusan
Mempermudah komunikasi petugas dan pengguna Bisa tawar menawar biaya Bisa tawar menawar persyaratan Bisa tawar menawar tidak melewati prosedur tertentu Tidak ada bedanya mengurus sendiri Layanan hanya akan diurus jika melalui mereka Menghindarkan pengguna dari eksploitasi petugas
Perusahaan /badan usaha jasa pengurusan Org luar
(eksternal/perorangan) Org yg bekerja di sekitar unit layanan (tkg parkir, satpam, pedagang kantin) Petugas tdk mengurus ttp msh bekerja di unit tsb Petugas langsung mengurus layanan
Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia PT. Angkasa Pura II Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kementerian ESDM Kepolisian
Kementerian Perumahan Rakyat Kementerian Hukum dan HAM PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) PT. Kereta Api Indonesia
PT. Pelabuhan Indonesia II 14% 24% 14% 71% 38% 33% 10% 24% 19% 6% 81% 25% 39% 6%6% 61% 39% 36% 32% 27% 45% 5% 21% 45% 28% 17% 17% 28% 14% 3% 6% 58% 20% 20% 11% 80% 18% 12% 17% 39% 54% 58% 47% 6% 58% 47%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
48
Bagaimana cara calo beroperasi? Umumnya mereka beroperasi secara sembunyi-sembunyi (55 %) dan 43% responden yang menyatakan bahwa cara operasi calo tersebut secara terang-terangan.
Bila cara operasi calo dilihat berdasarkan tempat unit layanan di mana mereka beroperasi, terlihat bahwa unit layanan-unit layanan HAKI dari Kemenkumham, jasa angkutan penumpang
dari Pelni, penjualan tiket luar kota dari PT KAI, pelayanan ru-pa-rupa dari Pelindo II, pelayanan cargo dari Angkasa Pura II, SIM dari Kepolisian, paspor dari Kemenkumham merupakan unit layanan di mana sebagian besar calonya beroperasi secara terang-terangan. Sedangkan operasi calo yang sem-bunyi-sembunyi umumnya ada di unit layanan jasa labuh dan tambat kapal dari Pelindo II dan JPT dari Kementerian Perindustrian. Lihat gambar berikut.
Gambar 3.21.
Peran dari Perantara di Luar Prosedur/ Calo (pada 10 unit layanan pusat dengan intensitas calo tertinggi)
(jawaban multiple)
Dampak keberadaan calo/perantara dinilai berbeda oleh pengguna layanan. Bila di PT.KAI, PT Angkasa Pura II, dan Ba-dan Nasional Penempatan Ba-dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia keberadaan calo menurut pengguna layanan dianggap mengganggu, tapi di instansi Pelindo II, PELNI,
Kemkumham,Kemenpera, Kepolisian, Kementerian SDM, dan RSCM keberadaan calo dianggap tidak mengganggu. Bahkan di Kepolisian dan RSCM dianggap menguntungkan. Lihat gambar berikut.
Gambar 3.22.
Cara Perantara/Calo Beroperasi (pada 10 unit layanan dengan intensitas calo tertinggi)
Tidak ada bedanya mengurus sendiri
Menghindarkan pengguna dari eksploitasi petugas
Mempermudah komunikasi petugas dan pengguna Mempercepat waktu pengurusan Bisa tawar menawar tidak melewati prosedur tertentu Bisa tawar menawar persyaratan Bisa tawar menawar biaya Layanan hanya akan diurus jika melalui mereka
Layanan jasa angkutan penumpang dalam negeri (di atas kapal)(PT.PELNI) Pelayanan cargo (PT. Angkasa Pura II) Jasa Pelayanan Teknis (JPT) (Kemenperin) PBJ (Kemenpera) Paspor Keimigrasian (Kemenkumham) Pelayanan rupa-rupa (PT. Pelindo II) Hak Kekayaan Intelektual (Kemenkumham) Layanan Kapal (Jasa labuh & tambat) (PT. Pelindo II) SIM (Kepolisian) Penjualan tiket luar kota (PT. KAI)
17% 42% 8% 17% 8% 25% 17% 8%8%8% 54% 31% 14% 64% 21% 21% 14% 86% 29% 7%7% 17% 33% 28% 17% 56% 38% 23% 23% 8% 62% 62% 7% 21% 21% 14% 64% 18% 64% 9% 27% 5%5% 50% 65% 20% 10%10% 5% 17% 45% 3% 7%10%7%7%
Layanan Kapal (Jasa labuh dan tambat) (PT. Pelindo II) Jasa Pelayanan Teknis (JPT) (Kemenperin) Paspor Keimigrasian (Kemenkumham) PBJ (Kemenpera) SIM (Kepolisian) Pelayanan cargo (PT. Angkasa Pura II) Pelayanan rupa-rupa (PT. Pelabuhan Indonesia II) Penjualan tiket luar kota (bukan KRL) (PT. Kereta Api Indonesia) Layanan jasa angkutan penumpang (di atas kapal) PT. PELNI) Hak Kekayaan Intelektual (Kemenkumham)
63% 32% 5% 55% 45% 48% 52% 45% 55% 38% 62% 36% 64% 30% 70% 6% 93% 38% 69% 3% 43% 50% 7% 0% 50% 100%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009 49 Gambar 3.23. Dampak dari Keterlibatan Perantara di Luar Prosedur dalam Pengurusan Layanan (pada 10 instansi dengan intensitas calo terbanyak) Gambar 3.24. Suasana/Kondisi Fasilitas di Lingkungan Unit Layanan yang Didatangi Pengguna Layanan
(jawaban multiple) Fasilitas pelayanan yang disediakan di lingkungan layanan