• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Kalim al- Siddiqui Tentang Nation-State (Negara-Bangsa)

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALIM AL-SIDDIQUI

B. Pandangan Kalim al- Siddiqui Tentang Nation-State (Negara-Bangsa)

Dalam pandangan Kalim al-Siddiqui, “tatanan dunia” kontemporer diciptakan Barat, pemerintah imperialis adalah termasuk di dalamnya dua perang dunia yang sebagian besar itu semua harus dibayar Islam. Banyak negara yang memiliki “kemerdekaan” konyol dan kedaulatan palsu, yang merupakan ciptaan imperialisme yang melayani kepentingan kekuatan imperialis. Nation-state (negara-bangsa) kata Kalim al-Siddiqui adalah simbol keterbelakangan, kekalahan dan keterpecah-belahan. Bahkan, nation-state (negara-bangsa) adalah produk era kehinaan dan ketundukan. Kemerdekaan dan “persamaan kedaulatan” dalam sistem internasional, yang dilindungi oleh PBB, kenyataannya berarti ketergantungan kepada Barat secara permanen.124

Pendekatan partai politik yang sifatnya memecah-belah, seperti struktur nation-state (negara-bangsa), menurutnya merupakan warisan kolonialisme yang

122

Kalim Siddiqui, Stages of Islamic Revolution, (1996), h. 95. 123

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h.

124

Mujtahid, Pandangan Kalim Siddique Tentang Negara Islam, Artikel diakses pada 1 Januari 2014 dari http://blog.uin-malang.ac.id/mujtahid.

tidak sama dengan negara Islam. Berbeda dari negara-bangsa yang menegasikan Kehendak Tuhan.125 Setelah Khilafah Ustmaniyyah runtuh pada tahun 1924 Masehi, maka yang terjadi adalah negara-bangsa yang sekuler. Sistem khilafah kerajaan tenggelam, maka muncul negara-bangsa yang sekuler.126 Pada masa transisi itu lewat, dan negara-bangsa yang sekuler tidak membawa harapan bagi Umat Islam untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek dan sesak. Muncullah gagasan-gagasan negara-bangsa yang religius yang diusung oleh aktivis gerakan Islam untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Umat Islam. Ada juga gerakan Islam yang tidak sepakat dengan sistem negara-bangsa yang religius.127

Demikian pula, organisasi yang diciptakan oleh nation-state (negara-bangsa) untuk melayani kepentingan sempit mereka dalam nama Islam juga harus dikecualikan. Para calon abvious untuk dikecualikan dalam kategori ini adalah apa yang disebut Rabithah al-Alam al-Islami, Majelis Pemuda Muslim dunia, baik dari Arab Saudi, Dewan Ideologi Islam, Pakistan, Liga Rakyat Arab dan Islam dari Mesir, dan banyak lainnya. Negara-bangsa yang kebanyakan negara Muslim telah menciptakan organisasi depan yang tujuan utamanya adalah untuk menipu rakyat mereka sendiri dan dunia dalam nama Islam. Tapi kita harus berhati-hati untuk tidak mengecualikan jaringan yangluas dari aktivitas Islam terorganisir yang terjadi di

125

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. xiii.

126

Salah satu contohnya ialah Negara Turki, yang dipelopori oleh Kemal Attarturk yang meminggirkan sistem Islam dari wilayah public.Lihat buku Berperang Demi Tuhan, Karen Amstrong.

127

Iman Milyarder, Islam dan Negara, Artikel diakses pada 27 December 2013 dari imannumberone.wordpress.com.

seluruh dunia, bahkan jika beberapa dari hal ini dibiayai oleh pusat-pusat seperti Rabithah tersebut. Beberapa sekarang dikelola dan dijalankan oleh penjilat atau penipu. Organisasi-organisasi masyarakat dan mahasiswa berbasis secara bertahap akan bergerak keluar dari lingkaran pengaruh rezim reaksioner dan agen mereka dan akan menjadi pilar sangat berguna gerakan Islam.128

Negara kolonial, yang sekarang disebut nation-state (negara-bangsa), dibatasi secara nasional, yang menyebabkan munculnya istilah bendera nasional, lagu kebangsaan, hari nasional, bahasa nasional, pakaian nasional, sejarah nasional dan, lebih dari itu, kepentingan nasional. Setiap “bangsa” didefinasikan dalam pengertian yang eksklusif. Sekarang ini, dua negara-bangsa, bisa jadi memiliki “kepentingan nasional” yang sama. Dampaknya pada Umat saat ini, yang merepresentasikan globalisasi sistem nation-state (negara-bangsa).

Dengan demikian, nation-state (negara-bangsa) merepresentasikan kekalahan dan keterpecah-belahan kekuatan politik Islam. Lebih dari itu, nation-state (negara-bangsa) mereprentasikan dominasi politik, ekonomi, sosial dan kultur Barat yang berlangsung terus-menerus terhadap masyarakat Islam. Kekalahan sementara Palestina terhadap Zionisme juga dimungkinkan oleh karena perpecah-belahanUmatsebelumnya telah terjadi negara-bangsa. Tragedi yang lebih dahsyat pada periode ini adalah munculnya banyak partai Islam. Di dunia ini tidak ada partai politik “Islam” yang berhasil membentuk apa pun yang bisa dianggap sebagai negara

128

Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 (1400-1401), (London-Toronto-Pretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 26.

Islam. Menurut Kalim al-Siddiqui, “partai Islam” selalu dan tetap merupakan produk khusus periode kolonial.129 Bahkan, dia menyebut semua negara-bangsa Muslim tidak legitimate untuk itu dia meminta ilmuan sosial Muslim untuk mengadakan penghacuran dan menggantikannya dengan negara Islam. Sementara itu, Kalim al-Siddiqui menunjukkan jalan keluar dari penjara struktur nation-state (negara-bangsa), dia mengajak keilmuan sosial Muslim untuk mempertimbangkannya. Ini merupakan indikasi atmosfir dan keyakinan orang Saudi saat itu, dan yang lebih penting, para masternya di Washington dan London, bahwa Islam tidak lagi memberikan tantangan apa pun terhadap hegemoni peradaban Barat di negara-negara Muslim.130

Kekuatan kolonial memaksakan peradaban sekuler di wilayah Muslim dan membagi-baginya menjadi negara-negara bangsa yang berada di bawah kontrolnya. Negara-negara bangsa baru yang muncul di dunia Muslim pun menjadi instrumen peradaban sekuler. Sehingga, sentra-sentra kekuatan politik Islam, tidak hanya dihancurkan tetapi juga digantikan dengan sejumlah sentra kekuatan sekuler dan kekuatan politik yang mudah ditundukkan. Hal ini menyebabkan regenerasi kekuatan politik Islam menjadi semakin sulit dilakukan.131 Perubahan terjadi secara terus-menerus. Perubahan selain merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan juga merupakan proses kemunduran dan kejatuhan.132 Dalam satu pengertian, peradaban

129

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 286.

130

Kalim Siddiqui, Melampaui Negara-Bangsa Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 123.

131

Hamid Enayat, Modern Islamic PoliticThought, (London: Macmillan, 1982), h.67. 132

Barat merupakan peradaban yang kompleks yang merepresentasikan kemajuan-kemajuan gemilang yang dibuat oleh manusia dalam bidang rekayasa teknologis dan organisasinya. Seseorang telah menghasilkan spekulasi teknologi tentang era antariksa dan kekuatan senjata modern dahsyat, sementara yang lain telah menghasilkan organisasi manusia, negara-bangsa modern yang komplek berusaha mencapai “efesiensi” multinasional. Orang-orang cerdas dari peradaban Barat yang menjadikan setiap orang “sama”, sementara dalam kenyataan membuat ketikdaksamaan menjadi permanen. Apa yang kemudian disebut “persamaan kedaulatan” nation-state (negara-bangsa) sudah menjadi contoh yang sangat konkret.133

Seluruh sejarah Islam bisa ditulis berkaitan dengan deviasi progresif Muslim dari negara Islam Madinah yang orisinal, sehingga sekarang ketika kita menemukan bahwa diri kita dipecah-belah dalam banyak negara-bangsa yang kecil-kecil. Negara-bangsa ini tidak sedikit pun sama dengan negara Islam. Penguasa di negara-Negara-bangsa ini adalah Muslim nampak seperti kita tetapi sebenarnya bukan kita. Mereka menjelma selama fase sejarah ketika kita didominasi oleh peradaban yang antogonis.134 Bagian masyarakat kita yang terbaratkan dan disintegrasi secara menyeluruh tunduk kepada Barat. Mereka tunduk sebagai individu-individu, pusat pengetahuannya tunduk dan unit-unit ekonomi produksi, distribusi dan pertukarannya tunduk dan, lebih-lebih, sistem politiknya juga tunduk. Di antara yang paling tunduk adalah negara-bangsa

133

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 165.

134

yang saat ini yang mengacaukan dunia Islam. Ketundukan mereka bahkan tidak “suka rela” demi kepentingan jangka pendeknya adalah mereka diciptakan dalam ketundukan yang dibagun selama periode kolonial.

Akibat yang tidak bisa dihindarkan bahwa bukan hanya satu negara-bangsa yang luput dari ketundukan adalah mungkin benar mengatakan bahwa salah satu darinya saat ini lebih tunduk ketimbang pada waktu penciptaan atau “kemerdekaan”nya. Bahkan lebih buruk lagi dalam kenyataannya tidak satu pun dari negara-negara bangsa yang sudah melakukan upaya serius untuk lepas dari ketundukan kepada Barat. Ketundukan negara-bangsa ini, setelah lebih dari satu generasi “kemerdekaan”, merupakan fenomena yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam. Faktanya masyarakat tradisional Islam ternyata sangat resisten terhadap kebijakan disintegratif kekuatan kolonial.135

Hampir semua sistem politik yang ada di nasion-state (negara-bangsa) saat ini merupakan ciptaan kufr. Kufr politik terhebat di dunia modern adalah nasionalisme, demokrasi, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme.136 Tersebarnya paham sekularisme dan nasionalisme yang kafir merupakan salah satu dampak intervensi asing yang jahat ini.137 Dunia Islam dan dunia seluruhnya memerlukan seorang

135 Ibid, h. 232. 136 Ibid, h. 270. 137

Shabir Thaimah, Akhthar Al-Ghazw Al-Fikri âAla Al-Alam Al-Islami, (Beirut: Alam Al-Kutub, 1984) h.

pemimpin yang bersifat inklusif, global dan berwibawa. Hanya isi Persyaratan ini sahaja memungkinkandunia menjadi satu negara-bangsa sahaja.138

C. Implementasi dan Praktek Pandangan Kalim al-Siddiqui Dalam Konteks Negara India

Perkembangan gerakan kemerdekaan dan nasionalisme India pada anak benua India dimulai selama abad ke-19. Sebelumnya berlaku pemberontakan pada tahun 1857 akan tetapi anjurannya itu tidak berlangsung lama oleh karena sentimen anti-Inggris bangkit kembali dalam bentuk perkembangan nasionalisme India memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1885 terbentuk Indian National Congres dan pada tahun 1906 terbentuk Muslim League. Sekalipun sebagian para pemuka Muslim menaruh prihatin mengenai hak-hak Muslim dalam gerakan mayoritas Hindu pada masa-masa permulaan abad ke-20 akan tetapi lapisan elite Muslim menggabungkan diri ke dalam gerakan Kongres, baikpun secara resmi maupun melalui kerjasama informal, bagi memperjuangan kemerdekaan nasional. Situasi antar perang dengan demikian memberikan suatu kesempatan yang sangat bagus untuk memperkirakan kendala dan potensi nasionalisme (kebangsaan) dan negara-bangsa.139 Pikiran India sebagai sebuah negara nasional, adalah membesarkan rasa kebanggaan India dan nasionalisme India, dan kekuatannya banyak timbul dari perjuangan untuk mengusir orang Inggris. Akan tetapi di dalam India terdapat dua

138

Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Alami, 1985), Cet. Ke-I, h. 16.

139

kelompok besar bahasa yang berbeda, dan juga terdapat kurang lebih 26 bahasa besar. Di samping ini mungkin ada enam ratus atau lebih logat daerah.

Ketika Kalim al-Siddiqui lahir, pemberian kemerdekaan kepada India dan Pakistan, peristiwa simbolis agung dari berakhirnya imperium Eropa itu, masih berumur 16 tahun. Perang Dunia II, yang berarti perjuangan final untuk mendapatkan supremasi antar kekuantan imperial Barat, belum dicetuskan, apalagi dimenangkan. Peserikatan Bangsa-Bangsa, yang merupakan simbol tatanan internasional pasca-perang, tahapan tertinggi pembangunan peradaban Barat, juga belum lahir. Kekuatan Barat yang baru muncul, masih berada di awal puncak pasca-perangnya. Dia dibesarkan selama akhir-akhir tahun kolonialisme di India dan turut ambil bagian dalam perjuangan Islam untuk mendirikan negara Islam di belahan India Inggris.Proses serupa juga terjadi di bagian lain Ummah ketika kekuatan kolonial dipaksa menyerah kepada pemerintah setempat. Ketika negara Pakistan dibentuk, dia segera menyadari bahwa negara ini hanya berbeda sedikit dengan negara yang diperintah Inggris sebelumnya, sehingga segera bergabung “Gerakan Khilafat” dan menjadi editor pada surat kabarnya, The Independent Leader di Karachi yang bekerja untuk mengubah Pakistan menjadi benar-benar suatu negara Islam.140

Hal ini umumnya mengatakan bahwa nasionalisme India adalah hasil dari pemerintahan kolonial Inggris di sub-benua. Pemerintah Inggris, untuk kepentingan

140

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h.2-3.

aspirasi imperialisnya, dipermalukan dan menekan Hindu dan Muslim dan komunitas lain dan mencegah perkembangan industri dan ekonomi. Nasionalisme India adalah langsung hasil dari penetrasi kekuasaan politik Inggris dan ekonomi kolonial ke negara dan transformasi lambat dan stabil tapi tak terelakkan ekonomi sosial tradisional India. Semua jalan kerja tertutup untuk orang India dan mereka tanpa ampun dikesampingkan. Semua kantor yang dimonopoli oleh orang-orang Inggris, mereka dibayar pekerjaan gaji tinggi yang bisa saja dengan mudah dilakukan oleh India dengan gaji kecil. Ada kerusuhan umum antara massa India yang akhirnya mengakibatkan pembentukan Kongres Nasional India pada 1885. Kongres memiliki awal yang sederhana dan beberapa tuntutan. Sesi pertama mengundang Inggris untuk membasmi 'ras', 'agama', atau 'prasangka provinsi'; untuk memperluas dewan legislatif oleh pengakuan dari elemen yang cukup besar dari India, untuk mengurangi pengeluaran militer.141

Semua negara-bangsa yang sekarang ini menduduki, memperbudak dan mengekspoitasi tanah, manusia, dan sumber-sumber Umat harus dibongkar. Negara-bangsalah yang memberikan angin kehidupan dan penghormatan kepada nasionalisme. Nasionalisme bukanlah merupakan suatu ide yang mendahului manifestasi politiknya. Dengan beberapa pengecualian, gagasan nasionalisme secara artifisal ditanam agar secara eksternal mendukung negara yang dibentuk. Negara yang didasarkan pada nasionalisme begitu asing bagi orang-orang genius moralnya di

141

Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi,h.44.

setiap negara-bangsa Muslim di dunia saat ini dipertahankan dengan opresi internal dan dukungan eksternal.142

Namun demikian, perubahan penting yang dibutuhkan harus mencukup paling tidak munculnya gerakan Islam global yang menolak nasionalisme dan negara-bangsa dan menganggap bahwa Barat tidak bisa disamakan dengan Islam.143 Kita harus menghilangkan semua jejak nasionalisme dari gerakan Islam sebelum kita bisa menentang dan mengalahkan kekuatan nasionalisme yang didirikan dalam teritorial negara-bangsa dan sistem internasionalnya yang didominasikan oleh kekuatan dan sumber-sumber musuh Islam yang termobilisir. Saat ini, secara mendasar bentuk umatakanditentukan oleh bentuk yang diambil dari gerakan Islam.144

Negara menjadi negara nasional apabila struktur politik negara telah dirombak dan rakyat merupakan faktor penentu dalam urusan negara. Hanya apabila rakyat turut-serta dalam urusan-urusan negara, maka negara menjadi negara nasional. Bahwa nasionalisme berakar pada perasaan-perasaan kelompok dan kesadaran akan persatuan.145 Di zaman dahulu pahaman ini dinamakan asabiyyah, di mana penafsirannya dalam bidang yang sempit, yaitu perjuangan untuk kumpulan yang lebih kecil yang dinamakan qabilah atau keluarga yang mesti disebut dalam hadis Rasulullah SAW,

142

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 287. 143 Ibid, h. 293. 144 Ibid, h. 308. 145

F.Isjwara, S.H., LL.M., Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Binacipta, 1980), Cet Ke-7, h.131.

يبصع ىلا اعد ا م سيل :لاق ملسو يلع ها ىلص ها لوسر نأ معطم نب ريبج نع

م نم ا م سيلو يبصع ىلع لتاق نم ا م سيلو

)دواد وبا اور) يبصع ىلع ا

Artinya:

"Diriwayatkan dari Jubair bin Math‟am r.a bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Bukan dari golongan kita, orang yang menyeru kepada kebangsaan, dan bukan dari golongan kita, orang mati atas dasar kebangsaan". (HR. Abu Daud).146

Menurut Ibn Manzhur, “ashabiyyah” adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapa pun yang menyerang mereka. Penggunaan kata “ashabiyyah” dalam hadis adalah identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka seorang yang zalim. Islam tidak pernah menilai kemulian seseorang berdasarkan keturunan, ras, suku maupun bangsa. Islam hanya mengukur kemulian seseorang berdasarkan ketaqwaan semata.

Persoalan tentang hubungan Islam dan nasionalisme ini mempunyai aspek-aspek yang banyak. Di sana ada bangsa Pakistan misalnya, persoalan yang berkenaan dengan perihal menjadi seorang Muslim merupakan unsur perundangan-undangan negara, karena Pakistan terbentuk di luar anak-benua India, yang mana dikhususkan bagi orang-orang Islam, meskinpun di sini ada perbedaan antara seorang Muslim dengan seorang Pakistan selain Pakistan, di semua Dunia Islam masih bisa ditemukan apa yang biasa disebut sebagai nasionalisme Islam sekuler pemisahan Bangladesh pada desember 1971 secara jelas memperlihatkan bahwa Islam, meskinpun perlu bagi

146

Abu Daun Sulaiman bin al-Asyas, Sunnan Abu Daud, (Beirut: Mizan, 1994), Juzu‟. Ke-2, h. 753.

pendirian Pakistan, bukan merupakan suatu faktor yang memandai untuk mempertahankan kesatuannya dalam ketiadaan tindakan-tindakan kebijakan yang lain. Kegagalan elit politik nasional, intelektual, sosial dan elit geografis untuk mengaitkan Islam dengan persoalan-persoalan yang lebih bersifat duniawi seperti halnya distrubusi sumber-sumber ekonomi yang wajar dan untuk memberikan hak suara bagi golongan-golongan masyarakat yang secara politik terasing, membuat wilayah-wilayah yang kekurangan memandang Islam sebagai bahan pembakar bagi Islam.147

Peristiwa-peristiwa traumatis dari perang saudara pada 1971 dan kekalahan Pakistan yang memalukan oleh India secara psikologis telah berdampak menggangu ketenangan rakyat. Setelah penyerapan (absorpsi) dari terkejut yangawal, periode introspeksi dan pencarian jiwa menyusul.148 Perbedaan agama yang ada di India merupakan masalah yang dilihat tidak dapat mencapai persepakatan dan penyelesaian yang baik. Disebabkan perbedaan ini, teori dua bangsa telah diperkenalkan oleh Sayyid Ahmad Khan.149 Teori ini dikemukakan karena menyedari perbedaan yang wujud dari segi sosial, politik dan ekonomi antara masyarakat Hindu dan Islam.

147

Shireen T.Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman Dan Kesatuan, (Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2001), Cet. Ke-1, h. 232.

148

Ibid, h. 273. 149

Ram Gopal, Indian Muslims a Political History (1858-1947), (Bombay: Asia Publishing House, 1959), h. 48.

Pelbagai usaha telah dilakukan oleh kerajaan India dalam menyatukan masyarakat, namun tidak juga berhasil.150

Ide teori dua bangsa telah menjadi faktor kebangkitan dan pengerak nasionalisme dalam kalangan rakyat di India. Selepas pemilu diadakan, Partai Kongres Nasional India dianggap telah menganiaya Umat Islam di India dan menyebabkan Partai Liga Muslim bangkit untuk mendapatkan kemerdekaan mereka sendiri. Hal ini secara tidak langsung telah menjadikan partai Liga Muslim semakin matang dan telah berjuang bagi mendapatkan kemerdekaan mereka sendiri dengan menuntut hak wilayah terpisah.151 Sama sekali tidak terbukti bahwa Pakistan merupakan hasil dari suatu gerakan nasional di antara Muslim di India waktu itu, meskinpun bisa dianggap sebagai reaksi terhadap gerakan nasional seluruh India yang gagal memberikan pengakuan yang layak terhadap persyaratan-persyaratan tertentu kaum Muslim, dan meskinpun, dalam suatu era negara-bangsa moderen, pembahagian wilayah tampaknya menjadi satu-satunya formular yang tersedia, sama sekali tidak jelas apakah suatu negara territorial yang terpisah memang dikehendaki, kecuali pada saat terakhir, atau yang didesakkan oleh Liga Muslim tanpa kemauan keras Jinnah (yang memang bisa dianggap sebagai seorang nasionalis Muslim, karena ia bukanlah seorang Muslim yang religius). Dan sangat jelas bahwa sebagian besar orang-orang Muslim kebanyakan yang berfikir dalam kerangka nasional, tidak akan

150

Itihaas, Thronology-Mahatma Gandhi. 1869-1948, Artike diakses pada 14 September 2013 dari http:// www.itihaas.com/mod-

151

Md. Afandi Awang, Komulanisme: Kesannya Ke Atas Peradaban India, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2006), h. 31.

memahami konsep penentuan nasib diri nasional sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan keyakinan terhadap Allah dan Rasulnya.152

Ada sebagian kaum Muslimin menolak, bahwa Islam mengaku konsep negara dan batas-batas kewilayahan. Bagi mereka, konsep kenegaraan, dan batas wilayah negara merupakan kosep kenegaraan produk rejim kapitalis-demokratik yang sangat bertentangan dengan Islam.kita juga menolak negara-bangsa yang didasarkan pada paham nasionalisme.153 Konsep batas wilayah negara dalam Islam berbeda dengan konsep batas wilayah negara yang dikembangkan oleh pakar politik Barat yang menganut paham nasionalisme. Batas wilayah negara-bangsa yang dikembangkan oleh orang-orang Barat adalah batas negara yang bersifat tetap, yang menafikan adanya penaklukan, atau aktivitas “memperlebar kekuasaan”. Konsep batas wilayah negara semacam dalam paham nasionalisme adalah sangat bertentangan dengan Islam.154

Nasionalisme tidak lebih sebagai doktrin politik yang menyerang umat Islam dalam tempoh 100 tahun mektakhir ini. Jadi, apa jawaban Islam terhadap nasionalisme? Menolak nasionalisme; membentuk gerakan Islam di seluruh dunia. Dan, kini sudah tiba saatnya, bagi Umat Islam meyakini akan kemampuan Islam

152

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 75. 153

Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2003), Cet. Ke-1, h. 8.

154

dalam mengatur kehidupan di samping mengikis rasa hormat yang tinggi terhadap Barat.155

Kegagalan “nation-state” yang memang sudah “out of date”, sudah sangat kasat mata. Negara-bangsa dengan spirit nasionalisme telah menempatkanbangsa-bangsa dalam posisi saling „menerkam‟. Nasionalisme yang terimplementasi dalam negara-bangsa telah membawa petaka bagi manusia, khususnya kaum Muslimin. Paham ini telah meruntuhkan sendi-sendi persaudaraan akidah, yang seharusnya dijunjung tinggi. Penyelamatan manusia yang tertindas terhalang hanya dengan batas-batas „imajiner‟ yang bernama „teritorial‟. Penistaan pada kemanusiaan tak dapat dihentikan hanya dengan alasan „penghormatan atas kedaulatan bangsa‟. Penderitaan dan penindasan terhadap Umat manusia dibiarkan hanya atas dasar kesetiaan pada slogan „nasionalisme‟.156

Basis material negara-bangsa yang semata-mata berpatok pada kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah dengan sendirinya mengabaikan kategori agama sebagai sebuah ikatan sosial. Hal ini merupakan kekurangan yang sangat fatal. Absennya di mana dalam perumusan nasionalisme inilah yang menimbulkan kritik pedas dari kalangan aktivis Islam. Mereka percaya inilah yang menyebabkan lemahnya dunia Islam dalam menggalang kesatuan diantara mereka. Ali Muhammad

155

Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Alami, 1985), Cet. Ke-I, h. 1.

156

Aisyah M.Yusuf,Nasionalisme yang Terimplementasi Negara-bangsa Telah Pembawa Petaka Kepada Muslimin, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari

Naqvi secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat