Direktorat Penelitian dan Pengembangan
2010
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
ii
INTEGRITAS SEKTOR PUBLIK
INDONESIA TAHUN 2009
FAKTA KORUPSI DALAM LAYANAN PUBLIK
Disusun oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi
Diterbitkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi
Jakarta, September 2010
ISBN 978-979-19557-3-7
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009 Fakta Korupsi dalam Layanan Publik
166 hlm + vi
Kegiatan Survei Integritas Sektor Publik 2009 didanai oleh APBN Terjemahan dan Pencetakan didanai oleh World Bank
www.kpk.go.id
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
iii
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa buku “Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009: Fakta Korupsi dalam Layanan Publik” telah diselesaikan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Survei Integritas Sektor Publik telah kami lakukan sejak tahun 2007. Survei tahun 2009 dilakukan terhadap 39 instansi pusat, 10 pemerintah provinsi dan 49 pemerintah kabupaten/kota dengan total 371 unit layanan yang memberikan pelayanan kepada publik (masyarakat, perusahaan maupun layanan antar lembaga). Responden dalam survei ini adalah pengguna layanan langsung (bukan calo atau biro jasa) dari layanan yang disediakan oleh instansi tersebut. Survei dilaksanakan pada April-September 2009. Seluruh data yang diperoleh dalam laporan survei ini adalah data primer yang bersumber dari hasil wawancara secara langsung dengan responden di lapangan.
Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan maupun bantuan dalam pelaksanaan survei serta dalam penyusunan buku ini. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi peningkatan integritas sektor publik di Indonesia.
Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jakarta, September 2010
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Daftar Isi
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ... 2
1.2. Maksud dan Tujuan Survei ... 2
1.3. Metodologi ... 3
II. Integritas Nasional 2.1.Total Integritas Tingkat Nasional ... 6
2.1.1. Nilai Integritas Nasional ... 6
2.1.2. Unit Layanan dan Instansi yang Dinilai ... 8
2.2. Pengalaman Integritas Tingkat Nasional ... 11
2.2.1. Pengalaman Masyarakat terhadap korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 12
2.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 13
2.3. Potensi Integritas Nasional ... 15
2.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 17
2.3.2. Sistem Administrasi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 20
2.3.3. Perilaku Individu di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 22
2.3.4. Pencegahan Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional ... 24
2.4. Upaya Peningkatan Nilai Integritas Nasional ... 26
III. Integritas Sektor Publik Tingkat Pusat 3.1. Total Integritas Tingkat Pusat ... 28
3.1.1. Nilai Integritas Pusat ... 28
3.1.2. Unit Layanan Tingkat Pusat ... 31
3.2. Pengalaman Integritas Tingkat Pusat ... 35
3.2.1. Pengalaman Masyarakat terhadap korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 36
3.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 39
3.3. Potensi Integritas Tingkat Pusat ... 42
3.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 43
3.3.2. Sistem Administrasi di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 50
3.3.3. Perilaku Individu di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 52
3.3.4. Pencegahan Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Pusat ... 55
3.4. Upaya Peningkatan Nilai Integritas Tingkat Pusat ... 58
IV. Integritas Sektor Publik Tingkat Provinsi 4.1. Total Integritas Tingkat Provinsi ... 61
4.1.1. Nilai Integritas Pemerintah Provinsi ... 61
4.1.2. Unit Layanan Pemerintah Provinsi ... 62
4.2. Pengalaman Integritas Tingkat Provinsi ... 64
4.2.1. Pengalaman Masyarakat terhadap korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 66
4.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 68
4.3. Potensi Integritas Tingkat Provinsi ... 71
4.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 73
4.3.2. Sistem Administrasi di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 78
4.3.3. Perilaku Individu di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 80
4.3.4. Pencegahan Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Provinsi ... 82
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
vi
V. Integritas Sektor Publik Tingkat Kabupaten/Kota
5.1 Total Integritas Tingkat Kabupaten/Kota ... 86
5.1.1. Nilai Integritas Pemerintah Kabupaten/Kota ... 86
5.1.2. Unit Layanan Pemerintah Kabupaten/Kota ... 89
5.2. Pengalaman Integritas Tingkat Kabupaten/Kota ... 92
5.2.1. Pengalaman Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 94
5.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 96
5.3. Potensi Integritas Tingkat Kabupaten/Kota ... 99
5.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 101
5.3.2. Sistem Administrasi di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 106
5.3.3. Perilaku Individu di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 107
5.3.4. Pencegahan Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten/Kota ... 109
5.4. Upaya Peningkatan Nilai Integritas Tingkat Kabupaten/Kota ... 112
VI. Kesimpulan ... 114
Lampiran 1. Metodologi ... 118
2. Nilai Integritas Sektor Publik Nasional ... 127
3. Nilai Pengalaman Integritas Nasional ... 129
4. Nilai Potensi Integritas Nasional ... 131
5. Peringkat Integritas Unit Layanan Tingkat Pusat ... 133
6. Nilai dan Peringkat Integritas Instansi dan Unit Layanan Tingkat Pusat ... 136
7. Nilai Integritas Instansi BUMN Tahun 2009 ... 139
8. Nilai Integritas Lembaga Pemerintah Non Kementerian Tahun 2009 ... 140
9. Nilai Integritas Kementerian Tahun 2009 ... 140
10. Peringkat dan Nilai Pengalaman Integritas Instansi Tingkat Pusat ... 141
11. Peringkat dan Nilai Pengalaman Integritas Unit Layanan Tingkat Pusat ... 142
12. Peringkat dan Nilai Potensi Integritas Instansi Tingkat Pusat ... 146
13. Peringkat dan Nilai Potensi Integritas Unit Layanan Tingkat Pusat ... 147
14. Nilai dan Peringkat Integritas Pemerintah Provinsi dan Unit Layanannya Tahun 2009 ... 151
15. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Izin Trayek Antar Kota Tingkat Provinsi Tahun 2009 ... 152
16. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Izin Pendirian Koperasi/UKM Tingkat Provinsi Tahun 2009 ... 152
17. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat Provinsi Tahun 2009 ... 152
18. Nilai dan Peringkat Integritas Pengadaan Barang dan Jasa SKPD Tingkat Provinsi Tahun 2009 ... 153
19. Peringkat dan Nilai Pengalaman Integritas Unit Layanan Tingkat Provinsi ... 153
20. Peringkat dan Nilai Potensi Integritas Unit Layanan Tingkat Provinsi ... 154
21. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Tingkat Kabupaten/Kota ... 155
22. Nilai dan Peringkat Integritas Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit Layanan Kabupaten/Kota ... 159
23. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Bantuan Pembangunan/Renovasi/Perbaikan Sekolah dari APBD II ... 162
24. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Akte Kelahiran Tingkat Kabupaten/Kota Tahun 2009 ... 163
25. Nilai dan Peringkat Integritas Unit Layanan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas/RSUD Kelas C ... 164
26. Peringkat dan Nilai Pengalaman Integritas Pemerintah Kabupaten/Kota ... 165
PENDAHULUAN
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
2
1.1. Latar Belakang
Instansi Pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah merupakan sektor publik yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam melaksanakan tugasnya, sektor publik ini menggunakan dana dari APBN/ APBD yang sebagian besar bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk pajak yang dibayar oleh masyarakat. Salah satu bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut adalah melalui pemberian pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dengan tidak membebani mereka dengan berbagai pungutan.
Fakta yang dijumpai saat ini, pelayanan sektor publik merupakan salah satu sektor di mana tindak pidana korupsi terutama dalam bentuk penyuapan, pemerasan maupun gratifikasi masih banyak terjadi. Bahkan hal tersebut sudah mulai dilakukan secara sistematis serta semakin meluas dan semakin canggih dalam proses pelaksanaannya.
Untuk dapat mencegah secara efektif terjadinya korupsi, hendaknya dihindari pengukuran korupsi yang semata-mata bertujuan untuk mendeteksi pelaku korupsi dan menghukumnya. Penting untuk menempatkan strategi pencegahan korupsi dengan tujuan untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi sejak awal. Dalam menetapkan strategi pencegahan korupsi, perlu diidentifikasi dan dianalisa faktor-faktor yang menjadi akar penyebab yang berkontribusi menimbulkan korupsi pada sektor publik.
Olehkarena itu penting untuk menilai tingkat integritas sektor publik yang secara sistematis dapat menggambarkan sifat-sifat korupsi di sektor publik tersebut.
Penilaian yang dilakukan langsung oleh pengguna layanan publik ini diharapkan mampu mengubah perspektif layanan
PENDAHULUAN
dari orientasi pada penyedia layanan (supply) menjadi perspektif pengguna layanan (demand). Survei Integritas Sektor Publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara reguler tiap tahun dilakukan untuk mengukur hal tersebut.
Melalui diseminasi secara aktif hasil survei integritas sektor publik kepada media massa, masyarakat dan lembaga penyedia layanan, diharapkan akan mendorong sektor publik secara sukarela melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi terutama di unit layanan publiknya. Upaya tersebut bila dilakukan secara komprehensif pada akhirnya akan menaikkan integritas sektor publik yang bersangkutan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor publik.
1.2. Maksud dan Tujuan Survei
Mendapatkan informasi data primer dari pengguna layanan mengenai unsur-unsur integritas sektor publik dan bagaimana unsur integritas tersebut dimiliki dan diterapkan oleh sektor publik menurut penilaian pengguna layanan.
Survei ini bertujuan untuk :
a. Memetakan tingkat integritas sektor publik melalui kegiatan survei rutin setiap tahun;
b. Memberikan informasi mengenai kinerja sektor publik di Indonesia;
c. Memberikan informasi tingkat pelaksanaan unsur-unsur integritas di sektor publik di Indonesia;
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
3
1.3. Metodologi
Penjelasan singkat mengenai metodologi pelaksanaan survei dijelaskan dalam tabel berikut.
No Uraian Penjelasan
1 Waktu Pelaksanaan Survei Survei dilaksanakan pada 21 April hingga 7 September 2009
2 Lokasi Survei Untuk Unit Layanan Tingkat Pemerintah Pusat dilakukan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
Untuk Unit Layanan Tingkat Pemerintah Provinsi dilakukan di 10 provinsi
Untuk Unit Layanan Tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan di 49
kabupaten/ kota
3 Jumlah Instansi dan Unit Tingkat Pusat : 136 unit layanan pada 39 Instansi (19 Kementerian, 8 LPND, Layanan yang disurvei 12 BUMN/ BLU)
Tingkat Provinsi: masing-masing 4 unit layanan di 10 pemerintah provinsi, kecuali Jawa Timur hanya 3 unit layanan
Tingkat Kab/Kota : masing-masing 4 unit layanan di 49 kabupaten/Kota yang tersebar di 10 Provinsi
4 Nama Unit Layanan Tingkat Pusat: Program, Layanan Perizinan, Layanan Non Perizinan dan yang disurvei Pengadaan Barang & Jasa
Tingkat Provinsi:1) Izin trayek antar kota dalam provinsi; 2)Izin pendirian koperasi/ UKM; 3)Pelayanan RSUD Kelas B Tingkat Provinsi; dan
4)Pengadaan barang&jasa di SKPD lingkungan pemerintah provinsi
Tingkat Kab/Kota : 1) Akte kelahiran; 2)Bantuan pembangunan/renovasi/ perbaikan fisik sekolah dari APBD II; 3)Pelayanan kesehatan dasar di
puskesmas/RSUD Kelas C; 4)Pengadaan barang&jasa di SKPD
di lingkungan Pemkab/ Pemkot
5 Responden Kriteria : pengguna langsung unit layanan dalam 1 tahun terakhir, telah selesai menjalani seluruh prosedur pelayanan, individu atau mewakili
perusahaan/instansi, berusia di atas 18 tahun
Jumlah Responden total 11.413 orang, terdiri dari 4.592 di pusat, 1.039 di tingkat provinsi dan 5.782 di tingkat kabupaten/kota
6 Alat Ukur Variabel (2): Pengalaman Integritas dan Potensi Integritas
Indikator (6) : Pengalaman Korupsi, Cara Pandang terhadap Korupsi, Lingkungan Kerja, Sistem Administrasi, Perilaku Individu, Pencegahan Korupsi
Sub-Indikator(18) : Frekuensi pemberian gratifikasi, Jumlah/besaran gratifikasi, Waktu pemberian gratifikasi, Arti pemberian gratifikasi, Tujuan
pemberian gratifikasi, Kebiasaan pemberian gratifikasi,Kebutuhan pertemuan di luar prosedur, Keterlibatan calo, Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan, Suasana/kondisi di sekitar pelayanan, Kepraktisan SOP,
Keterbukaan informasi, Pemanfaatan teknologi informasi, Keadilan dalam layanan, Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi, Perilaku pengguna layanan, tingkat/upaya anti korupsi korupsi, Mekanisme pengaduan masyarakat
7 Metode pengukuran Pembobotan variabel, indikator dan sub indikator oleh para pakar melalui diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Penilaian kuesioner oleh responden
8 Instrumen Pengumpulan Kuesioner
Data dan Informasi Wawancara
Pengamatan
9 Nilai Indeks Sebaran Nilai : 1-10
Arti Nilai : semakin mendekati 10 maka integritas semakin baik
Tabel 1
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
4
Metodologi yang digunakan pada tahun 2009 ini tidak jauh berbeda dengan yang digunakan pada tahun 2008, perbedaannya hanya pada penambahan ruang lingkup survei untuk tahun 2009 yang juga mencakup layanan publik di tingkat Pemerintah Provinsi.
2
INTEGRITAS
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
6
Nilai Integritas Nasional disusun berdasarkan variabel Pengalaman Integritas dan Potensi Integritas yang keduanya diperoleh dari indikator dan sub indikator pada unit layanan-unit layanan publik yang disurvei di tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
INTEGRITAS NASIONAL
Nilai integritas 6,50 dianggap masih cukup rendah, meng-ingat hanya sekitar 0,5 di atas standar integritas minimal yang ditetapkan oleh KPK. Nilai tersebut juga masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Korea yang memiliki nilai integritas mencapai 9.
Gambaran secara menyeluruh mengenai nilai masing-masing indikator dan sub-indikator untuk tingkat nasional dijelaskan dalam tabel berikut:
2.1. Total Integritas Tingkat Nasional
2.1.1. Nilai Integritas Nasional
Nilai rata-rata Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009 adalah 6,50. Nilai tersebut lebih rendah dibanding dengan nilai integritas tingkat pusat dan daerah tahun 2008 yang rata-rata 6,84 dan 6,69, namun sedikit lebih tinggi dari nilai integritas pusat tahun 2007 yang rata-rata 5,53. Penurunan tersebut sebagian dikarenakan mulai tahun 2009, KPK menetapkan standar minimal integritas sektor publik, dengan nilai 6 sebagai standar integritas minimal yang harus dipenuhi oleh instansi penyedia layanan publik. Penetapan standar minimal integritas tersebut sekaligus bertujuan untuk membatasi keragaman jawaban responden atas persepsi yang berbeda akibat perbedaan tingkat pendidikan, golongan umur, domisili, jenis pekerjaan maupun status responden terhadap pertanyaan yang diajukan.
Secara lebih terperinci, nilai integritas nasional berasal dari: (a) 136 unit layanan di 39 instansi pusat;
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
7
Dengan nilai rata-rata integritas 6,50, terlihat bahwa nilai potensi integritas masih rendah yaitu 5,87, di bawah nilai integritas minimal yang ditetapkan KPK sebesar 6,0. Dari variabel potensi integritas, indikator sistem administrasi dan pencegahan korupsi merupakan kontributor terbesar yang menurunkan nilai potensi integritas. Pada indikator sistem administrasi, pemanfaatan teknologi informasi memiliki nilai yang sangat rendah. Sementara pada pencegahan korupsi, seluruh sub indikator (tingkat upaya anti korupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat) berkontribusi dalam rendahnya nilai pencegahan korupsi.
Nilai total integritas terhadap 98 instansi di tingkat nasional memiliki rentang nilai yang tidak terlalu lebar yaitu berkisar antara 7,62 sampai 4,75. Rentang yang sempit tersebut sebagai akibat penetapan standar integritas minimal sektor publik yang ditetapkan oleh KPK. Dengan standar yang ditetapkan tersebut, pengguna layanan akan menjawab pertanyaan dengan standar yang seragam sehingga perbedaan persepsi bisa diminimalisir.
Peringkat nasional integritas sektor publik ditunjukkan dalam Lampiran 2.
Integritas
Integritas Total (1,00)= 6,50
Total 2 Variabel
Pengalaman Integritas (0,750)=6,71
Potensi Integritas (0,250)= 5,87
6 Indikator
Pengalaman Korupsi (0,800)= 6,73
Cara Pandang Terhadap Korupsi (0,200)= 6,65
Lingkungan Kerja (0,357)= 6,54
Sistem Administrasi (0,394)= 5,53
Perilaku Individu (0,156)= 7,02
Pencegahan Korupsi (0,094)= 2,82
18 Sub-Indikator
Frekuensi Pemberian Gratifikasi (0,333)= 7 Jumlah/Besaran gratifikasi (0,140)= 6 Waktu pemberian gratifikasi (0,528) = 7 Arti pemberian gratifikasi (0,167)= 5
Tujuan pemberian gratifikasi (0,833) = 7 Kebiasaan pemberian gratifikasi (0,502) = 6 Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,058) = 8 Keterlibatan calo (0,222) =7
Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,107) = 6 Suasana/kondisi di sekitar pelayanan (0,112) = 7 Kepraktisan SOP (0,258)= 6
Keterbukaan informasi (0,637)= 6
Pemanfaatan teknologi informasi (0,105) = 4 Keadilan dalam layanan (0,281)= 6
Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (0,584)= 7 Perilaku pengguna layanan (0,135) = 7
Tingkat Upaya Anti Korupsi (0,800)= 3
Mekanisme Pengaduan Masyarakat (0,200)= 3
Tabel 2.1.
Nilai Integritas, Variabel, Indikator dan Sub Indikator Sektor Publik Tingkat Nasional
Keterangan:
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
8
Dengan nilai rata-rata integritas nasional 6,50 terdapat 49 instansi/pemprov/pemkab-Pemkot (50%) yang nilainya sama atau di bawah rata-rata, dan 49 instansi (50%) yang nilai integritasnya di atas rata-rata. Berdasarkan standar minimal yang ditetapkan KPK sebesar 6,0 sebagai dasar bahwa instansi yang bersangkutan sudah bisa memenuhi standar minimal pelayanan yang berintegritas, terlihat bahwa masih terdapat
15 instansi/pemprov/pemkab-Pemkot yang memiliki nilai integritas di bawah 6,0. Artinya, 15 persen instansi di Indonesia masih memiliki standar pelayanan di bawah yang ditetapkan KPK dan harus terus meningkatkan kualitas layanannya supaya paling tidak bisa mencapai standar minimal integritas yang 6,0, seperti ditunjukkan oleh tabel berikut.
No Instansi/Pemprov/ Nilai Integritas Total Peringkat (1-100)
Pemkab-Pemkot di bawah 6,0
1 Kabupaten Garut 5,99 84
2 Kota Makasar 5,89 85
3 Kabupaten Gowa 5,86 86
4 Kota Manado 5,86 87
5 Kabupaten Deli Serdang 5,84 88
6 Kepolisian 5,71 89
7 Kabupaten Maros 5,70 90
8 Kementerian Perindustrian 5,66 91
9 Provinsi DKI Jakarta 5,65 92
10 Kota Samarinda 5,65 93
11 Kota Bandar Lampung 5,59 94
12 Kabupaten Kuningan 5,08 95
13 Kota Jakarta Selatan 4,92 96
14 Provinsi Sulawesi Utara 4,80 97
15 Provinsi Sulawesi Selatan 4,75 98
Namun demikian 85 persen instansi/provinsi/pemkab-Pemkot dianggap sudah cukup memenuhi standar minimal integritas dalam pelayanan, walaupun bila diperinci secara lebih detail dari instansi yang sudah memenuhi standar integritas minimal tersebut masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan dalam praktek pelayanannya.
Informasi lain yang menarik adalah ada 2 pemerintah provinsi dan 1 pemerintah kota yang mempunyai nilai total integritas di bawah 5,0. Kondisi ini menggambarkan masih ada layanan publik pada pemerintah daerah yang masih dibayangi oleh nilai merah dalam memberikan layanannya karena masih suburnya perilaku korup.
Nilai integritas yang diperoleh di tiap instansi baik di tingkat pusat maupun daerah, merupakan akumulasi dari nilai pengalaman integritas dan potensi integritas dengan masing-masing bobot 0,750 dan 0,250. Nilai rata-rata integritas sektor publik tingkat nasional Tahun 2009 sebesar 6,50 tersebut diperoleh dengan memperhitungkan nilai rata-rata pengalaman integritas 6,71 dan nilai rata-rata potensi integritas 5,87.
Terlihat bahwa nilai rata-rata pengalaman integritas lebih tinggi dibandingkan dengan nilai potensi integritas. Oleh karena bobot pengalaman integritas yang lebih tinggi, tingginya skor pengalaman integritas membuat nilai total
integritas nasional juga menjadi tinggi. Nilai pengalaman integritas yang lebih tinggi daripada nilai potensi integritas dapat menjelaskan kondisi berikut:
1. Nilai potensi integritas yang masih rendah menunjukkan bahwa secara umum belum tersedia sistem dan ling-kungan yang berpotensi mendukung terselenggaranya transparansi dan profesionalitas petugas dalam melayani masyarakat. Peluang terjadinya korupsi masih terbuka karena sistem pendukung layanan belum menunjukkan ke arah anti korupsi
2. Sistem dan fasilitas yang telah tersedia untuk mendukung pelayanan publik dinilai masyarakat belum mendukung terselenggaranya pelayanan sesuai yang diharapkan oleh masyarakat
3. Nilai pengalaman integritas yang cukup baik menunjuk-kan bahwa praktek-praktek suap dan pungutan liar secara nyata telah mulai berkurang.
2.1.2. Unit Layanan dan Instansi yang Dinilai
Penilaian integritas sektor publik nasional tahun 2009 di-lakukan terhadap 371 unit layanan di tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Secara terperinci unit layanan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 2.2.
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
9
Pada unit layanan tingkat pusat oleh karena nama unit layanannya berbeda untuk tiap instansi maka ditetapkan unit layanan yang dipilih dapat digolongkan sebagai program, layanan perizinan, layanan non perizinan dan pengadaan barang dan jasa. Sedangkan untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, ditetapkan unit layanannya seragam yang mewakili golongan pelayanan dasar, perizinan, non perizinan, program dan pengadaan barang dan jasa.
Nilai rata-rata integritas per unit layanan yang disurvei menunjukkan bahwa pelayanan pengadaan barang dan jasa baik di tingkat pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota merupakan unit layanan yang nilainya masih rendah. Nilai integritas yang relatif baik dicapai oleh unit pelayanan dasar dan program-program pemerintah pusat maupun daerah. Sedangkan layanan perizinan dan non perizinan masih harus dilakukan perbaikan dan peningkatan. Lihat gambar berikut.
Instansi Unit Layanan
Pusat
1. Program
2. Perizinan
3. Non Perizinan
4. Pengadaan Barang dan Jasa
Catatan: nama layanan berbeda tiap instansi
Pemerintah Provinsi
1. Pelayanan RSUD Tingkat Provinsi (Kelas B)
2. Pengadaan Barang dan Jasa di SKPD
Lingkungan Pemerintah Provinsi
3. Izin Trayek antar Kota dalam Provinsi
4. Izin Pendirian Koperasi/UKM
Catatan: nama layanan sama untuk tiap provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
1. Pelayanan RSUD Tingkat Provinsi (Kelas C) 2. Pengadaan Barang dan Jasa di SKPD
Lingkungan Pemerintah Kabupaten/ Kota
3. Akte Kelahiran
4. Bantuan Pembangunan/Renovasi/ Perbaikan Fisik Sekolah dengan APBD II
Catatan: nama layanan sama untuk tiap provinsi
Tabel 2.3.
Unit Layanan pada Survei Integritas Sektor Publik 2009
Gambar 2.1.
Nilai Rata-rata Unit Layanan pada Survei Integritas Tahun 2009 di Tingkat Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Pusat Pemprov Pemkab/Pemkot
5,75 5,89
7,18 6,67
6,73 6,94
Program Perizinan Non Perizinan
PBJ Pusat RSUD Kelas B
Izin Trayek Antar Kota
Izin Pendirian Koperasi/ UKM
PBJ Pemprov
Kesehatan dasar Puskesmas
RSUD kelas C
Akte Kelahiran
Bantuan Pemba-ngunan/ perbaikan Fisik
Sekolah
PBJ Pemkab/
Pemkot 6,21
7,10
5,97
7,36
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
10
Nilai Integritas Unit Layanan Tingkat Nasional seluruhnya di atas rata-rata
Nilai Integritas Unit Layanan Tingkat Nasional sebagian di atas rata-rata dan sebagian di bawah rata-rata
Nilai Integritas Unit Layanan Tingkat Nasional seluruhnya di bawah rata-rata
(1) Kementan; (2) PT Pos Indonesia; (3) PT Pertamina; (4) Badan Pengawas Obat dan Makanan; (5) PT Jamsostek; (6) Badan Akreditasi Negara; (7) PT Angkasa Pura II; (8) PT Pelayaran Nasional Indonesia; (9) Kemdiknas; (10) PT Perusahaan Gas Negara; (11) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 12) PT KAI; (13) PT Asuransi Jasa Raharja; (14) Kemenkeu;
(15) Kemenkes; (16) Pemprov Jatim; (17) Pemprov Kalsel; (18) Pemkot Denpasar; (19) Pemkot Balikpapan; (20) Pemkab Tanah Bumbu; (21) Pemkot Banjarmasin; (22) Pemkot Malang; (23) Pemkab Sampang
(1) PT Kawasan Berikat Nusantara; (2) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia; (3) Kemenkop UKM; (4) Kemenakertrans; (5) PT Pelindo II; (6) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional; (7) BPN; (8) Kemenhub; (9) Kemendag; (10) Kemenhut; (11)Kesdm; (12) KKP; (13) MA; (14) Kemenkumham; (15) PLN; (16) Kemenag; (17) Kemlu; (18) Kemen PU; (19) Kemenpera; (20) POLRI; (21) Pemprov Jabar; (22) Pemprov Kaltim; (23) Pemprov Bali; (24) Pemprov Lampung; (25) Pemprov Sumut; (26) Pemprov DKI Jakarta; (27) Pemprov Sulut; (28) Pemprov Sulsel; (29) Pemkot Medan; (30) Pemkab Langkat; (31) Pemkab Deli Serdang; (32) Pemkab Tapsel; (33) Pemkot Bandar Lampung; (34 )Pemkab Lampung Selatan; (35) Pemkab Lampung Tengah; (36) Pemkot Metro; (37) Pemkot Jakarta Selatan; (38) Pemkot Jakarta Timur; (39) Pemkot Jakarta Barat; (40) Pemkot Jakarta Pusat; (41) Pemkot Jakarta Utara; (42) Pemkab bandung; (43) Pemkab garut; (44) Pemkab Majalegka; (45) Pemkab Cirebon; (46) Pemkot Bekasi; (47) Pemkab Sukabumi; (48) Pemkab Cianjur; (49) Pemkot Bogor; (50) Pemkot Surabaya; (51) Pemkab Sumenep; (52) Pemkab Sidoarjo; (53) Pemkab Gresik; (54) Pemkab Lamongan; (55) Pemkab Kediri; (56) pemkab Bojonegoro;
(57) Pemkab Badung; (58) Pemkab Gianyar; (59) Pemkot Kotabaru; (60) Pemkot Banjarbaru; (61) Pemkab Kutai Kertanegara; (62 )Pemkot Samarinda; (63) Pemkot Bontang; (64) Pemkot Makassar; (65) Pemkab Gowa; (66) Pemkab Pangkep; (67) Pemkab Maros; (68) Pemkot Manado; (69) Pemkot Tomohon; (70) Pemkab Minahasa Utara
(1) Kejaksaan; (2) RSCM; (3) Kemenkominfo; (4) Kemenperin; (5) Pemkab Kuningan 23
70
5
Nilai Integritas Unit Layanan (Nasional)
Jumlah Instansi Pusat/ Provinsi/ Kabupaten/Kota
Jumlah Instansi Pusat/Provinsi/ Kabupaten/Kota
Bila nilai integritas unit layanan dibandingkan dengan nilai rata-rata integritas nasional, secara nasional dapat dilihat bahwa terdapat 23 instansi di tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang unit layanan sampelnya seluruhnya memiliki nilai integritas di atas rata-rata
nasional (6,50). Namun masih ada 5 instansi yang berada di pusat dan pemerintah kabupaten yang seluruh unit layanan-nya memiliki nilai integritas di bawah rata-rata nasional. Lihat tabel berikut.
Tabel 2.4.
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
11
Bagian yang paling besar adalah instansi di mana sebagian nilai integritas unit layanannya di atas rata-rata dan sebagian lagi di bawah rata-rata dengan jumlah mencapai 70 instansi. Dari 70 instansi tersebut, 23 instansi yang unit layanan sampel nya sebagian besar (4 dari 5 unit layanan sampel, 3 dari 4, atau 2 dari 3) memiliki nilai integritas di atas rata-rata,
jumlah unit layanan yang nilai integritasnya di atas rata-rata dan di bawah rata-rata sama (2-2 atau 1-1) sebanyak 29 instansi, sedangkan untuk instansi yang unit layanannya lebih banyak yang nilai integritasnya di bawah rata-rata sebanyak 18 instansi.
Indikator
Pengalaman Korupsi (0,800)= 6,73
Cara Pandang Terhadap Korupsi (0,200)= 6,65
Variabel
Pengalaman Integritas (0,750)=6,71
Sub-Indikator
Frekuensi Pemberian Gratifikasi (0,333)= 7 Jumlah/Besaran gratifikasi (0,140)= 6 Waktu pemberian gratifikasi (0,528) = 7 Arti pemberian gratifikasi (0,167)= 5 Tujuan pemberian gratifikasi (0,833) = 7
No Instansi/Pemprov/ Nilai Pengalaman Integritas Peringkat (1-100)
Pemkab-Pemkot di bawah 6,0
1 Kota Manado 5.98 87
2 Kota Makasar 5.93 88
3 Kepolisian 5.93 89
4 Kabupaten Maros 5.79 90
5 Kota Samarinda 5.79 91
6 Provinsi DKI Jakarta 5.67 92
7 Kementerian Perindustrian 5.64 93
8 Kota Bandar Lampung 5.64 94
9 Kabupaten Kuningan 5.10 95
10 Kota Jakarta Selatan 4.79 96
11 Provinsi Sulawesi Utara 4.66 97
12 Provinsi Sulawesi Selatan 4.55 98
Tabel 2.5.
Nilai Variabel Pengalaman Integritas beserta Indikator dan Sub Indikatornya Nasional
Nilai rata-rata pengalaman integritas dari 98 instansi pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah 6,71. Seperti halnya total integritas nasional, nilai pengalaman integritas memiliki rentang nilai yang tidak terlalu lebar, yaitu dari 7,92 pada Kementerian Pertanian sampai yang terendah 4,55 pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Gambaran lebih lengkap ditunjukkan dalam Lampiran 3.
Terdapat 49 instansi pusat/pemprov/pemkab-pemkot yang nilai pengalaman integritasnya di bawah rata-rata pengalaman integritas nasional. Dari 49 tersebut, 12 di-antaranya nilai pengalaman integritasnya di bawah rata-rata standar integritas minimal yang ditetapkan KPK, seperti ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 2.6.
Instansi/Pemprov/ Pemkab-Pemkot dengan Nilai Pengalaman Integritas di bawah Standar Minimal Integritas yang ditetapkan KPK
2.2. Pengalaman Integritas Tingkat
Nasional
Pengalaman Integritas (Experienced Integrity) merupakan salah satu unsur penyusun nilai integritas publik. Experi-enced Integrity disusun dari indikator Pengalaman Korupsi
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
12
Data yang ditampilkan menggambarkan bahwa nilai pengalaman integritas yang berada di bawah standar integ-ritas minimal KPK sebagian besar adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan 3 pemerintah daerah yaitu Jakarta Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan memiliki nilai pengalaman integritas kurang dari 5. Sedangkan instansi pusat yang memiliki nilai pengalaman
integritas kurang dari 6 adalah Kepolisian RI dan Kementerian Perindustrian.
Bagian selanjutnya akan membahas 2 indikator dari pengala-man integritas, yaitu pengalapengala-man korupsi dan cara pandang masyarakat terhadap korupsi.
2.2.1. Pengalaman Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional
Pengalaman korupsi yang langsung dirasakan masyarakat dalam mengurus atau memperoleh layanan publik ditunjuk-kan dalam bentuk biaya-biaya tambahan (gratifikasi) yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna layanan di luar
biaya resmi yang ditetapkan, berapa kali biaya tambahan diberikan dan berapa besarnya serta kapan gratifikasi tersebut diberikan.
Nilai rata-rata pengalaman korupsi adalah 6,73. Nilai tersebut sudah masuk dalam standar integritas minimal yang ditetap-kan oleh KPK, namun pada faktanya tindaditetap-kan pemberian gratifikasi pada unit layanan masih dijumpai. Sebanyak 25 persen responden dari total responden 11.413 orang
menyatakan bahwa mereka memberikan biaya tambahan pada saat mengurus layanan. Dari 25 persen responden yang memberikan biaya tambahan, terlihat bahwa 30 persennya memberikan uang tambahan lebih dari 1 kali.
Indikator Sub-Indikator
Pengalaman Korupsi (0,800)= 6,73
Frekuensi Pemberian Gratifikasi
(0,333)= 7
Jumlah/Besaran gratifikasi
(0,140)= 6
Waktu pemberian gratifikasi
(0,528) = 7
Tabel 2.7.
Nilai Indikator Pengalaman Korupsi dan Sub Indikatornya Nasional
Sub indikator jumlah/nilai gratifikasi nilainya masih sama dengan standar minimal KPK. Kondisi tersebut menunjuk-kan bahwa secara nasional masih dijumpai adanya gratifikasi pada unit layanan walaupun dalam jumlah yang tidak besar.
Hampir seluruh responden yang menyatakan membayar biaya tambahan mengatakan bahwa biaya tambahan
diberi-kan kepada petugas dalam bentuk uang (96%). Uang tambahan tersebut diberikan di akhir pengurusan (44%). Namun demikian ada juga yang membayar uang tambahan tersebut di awal atau pada saat proses pengurusan, atau bahkan ada yang membayar di 2 dari 3 tahap tersebut atau bahkan di awal, di saat pengurusan maupun akhir pengurusan, seperti ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 2.2.
Persentase dan Frekuensi Pengguna Layanan Yang Membayar Biaya Tambahan (Gratifikasi) secara Nasional
Ya
Tidak
2 kali 9%
Lebih dari 2 kali 21%
74.36%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
13
Tabel 2.8.
Nilai Indikator Cara Pandang Terhadap Korupsi dan Sub Indikatornya Nasional
Gambar 2.3.
Waktu Pengguna Layanan Memberikan Uang Tambahan
(jawaban multiple)
Indikator Sub-Indikator
Cara Pandang Terhadap Korupsi (0,200)= 6,65
Arti pemberian gratifikasi
(0,167)= 5
Tujuan pemberian gratifikasi
(0,833) = 7
2.2.2. Cara Pandang Masyarakat terhadap Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional
Yang dimaksud dengan cara pandang adalah bagaimana masyarakat memandang korupsi di lembaga layanan publik, bagaimana masyarakat mengartikan biaya-biaya atau imbalan yang mereka keluarkan, apakah tergolong korupsi
atau tidak. Apa tujuan mereka membayar biaya tambahan tersebut, dan seberapa jauh tingkat toleransi masyarakat ter-hadap biaya-biaya tambahan yang harus mereka keluarkan.
Nilai cara pandang masyarakat Indonesia terhadap korupsi adalah 6,65 dan cukup memenuhi standar integritas minimal yang ditetapkan oleh KPK. Namun bila dilihat dari sub indikatornya terlihat bahwa arti pemberian gratifikasi dengan nilai 5 dianggap masih relatif rendah. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa masyarakat umumnya mengartikan gratifikasi belumlah suatu perbuatan yang memalukan dan tercela, tetapi hanyalah suatu perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Bahkan sebagian berpendapat bahwa perbuatan tersebut lazim dilakukan. Toleransi yang cukup
tinggi dari masyarakat memiliki toleransi dalam memandang gratifikasi dan korupsi di layanan publik ditunjukkan oleh masih adanya 21 persen masyarakat yang menganggap bahwa pemberian uang tambahan dalam pengurusan layanan publik merupakan perbuatan yang lazim.
Berdasarkan fakta yang dijumpai di unit layanan, tujuan uta-ma responden memberikan uang tambahan atau gratifikasi adalah sebagai ucapan terimakasih (57%) dan mempercepat waktu pengurusan (45%).
Gambar 2.4.
Tujuan Pengguna Layanan Memberikan Uang Tambahan?
(jawaban multiple) Awal Pengurusan
Saat Pengurusan
Awal Pengurusan
44%
36%
33%
14%
3% 5%
9% 11%
45% 57%
Ucapan terima kasih
Mempercepat waktu pengurusan
Tidak ada alasan khusus
Meluluskan pengurusan walaupun syarat2 tidak
terpenuhi
Menghindari perlakuan semena-mena
dari Petugas
Rasa kasihan karena gaji petugas rendah
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
14
Bila pertanyaan diperdalam lagi mengenai alasan memberi-kan uang tambahan, sebagian besar responden (45%) menyatakan bahwa mereka merasa telah dibantu petugas, 43% dalam rangka mempercepat proses pengurusan dan
34% karena petugas meminta secara langsung atau dalam bentuk sinyal, menahan-nahan pengurusan/mempersulit pengurusan dan karena adanya persyaratan yang tidak bisa dipenuhi (5%), seperti ditunjukkan oleh gambar berikut.
Sebenarnya secara umum (63%) masyarakat pengguna layanan berpendapat bahwa adanya uang tambahan dalam pengurusan layanan merupakan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Bahkan 34% dari masyarakat
Fakta-fakta yang dijumpai dalam pengalaman integritas ini mencerminkan kondisi nyata dari unit layanan dan instansi berdasarkan pengalaman yang langsung dirasakan oleh pengguna layanan. Penilaian pengalaman integritas yang
Gambar 2.5.
Alasan Pengguna Layanan Memberikan Uang Tambahan dalam Proses Pengurusan Layanan
(jawaban multiple)
Gambar 2.6.
Pendapat Pengguna Layanan tentang Pembayaran Uang Tambahan dalam Pengurusan Layanan
(jawaban multiple) menganggap bahwa adanya uang tambahan dalam pengurusan layanan merupakan perbuatan yang memalukan dan tercela. Lihat gambar berikut.
buruk mencerminkan kondisi pelayanan aktual yang buruk menurut penilaian pengguna layanan yang selama setahun terakhir melakukan pengurusan layanan di unit layanan yang bersangkutan.
Telah dibantu oleh Petugas
Untuk mempercepat proses pengurusan
Petugas meminta secara langsung
Pengguna menawarkan sendiri uang tambahan
Puas dengan pelayanan petugas
Petugas menahan-nahan/mempersulit pengurusan
Ada persyaratan yang tidak bisa dipenuhi
Kasihan kepada petugas Pengguna menawarkan sendiri uang tambahan
45%
43%
15%
11%
9%
7%
5%
4% 7%
1%
21%
9% 11%
63%
34%
Perbuatan yang harus dilakukan dalam setiap pelayanan Perbuatan yang lazim terjadi
Perbuatan yang boleh dilakukan sesekali Perbuatan yang boleh dilakukan kalau terpaksa Perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
15
2.3.
Potensi Integritas Tingkat Nasional
Potensi Integritas (Potential Integrity) merupakan salah satu unsur penyusun nilai integritas publik. Terdapat empat indikator yang digunakan untuk menyusun Potential Integrity yakni indikator Lingkungan Kerja (Working Environtment)
dengan bobot 0,357, Sistem Administrasi (Administration System) dengan bobot 0,394, Perilaku Individu (Personal Attitude) dengan bobot 0,156 dan Pencegahan Korupsi (Corruption Control Measures) dengan bobot 0,094.
Nilai rata-rata potensi integritas dari 98 instansi pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah 5,87. Nilai tersebut masih berada di bawah standar integritas minimal yang ditetapkan oleh KPK. Artinya masih cukup banyak indikator potensi integritas terutama sistem administrasi dan pencegahan korupsi yang nilainya masih sangat rendah (5,53 dan 2,82) walaupun sebenarnya nilai indikator lingkungan kerja dan perilaku individu juga terlihat masih kurang memuaskan.
Seperti halnya pada pengalaman integritas, nilai potensi integritas memiliki rentang nilai yang tidak terlalu lebar, yaitu dari 6,70 pada Kementerian Pertanian sampai yang terendah 5,00 pada Pemerintah Kabupaten Kuningan. Gambaran lebih lengkap ditunjukkan dalam Lampiran 4.
Dari 98 instansi yang disurvei secara nasional, 53 instansi atau 54 persen berada di bawah rata-rata potensi integritas nasional, bahkan 64 persennya (63 instansi) masih di bawah standar potensi integritas minimal yang ditetapkan KPK. Lihat tabel berikut
Tabel ini sekaligus menjelaskan bahwa hanya 35 instansi (36%) yang potensi integritasnya memenuhi standar minimal integritas yang ditetapkan KPK. Artinya masih ada 64% instansi yang lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan upaya pencegahan korupsinya masih harus terus dilakukan perbaikan supaya paling tidak bisa memenuhi standar minimial integritas yang ditetapkan.
Tabel 2.9.
Nilai Variabel Potensi Integritas beserta Indikator dan Sub Indikatornya Nasional
Variabel Indikator Sub-Indikator
Lingkungan Kerja
Kebiasaan pemberian
(0,357)= 6,54
gratifikasi (0,502) = 6 Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,058) = 8
Keterlibatan calo (0,222) =7
Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,107) = 6 Suasana/kondisi di sekitar pelayanan (0,112) = 7
Potensi Integritas
Sistem Administrasi Kepraktisan SOP
(0,250)= 5,87
(0,394)= 5,53 (0,258)= 6Keterbukaan informasi (0,637)= 6
Pemanfaatan teknologi informasi (0,105) = 4
Perilaku Individu
Keadilan dalam layanan
(0,156)= 7,02
(0,281)= 6
Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (0,584)= 7 Perilaku pengguna layanan (0,135) = 7
Pencegahan Korupsi Tingkat Upaya Anti Korupsi (0,094)= 2,82 (0,800)= 3Mekanisme Pengaduan Masyarakat
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
16
No Instansi/Pemprov/ Nilai Pengalaman Integritas Peringkat (1-100)
Pemkab-Pemkot di bawah 6,0
1 Kabupaten Bojonegoro 5.99 36
2 Provinsi Jawa Barat 5.97 37
3 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional 5.96 38
4 Provinsi Jawa Timur 5.94 39
5 Kabupaten Sidoarjo 5.94 40
6 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5.93 41
7 Kabupaten Cianjur 5.91 42
8 PT Pelabuhan Indonesia II 5.90 43
9 Kota Bogor 5.89 44
10 Kementerian Agama 5.89 45
11 Kota Metro 5.86 46
12 Kota Jakarta Pusat 5.86 47
13 Kementerian Luar Negeri 5.86 48
14 Kota Tomohon 5.86 49
15 Kabupaten Minahasa Utara 5.85 50
16 Kementerian Kehutanan 5.85 51
17 Kabupaten Lampung Selatan 5.85 52
18 Kementerian Perdagangan 5.83 53
19 Kementerian Pekerjaan Umum 5.83 54
20 PT Asuransi Jasa Raharja 5.82 55
21 Kota Malang 5.82 56
22 Kementerian Hukum dan HAM 5.81 57
23 Kementerian Komunikasi dan Informatika 5.80 58
24 Kota Bekasi 5.80 59
25 Kabupaten Sampang 5.79 60
26 Kabupaten Cirebon 5.79 61
27 Kabupaten Lampung Tengah 5.79 62
28 Provinsi Lampung 5.78 63
29 Kota Jakarta Utara 5.78 64
30 Kota Makasar 5.76 65
31 Provinsi Sumatera Utara 5.72 66
32 Kementerian Perindustrian 5.71 67
33 PT Perusahaan Listrik Negara 5.70 68
34 Kabupaten Badung 5.70 69
35 Kementerian SDM 5.69 70
36 Kota Banjarmasin 5.68 71
37 Mahkamah Agung 5.68 72
38 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 5.67 73
39 Provinsi Kalimantan Timur 5.64 74
40 Kejaksaan 5.62 75
41 Kabupaten Sumenep 5.61 76
42 Provinsi DKI Jakarta 5.61 77
43 Kota Surabaya 5.59 78
44 Kabupaten Gresik 5.59 79
45 PT Kereta Api Indonesia 5.55 80
46 Kementerian Perumahan Rakyat 5.55 81
47 Kabupaten Kutai Kartanegara 5.54 82
48 Badan Pertanahan Nasional 5.52 83
Tabel 2.10.
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
17
Namun demikian suasana/Kondisi lingkungan pelayanan dan fasilitas yang disediakan serta adanya pertemuan di luar prosedur merupakan faktor yang juga akan menurunkan nilai potensi integritas.
Bagian selanjutnya akan membahas 4 indikator dari potensi integritas, yaitu lingkungan kerja, sistem administrasi,
No Instansi/Pemprov/ Nilai Pengalaman Integritas Peringkat (1-100)
Pemkab-Pemkot di bawah 6,0
49 Kota Manado 5.51 84
50 Provinsi Kalimantan Selatan 5.51 85
51 Kota Bandar Lampung 5.44 86
52 Kabupaten Maros 5.44 87
53 Kabupaten Gowa 5.40 88
54 Provinsi Sulawesi Selatan 5.34 89
55 Kota Jakarta Selatan 5.32 90
56 Kabupaten Deli Serdang 5.32 91
57 Kabupaten Langkat 5.30 92
58 Kabupaten Garut 5.26 93
59 Kabupaten Tapanuli Selatan 5.25 94
60 Kota Samarinda 5.23 95
61 Provinsi Sulawesi Utara 5.23 96
62 Kepolisian 5.04 97
63 Kabupaten Kuningan 5.00 98
Nilai Potensi Integritas Rata-rata Nasional 5.87
Tabel 2.10.
Instansi/Pemprov/ Pemkab-Pemkot dengan Nilai Potensi Integritas di bawah Standar Minimal Integritas yang ditetapkan KPK
Tabel 2.11.
Nilai Indikator Lingkungan Kerja dan Sub Indikatornya Nasional 2.3.1. Lingkungan Kerja di Pelayanan
Publik Tingkat Nasional
Lingkungan kerja memiliki potensi untuk mendorong ter-jadinya praktik korupsi, tidak terkecuali lingkungan kerja di sektor pelayanan publik. Berdasarkan fakta di lapangan, ke-biasaan pemberian gratifikasi dan adanya keterlibatan calo akan menurunkan nilai potensi integritas secara signifikan.
perilaku individu dan pencegahan korupsi.
Sub-Indikator
Kebiasaan pemberian gratifikasi (0,502) = 6
Kebutuhan pertemuan di luar prosedur (0,058) = 8
Keterlibatan calo (0,222) =7
Fasilitas di sekitar lingkungan pelayanan (0,107) = 6
Suasana/kondisi di sekitar pelayanan (0,112) = 7
Indikator
Lingkungan Kerja (0,357)= 6,54
Walaupun indikator lingkungan kerja sudah mampu menca-pai nilai standar unsur integritas minimal KPK yaitu sebesar 6,54, namun beberapa sub indikator masih harus terus dilakukan perbaikan. Nilai 6 pada sub indikator kebiasaan pemberian gratifikasi menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut masih
terjadi, sekitar 50 % masyarakat pengguna layanan me-nyatakan bahwa praktek pemberian uang tambahan di lingkungan pelayanan yang mereka datangi masih terjadi.
Lanjutan
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
18
Pertanyaan lanjutan disampaikan bahwa menurut pengala-man yang dirasakan sendiri oleh pengguna layanan, bagaimana pemberian uang tambahan di lingkungan
pelayanan, sebagian besar pengguna layanan menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan oleh pengguna layanan (48%) dan diterima oleh petugas layanan (22%). Lihat tabel berikut.
Gambar 2.7.
Intensitas Praktek Pemberian Uang Tambahan di Lingkungan pelayanan
Pernyataan Persen
Dilakukan oleh semua pengguna layanan 6%
Dilakukan oleh sebagian besar pengguna layanan 15%
Dilakukan oleh sebagian kecil pengguna layanan 27%
Tidak pernah dilakukan oleh pengguna layanan 36%
Pernyataan Persen
Diterima oleh hampir semua petugas 7%
Diterima oleh sebagian petugas 15%
Tidak diterima oleh petugas sama sekali 13%
Pernyataan Persen
Ditolerir oleh pimpinan/pengawas di unit layanan 3%
Sebagian ditolerir oleh pengawas/pimpinan unit layanan 3%
Tidak ditolerir sama sekali oleh pengawas/pimpinan unit layanan 5%
Tabel 2.12.
Pemberian Uang Tambahan dalam Layanan Publik berdasarkan Pengalaman Pengguna Layanan
(jawaban multiple)
Kebutuhan pertemuan di luar prosedur dalam pengurusan layanan diakui oleh sebagian besar pengguna layanan sudah tidak ada. Hanya sekitar 6 % dari pengguna layanan yang menyatakan pernah melakukan pertemuan di luar prosedur pada saat mengurus layanan. Bagi yang pernah melakukan pun, sebagian besar menyatakan bahwa pertemuan di luar prosedur tersebut umumnya hanya dibutuhkan dalam satu tahapan saja.
Tujuan masyarakat melakukan pertemuan di luar prosedur adalah: a)untuk mempercepat waktu pengurusan (54%); b) untuk menjalin perkenalan/silaturahmi dengan petugas (41%); c)untuk melengkapi sejumlah persyaratan (23%); d) untuk menegosiasikan biaya yang harus dibayar (20%); e) untuk memasukkan permohonan (16%); f )untuk mengambil (dokumen) yang diurus (12%); g)untuk memanipulasi sebagian persyaratan (3%); dan h)lain – lain (9%).
Keterlibatan calo dalam lingkungan kerja juga cukup ber-pengaruh dalam menurunkan nilai potensi integritas sektor publik. Sebagian pengguna layanan (11%) menyatakan me-lihat calo/perantara beroperasi di tempat mereka mengurus layanan. Siapakah perantara/calo tersebut? Jawaban yang didapat dari responden pengguna layanan ternyata cukup mengejutkan. Perantara/calo paling banyak ternyata adalah petugas sendiri, baik petugas yang langsung mengurus layanan atau petugas yang bekerja di instansi tersebut tetapi tidak berurusan langsung dalam pengurusan layanan (66%). Bahkan jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding dengan perusahaan jasa pengurusan. Calo lain yang dominan menguasai layanan perizinan di Indonesia adalah orang yang secara perorangan memang beroperasi sebagai calo di unit layanan. Keberadaan calo tersebut umumnya sepenge-tahuan unit layanan maupun petugas layanan. Lihat penjelasan gambar berikut.
Selalu terjadi 4%
Sering terjadi 15%
Kadang terjadi
32%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
19 Gambar 2.8.
Perantara di Luar Prosedur yang Beroperasi di Unit Layanan Publik
(jawaban multiple)
Pernyataan Persen
Mempercepat waktu pengurusan dari waktu yang ditetapkan 48%
Mempermudah komunikasi petugas dengan pengguna dalam
memenuhi prosedur 33%
Bisa melakukan tawar menawar biaya 20%
Bisa melakukan tawar menawar persyaratan 14%
Bisa melakukan tawar menawar untuk tidak melewati prosedur tertentu 13%
Tidak ada bedanya dengan mengurus sendiri 11%
Menjadi syarat utama: layanan hanya akan diurus jika melalui mereka 8%
Menghindarkan pengguna dari eksploitasi petugas 2%
Peran para perantara/calo dalam proses pelayanan menurut responden ternyata cukup signifikan. Empat puluh delapan persen reponden menyatakan bahwa keberadaan perantara mempercepat waktu pengurusan dari waktu yang ditetap-kan. Sedangkan 33% menyatakan bahwa dengan meng-gunakan perantara mereka bisa mempermudah komunikasi
petugas dengan pengguna dalam memenuhi prosedur, dan 20 % bisa melakukan tawar menawar biaya. Namun demikian masih ada pengguna layanan (11%) yang menyatakan bahwa mengurus lewat perantara/calo tidak ada bedanya dengan mengurus sendiri. Lihat tabel berikut.
Tabel 2.13.
Peran Perantara di Luar Prosedur menurut Penilaian Pengguna Layanan berdasarkan Fakta yang Dialami
(jawaban multiple)
Mengenai jumlah calo/perantara di tempat layanan, 43% pengguna layanan menyatakan jumlahnya masih banyak. Pada umumnya mereka beroperasi secara sembunyi-sembunyi (46% responden) dan terang-terangan (47% responden).
Keberadaan calo/perantara tentu memberikan dampak kepada pengguna layanan. Sebagian besar responden (43%) menyatakan bahwa keberadaan mereka mengganggu, sedangkan 32% menyatakan tidak mengganggu, bahkan 24% menyatakan keberadaan mereka justru menguntung-kan. Sementara bila ditanya lebih lanjut, sebagian responden (53 %) menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak terlalu membutuhkan calo/perantara tersebut, namun jumlah yang menyatakan membutuhkan juga masih besar (47%).
Fasilitas pelayanan yang disediakan di lingkungan layanan terlihat sudah masuk dalam standar minimal (nilai 6). Sebagian besar responden (91 %) menyatakan bahwa tingkat kesediaan fasilitas di lingkungan unit layanan yang mereka datangi umumnya memadai. Hanya 9% yang me-nyatakan tidak memadai. Jenis-jenis fasilitas yang dime-nyatakan tersedia di unit layanan oleh sebagian besar responden adalah ruang tunggu, tempat duduk/kursi, papan pengumu-man/informasi, toilet, tempat parkir, tempat sampah.
Sedangkan fasilitas yang masih jarang dijumpai di unit layanan adalah toilet, AC, nomor antrian, pengeras suara, mesin fotokopi, dan ATM. Lihat gambar berikut.
48%
35%
31%
14%
12% Orang luar (perantara diluar prosedur dari
eksternal/perorangan)
Petugas yang langsung mengurus layanan
Bukan Petugas langsung tapi bekerja di unit layanan tersebut
Pekerja di sekitar unit layanan (tukang parkir, satpam, pedagang kantin, dll)
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
20
Sebagai akibat dari ketersediaan sebagian fasilitas pada unit layanan, sebagian besar responden (91%) juga menyatakan
Indikator
Sistem Administrasi (0,394)= 5,53
Sub-Indikator
Kepraktisan SOP (0,258)= 6
Keterbukaan informasi (0,637)= 6
Pemanfaatan teknologi informasi (0,105) = 4 2.3.2. Sistem Administrasi di Pelayanan Publik
Tingkat Nasional
Keterbukaan informasi dan kemudahan layanan atau ke-praktisan SOP serta pemanfaatan teknologi informasi merupakan sub indikator sistem administrasi yang harus
bahwa suasana/kondisi fasilitas di lingkungan unit layanan yang didatangi umumnya teratur sistem pelayanannya.
dicapai dalam rangka memenuhi standar potensi integritas sektor publik.
Tabel 2.14.
Nilai Indikator Sistem Administrasi dan Sub Indikatornya Nasional
Gambar 2.9.
Fasilitas yang Tersedia dan kurang Tersedia di Unit Layanan Sesuai dengan Pengalaman Pengguna Layanan
(jawaban multiple)
Hasil survei menunjukkan bahwa nilai sistem administrasi tidak mampu mencapai standar integritas minimum yang ditetapkan KPK. Nilai 5,53 menunjukkan bahwa sub-indikator kepraktisan SOP, keterbukaan informasi dan terutama pemanfaatan teknologi informasi masih harus terus ditingkatkan.
Terkait dengan SOP (Standar Operasi Prosedur), sebagian besar responden (75%) menyatakan bahwa mereka menge-tahui prosedur pengurusan layanan. Menurut mereka prosedur dan syarat pengurusan layanan relatif mudah, tetapi waktu penyelesaian masih dianggap lambat oleh 28% responden dan 22% menyatakan biaya masih terlalu mahal.
SOP Kriteria % responden
Prosedur pengurusan layanan mudah 88%
sulit 12%
Syarat pengurusan layanan mudah 89%
sulit 11%
Waktu penyelesaian layanan
cepat 39%
tepat waktu 33%
lambat 28%
Biaya pengurusan layanan murah 78%
mahal 22%
Tabel 2.15.
Penilaian Standar Operation Procedure (SOP) Unit Layanan oleh Pengguna Layanan
68%
97%
47%
95%
48%
44% 60%
96%
82% 91%
97%
93%
Kotak pengaduan Tempat sampah
Mesin fotokopi, ATM, dll Tempat Parkir
Pengeras Suara
Nomor antrian AC Toilet
Papan Pengumuman/informasi Tempat duduk / kursi
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
21
Jawaban prosedur pengurusan layanan yang mudah didukung oleh data-data bahwa prosedur pengurusan sederhana (69%), pihak yang ditemui hanya beberapa orang (petugas penerima dan pemberi layanan) (16%), lokasi pen-gurusan berada dalam satu tempat (26%). Hanya 8% yang menyatakan prosedurnya berbelit, 11% menyatakan prosedur terlalu panjang, 9% terlalu banyak pihak yang harus ditemui dan 8 % responden menyatakan lokasi pengurusan terpisah-pisah.
Sebagian besar pengguna layanan menyatakan bahwa syarat pengurusan layanan adalah mudah. Hal tersebut tercermin dari fakta yang mereka alami, di mana menurut mereka syarat-syarat tidak terlalu banyak (31%), persyaratan mudah dipenuhi (67%).
Terkait dengan waktu, sebagian besar pengguna layanan menyatakan waktu penyelesaian cepat dan tepat waktu (72%) ditunjukkan oleh fakta bahwa waktu yang dibutuh-kan lebih cepat dari waktu yang ditetapdibutuh-kan dalam SOP (7%), sama/tepat waktu sesuai dengan yang ditetapkan dalam SOP (62%), namun demikian responden juga menyatakan bahwa
pelayanan lebih lambat dari waktu yang ditetapkan dengan pemberitahuan sebelumnya (15%), lebih lambat dari waktu yang ditetapkan responden tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya (9%), tidak ada kejelasan waktu penyelesaian (7%).
Biaya pengurusan layanan dianggap oleh sebagian besar responden (78%) adalah relatif murah. Buktinya adalah responden menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan sama dengan biaya resmi (62%) bahkan lebih kecil dari biaya resmi karena ada discount (4%). Namun demikian masih ada responden yang memberi keterangan bahwa biaya pengu-rusan layanan lebih besar dari biaya resmi karena ada pungutan tambahan (9%), lebih besar dari biaya resmi karena memberikan tambahan ucapan terimakasih (15%), besar namun tidak sesuai dengan jenis layanan yang diurus (3%) dan besar namun tidak tahu biaya resminya berapa (8%).
Mengenai masalah keterbukaan informasi, tabel berikut menjelaskan kondisi keterbukaan informasi pada unit layanan yang didatangi pengguna layanan.
Tingkat Keterbukaan Informasi
% Responden dengan jawaban ya Prosedur Syarat Waktu Biaya
a. Diumumkan terbuka dan dijelaskan petugas tanpa ditanya 28% 24% 19% 17%
b. Diumumkan terbuka 40% 42% 33% 31%
c. Dijelaskan oleh petugas tanpa ditanya pengguna layanan 11% 12% 15% 12% d. Dijelaskan oleh petugas hanya jika ditanya pengguna layanan 15% 17% 20% 22%
e. Tidak ada penjelasan 5% 5% 13% 18%
Tabel 2.16.
Tingkat Keterbukaan Informasi di Unit Layanan
Berdasar tabel terlihat bahwa biaya dan waktu merupakan informasi yang relatif kurang terbuka disampaikan di banding dengan prosedur dan syarat.
Pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi dasar pengukuran dalam sistem administrasi. Sebagian besar responden (54%) menyatakan tidak ada teknologi informasi dari unit layanan yang mereka datangi. Dari yang menjawab ada teknologi informasi pun menyatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan teknologi tersebut (60 %).
Bagi yang memakai teknologi, umumnya mereka meng-gunakan teknologi tersebut untuk mengetahui informasi tentang unit layanan (46%), mengetahui hal – hal yang dibutuhkan terkait dengan layanan (47%), lainnya (7%) .
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
22
Pernyataan Persen
Proses pendaftaran masih dilakukan secara manual 64%
Proses pengolahan dokumen masih dilakukan secara manual 37%
Proses pengecekan persyaratan dilakukan secara otomatis melalui
teknologi informasi 12%
Memiliki website khusus untuk pendaftaran on line 11%
Proses antrian dilakukan secara otomatis dengan metode first come
first serve dengan bantuan teknologi informasi 9%
Proses pengecekan dokumen/status pengurusan sudah dilakukan
secara on line 8%
Proses di back office seluruhnya sudah menggunakan teknologi informasi 7%
Status pengurusan belum direcord 5%
Komunikasi antara petugas dan pengguna layanan menggunakan email 4%
Proses pendataan pengguna dilakukan secara real time 2%
Tabel 2.17.
Intensitas
Pemanfaatan Teknologi Informasi oleh Pengguna Layanan
(jawaban multiple)
yaitu keadilan perlakuan petugas layanan terhadap pengguna layanan, ada tidaknya harapan petugas terhadap gratifikasi serta perilaku pengguna layanan sendiri pada saat mengurus dan mendapatkan layanan.
2.3.3. Perilaku Individu di Pelayanan Publik Tingkat Nasional
Perilaku individu baik oleh petugas layanan maupun peng-guna layanan yang negatif merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya korupsi dalam pelayanan publik. Ter-dapat tiga hal penting dalam menilai perilaku individu dan kaitannya dengan nilai potensi integritas dalam survei ini,
Indikator
Perilaku Individu (0,156)= 7,02
Sub-Indikator
Keadilan dalam layanan (0,281)= 6
Ekspektasi petugas terhadap gratifikasi (0,584)= 7
Perilaku pengguna layanan (0,135) = 7
Nilai perilaku individu 7,02 menunjukkan bahwa standar minimal integritas yang ditetapkan oleh KPK sudah mampu dicapai. Kondisi tersebut juga ditunjukkan oleh nilai sub indikator ekspektasi petugas terhadap gratifikasi dan perilaku pengguna layanan yang cukup. Namun demikian keadilan petugas terhadap pengguna layanan masih terlihat kurang. Sebagian besar pengguna layanan (93%) menyatakan bahwa sikap petugas dalam melayani mereka ramah, dengan
penampilan yang menarik (94%). Para petugas layanan tersebut dinilai oleh sebagian besar pengguna layanan juga ahli (92%).
Perlakuan petugas dalam memberikan pelayanan juga dinilai oleh pengguna layanan seperti yang dijelaskan pada tabel-tabel berikut.
Tabel 2.18.
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
23
Perlakuan Petugas % persen
Ya Tidak
Dibeda-bedakan berdasarkan jumlah uang tambahan yang diberikan 13% 87% Dibedakan berdasarkan status sosial politik pengguna layanan
(pejabat publik lebih diutamakan) 12% 88%
Dibedakan antara pengguna lama dengan pengguna baru 8% 92%
Dibedakan berdasarkan kelompok sosial ekonomi (yang kaya lebih disukai) 9% 91% Dibedakan dengan alasan hubungan kekerabatan dengan petugas
(keluarga/tetangga lebih disukai) 14% 86%
Dibedakan karena kesukuan 2% 98%
Dibedakan karena agama 1% 99%
Dibedakan berdasarkan jenis kelamin 2% 98%
Dibedakan berdasarkan kelengkapan persyaratan
(persyaratan lengkap lebih didahulukan) 25% 75%
Dibedakan berdasarkan status pengurusan
(loket perpanjangan dengan pengurusan baru dibedakan) 9% 91%
Dibedakan berdasarkan urgensi
(yang batas waktunya sudah mendekati/kadaluarsa lebih didahulukan) 7% 93% Dibedakan berdasarkan yang melakukan pengurusan
(orang tua dan ibu hamil didahulukan) 5% 95%
Dibedakan berdasarkan lokasi tempat tinggal pengurus
(rumah yang lebih jauh didahulukan) 2% 98%
Tabel 2.19.
Penilaian Pengguna Layanan terkait Perlakuan Petugas dalam Memberikan Layanan
Tabel di atas menunjukkan pendapat responden terhadap perbedaan perlakuan petugas, sebagian besar dibedakan berdasarkan kelengkapan persyaratan. Terdapat sedikit perbedaan perlakuan petugas dengan alasan hubungan kekerabatan, jumlah uang tambahan yang diberikan dan status sosial pengguna layanan (10-20%).
Perilaku petugas layanan lain yang sangat berpengaruh terhadap integritas pelayanan adalah ekspektasi petugas
layanan terhadap gratifikasi. Sebagian responden (12%) menyatakan bahwa petugas meminta uang tambahan dalam memberikan pelayanan. Bagi pengguna layanan yang dimintai uang tambahan oleh petugas mengatakan bahwa umumnya petugas meminta uang tambahan secara langsung tidak terbuka (47%), langsung terbuka (42%) dan melalui pihak lain (11%).
Perilaku pengguna layanan juga sangat berpengaruh kepada integritas layanan. Sikap permisif masyarakat terhadap koru-psi dalam layanan publik kadang membuat mereka berinisi-atif menawarkan uang tambahan kepada petugas layanan, baik itu diminta atau tidak oleh petugas (7%). Namun ada
juga yang menyatakan bahwa mereka memberikan uang tambahan jika ada sinyal-sinyal dari petugas yang meng-inginkan uang tambahan (11%), ataupun hanya memberikan jika petugas memintanya secara langsung (15%).
Gambar 2.10.
Cara Petugas Meminta Uang Tambahan kepada Pengguna Layanan
Melalui pihak lain
11%
Langsung tidak terbuka
47% Langsung
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
24
Bentuk Kampanye pada Unit Layanan Persen
Menempel stiker/poster/spanduk anti korupsi di sekitar loket pelayanan
(sumbangan dari pihak lain, mis : dari KPK) 62%
Menempel stiker/poster/spanduk anti korupsi di sekitar loket pelayanan
(produksi sendiri) 58%
Melakukan kegiatan workshop/seminar antikorupsi kepada petugas 4%
Melakukan kegiatan workshop/seminar antikorupsi yang melibatkan
masyarakat 2%
Menyebarkan buku/modul/komik/dll tentang antikorupsi 1%
Memutar video antikorupsi di monitor yang dipasang sekitar lokasi
unit layanan 1%
Menyebarkan iklan antikorupsi 3%
Menyebarkan video antikorupsi 0,49%
Tabel 2.20.
Nilai Indikator Pencegahan Korupsi dan Sub Indikatornya Nasional
Tabel 2.21.
Bentuk Kampanye Anti Korupsi yang Dilihat Pengguna Layanan
(jawaban multiple)
Indikator Sub-Indikator
Pencegahan Korupsi (0,094)= 2,82
Tingkat Upaya Anti Korupsi
(0,800)= 3
Mekanisme Pengaduan Masyarakat
(0,200)= 3
Fakta menunjukkan bahwa dibanding dengan indikator lain, pencegahan korupsi memiliki nilai yang paling buruk. Nilai 2,82 masih jauh dari standar integritas minimal yang ditetapkan KPK yang sebesar 6. Kondisi tersebut ditunjukkan masih sangat lemahnya upaya anti korupsi (3) dan pelayanan pengaduan masyarakat (3) dari unit layanan yang didatangi oleh pengguna layanan
Sebagian besar pengguna layanan menyatakan bahwa tidak ada kampanye anti korupsi dari unit layanan yang mereka datangi (71%). Hanya 29% pengguna layanan yang menyatakan ada kampanye anti korupsi di instansi yang mereka datangi. Bentuk-bentuk kampanye yang dilihat oleh pengguna layanan dijelaskan pada gambar berikut.
2.3.4. Pencegahan Korupsi di Pelayanan Publik Tingkat Nasional
Tingkat upaya anti korupsi dan pelayanan pengaduan atas
layanan yang diberikan merupakan faktor yang bisa mencegah terjadinya korupsi, sehingga menjadi salah satu aspek yang dinilai dalam survei ini.
Terkait dalam kemudahan menyampaikan pengaduan/ keluhan, sebagian besar masyarakat merasa mudah dalam menyampaikan pengaduan (78%). Pengaduan umumnya mereka sampaikan melalui kotak pengaduan (3%), datang langsung ke petugas (49%) ataupun melalui hotline pengaduan telpon (12%) dan sms (9%)
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
25
Peryataan Persen
Petugas mengucapkan terima kasih dan memohon maaf 33%
Petugas menghubungi kembali dan menanyakan kelengkapan informasi 20%
Petugas hanya mendengarkan dan tidak memberikan tanggapan apa
-apa (dan hanya menyatakan akan disampaikan ke pihak yang lain) 19%
Petugas menyampaikan progres pengaduan (status pengaduan) dalam
jangka waktu yang tidak tertentu 12%
Petugas menyampaikan progres pengaduan (status pengaduan)
dalam jangka waktu yang tertentu 12%
Petugas marah/menampakkan wajah/kesan tidak suka 3%
Petugas tidak ingin mendengarkan keluhan 3%
Petugas membantah isi pengaduan 2%
Petugas memberikan penghargaan tertentu karena sudah memberikan
pengaduan 1%
Lainnya 19%
Bagaimana dengan keseriusan petugas dalam mengelola pengaduan yang mereka terima dari masyarakat? Sebagian besar pengguna layanan menyatakan bahwa walaupun 40% pengaduan yang mereka sampaikan ditanggapi oleh petugas, namun hanya 25% yang ditindaklanjuti.
Tiga puluh satu persen pengguna layanan juga menyatakan bahwa pengaduan yang mereka sampaikan hanya sekedar ditampung oleh unit layanan. Bahkan 4% pengaduan diabaikan dan ditolak. Lihat gambar berikut.
Tabel 2.22.
Tanggapan Petugas jika ada Pengaduan dari Pengguna Layanan di Unit Layanan yang Didatangi
(jawaban multiple)
Gambar 2.11.
Tindak Lanjut/Respon Petugas terhadap Pengaduan yang Disampaikan Pengguna Layanan
Upaya menaikkan nilai potensi integritas menunjukkan keseriusan unit layanan dan instansi di sektor layanan publik dalam memerangi korupsi secara komprehensif di luar upaya penindakan yang dilakukan. Semakin intensif usaha-usaha
dilakukan untuk meningkatkan potensi integritas, maka semakin efektif pula upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan di unit layanan dan instansi yang bersangkutan. Pengaduan ditolak
Pengaduan diabaikan Pengaduan ditampung Pengaduan ditanggapi
Pengaduan ditindaklanjuti
0.21% 4%
31%
40%
Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2009
26
2.4. Upaya Peningkatan Nilai Integritas
Nilai integritas unit layanan sangat tergantung dari nilai integritas instansi yang membawahinya. Artinya karakteristik unit layanan dalam suatu instansi yang sama akan relatif lebih sama daripada unit layanan dari instansi yang berbeda. Sedangkan karakteristik setiap instansi dengan instansi lain-nya dapat serupa atau berbeda.
Berdasarkan analisis biplot yang menghubungkan nilai sub indikator untuk setiap instansi, terjadi pengelompokan di mana instansi dalam satu kelompok yang sama akan memiliki karakteristik yang sama pula. Pada tingkat nasional, kelompok instansi yang memiliki nilai integritas tinggi, ternyata memiliki nilai yang tinggi untuk sub indikator:
• Frekuensi Pemberian Gratifikasi • Jumlah / Besaran Gratifikasi • Waktu Pemberian Gratifikasi • Arti Pemberian Gratifikasi • Tujuan Pemberian Gratifikasi • Kebiasaan Pemberian Gratifikasi • Kebutuhan Pertemuan di Luar Prosedur • Keterlibatan Calo
• Kepraktisan SOP
• Ekpektasi petugas terhadap gratifikasi • Perilaku Pengguna Layanan
Bila ingin meningkatkan nilai integritas unit layanan secara nasional, maka faktor-faktor yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan adalah faktor yang terkait dengan sub indikator tersebut di atas. Bila dikelompokkan, faktor-faktor tersebut berasal dari eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari sikap, cara pandang dan perilaku pengguna unit layanan serta keterlibatan pihak perantara (calo). Sedangkan 2 (dua) sub indikator yang berasal dari internal adalah kepraktisan SOP dan ekspektasi petugas terhadap gratifikasi.
Olehkarena faktor internal unit layanan dan instansi merupakan faktor yang paling mudah dikendalikan, maka upaya peningkatan nilai integritas pada tahap awal bisa dilakukan dengan mempermudah prosedur dan syarat pengurusan layanan, mempercepat waktu pengurusan layanan, biaya pengurusan dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.