• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Munculnya Nation-State (Negara-Bangsa)

KONSEP NATION-STATE (NEGARA-BANGSA)

B. Sejarah Munculnya Nation-State (Negara-Bangsa)









































Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa.Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti”. (QS al-Hujurat 49:13)

B. Sejarah Munculnya Nation-State (Negara-Bangsa)

Adapun nation-state (negara-bangsa) sendiri baru lahir pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Negara-bangsa adalah negara-negara yang lahir karena semangat nasionalisme untuk mendapatkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa adalah nasionalisme romantis (romantic nationalism) demi kehidupan tani yang murni, sederhana dan tidak korup yang kemudian dipercepat oleh munculnya Revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Beberapa gerakan nasionalisme pada waktu ini bersifat separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah kejatuhan Napoleon Bonaparte, Kongres Wina pada tahun 1814 memutuskan bahwa Belgia yang

sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik Belanda, dan lima belas tahun kemudian menjadi negara nasional yang merdeka.

Begitu pula revolusi Yunani tahun 1821-1829 dimana Yunani ingin melepaskan diri dari dibelenggu kekuasaan Kekaisaran Ottoman dari Turki. Sementara di belahan Eropa lain, nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya, Italia di bawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe Garibaldi, yang mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara-kebangsaan tahun 1848. Di Jerman sendiri, kelompok-kelompok negara kecil akhirnya membentuk sebuah negara kesatuan Jerman dengan nama Prusia pada tahun 1871 di bawah Otto von Bismarck. Banyak negara kecil di bawah kekuasaan kekaisaran Austria pun membentuk negara-bangsa sejak awal abad 19 sampai masa setelah Perang Dunia I. Sementara itu, Revolusi 1917 di Rusia juga telah melahirkan negara-bangsa Rusia.64

Kesadaran berbangsa dalam pengertian nation-state (negara-bangsa)dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman.65 Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas

64

Anita Shiva, Sejarah Nasionalisme dan Perkembangannya, Artikel diakses pada 25 Oktober 2013 dari http://blogdetik.com .my.

65

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 4.

penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johan Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan.66

Pada perang dunia II antara negara-negara Eropa yang melibatkan kesultanan Turki Utsmani di dalamnya, begitu besar dalam memengaruhi terjadi perubahan terutama bagi pembentukan berbagai nation-state (negara-bangsa) di dunia Islam.Benih-benih kesadaran seperti itu bagi umat Islam yang saat itu hampir majoritas sedang berada di bawah cengkeraman imperialis Barat. Justru itu, memberi kesempatan pada makna “nasionalisme” sebagai sebuah satu loncatan bukan hanya sekadar ideologi politik untuk menuju kemerdekaannya, tetapi lama-kelamaan dijadikan sebagai metode simbolisasi bagi upaya-upaya mengurusi rumah tangga kebangsaanya sendiri.67

Selain itu, populasi nation-state (negara-bangsa) teritorial besar hampir senantiasa terlalu heterogen untuk mengaku memiliki kesukaan etnik bahkan bila kita menyampingkan imigrasi medoren, dan bagaimanapun juga sejarah demografik dari

66

Badri Yatim, Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 63. 67

Ajib Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etro-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2009), Cet. Ke-1, h. 97.

negara-negara besar Eropa adalah kelompok-kelompok etnis, khususnya ketika daerahdikosongkan dan diisi lagi dari waktu ke waktu, seperti di daerah yang luas di Eropa tengah, timur dan tenggara, bahkan di bagian-bagian negara Perancis.68 Pada periode yang sama menjadi saksi klimaks nasionalisme Eropa, yang memuncak pada Nazisme dan pembunuhan missal yang terjadi dalam Perang Dunia Kedua, pada sisi lain disusul dengan nasionalisme di Asia dan Afrika yang mengambil bentuk gerakan kemerdekaan yang antikolonial.

Ketika itu, secara luas muncul anggapan bahwa kekuatannya telah habis, nasionalisme justru kembali bersemi dengan gerakan otonomi etnis di Barat pada tahun 1960-an dan 1970-an di Catalon dan Euzkadi, Corsica dan Brittany, Flanders, Skotlandia dan Wales, serta Quebec redup kembali pada tahun 1980-an, lalu bangkit ketika peresroika dan glasnost mendorong nasionalisme di negara-negara republik bagian Uni Soviet pada tahun 1988, yang kemudian berperan dalam merontokan Uni Soviet 1991. Dalam atmostir pengharapan yang besar ini, kita menyaksikan tragedi-tragedi nasionalisme etnis baru berlangsung pada dekade terakhir abad kedua puluh di anak benua India, Timur-Tengah dan Horn Afrika, di Rwanda, di Caucasus, lebih-lebih lagi dalam perang Yugoslavia beserta kelanjutan yang serba tidak menentu.69

Kesimpulan yang ada dalam sejarah ini, dapat dilihat bahwa munculnya latar belakang nation-state (negara-bangsa) ini adalah, pertama menuntut kemerdekaan

68

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 70.

69

Anthony D.smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), h.109.

kedua kolonial Barat, ketiga penyebaran pemikiran, dan keempat kepentingan dalam membentuk pemerintahan.

C. Negara Yang Menganut Ideologi Nasionalisme Secara Umum

Nasionalisme adalah salah satu dari kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern.Ia berasal dari Eropa Barat pada abad ke-18, selama abad ke-19 itu telah tersebar di seluruh Eropa dan dalam abad ke-20 itu telah menjadi suatu pergerakan sedunia dari tahun ke tahun artinya makin bertambah penting di Asia dan Afrika. Ini merupakan suatu peristiwa sejarah, jadi ditentukankan oleh ide-ide politik dan susunan masyarakat dari berbagai negara di mana ia berakar.70 Perkembangan nasionalisme di negara-negara yang telah mapan seperti Inggris dan Perancis, tidak terlalu intensif dipelajari. Eksistensi dari kesenjangan ini diilustrasikan di Inggris dengan penyia-nyiaan terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nasionalisme Inggris itu suatu istilah yang kedengarannya enak di telinga.71 Sesungguhnya ide nasionalisme sudah ada sejak dahulu lagi, semenjak adanya suatu masyarakat manusia. Namun waktu itu nasionalisme masih disebut fanatisme atau Ashabiah. Sebab Ashabiahlah yang berperan sebagai pemersatu anggota suatu suku yang menjadi cikal-bakal sebutan nasionalisme.72

70

Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Erlanga, 1984), Cet. Ke-4. h. 5. 71

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 11. 72

Fathi Yakan, Islam di Persimpangan Paham Modern, (Jakarta: Gma Insani Press, 1995), Cet. Ke-6, h.71.

Gerakan kesusteraan Arab-Nasrani dan program Turkinisasi dan gerakan Turkia Muda membangkitkan sentimen-sentimen nasionalis yang pertama dalam kekuasaan imperium Utsmaniah. Nasionalisme Arab dan Mesir di Timur Tengah, namun belum benar-benar berkembang sampai sesudah Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan hal itu diakibatkan oleh tiga pengaruh terbesar: (1) keruntuhan imperium Utsmaniah sehabis Perang Dunia Pertama dan kemunculan negara-negara baru pada bekas wilayahnya yang tidak lagi sama menganut ideologi umum yang berakar pada agama Islam dan tidak lagi sama memperlakukan susunan sosio-politik yang berdasarkan hukum agama; dan (2) pengaruh ideologi Salafiyah dari murid Afghani, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridha; dan (3) perjuangan kemerdekaan yang sengit dari dominasi politik dan religius-kultural dari pihak imperialisme Eropa.73 Dengan demikian, nasionalisme tersebut berkembang di negara-negara Muslim setelah banyak negara-negara Muslim memperoleh kemerdekaannya dari kolonialisme. Negara-negara Muslim tumbuh sebagai negara-bangsa dengan corak budaya, bahasa dan ideologinya masing-masing, di mana satu dengan lainnya memiliki perbedaan.74

Sepanjang sejarah Islam seringkali Mesir beroleh kedudukan yang terpisah dari kekuasaan sentral dan beroleh identitas regional. Selain itu, Perasaan memiliki identitas terpisah yang kuat tercermin dalam perkembangan nasionalisme Mesir.

73

John L.Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-1, h.83. 74

John L Esposito, Islam and Politics, (Syracuse: Syracuse University, Press, 1985), Cet. Ke-1, h.83.

Sekalipun Mesir dianggap pemuka nasionalisme Arab, tapi perkembangan gerakan nasionalis di Mesir pada masa-masa permulaan dipusatkan pada patriotisme Mesir yang bersifat lokal teritorial, dipengaruhi oleh nasionalime Barat yang liberal dan sekuler, berakar pada perasaan sejarah dan identitas Mesir yang terpisah, tersebab itu merupakan suatu bangsa dengan kebangsaannya.75 Mesir telah menjadi negara penting di dunia Muslim pada ada tahun 1950, nasionalisme Mesir dipimpin oleh sekelompok elit perkotaan yang dipengaruhi oleh Barat, tetapi mereka harus mempertahankan Islam untuk mendapatkan dukungan dari massa Muslim. Selama dua dekade setelah kemerdekaan, radikal Arab rezim Mesir, Suriah, Irak dan Aljazair antara lain muncul di Timur Tengah. Dari jumlah tersebut baru, jadi disebut 'progresif' dan 'sosialis' rezim, Mesir di bawah Nasser menjadi paling menonjol.76

Wilayah Islam bersentuhan dengan ide nasionalisme Perancis, ketika Napoleon menduduki Mesir tahun 1789. Salah satu ide yang dibawa Napoleon adalah ide kebangsaan yang terkandung dalaminformasinyabahwa orang Prancis merupakan suatu bangsa (nation) dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukakus. Jadi sungguhnya Mamluk Islam, tetapi berkaitan bangsa dengan Mesir.77 Di negara Asia dan Afrika merasakan dampak dari nasionalisme di abad kesembilan belas.Adalah Ottoman Empire terganggu oleh serangan nasional sentimen

75

John L.Esposito, Islam dan Politik, h.91. 76

G W Choudhury, Islam and the Modern Muslim World, (England, London: Ltd, Victoria House, Buckhurst Hill, Essex, 1993), Cet. Ke-1, h. 109.

77Prof. Dr.Harun Nasation,

Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, h. 32.

dari semua negara kekaisaran sudah tercerai-berai dan menjadi negara merdeka, wilayah, dan sekuler.78 Kunci persoalan dalam perjuangan kemerdekaan di Afrika Utara, yang mengatasi persaingan tradisonal antara Barber dan Arab, adalah identitas dan otentitas. Warisan Islam dan masa lampau penduduk Afrika Utara memberikan titik-tolak yang wajar bagi penduduk di situ.Islam memberikan sejarah bersama, kelompok kepercayaan, lambang, dan bahasa yang oleh para pembaharuan Islam dan kaum nasionalis yang mula-mula digunakan membangkitkan identitas dan kebanggaan.79

Negara-negara Asia Tenggara, Cina, dan Jepang muncul sebagai negara nasional di abad ke-19. India juga di paruh kedua abad ke-19 menjadi sadar sentimen ini dan berjuang melawan pemerintah Inggris untuk menciptakan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya, dapat dikatakan bahwa nasionalisme pada abad ke-19 dan abad ke-20, telah menjadi salah satu ideologi politik yang paling eksplosif yang mendominasi seluruh dunia.80 Namun, apa pun hubungan nasionalisme terhadap negara-negara abad ke-19, negara menghadapi kekuatan nasionalisme sebagai suatu kekuatan politik yang terpisah dari negara, sangat jauh dari “patriotisme negara” yang ditoleransinya. Namun, nasionalisme dapat menjadi suatu asset pemerintah yang

78

Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994), Cet. Ke-I, h. 243.

79

John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 104. 80

Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, h. 243.

sangat besar jika dapat diintegrasikan ke dalam patriotisme negara dan menjadi komponen emosionalnya yang sentral.81

Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal yaitu, pertama; ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan hal kedua; pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya.82

Pada awal abad ke-20 kebanyakkan pengamat politik memandang Marokko itu di bawah kekuasaan asing adalah sebuah kerajaan yang lemah, lapisan elite keagamaan yang suka damai, dan pula keterbagian yang sudah berusia berabad-abad antara suku Arab dan Barber. Islam memainkan peranan penting dalam perkembangan partai politik terbesar di Morokko, yakni partai Istiqla (Merdeka), yang diorganisir tahun 1931 oleh pemuka Salafiyyah. Pada mulanya cuma merupakan kelompok angkatan muda terpelajar penduduk kota-kota yang bersemangat tapi keterbekangan partai Istiqla itu menerima dan menampung organisasi-organisasi Thariqat. John Waterbury mencatat pengaruh Islam dalam nasionalisme Marokko itu

81

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 103.

82

dengan kalimat: “Nasionalisme tidak membikin kemajuan yang nyata dan penting sampai gerakan itu mengambil bentuk ukhuwah keagamaan; berbentuk nasionalis zawiyah”.83

Dan akhirnya, sangat tidak jelas apakah identitas religius yang berbeda, bagaimanapun kuatnya, dengan sendirinya bisa dianggap sebagai nasionalisme.84

Nasionalisme Iran berkembang selama abad ke-19 sebagai jawaban bagi ancaman yang meningkat terhadap kemerdekaan Iran dan juga terhadap Islam dengan penerobosan kekuasaan-kekuasaan kolonial Barat beserta ikhtiar memperkenalkan batas-batas resmi sepanjang konstitusional terhadap pemerintahan Qajar yang otokratis dan despotis.85 Manakala, nasionalisme Tunisia menerima dorongan terbesar dari pembaharu Islam, Abdul Aziz Al Tsa‟alabi, tokoh nasionalis yang pertama megorganisir Destour Party (Partai Konstitusi) pada tahun 1920. Destour menegaskan identitas nasionalis berdasarkan warisan Islam dan Arab di Tunisia, bahasa Arab, dan nilai-nilai Islam. Tunisia bersikap modern tapi menolak penyerapan kultural kolonial perancis.86

Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme mulai dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai

83

John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 108. 84

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 9. 85

Ibid, h. 114. 86

Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara.Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa”.87

Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa yang diadopsi dari Barat dan dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).88

Nasionalisme dan negara-bangsa yang terkonsolidasi Eropa, dan gagasan nasionalismenya telah mencapai wilayah Muslim Afrika Utara, Timur tengah dan Timur Dekat. Di wilayah ini, munculnya nasionalisme telah menimbulkan perpecahan dunia Islam ke dalam negara-negara bangsa. Merupakan fakta sejarah bahwa para pemula dan para pemimpin nasionalisme Arab awal adalah orang-orang Arab Kristen dan Yahudi yang tetap menginginkan agar dunia Islam tetap berpecah-belah dan berselisih satu sama lain. Fakta ini di dukung sejarah dunia Arab modern dan kontemporer. Nasionalisme Arab menyebabkan bangsa Arab tetap terasing dari

87

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.186.

88

Islam dan nasionalisme parokial lain, seperti Pakistan, Iran, Afghanistan dan Indonesia, yang telah mengurung umat Islam keseluruhan agar tidak bersatu di atas dasar Islam.89

Nasionalisme Arab merupakan temuan Amerika dan Inggris. Mereka memperkenalkan nasionalisme ketika mereka berkehendak untuk memecah-belah Arab dan Turki.90 Gerakan pertama nasionalisme Arab yang modern mulai bergerak ketika Napoleon membawa pemikiran-pemikiran Revolusi Perancis di Mesir. Mesirlah yang pertama mengambil langkah-langkah permulaan ke arah modernisasi.91

Satu ide yang muncul dan diterima oleh negara-negara Islam secara meluas adalah nasionalisme. Paham ini secara khusus pernah dipakai di dalam perjuangan melawan kekuasaan kolonalisme dan imperalisme orang-orang Barat. Hak “menentukan nasib bagi suatu bangsa”, secara teoritis akan mempersulitkan para penguasa dalam mengarahkan sasaran kekuasaannya.92 Sehingga, nasionalisme merupakan sesuatu yang menonjol selama berlangsungnya perjuangan meraih kemerdekaan khususnya dikalangan golongan-golongan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi di Eropa. Contoh yang paling sederhana, seperti yang dialami oleh

89

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogkarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 64.

90

Ibid, h.70. 91

Barbara Ward, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. Ke-3, h. 40.

92

W.Montgomery Wat, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (Sebuah Kajian Sejarah), (Jakarta Barat: PT.Beunebi Cipta,1987), Cet. Ke-1, h. 141.

Iran atau Persia, di mana dasar nasionalisme terbentuk oleh pengambilan Syi‟ah Imamiyah sebagai agama pejabat yang dipermulaan abad keenam belas. Dalam beberapa saat penguasa-penguasa kerajaan Ottoman mencoba beralih ke dasar nasionalisme yang hipotesis, tetapi konsep ini hanya mendapat sedikit respon, sedang konsep saingan, yaitu nasionalisme Turki terbukti lebih kuat dan disumbangkan kepada pembentukan Republik Turki. Pemimpin-pemimpin Turki selalu waspada agar nasionalisme mereka tidak meluas sampai kepada rakyat Turki di Asia Tengah, sebab itu akan meyerupai ekspansionisme dan mungkin akan meyebabkan adanya komplikasi-komplikasi internasional.93

Meskinpun Arab Saudi muncul sebagai negara Islam yang memproklamasikan dirinya sendiri, mayoritas negara Muslim berusaha membangun negara modern dengan paradigma Barat yang diperlunak dengan undang-undang seperti persyaratan bahwa kepala negara harus orang Muslim. Negara-negara tersebut didasarkan pada bentuk-bentuk nasionalisme liberal, nasionalisme liguistik dan territorial, atau pelbagai macam nasionalisme dan sosialisme pan-Arab.94

Seperti di Turki, Mesir, dan Pakistan, teoritisi nasionalisme di negara-negara Muslim sangat tergantung pada cita-cita Islam. Sebaliknya, pikir Eropa Pencerahan, yang gagasan nasionalisme adalah produk sampingan, yang dikembangkan dengan latar belakang abad pertengahan Eropa yang terlibat dalam perang berdarah dalam

93

Ibid, h.142. 94

John L.Esposito, Langkah Barat Menghadang Islam, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), Cet. Ke-1, h. xxii.

nama agama.95 Manakala di Saudi memiliki hukum diundangkan membedakan antara 'Saudi' dan 'Ajnabi' (alien). Tarif upah untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi untuk Saudi. Hanya Saudi dapat dirawat di rumah sakit paling modern Riyadh multi kepada juta dolar. Bahkan 'Hari Nasional' telah diperkenalkan termasuk membesarkan sebuah tim sepak bola.96

D. Faktor-Faktor Terbangunnya Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu kefahaman, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan peguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Kefahaman nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua bagi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat peribadi. Berabad-abad lamanya cita dan tujuan politik bukanlah negara-kebangsaan melainkan, setidak-tidaknya dalam teori: imperium yang meliputi seluruh dunia, melingkupi berbagai bangsa dan golongan-golongan etnis di atas dasar peradaban yang sama serta untuk menjamin perdamaian bersama.97

95

Abdullah al-Ahsan, Ummah or Nation?Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1992), Cet. Ke-I, h .61.

96

Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 (1400-1401), (London-Toronto-Pretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 40.

97

Terdapat faktor-faktor dan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan nasionalisme itu beraneka ragam.98 Dapat memastikan bahwa nasionalisme modern didasarkan atas (kesamaan) bahasa, sejarah, kesastraan, adat-istiadat dan kualitas-kualitas tertentu.99 Tidak mengejutkan bahwa nasionalisme menyebar begitu pesat dari tahun 1870-an hingga 1914. Ini merupakan suatu akibat gabungan perubahan-perubahan politik maupun sosial, kemungkinan ditambah lagi oleh situasi internasional yang memberikan banyak alasan untuk mengungkapkan berbagai rasa permusuhan terhadap orang-orang asing.100

Untuk menjelaskan mengapa nasionalisme dinegara-negara jajahan tidak lagi menggunakan identitas-identitas religius dan etnis, Emerson menyebutkan dua faktor penyebabnya. Pertama, semakin masyarakat lama hancur oleh pengaruh kekuatan Barat dalam bentuk pembangunan adminstrasi dan institusi ekonomi modern, disamping tekanan penduduk asli, semakin kuat dan lengkap pula perasaan nasionalisme masyarakat bersangkutan. Kedua, tampilnya elit berpendidikan dari Barat. Para elit ini sebagai kaum terdidik dan profesional yang menerjemahkan pengalaman-pengalaman nasionalis mereka dan ideologi Barat ke tingkat lokal, menjadi pusat kristalisasi rasa ketidakpuasan massa terhadap penguasa kolonial.101

98

Dr. M. Amin Rais, dkk, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Cet. Ke-III,h.144.

99

Ibid, h. 145. 100

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 124. 101

Asyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.

Dalam rangka kita menjejak akar nasionalisme, seharusnya kita menghimbau kembali intipati era renaissance, karena di sana ada beberapa faktor rinci yang telah mencetus dan merangsang nasionalisme dalam bangsa Eropa serta dunia secara amnya. Pertama, jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup ke atas Rektor Universitas Praha (Prague), John Hus di Konstanz (Konstanz adalah satu daerah di