• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS

C. Pandangan Empat Imam Mazhab Tentang Mengadap Kiblat

Menghadap kiblat adalah suatu kewajiban umat Islamketika melakukan shalat atau ibadah, dan juga wajib baginya menghadapakan wajah atau seluruh tubuh ke arah bangunan Ka‟bah yang melihat secara langsung. Meskipun yang berada jauh dari Ka‟bah tetap wajib megarahkan pandangannya ke bangunan Ka‟bah karena itu sudah kewajiban umat Islam dalam melakukan peribadatan.

Pembahasan arah kiblat pada saat itu sudah ada sejak zaman dahulu, para Ulama telah memiliki pendapat mengenai arah kiblat dan masing-masing ppendapat Ulama tersebut bahkan berbeda-beda pendapatnya. Secara umum pendapat para ulama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang dapat melihat Ka'bah secara langsung dan arah kiblat bagi yang tidak dapat melihat Ka'bah

24Muhammad Nasiruddin Al-albani, Shahih Sunnah Abu Daud (Cet I; Jakarta Selatan:

Pustaka Azzam Anggota IKAPI PKI, 2002), h. 399.

23

secara langsung, yang telah ditafsirkan oleh para Ulama tentang hadist dan ayat mengenai kewajiban menghadap kiblat sesuai dengan kondisi tempat dan waktu pada zaman itu, Adapun pendapat Ulama yaitu sebagai berikut: pertama, arah kiblat bagi yang dapat melihat bagunan Ka‟bah (ainul Ka‟bah), dari beberapa kitab yang disebutkan bahwasanya para Ulama sepakat bagi yang melihat Ka‟bah secara langsung maka wajib baginya untuk Menghadap bangunan Ka'bah (Ainul Ka'bah) mereka tidak diperbolehkan berijtihad dengan menghadap ke arah lain, kedua arah kiblat bagi orang yang tidak mampu melihat bangunan Ka‟bah.25

Maka dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat, berikut beberapa penjelasan singkat pendapat empat Imam Mazhab ialah sebagai berkut:

1. Mazhab Hanafi

Menurut Mazhab ini bagi orang yang berada jauh dari Ka’bah atau tidak mampu menghadap ke bangunan Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke arah (jihah) nya, tampa harus menghadap fisik Ka’bah, hal ini dikarenakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap sesuai dengan kemampuan (al-maqdur „alaih), kiblat dengan kondisi seperti ini adalah arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah) bukan bangunan Ka’bah („ain al-ka‟bah).26

Mengenai penjelasan diatas meskipun tidak melihat bangunan Ka’bah atau jauh dari bangunan tersebut maka dapat dilakukan dengan keyakinan itu sudah termasuk menghadap Ka’bah, Namun jika mampu mengusahakan mengadap persis Ka‟bah melalui penelitian maka ia wajib mengusahakannya. Argumentasi

25Moelki Fahmi Ardliansyah, “Korelasi Fikah dan Sains dalam Penentuan Arah Kiblat”, Jurnal 8, no. 1 (2017), h. 19.

26Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Pengantar Ilmu Falak Teori, Praktik, dan Fikih (Cet. I; Depok: Rajawali Perss, 2018), h. 50.

Ulama Hanafi ini berangkat dari kemampuan manusia untuk dapat menghadap secara tepat, dengan meluruskan seluruh badannya pada Ka‟bah dan tidak cukup baginya hanya sekedar menghadap ke Utara, tetapi bagi orang yang sedang shalat dan tidak mampu melihat „ainul Ka’bah, maka mereka wajib menghadap ke arah Ka’bah (jiadul Ka‟bah).28 Adapun beberapa alasan mencukupkan menghadap arah saja yakni:

a. Hal ini yang paling memungkinkan untuk dilakukan

b. Menghadap arahlah yang diperintah ayat, baik itu yang berada di belahan bumi bagian timur maupun barat dan,

c. Pada barisan shalat (shaf) yang panjang, tentu akan sulit melihat Ka‟bah.29 Adapun ketentuan menghadap kiblat yakni, bagi orang yang berada di Mekkah, wajib baginya menghadap kiblat („ain al-ka‟bah) dengan cara keseluruhan anggota tubunya harus menghadap ke „ain al-Ka’bah dan apabila ada sebagian anggota tubuh yang melenceng dari arah yang di tetapkan maka shalatnya tidak sah, sedangkan bagi orang yang berada jauh dari Mekkah maka

27Moelki Fahmi Ardliansyah, „Koreksi Fiki dan Sains dalam Penentuan Arah Kiblat’, h.

19.

28Aro Qodam Arrasyid, Kadenun, “Perhitungan Arah Kiblat Masjid Menggunakan Theodolit di Kebon Sari Mediun”, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 2 no. 2 (2020), h. 202.

29Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Pengantar Ilmu Falak Teori, Praktik, dan Fikih (Cet. I; Depok: Rajawali Perss, 2018), h. 53.

25

kiblatnya ialah jihah al-Ka’bah (arah menuju ke Ka’bah) baik orang itu berada di tempat yang dekat maupun jauh dari Mekkah.30

3. Mazhab Syafi‟i

Dalam mazhab Imam Syafi‟I ra, terdapat dua pendapat besar dalam hal ini, yaitu; pertama, menghadap ke arah Ka’bah (jihad al-Ka‟bah), dan yang ke dua, menghadap bangunan Ka‟bah (ain al-Ka‟bah).31

Ash-Shirazi (w.476/1083) dalam "al-Muhazzab" menggambarkan arah kiblat, seseorang yang tidak berada di Mekkah (Ka'bah) tetapi dia mampu membaca (mengetahui) tanda-tanda arah kiblat, jadi dalam hal ini dia harus berijtihad untuk dapat mengetahui kiblat, meskipun dia tidak dapat melihat bangunan Ka'bah maka wajib baginya untuk berijtihad untuk menentukan kiblat baginya melalui dengan petunjuk alam seperti matahari, bulan, angin dan gunung, allah berfirman: “dan (dia ciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah mereka dapat petunjuk” (Q.S an-Nahl/16: 16), ini dipahami karena ia dianggap sebagai orang yang mengerti dengan masalah ini.32

Menurut Syafi‟i, yang wajib itu yakni menghadap ke „ain al-Ka’bah dalam artian bagi orang yang dapat melihat bangunan Ka‟bah secara langsung maka wajib baginnya menghadap Ka’bah, namun bagi orang yang tidak dapat melihat secara langsung, baik Karena faktor jarak yang jauh atau faktor geografis yang menjadikannya tidak dapat melihat bangunan tersebut secara langsung, maka ia

30Mutmainnah, “Kiblat dan Kakbah Dalam sejara perkembangan Fikih” Jurnal Ulumuddin 7 no. 1 (2017), h. 11-12.

31Syful Mujab, “Kiblat Dalam Perspektif Madzab-Madzhab Fiqih”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 5, no. 2 (2014), h. 330.

32Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, PengantarIlmu Falak Teori, Praktik, dan Fikih (Cet.

I; Depok: Rajawali Perss, 2018), h. 53.

harus menyengajakannya menghdap kea rah dimana ka‟bah berada walaupun pada hakikatnya ia hanya mengadap jihah-Nya saja (jurusan Ka’bah).33

4. Mazab Hambali

Menurut Mazhab Hanbali dalam bukunya “Al-Mugny” menyatakan, jika seseorang dapat melihat Ka'bah, maka arah shalat menghadap bangunan Ka'bah, dan ulama Hanabilah sepakat bahwa jika ia tidak mampu melihat bangunan Ka'bah maka itu wajib baginya menghadap arahnya Ka'bah saja.34

Pernyataan Ibnu Qudamah dengan jelas menyatakan bahwa semua arah antara Timur dan Barat adalah kiblat, hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di sebelah utara Ka'bah kiblatnya adalah Selatan, kecuali mereka berada di Masjid Nabawi di Madinah maka kiblatnya adalah bangunan Ka'bah dan Berbeda lagi yang berada di sebelah utara Ka'bah maka kiblatnya ke arah selatan sedangkan yang di selatan Ka'bah maka kiblatnya ke arah utara, mereka bebas menghadap ke segala arah, berdasarkan pemahaman hadits: “arah antara timur dan barat adalah barat adalah kiblat”.35

Dokumen terkait