• Tidak ada hasil yang ditemukan

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA. Kepatuhan Lembaga dalam Pelaksanaan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA. Kepatuhan Lembaga dalam Pelaksanaan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

Kepatuhan Lembaga dalam Pelaksanaan UU 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik”

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

(2)

Department Name

Masyarakat merupakan inti penting dalam paradigma baru tentang new public services. Perubahan posisi masyarakat dari yang dulu dikenal sebagai "clients dan constituents" menjadi "customers" dan kemudian menjadi "citizens". Masyarakat tidak sekedar sebagai obyek layanan tetapi harus ditempatkan sebagai subyek. Pelayanan kepada masyarakat merupakan upaya yang tidak terpisahkan untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai implementasi amanat tersebut, pada tahun 2009 diundangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Guna menampung aspirasi masyarakat terhadap kepentingan dan kemendesakan peningkatan kualitas pelayanan publik, penyelenggara pelayanan publik perlu membangun kepercayaan masyarakat dengan melaksanakan Undang-Undang tersebut secara konsekuen dan konsisten.

Sebagai upaya untuk meningkatan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asa-asas umum pemerintahan yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta mewujudkan tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia melaksanakan penilaian kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009. Pada tahun ini, penilaian kepatuhan dilaksanakan di lingkungan Kementerian/ Lembaga, dan Pemerintah Daerah. Buku ini, memaparkan hasil penilaian kepatuhan di lingkungan Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan Lembaga Non Struktural yang dilaksanakan di 36 (tiga puluh enam) Lembaga.

Variabel yang digunakan untuk menilai kapatuhan ini adalah membandingkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, yang terdiri atas Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan, Sistem Informasi Pelayanan Publik, Sumber Daya Manusia, Unit Pengaduan, Sarana bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus, Visi, Misi dan Moto, Sertifikat ISO 9000:2008, Atribut, dan Sistem Pelayanan Terpadu.

Berdasarkan variabel dan indikator yang telah ditetapkan maka diperoleh nilai maksimal/total sebesar 1.000 dan dibagi ke dalam 3 (tiga) zonasi kepatuhan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu:

1. Zona merah atau kepatuhan rendah (0-500). 2. Zona kuning atau kepatuhan sedang (501-800). 3. Zona hijau atau kepatuhan tinggi (801-1.000).

Demikian, hasil penilaian kepatuhan ini disampaikan sebagai masukan bagi Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan Lembaga Non Struktural agar dapat memperbaiki layanan publiknya sehingga ke depan pelayanan publik di Indonesia menjadi lebih baik dan sesuai dengan harapan masyarakat.

(3)

Pengarah:

Danang Girindrawardana Alphonsa Animaharsi

Penanggung Jawab: H. Hendra Nurtjahyo Ketua Tim Peneliti Pusat:

M. Khoirul Anwar

Tim litbang Ombudsman RI Pusat: Awidya Mahadewi

Chasidin M. Arief Wibowo

Tenaga Ahli: Bani Pamungkas

(4)

Bab 1 Pendahuluan... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Rumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 5

1.4. Manfaat Penelitian... 5

1.5. Batasan Penelitian... 6

1.6. Tempat dan Waktu Penelitian... 6

Bab 2 Konsep dan Kerangka Teori... 8

2.1. Konsep Kepatuhan... 8

2.2. Pemerintah Daerah... 9

2.3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 ... 11

2.4. Definisi Operasional, Variabel, dan Indikator... 14

Bab 3 Metodologi Penelitian... 21

3.1. Metode Penelitian... 21

3.2. Teknik Pengumpulan Data... 22

Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 26

4.1. Hasil Penelitian Tingkat Provinsi... 26

4.1.1. Unit Pelayanan Terpadu ... 26

4.1.2. Standar Pelayanan... 28

4.1.3. Visi, Misi dan Moto... 36

4.1.4. Maklumat Pelayanan... 34

4.1.5. Sistem Informasi Pelayanan Publik... 40

4.1.6. Sarana Pengguna Layanan Berkebutuhan Khusus... 40

4.1.7. Sistem Pengelolaan Pengaduan... 41

4.1.8. Sarana Pengukuran Kepuasan Pelayanan... 43

4.1.9. Petugas Keamanan... 44

4.1.10. ISO 9001:2008... 44

4.1.11. Atribut... 45

4.2. Pembagian Zona Lembaga... 46

Bab 5 Kesimpulan, Saran, dan Tindak Lanjut... 68

5.1. Kesimpulan... 68

5.2. Saran... 69

5.3. Tindak Lanjut... 71 Daftar Pustaka

(5)

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA JL. HR. RASUNA SAID KAV. C-19 JAKARTA 12920

(6)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan paradigma terkini pelayanan publik, yaitu adanya konsep The New Public Service (NPS) yang dikembangkan oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt pada tahun 2003 (Mindarti, 2007:163-164). Menempatkan warga sebagai citizens yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dari negara (birokrasi). Warga negara juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya, didengar suaranya, sekaligus dihargai nilai dan preferensinya. Dengan demikian, warga negara memiliki hak untuk menilai, menolak dan menuntut siapapun yang secara politis bertanggungjawab atas penyediaan pelayanan publik.

Salah satu prinsip utama pelayanan dalam paradigma Pelayanan Publik Baru yang harus diwujudkan agar pemerintah mampu memberikan pelayanan yang berkualitas, yaitu dengan Citizens Influence atau ukuran sejauh mana warga dapat mempengaruhi kualitas pelayanan yang mereka terima dari pemerintah.

Pendekatan Pelayanan Publik Baru sebenarnya senada dengan Teori ”Exit” dan ”Voice” yang lebih dahulu dikembangkan oleh Albert Hirschman (Ratminto&Winarsih, 2005:71-72) menyatakan bahwa kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme ”exit” dan ”voice”. Mekanisme ”exit” berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik lain yang disukainya. Sedangkan mekanisme ”voice” berarti adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Teori ”exit’ dan ”voice” ini sejalan dengan teori politik klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup (power tend to corrupt) atau disalah gunakan, sedangkan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan disalahgunakan. Dengan demikian untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara konsumen dengan lembaga penyelenggara pelayanan publik. Secara teoritis kesetaraan posisi tawar ini akan dapat dicapai dengan cara meningkatkan posisi tawar konsumen dengan mengontrol kewenangan/kekuasaan lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Di Indonesia sendiri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa kontrol terhadap kewenangan/kekuasaan lembaga

(7)

penyelenggara pelayanan publik salah satunya dilakukan oleh Ombudsman RI, yaitu dengan melakukan langkah-langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum. Sebelumnya, melalui kewenangan Ombudsman RI sebagai lembaga yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik juga sudah secara tegas disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Yang mana salah satu kewenangannya adalah menyampaikan saran dan rekomendasi kepada Presiden, kepala daerah atau pimpinan penyelenggara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan penyelenggraan pelayanan publik dalam rangka mencegah maladministrasi. Dengan demikian maka Ombudsman RI merupakan katalisator dalam pelaksanaan prinsip citizen influence sebagaimana yang dipegang oleh pendekatan Pelayanan Publik Baru.

Dalam rangka menjalankan fungsinya dalam memberikan saran perbaikan pelayanan publik kepada pimpinan penyelenggara pelayanan publik, maka Ombudsman RI berinisiatif melakukan penelitian mengenai Kepatuhan Penyelenggara Pelayanan Publik Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Dengan maksud dan tujuan untuk melihat bagaimana tingkat kepatuhan penyelenggara pelayanan publik dalam mematuhi kewajibannya dalam pelayanan publik, sebagaimana telah diatur dalam Bab V Undang-Undang Pelayanan Publik, khususnya pasal 15. Kepatuhan ini diharapkan merupakan awal dari political will pemerintah dalam mewujudkan peningkatan pelayanan publik.

Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sudah lebih kurang 4 (empat) tahun diundangkan, namun beberapa survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga menunjukkan rapor yang buruk pelayanan publik Indonesia. Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik menyatakan hasil survei tahun 2011 yang dilakukan oleh World Bank terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke 129. Indonesia masih kalah dengan India, Vietnam bahkan Malaysia sudah menempati urutan 61 dan Thailand berada di urutan ke 70. Sementara itu, Publikasi World Bank Doing Business 2013 yang dilansir oleh International Finance Corporation (IFC), sebuah unit investasi World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat ke-128, atau membaik 2 peringkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terkait dengan kemudahan memulai usaha (prosedur, waktu, biaya, dan pembayaran kebutuhan modal nominal). Posisi Indonesia dalam daftar tersebut diapit oleh Ethiopia dan Bangladesh. Kemudian Tranparency International Indonesia (TII) meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) atau indeks persepsi korupsi 2012 yang disurvei oleh TI. Hasilnya cukup mencegangkan. Indonesia masih menjadi negara korup dengan korupsi yang semakin parah. Survey CPI tahun

(8)

2012 ini dilakukan terhadap 174 negara di dunia. Indonesia memiliki skor CPI 32 dengan peringkat 118. Artinya, dengan skor 32 itu Indonesia belum dapat ke luar dari situasi korupsi yang sudah mengakar.

Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat dengan ditandai oleh pelayanan publik yang tidak transparan, diskriminatif, berbelit-belit, korup dan sebagainya. Kondisi ini semua tidak terlepas dari rendahnya kualitas penyelenggara pelayanan publik yang belum mampu mengubah pandangannya tentang pelayanan publik, belum dipenuhinya standarisasi pelayanan dan rendahnya partisipasi masyarakat

Oleh karena itulah maka Ombudsman RI memiliki kepentingan untuk memastikan penyelenggara pelayanan publik mematuhi kewajibannya untuk menyusun dan menyediakan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik, sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik, pelayanan khusus, pengelolaan pengaduan dan sistem pelayanan terpadu, sebagaimana telah di atur dalam Pasal 15 dan Bab V Undang-Undang Pelayanan Publik. Dengan terpenuhinya seluruh kewajiban oleh penyelenggara pelayanan publik, maka hak-hak masyarakat untuk memperoleh kejelasan pelayanan, kepastian waktu dan biaya pelayanan, akurasi pelayanan, keamanan pelayanan, pertanggungjawaban pelayanan, kemudahan akses layanan, profesionalitas dan kenyamanan pelayanan sebagaimana prinsip-prinsip pelayanan publik dapat terpenuhi.

Dalam penelitian kepatuhan, Ombudsman RI memposisikan diri sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin mengetahui hak-haknya dalam pelayanan publik, seperti ada atau tidaknya persyaratan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, sarana pengaduan, pelayanan yang ramah dan nyaman, dll. Untuk itu maka metode pencarian data yang digunakan dalam penelitian kepatuhan adalah melalui metode observasi dengan cara mengamati ketampakan fisik (tangibles) dari kewajiban penyelenggara pelayanan publik di setiap unit pelayanan publik yang menjadi objek penelitian.

Dalam penelitian kepatuhan tersebut, Ombudsman RI tidak menilai bagaimana ketentuan terkait standar pelayanan itu disusun dan ditetapkan, sebagaimana dilakukan oleh lembaga lain. Penelitian ini juga tidak untuk menilai efektivitas dan kualitas pelayanan, serta kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.

(9)

Kegiatan TAHAP I Penyusunan Standar Pelayanan Publik TAHAP II Penetapan Standar Pelayanan Publik TAHAP III Implementasi Standar Pelayanan Publik TAHAP IV Efektivitas dan Kualitas Pelayanan TAHAP V Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan publik Pelaksana Penilaian Ombudsman

Bahwa penelitian mengenai kepatuhan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah dilaksanakan oleh Ombudsman RI pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013 dengan objek penelitian 18 Kementerian yang menyelenggarakan pelayanan publik, khususnya unit pelayanan perizinan langsung kepada kelompok masyarakat/perorangan/instansi khususnya terkait penyelenggaraan perizinan di tingkat Kementerian yang berada di Jakarta.

Penelitian tersebut mengkategorisasi penilaian berdasarkan perolehan nilai dari setiap Kementerian. Pertama, zona merah: menggambarkan kepatuhan yang rendah; kedua, zona kuning: menggambarkan kepatuhan yang sedang; dan ketiga, zona hijau: menggambarkan kepatuhan yang tinggi. Dari hasil observasi, lima Kementerian atau 27,8% masuk kategori zona merah. Kementerian tersebut adalah Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kementerian di zona kuning sebanyak sembilan atau 50%, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Riset dan Teknologi. Sedangkan sebanyak lima Kementerian atau 22,2% mendapatkan predikat kepatuhan tinggi, antara lain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.

Dari hasil penelitian tersebut nampak 50% Kementerian belum sepenuhnya patuh memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara pelayanan publik sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Penelitian yang dirilis pada tanggal 22 Juli 2013 yang lalu itu sempat menuai kritik dari beberapa Kementerian, terutama Kementrian yang masuk ke dalam kategori zona merah dan kuning. Namun kemudian tidak sedikit pula Kementerian yang berinisiatif mempelajari lebih

(10)

lanjut hasil penelitian tersebut dan menyatakan kesiapan memperbaiki pelayanan publiknya. Beberapa dari mereka yakin bahwa dalam waktu 2 sampai 3 bulan bahwa mereka akan membuat Kementeriannya masuk zona hijau. Lain halnya dengan Kementerian Pekerjaan Umum, yang masuk kategori zona merah dalam kurun waktu satu minggu setelah penelitian kepatuhan dirilis, berupaya dan berhasil memenuhi kewajiban sebagai penyelenggara pelayanan publik sebagaimana ketentuan Bab V Undang-Undang Pelayanan Publik. Hal ini membuktikan bahwa penelitian kepatuhan telah berhasil mendorong Kementerian untuk berkomitmen untuk segera memperbaiki pelayanan publiknya. Bahkan Kementerian Kehutanan terinspirasi untuk membangun Loket Pelayanan Terpadu. Hal ini meneguhkan bahwa penelitian ini sangat bermanfaat dan memberi kontribusi positif terhadap peningkatan pelayanan publik.

Beranjak dari latar belakang di atas, maka Ombudsman RI memandang perlu untuk memperluas objek penelitian kepatuhan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu kepada Pemerintah Provinsi dan Kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah kepatuhan lembaga dalam menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepatuhan lembaga dalam menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Teridentifikasinya tingkat kepatuhan lembaga dalam menyelenggarakan pelayanan publik Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

b. Teridentifikasinya aspek-aspek yang perlu diperbaiki oleh lembaga dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lembaga

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kepatuhan lembaga dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik di lembaga bersangkutan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik.

(11)

2. Bagi Ombudsman RI

Hasil Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kepatuhan lembaga dalam penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik sebagai dasar pelaksanaan koordinasi antara Ombudsman RI dengan lembaga dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.

1.5. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini mengambil sampel pada Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan Lembaga Non Struktural (LNS) yang menyelenggarakan pelayanan publik langsung kepada kelompok masyarakat/perorangan/instansi.

2. Wilayah Penelitian ini dilakukan di Unit Layanan Publik yang langsung di bawah LPNK dan LNS yang berada di Jakarta.

1.6. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, lokasi tempat di mana LPNK dan LNS yang menjadi objek penelitian yaitu:

1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); 2. Konsil Kedokteran Indonesia;

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan;

4. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 5. Komisi Banding Merek;

6. Komisi Banding Paten; 7. Badan Standarisasi Nasional; 8. Badan Pusat Statistik;

9. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; 10. Badan Tenaga Nuklir Nasional;

11. Badan Koordinasi Penanaman Modal; 12. Badan Informasi dan Geospasial; 13. Badan Nasional Sertifikasi Profesi; 14. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 15. Komisi Kejaksaan;

16. Komisi Nasional HAM;

17. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia; 18. Perpustakaan Nasional;

19. Komisi Informasi Pusat;

20. Komisi Akreditasi Nasional (KAN); 21. Badan Perlindungan Konsumen Nasional;

(12)

22. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia; 23. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 24. Badan Amil Zakat Nasional;

25. Badan Pertanahan Nasional; 26. Dewan Pers;

27. Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (LANKOR); 28. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);

29. Komite Anti Dumping;

30. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU); 31. Komisi Kepolisian Nasional;

32. Komisi Penyiaran Indonesia; 33. Komisi Nasional Perempuan;

34. Badan Olahraga Profesional Indonesia; 35. Badan Pertimbangan Kepegawaian;

36.

Komite Standar Nasional Untuk Satuan Ukuran (KSNSU)

Penelitian ini dimulai pada bulan September sampai dengan November 2013, dengan jadwal pelaksanaan sebagai berikut :

No Kegiatan September Oktober November

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Perencanaan 2 Pengumpulan Data 3 Pengolahan Data 4 Laporan

(13)

BAB 2

KONSEP DAN KERANGKA TEORI

2.1. Konsep Kepatuhan

Seperti apa yang sering dikatakan oleh banyak orang bahwa kesadaran hukum merupakan salah satu faktor penentu dari kepatuhan hukum, sehingga dalam mebicarakan mengenai kepatuhan hukum harus dimulai terlebih dahulu dari masalah kesadaran hukum.

Soerjono Soekanto (1982:152) berpendapat bahwa kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Jadi pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa keadilan, dan asas kesadaran hukum ada di dalam diri setiap manusia.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa kesadaran hukum yang tinggi menyebabkan warga masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran hukum sangat rendah maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga rendah (Soekanto, 1982:216). Indikator-indikator kesadaran hukum menurut B. Kutschincky adalah :

1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness); 2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance); 3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude);

4. Pola-pola perilaku hukum (law behavior).

Indikator tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi

Apabila indikator–indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang isi hukum, sikap terhadap hukum serta pola perilaku hukum dihubungkan dengan kepatuhan hukum, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut:

1. Pengetahuan tentang peraturan hukum tidak mempengaruhi kepatuhan terhadap peraturan;

2. Pengetahuan tentang isi peraturan hukum sangat mempengaruhi sikap terhadap suatu peraturan, akan tetapi sukar untuk menetapkan secara pasti derajat kepatuhan macam apakah yang dicapai dengan pengetahuan tersebut;

3. Sikap terhadap peraturan cenderung mempengaruhi taraf kepatuhan hukum;

4. Pola perilaku hukum sangat mempengaruhi kepatuhan hukum, yang mana perilaku yang sesuai dengan hukum merupakan salah satu ciri atau kriteria akan adanya kepatuhan atau ketaatan hukum yang cukup tinggi.

(14)

Dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya taraf kepatuhan hukum yang tinggi, derajat mana dapat memperlihatkan tinggi rendahnya kesadaran hukum.

2.2.Lembaga

Dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan maka dibentuklah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), yang mana mengenai LPNK ini untuk pertama kalinya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departeman (LPND). Dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu dari Presiden sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berdengan demikian LPND berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Ketentuan mengenai LPND tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.Lembaga Pemerintah Non Departemen sekarang berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), yang terdiri dari:

1. Lembaga Administrasi Negara (LAN) 2. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) 3. Badan Kepegawaian Negara (BKN)

4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS) 5. Badan Standarisasi Nasional (BSN)

6. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) 7. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) 8. Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG)

9. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) 10. Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) 11. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 12. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

13. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 14. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Pada era reformasi terjadi fenomena yang tidak terelakan, manakala begitu banyaknya urusan pemerintahan ataupun kenegaraan yang tidak dapat dilaksanakan oleh perangkat

(15)

pemerintahan yang ada, yaitu dengan dibentuknya lembaga baru selain LPNK atau Auxilary Body, yang kemudian lebih dikenal dengan Lembaga Non Struktural (LNS) dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Dalam kamus Oxford Paperback Dictionary and Thesaurus kata “auxiliary” dikatakan berarti “providing extra help and support supplementary, extra, reserve, back up, emergency, fallback”. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa “auxiliary bodies” adalah lembaga atau satuan organisasi yang berfungsi untuk membantu melengkapi, membackup dalam keadaan bahasa atau keadaan darurat, atau suatu lembaga yang menggantikan fungsi lembaga lain yang tidak bekerja sebagaimana mestinya atau menyediakan jasa yang diperlukan, tetapi belum pernah disediakan oleh lembaga atau organisasi lain. (Hartono, 2008:7). Peran LNS dibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas pelayanan publik, penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan perencanaan hukum.

Fenomena pembentukan LNS dengan variasi penggunaan nomenklatur (Komisi, Dewan, Lembaga, Komite, Panitia, Pusat dan Tim) telah memberikan pengaruh besar dalam pemerintahan secara luas. Keberadaan LNS terus berkembang keberadaannya hingga jumlahnya pun belum diperoleh secara pasti. Kompas telah mengidentifikasi 42 LNS pada tahun 2005 dan Lembaga Administrasi Negara mengidentifikasi lebih dari 77 LNS pada tahun 2006 (LAN, 2008:1). Sedangkan data pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat ada 90 LNS.

Dilihat dari kedudukannya, terdapat dua kelompok besar Lembaga Non Struktural. Kelompok pertama yaitu yang berada pada hierarki negara atau tidak di bawah Presiden (Lembaga Non Struktural Negara) yang bersifat independen. Independen dalam hal ini memiliki makna bahwa pemberhentian anggota hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukannya, memiliki kepemimpinan yang kolektif, kepemimpinan tidak dikuasai oleh mayoritas partai tertentu dan masa jabatan komisi tidak habis bersamaan tetapi bergantian. Lembaga Non Struktural tersebut juga diidentifikasi sebagai lembaga yang berfungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Perlindungan Anak, dll.

Pada kelompok kedua adalah Lembaga Non Struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, sehingga merupakan Lembaga Non Struktural Eksekutif atau merupakan bagian dari eksekutif, contohnya: Komisi Hukum Nasional, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksanaan, Komisi Nasional Lanjut Usia, Komisi Banding Merek, Dewan Kelautan Nasional, Dewan Riset Nasional, Dewan Buku Nasional, Dewan Ekonomi Nasional,

(16)

Dewan Maritim Nasional, Dewan Gula Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Dewan Ketahanan Nasional, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dll. (LAN, 2008:15-17).

2.3.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik lahir atas dasar kewajiban Negara untuk melayani setiap warga negaranya dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945 juga untuk membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sedangkan tujuan diundangkannya peraturan tentang pelayanan publik ini adalah : adanya hubungan batasan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; adanya sistem penyelenggaraan publik yang layak yang sesuai asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Bahwa dalam Pasal 15 dan Bab V Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ini Penyelenggara Pelayanan Publik wajib memenuhi 10 unsur mengenai penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri, yang terdiri atas:

1. Standar Pelayanan

Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

Komponen standar pelayanan yang dimaksud sekurang-kurangnya meliputi : dasar hukum, persyaratan, sistem mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, sarana, prasarana, atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman bebas dari bahaya dan resiko keragu-raguan, dan evaluasi kinerja pelaksana.

Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan ini, penyelenggara pelayanan publik wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait.

(17)

2. Maklumat Pelayanan

Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan. Maklumat pelayanan wajib dipublikasikan secara jelas dan luas.

Penyelenggara wajib menyusun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas (Pasal 18). Penyusunan dan pelaksanaan maklumat pelayanan harus dipenuhi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku (Pasal 46).

3. Sistem Informasi Pelayanan Publik

Sistem informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan dalam huruf braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.

Sistem informasi pelayanan publik berisi semua informasi pelayanan publik yang berasal dari penyelenggara pelayananan publik pada setiap tingkatan dan sekurang-kurangnya memuat informasi yang meliputi : profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja.

4. Pengelolaan Sarana, Prasarana, dan/atau Fasilitas Pelayanan Publik.

Penyelenggara pelayanan publik wajib mengelola sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan penggantian sarana, prasarana,dan fasilitas pelayanan publik.

Penyelenggara pelayanan publik melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik dan melakukan pengadaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan.

5. Pelayanan Khusus

Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diberikan tanpa tambahan biaya.

6. Biaya/Tarif Pelayanan Publik

Biaya/tarif pelayanan publik pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Penentuan biaya/tarif pelayanan publik

(18)

ditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

7. Perilaku Pelaksana dalam Pelayanan

Pelaksana pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sesuai paradigma umum yang berlaku di masyarakat yang diantaranya : adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut, profesional, tidak mempersulit, patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara, tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik, tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan dan kewenangan yang dimiliki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang dari prosedur.

8. Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung pelaksana pelayanan publik dan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan eksternal penyelenggara pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat (berupa laporan/ pengaduan masyarakat), oleh Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik (Ombudsman RI), dan oleh DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

9. Pengelolaan Pengaduan

Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas.

Juga penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima layanan, rekomendasi Ombudsman RI, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu, serta berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tersebut.

Penyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan.

(19)

10. Penilaian Kinerja

Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan.

Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu yang dilaksanakan di lingkungan Lembaga yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memperpendek proses pelayanan, mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau, dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan.

Sistem pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan proses pengelolaan pelayanan terhadap beberapa jenis pelayanan yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat baik secara fisik maupun virtual sesuai dengan Standar Pelayanan. Sistem pelayanan terpadu secara fisik dapat dilaksanakan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu dan/atau sistem pelayanan terpadu satu atap.

Bahkan pada pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu pintu wajib dilaksanakan untuk jenis pelayanan perizinan dan nonperizinan bidang penanaman modal.

Di dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Pelayanan Publik, selain kewajiban penyelenggara tersebut di atas, perlu juga kiranya meletakan Visi, Misi dan Motto yang dapat memotivasi dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, serta menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 guna memberikan kepastian mutu layanan yang berkualitas kepada masyarakat. Termasuk juga pemberian atribut yang berupa pakaian seragam dan kartu identits petugas dalam mendukung formalitas dan citra dari unit pelayanan publik.

2.4.Definisi Operasional, Variabel, dan Indikator

Definisi operasional merupakan definisi penelitian terhadap suatu istilah yang memberikan deskripsi tentang metode riset dengan menyebutkan tindakan penting yang akan digunakan dalam penelitian. Definsi operasional yang dijabarkan sesuai dengan variabel terkait dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini memuat 1 (satu) variabel, yaitu kepatuhan. Selanjutnya variabel kapatuhan ini digunakan untuk Lembaga dengan cara membandingkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, yang meliputi ketentuan mengenai sistem pelayanan terpadu, standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi

(20)

pelayanan publik, dan pelayanan khusus tentang pelayanan publik dengan kenyataan yang ada. Serta berapa kriteria penilaian kinerja pelayanan publik sebagaimana di atur oleh Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Pelayanan Publik, sehingga jabaran definisi operasional penelitiannya adalah sebagai berikut :

1. Kepatuhan (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Kepatuhan adalah perilaku yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam hal ini adalah perilaku Lembaga untuk melaksanaan ketentuan terkait penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

b. Cara Ukur

Dengan mengobservasi perilaku Lembaga secara langsung, wawancara, dan menganalisa hasil kuesioner yang diisi observer.

c. Alat Ukur

Observasi, wawancara, dan kuesioner

d. Hasil Ukur menggunakan traffic light system, yaitu :

 Zona merah atau kepatuhan rendah ( 0 – 500 ) : Zona merah menggambarkan kepatuhan yang rendah dari penyelenggara perizinan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

 Zona kuning atau kepatuhan sedang ( 501 – 800 ): Zona kuning menggambarkan kepatuhan yang sedang terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

 Zona hijau atau kepatuhan tinggi ( 801 - 1000) : zona hijau menggambarkan kepatuhan yang tinggi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

e. Skala Ukur Ordinal

2. Sistem Pelayanan Terpadu (variabel kuantitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Sistem Pelayanan Terpadu adalah satu kesatuan proses pengelolaan pelayanan terhadap beberapa jenis pelayanan yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat baik secara fisik maupun virtual sesuai dengan standar pelayanan

b. Cara Ukur : Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel sistem pelayanan terpadu c. Alat Ukur

(21)

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur :

 Terpadu : Satu Atap dan Satu Pintu  Tidak terpadu

e. Skala Ukur : Ordinal

3. Standar Pelayanan (Variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Standar pelayanan meliputi : dasar hukum, persyaratan pelayanan, sistem, mekanisme dan prosedur (SOP dan Bagan Alur), jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, prosedur pelayanan, alur pelayanan dan ketersediaan sarana dan prasarana (ruang tunggu, pendingin ruangan/AC, tempat duduk, ketersediaan informasi pelayanan publik, sarana antrian/tiket dan toilet/wc, tempat parkir yang memadai, televisi), jumlah pelaksana, jaminan pelayanan (tata tertib, kode etik dan slogan)

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel standar pelayanan c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Dipajang/diumumkan dan Tidak dipajang/diumumkan e. Skala Ukur

Ordinal

4. Maklumat Pelayanan (variabel kuantitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Maklumat Pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat di dalam standar pelayanan

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel maklumat pelayanan c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Dipajang/diumumkan dan tidak dipajang/diumumkan e. Skala Ukur

(22)

Ordinal

5. Sistem Informasi Pelayanan Publik (variabel kuantitatif dan independen) a. Definsi Operasional

Sistem Informasi Pelayanan Publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual atau elektronik.

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel Sistem Informasi Pelayanan Publik c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

 Ada : Manual atau elektronik  Tidak ada

e. Skala Ukur Ordinal

6. Pelayanan khusus (variabel kuantitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Sarana bagi masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak. Yang terdiri dari ram, jalur pemandu, pegangan rambatan, tombol lift timbul dan suara, toilet khusus, ruang khusus ibu menyusui dan anak serta loket khusus.

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel pelayanan khusus c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Ada dan tidak ada e. Skala Ukur

Ordinal

7. Perilaku pelaksana (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Opresional

Sikap petugas dalam memberikan pelayanan, yaitu adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut, profesional, tidak mempersulit, tidak memberikan informasi yang salah atau

(23)

menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta prokatif dalam memenuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan dan kewenangan yang dimiliki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang dari prosedur (tidak meminta imbalan)

b. Cara Ukur

Dengan melihat persepsi pengguna layanan terhadap perilaku pelaksana pelayanan publik hasil kuesioner pada variabel sumber daya manusia

c. Alat Ukur Kuesioner d. Hasil Ukur

Baik dan buruk e. Skala Ukur

Ordinal

8. Pengelolaan Pengaduan (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Unit yang bertugas mengelola pengaduan mulai dari tahap penyeleksian, penelaahan, dan pengklasifikasian sampai dengan kepastian penyelesaian pengaduan. Unit terdiri dari : Unit pengelolaan pengaduan, kotak saran/pengaduan, pejabat pengelola pengaduan, loket pengaduan/ruangan pengaduan, informasi nomor telepon pengaduan, informasi email pengaduan, informasi prosedur pengaduan dan informasi pengelolaan pengaduan.

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel Pengelolaan Pengaduan c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Ada dan tidak ada e. Skala Ukur

Ordinal

9. Penilaian Kinerja (Variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Operasional

Sarana pengukuran kepuasan pengguna pelayanan b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel Pengelolaan Penilaian kinerja c. Alat Ukur

(24)

d. Hasil Ukur

 Ada : manual atau elektronik  Tidak ada

e. Skala Ukur Ordinal

10. Visi, Misi dan Motto (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Opresional

Visi adalah pernyataan tentang pandangan jauh tentang organisasi yang hendak dicapai dan misi adalah pernyataan langkah-langkah untuk mencapainya. Sedangkan motto adalah pernyataan mengenai semboyan yang merupakan cerminan jiwa, semangat dan tekad yang menjadi dasar langkah dan gerak segenap aparatur pelayanan

b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel visi, misi dan moto c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Dipajang/diumumkan dan tidak dipajang/diumumkan e. Skala Ukur

Ordinal

11. Sertifikat ISO 9000:2008 (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Opresional

Standar yang menyatakan standar kualitas mutu dari pelayanan b. Cara Ukur

Dengan melihat hasil kuesioner pada variabel sistem mekanisme dan prosedur c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Dipajang/diumumkan dan tidak dipajang/diumumkan e. Skala Ukur

Ordinal

12. Atribut (variabel kualitatif dan independen) a. Definisi Opresional

Properti atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu entitas, meliputi pakaian seragam dan identitas petugas.

b. Cara Ukur

(25)

c. Alat Ukur

Observasi dan kuesioner d. Hasil Ukur

Memakai dan Tidak memakai e. Skala Ukur

(26)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survey yakni penelitian yang dilakukan pada populasi, tetapi data yang dipelajari adalah data sampel yang diambil dari populasi tersebut dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data sehingga diperoleh generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam. Dari tingkat eksplanasinya penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan metode evaluasi. Pengertian metode peneltian deskriptif menurut Sugiono (2006:11) adalah ”Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel dengan variabel yang lain”. Sedangkan Irawan (2004:49) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah ”Penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal seperti apa adanya”. Metode evaluasi digunakan peneliti untuk menilai sesuatu dengan membandingkan suatu kegiatan atau produk dengan standar yang telah ditetapkan.

Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif yaitu dengan mengutamakan keterangan melalui angka-angka sehingga gejala-gejala penelitian diukur dengan menggunakan skala-skala.

3.1.1.1Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan subjek penelitian yang terkait dengan objek yang diteliti. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti, sampel diperlukan karena jumlah populasi yang terlalu besar atau karena memang tidak perlu, sedangkan sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (Hasan Mustafa, 2000). Pada penelitian ini populasinya adalah pelayanan publik langsung ke penggunan layanan (perizinan dan non-perizinan) yang diselenggarakan oleh LPNK (Lembaga Pemerintah non-Kementerian) dan LNS (Lemabaga Negara non-Struktural) di Jakarta. Adapun sampel yang diambil untuk menjadi subjek penelitian adalah pelayanan perizinan dan non-perizinan pada 36 Lembaga yang memiliki kewenangan menyelenggarakan pelayanan tersebut. Teknik sampling memakai teknik purprosive sampling Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang

(27)

diperlukan bagi penelitiannya dalam teknik purposive sampling dibagi lagi menjadi Judgment Sampling yaitu, sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya (Hasan Mustafa, 2000).

Dalam penelitian ini, peneliti mendatangi langsung unit pelayanan publik Lembaga yang menyelenggarakan pelayanan publik langsung kepada kelompok masyarakat/perorangan/instansi.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode observasi dan kuesioner. Metode observasi adalah merupakan metode pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Supardi, 2006 : 88). Observasi dilakukan menurut prosedur dan aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti dan hasil observasi memberikan kemungkinan untuk ditafsirkan secara ilmiah.

Sedangkan kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden (Sutopo, 2006: 82). Responden mempunyai kebebasan untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan persepsinya. Kuesioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya, dimana peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden (Sutopo, 2006: 87).

3.1.2 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Pada analisis data kuantitatif, pengolahan data meliputi tahap editing dan koding, penyederhanaan data dan mengkode data.

a. Pemeriksaan Data (editing)

Langkah ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul telah lengkap, sehingga dapat dipersiapkan untuk tahap selanjutnya.

b. Koding

Koding dilakukan untuk menyederhanakan data, yaitu dengan memberi simbol angka pada setiap jawaban atau suatu cara mengklasifikasi jawaban responden menurut macamnya dengan cara menandai jawaban dengan kode tertentu. Hal ini dapat memudahkan reduksi data, analisis, penyimpanan, dan penyebaran data.

(28)

c. Penyederhanaan data

Agar data mudah dianalisis, maka jawaban dari responden harus diringkas ke dalam kategori yang jumlahnya terbatas.

d. Mengkode data

Langkah berikutnya adalah mengkode data berdasarkan buku kode yang telah disusun, alat yang digunakan adalah lembaran code (code sheet) untuk pengolahan menggunakan komputer.

Setelah tahap pengolahan data dilakukan, tahap selanjutnya adalah menyusun rencana analisis. Rencana analisis adalah suatu rumusan yang sudah dapat mencerminkan atau memberikan gambaran analisisnya.

Tahapan dalam menyusun rencana analisis: 1. Menentukan variabel yang hendak dianalisis.

Variabel yang hendak dianalisis pada umumnya sudah terlihat pada model hipotesis penelitian, tetapi dapat ditambah dengan variabel lain atau hubungan dengan variabel lain untuk menambah pengetahuan untuk penelitian. Hubungan antar variabel yang akan dianalisis tersebut harus mendapat dukungan teori dan logika.

2. Rekonstruksi variabel yang hendak dianalisis.

Dalam pengumpulan data, terkadang terdapat data yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, sehingga peneliti harus memeriksa dan menjabarkan kembali data yang diperoleh.

3. Pengelompokan variabel ke dalam variabel baru

Pengelompokan kategori jawaban atau variabel ke dalam jawaban atau variabel yang baru dilakukan agar data penelitian menjadi sederhana dan memudahkan peneliti untuk melakukan analisis dan membuat kesimpulan.

Pada penelitian ini, menggunakan analisa tabel silang lebih dari dua variabel, yaitu tabel silang yang mengaitkan data yang terdiri dari lebih dari dua variabel (variabel terpengaruh dan kontrol) (Masri S dan Sofian Effendi, 2005). Setiap variabel akan dinilai dan dibobot untuk kemudian mendapatkan 3 (tiga) kategorisasi dari penilaian tersebut. Variabel Penilaian dan indikatornya tersebut adalah sebagai berikut :

No Variabel

Penilaian Kategori Komponen Indikator Nilai Detil Nilai

1 Sistem Pelayanan Terpadu

Utama Satu Atap/ Satu Pintu 6 6

2 Standar

Pelayanan Utama 1)

Dasar hukum 5 5

2) Persyaratan 5 5

(29)

No Variabel Penilaian

Kategori Komponen Indikator Nilai Detil Nilai

a. SOP 5

b. Bagan Alur 5

4) Produk pelayanan 5 5

5) Jangka waktu penyelesaian 10 10

6) Biaya/ tarif 10 10

7) Sarana, prasarana, atau fasilitas,

10

 Ruang Tunggu 2

 Pendingin Ruangan/ AC 1

 Tempat duduk 2

 Sarana Antrian (tiket) 1

 Toilet 1

 Televisi 1

 Loket/Meja Pelayanan 1

 Tempat Parkir yang memadai 1

8) Jumlah pelaksana 2 2

9) A. Tata Tertib 2 1

B. Kode Etik 1

3 Maklumat

Layanan Utama Ketersediaan Maklumat Pelayanan 5 5 4 Sistem Informasi

Pelayanan Publik

Utama Ketersediaan Sistem Informasi Pelayanan Publik secara manual atau elektronik

(Booklet/Pamflet/Banner/Website, dsb)

10 10

5 Pelayanan

Khusus Utama Sarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus :

3

-Ram 0,5

-Jalur pemandu 0,5

-Pegangan rambatan 0,5

-Tombol Lift timbul & suara 0

-Toilet khusus 0,5

-Ruang khusus ibu menyusui dan anak

0,5

- Loket khusus 0,5

6 Pengelolaan Pengaduan

Utama 1. Mempunyai unit pengaduan khusus yang mengelola unit pengaduan?

8 1

2. Pejabat Pengelola Pengaduan 2 3. Loket Pengaduan/Ruangan

Pengaduan 1

4. Sarana Pengaduan (SMS/

Telpon/Fax/ email/ dll) pengaduan 2 5. Informasi prosedur/tata cara

pengaduan

(30)

No Variabel Penilaian

Kategori Komponen Indikator Nilai Detil Nilai

6. Informasi pengelolaan

pengaduan yang dipajang di ruang pengelola pengaduan dan atau di ruang pelayanan

1

7 Penilaian Kinerja

Utama Sarana pengukuran kepuasan pelanggan

2 2

8 Visi Misi dan Moto

Tambahan Visi + Misi 3 2

Motto 1

9 ISO 9001:2008 Tambahan Adopsi ISO 9001:2008 2 2 10 Atribut Tambahan - Petugas penyelenggara layanan

menggunakan pakaian seragam?

1 1

- Petugas penyelenggara layanan

menggunakan ID card? 1 1

TOTAL 100 100

TOTAL Nilai (Nx10) 1000

Berdasarkan variabel dan indikator penilaian tersebut, akan diperoleh nilai maksimal/total sebesar 1000 dan dibagi ke dalam 3 (tiga) kategorisasi berdasarkan perolehan nilai yang diperoleh oleh masing-masing kementerian tersebut, kategorisasi tersebut adalah : 1. Zona merah atau kepatuhan rendah (0-500) : Zona merah menggambarkan kepatuhan yang

rendah dari penyelenggara perizinan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

2. Zona kuning atau kepatuhan sedang (501-800): Zona kuning menggambarkan kepatuhan yang sedang terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

3. Zona hijau atau kepatuhan tinggi (801-1000) : zona hijau menggambarkan kepatuhan yang tinggi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

(31)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Lembaga selaku penyelenggara layanan publik wajib melaksanakan komponen standar pelayanan yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik tersebut sehingga pengguna layanan (masyarakat) mengetahui mengenai bagaimana pelaksanaan tugas dan kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik, sejak dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atau pengendalian. Seluruh kegiatan tersebut harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.

Untuk itu, sejalan dengan penelitian ini yang bertujuan mengetahui bagaimana kepatuhan Lembaga (Unit Layanan Publik) terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka penelitian ini mencoba melihat apakah Lembaga pada Unit Layanan Publik sudah melaksanakan kewajibannya untuk membuat dan mengumumkan/memajang indikator-indikator yang menjadi komponen standar pelayanan dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009.

4.1.1. Sistem Pelayanan Terpadu

Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan publik yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka.

Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan publik yang bersifat perizinan.

Kendati mungkin fenomena “maladministrasi” khususnya “pungli” yang berkaitan dengan jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola “pungli” dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas. Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut?

Sejalan dengan itu, prinsip market oriented pada Unit Layanan Publik harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara layanan (Pemerintah) harus

(32)

mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip Catalitic Government, mengandung pengertian bahwa penyelenggara layanan harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat.

Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan. Artinya, pembentukan organisasi ini secara empirik telah memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum minimal secara kuantitatif. Dalam konteks teori Reinventing Government, pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) ini telah menghayati makna community owned, mission driven, result oriented, costumer oriented, serta anticipatory government.

Penyelenggaraan pelayanan terpadu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan secara terpadu dalam satu pintu dan satu tempat, yang mengindikasikan adanya kemudahan bagi pengguna layanan untuk mengakses layanan pada satu tempat dan satu penyelenggara, tidak terpencar-pencar melalui beberapa penyelenggara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unit pelayanan pada Lembaga , 65,8 % merupakan unit pelayanan yang termasuk dalam unit pelayanan terpadu. Sedangkan 34,2% belum menjadi unit pelayanan terpadu. Dari unit pelayanan publik yang telah menjadi unit pelayanan terpadu ini, 80% merupakan unit pelayanan terpadu satu pintu, sedangkan 20% lainnya masih merupakan unit pelayanan satu atap.

Pelayanan terpadu satu atap disini diartikan sebagai pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

34,2 65,8 1

Unit Pelayanan

Termasuk Unit

Pelayanan Terpadu

Ya Tidak 80,0 20,0 1

Jenis Pelayanan

Terpadu

Pelayanan Terpadu Satu Atap Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(33)

4.1.2. Standar Pelayanan; a. Dasar Hukum;

Di dalam memberikan landasan hukum dan kepastian hukum bagi penyelenggara maupun pengguna layanan, prosedur pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Lemnbaga Pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas. Setiap Lembaga sesuai dengan lingkup kewenangan yang dimilikinya harus menetapkan prosedur pelayanan publik yang diselenggarakan di dalam suatu penetapan peraturan dari internal Lembaga Pemerintah dimaksud sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat 81,6% unit pelayanan publik dari Lembaga Pemerintah yang menyebutkan dasar hukum dari pelayanan publik yang diselenggarakannya. Sedangkan sebanyak 18,4% dari unit pelayanan publik Lembaga ini belum menyebutkan secara jelas ketentuan yang menjadi dasar hukum dari penyelenggaraan pelayanan publik di maksud.

b. Persyaratan Pelayanan;

Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan persyaratan, baik teknis maupun administratif harus seminimal mungkin dan dikaji terlebih dahulu agar benar-benar sesuai atau relevan dengan jenis pelayanan yang akan diberikan.

Segala persyaratan yang bersifat duplikasi harus dihilangkan dari instansi yang terkait dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.

Dalam hal persyaratan perizinan, seperti dokumen apa saja yang harus dibawa, identitas, dll, sebanyak 63,2% Lembaga memasang persyaratan perizinan di tempat-tempat

18,4

81,6 1

Informasi Dasar Hukum

(34)

yang mudah untuk dilihat ketika pengguna layanan datang untuk mengurus perizinan pada Unit Pelayanan Publik dimaksud.

Sedangkan 36,8% dari total sampel yang tidak memasang persyaratan perizinan di tempat layanan perizinan pada Lembaga yang disurvei. Kondisi tentunya tidak juga bisa dimaklumi, karena persyaratan perizinan yang dipajang akan memudahkan pengguna layanan untuk melihat syarat-syarat apa saja yang dibutuhkan, dan meminimalkan proses transaksional yang buruk dengan petugas layanan.

Dari pemasangan informasi mengenai persyaratan perizinan yang dilakukan oleh Unit Layanan Publik Lembaga diketahui sebanyak 45,8 % disediakan dalam bentuk manual. Sedangkan 29,2%nya disediakan dalam bentuk elektronik dan 25% nya disediakan baik dalam bentuk manual maupun eletronik.

c. Ketersediaan SOP;

Standart Operating Procedure (SOP) adalah pedoman atau acuan untuk bagi petugas pelayanan perizinan untuk bekerja melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance. Tidak; 36,8 Ya; 63,2 ,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 1 %

Persyaratan Pelayanan

45,8 29,2 25,0 1

Bentuk Informasi Persyaratan

Pelayanan

(35)

Dalam penelitian ini 89,5% dari sampel penelitian sudah mempunyai SOP dalam bekerja untuk melayani pengguna layanan. Namun dari SOP yang telah tersedia tersebut baru 57,9% yang telah diumumkan dan 42,1% belum diumumkan. Dari SOP yang diumumkan ini, media yang digunakan untuk mengumumkannya paling banyak menggunakan media elektronik sebesar 43,8%, 31,3% disebutkan dalam bentuk manual dan 25% disebutkan baik dalam bentuk manual maupun elektronik.

Sangat disayangkan masing ada Lembaga yang belum menyusun SOP dari pelayanan publik yang diselenggarakannya. Ketersediaan SOP ini sendiri sebenarnya merupakan salah satu pra-syarat atau Indikator bagi pelaksanaan Reformasi Birokrasi pada Lembaga dimaksud. Tentunya dengan ketiadaan SOP ini dapat

menciptakan

pelayanan yang tidak terstandarisasi dan berpotensi membuat kebingungan pada masyarakat sebagai pengguna layanan maupun petugas pemberi layanan.

d. Bagan/Alur Pelayanan;

Alur pelayanan adalah rangkaian proses atau tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya tahapan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian sesuatu pelayanan. Alur pelayanan publik harus sederhana,tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan, serta diwujudkan dalam bentuk bagan alir (flow chart) yang dipampang dalam ruangan pelayanan.

Alur Pelayanan sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena berfungsi sebagai:

a. Petunjuk kerja bagi pemberi pelayanan; b. Informasi bagi penerima pelayanan;

c. Media publikasi secara terbuka pada semua unit kerja pelayanan 
mengenai prosedur pelayanan kepada penerima pelayanan;

d. Pendorong terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien;

10,5 89,5 1

Ketersediaan SOP

Ya Tidak 31,3 43,8 25,0 1

Bentuk Informasi

SOP

Manual dan Elektonik Elektronik

(36)

e. Pengendali (kontrol) dan acuan bagi masyarakat dan aparat pengawasan untuk melakukan penilaian/pemeriksaan terhadap konsistensi pelaksanaan kerja. 


Alur Pelayanan selain menjelaskan bagaimana seharusnya proses perizinan itu berjalan, juga harus diletakkan pada tempat yang mudah dilihat oleh penerima pelayanan sehingga akan menjadi penting bagi pengguna layanan untuk mengetahui proses apa saja yang sebenarnya berjalan ketika berkas layanan sudah/akan masuk di penyelenggara pelayanan. Dari hasil penelitian ini di dapatkan sebanyak 18,4% penyelenggara layanan tidak mengumumkan alur pelayanan mereka di tempat penyelenggara pelayanan, sisanya (81,6%) sudah memampangkan secara jelas tentang alur pelayanan.

Media yang digunakan di dalam menginformasikan alur pelayanan paling banyak menggunakan media manual sebesar 54,8%. Sedangkan yang menggunakan media elektronik sebesar 22,6% dan yang menggunakan keduanya sebesar 22,6%.

18,4

81,6

,0 50,0 100,0

1

Bagan Alur Pelayanan

Ya Tidak 54,8 22,6 22,6 1

Media Informasi Alur

Pelayanan

(37)

21,1

78,9

,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0

1

Informasi Produk Layanan

Ya Tidak

e. Informasi Produk/Jenis Layanan;

Untuk memperjelas pengguna layanan, dibutuhkan penyediaan informasi mengenai produk/jenis layanan yang disediakan oleh Lembaga. Dari survey yang dilakukan ternyata hanya 78,9% unit layanan publik Lembaga yang menginformasikan jenis layanan yang disediakan kepada pengguna layanan. Dari informasi yang disediakan ini 53,4% nya menggunakan bentuk manual, sedangkan 33,3% sudah menggunakan media elektornik dan 13,3% menggunakan kedua media eletronik maupun manual.

f. Jangka Waktu/Standar Waktu Penyelesaian Suatu Pelayanan;

Waktu penyelesaian pelayanan adalah jangka waktu penyelesaian suatu pelayanan publik mulai dari dilengkapinya atau dipenuhinya persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sampai dengan selesainya suatu proses pelayanan. Unit pelayanan instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan harus berdasarkan nomor urut permintaan pelayanan, yaitu yang pertama kali mengajukan pelayanan harus lebih dahulu dilayani atau diselesaikan apabila persyaratan lengkap, hal ini sesuai dengan asas first in first out (FIFO).

53,3 33,3

13,3 1

Bentuk Informasi Produk/Jenis

Layanan

(38)

Kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan publik harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di depan loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.

Standar waktu pelayanan sangat penting bagi pengguna layanan untuk kejelasan jangka waktu penyelesaian izin yang mereka buat di penyelenggara perizinan. Dalam penelitian ini sebanyak 44,7% tidak memajang standar waktu pelayanan mereka. Dan sebanyak 55,3% memasang standar waktu pelayanan perizinan. Dari mereka yang memasang standar waktu pelayanan, sebagian besar menjelaskannya secara manual (57,1%), sedangkan yang secara elektronik 28,6% dan yang menggunakan keduanya baik manual maupun elektronik sebanyak 14,3%.

Bagi unit layanan publik yang tidak memasang standar waktu pelaksanaan, tentunya dapat berpotensi untuk mengulur-ulur pekerjaan mereka. Slogan “kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat” yang selama ini masih berkembang di masyarakat juga bersumber dari beberapa penyelenggara perizinan yang tidak memasang standar waktu pelayanan di tempat penyelenggara perizinan.

44,7 55,3 ,0 20,0 40,0 60,0 1

Informasi Jangka

Waktu Penyelesaian

Ya Tidak 57,1 28,6 14,3 1

Bentuk Informasi Standar Waktu

Pelayanan

Referensi

Dokumen terkait

Baik yang dimaksud disini mengacu pada aspek penilaian adalah mudah dimengerti, mudah diaplikasikan, mudah di kontrol, dan mudah diubah sesuai

Komunikasi personal melalui Komunikasi personal melalui penjualan tatap muka (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat dan publisitas

mindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesiannya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu

• Mendeskripsikan rantai makanan berdasarkan ekosistemnya (ekosistem darat dan ekosistem air)  Religius  Mandiri Sikap: Observasi Pengetahuan: Tes Tertulis

x Peserta didik dapat menunjukkan sikap menghargai terhadap Ibu Ouyang Xiu dan perilaku luhur yang diteladani dari beliau. x Peserta didik dapat menyebutkan pribadi luhur Ibu

Bahan-bahan yang digunakan yaitu: aluminium foil, alkohol 70 %, aquadest, buah tarum, cawan porselin, daun belimbing, eluen,ekstrak larut heksan daun belimbing, ekstrak

Kerjasamanya bisa antar pustakawan maupun dengan sesama perpustakaan.” Lebih lanjut Epstein menyatakan bahwa “ide­ide kreatif tidak muncul begitu saja dari dalam otak kita, melainkan

Imâm Al-Qurthubî pun menjelaskan dengan Surah Al-Baqarah ayat 221 yang menegaskan bahwa lebih baik menikahi wanita budak yang mukmin daripada wanita musyrik merdeka.. 7