• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Parapihak Terkait Peningkatan Keberhasilan Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

MUARA DI PROVINSI PAPUAPrinsip

II. Kandang penampungan di plasma pengumpul

4. Pengelolaan di kandang isolas

5.3. Pandangan dan Dukungan Parapihak untuk Keberhasilan dan Keberlanjutan Penangkaran Buaya Muara di Papua

5.3.1. Pandangan Parapihak Terkait Peningkatan Keberhasilan Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

Pada prinsipnya dapat dinyatakan bahwa keberhasilan program pengelolaan populasi di penangkaran merupakan bagian integral dari keberhasilan pengelolaan populasi di alam. Ini berarti bahwa pelaksanaan pengelolaan penangkaran yang kurang tepat dan tidak berhasil akan berdampak pada ancaman kelestarian populasi di alam, karena ketergantungan jangka panjang dalam pengambilan anakan dari alam ataupun pemanenan langsung dari alam akan terus terjadi. Dengan demikian keberhasilan penangkaran buaya menjadi hal mutlak untuk mengurangi bahkan menghindari ancaman pemanfaatan langsung dari alam.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap implementasi pengelolaan penangkaran buaya seperti diuraikan pada bagian terdahulu, diketahui bahwa ada tiga hal pokok dalam pengelolaan penangkaran pola pembesaran yang masih memerlukan perbaikan pengelolaannya, yakni: (1) penangkapan anakan dari alam, (2) pengelolaan kegiatan teknis dalam upaya mempercepat pembesaran buaya di dalam penangkaran, dan (3) jumlah buaya yang dapat dimanfaatkan sebagai hasil penangkaran. Secara teknis, dari ketiga hal pokok tersebut ditemukan bahwa dalam praktek penangkapan anakan masih dilakukan secara tradisional dengan ukuran panjang badan anakan buaya yang ditangkap umumnya menyalahi standar ukuran yang ditetapkan pemerintah yakni <80 cm. Adapun pada hal yang kedua terkait dengan pengelolaan kegiatan teknis penangkaran ternyata masih ditemukan permasalahan utama adalah terkait dengan pengelolaan pakan baik jumlah maupun mutunya, sehingga berdampak pada lambatnya kecepatan pertumbuhan anakan buaya untuk mencapai usia atau ukuran potong ekonomi yakni membutuhkan waktu 4-5 tahun. Ketersediaan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pengelola yang masih rendah baik di tingkat plasma maupun penangkaran inti juga merupakan bagian dari permasalahan teknis yang dihadapi dalam pengelolaan penangkaran di Papua. Oleh karena itu pembahasan pandangan

parapihak terhadap upaya peningkatan keberhasilan penangkaran lebih ditekankan hal-hal tersebut di atas.

Hasil analisis terhadap berbagai pandangan parapihak yang diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi, diketahui setidaknya ada dua hal penting yang menjadi penekanan dari parapihak untuk ditingkatkan agar pengelolaan penangkaran buaya muara di Propinsi Papua dapat lebih berhasil. Kedua hal pokok yang menjadi penekanan dari pandangan parapihak tersebut, adalah: (a) penguatan kerjasama pengelolaan penangkaran, dan (b) peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi dan keterampialn teknis pengelolaan penangkaran buaya. Deskripsi umum dari kedua hal tersebut sebagai berikut:

a. Penguatan Kerjasama Pengelolaan Penangkaran Buaya di Provinsi Papua Pada dasarnya keberhasilan pengelolaan dan pengembangan penangkaran buaya di Propinsi Papua merupakan bagian dari tanggungjawab bersama parapihak. Untuk itu diperlukan penguatan kerjasama dengan fokus pada perbaikan beberapa hal teknis yang masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan penangkaran buaya seperti disebutkan di atas, yakni terkait dengan pengawasan terhadap penangkapan anakan buaya muara, dukungan penyediaan pakan buaya di penangkaran dan pengangkutan/transportasi anakan buaya dari plasma ke penangkaran inti di Jayapura. Rangkuman pandangan parapihak terkait upaya penguatan kerjasama pengelolaan penangkaran terhadap ketiga hal tersebut sebagai berikut:

(1) Penguatan kerjasama pengawasan lalu lintas pemanfaatan buaya muara dari alam di Provinsi Papua

Parapihak berpandangan bahwa dalam rangka menjamin kelestarian populasi buaya di habitat alaminya, maka salah satu langkah penting yang harus dilakukan sebagai bagian dari pengembangan penangkaran buaya adalah kerjasama pengawasan terhadap kegiatan penangkapan anakan buaya di alam dan lalu lintas pemanfaatan buaya muara di Propinsi Papua. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa didalam kegiatan penangkapan anakan buaya untuk penangkaran oleh plasma penangkap maupun pengumpulannya ternyata menyalahi aturan tentang ketentuan batas ukuran panjang badan anakan buaya

yang boleh ditangkap yakni < 80 cm. Selain itu, penangkapan anakan buaya juga harus dilakukan di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan dengan jumlah tangkapan pun harus sesuai dengan ketentuan kuota tangkap yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu untuk menghindari peluang terjadinya penyimpangan dalam proses penangkapan diperlukan penguatan kerjasama pengawasan dari berbagai pihak.

Terkait dengan upaya mengatasi atau mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam proses penangkapan anakan buaya secara terus menerus, maka parapihak berpendapat bahwa perlu diusahakan penguatan dukungan berbagai pihak yang selama ini sudah terlibat aktif didalam kegiatan pemanfaatan buaya muara di Papua. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses penangkapan anakan buaya untuk penangkaran para plasma penangkap lebih memperhatikan dan mematuhi secara konsistem semua peraturan atau ketentuan tentang batas ukuran badan anakan buaya yang boleh ditangkap serta jumlah kuota tangkap dan wilayah tangkapnya.

Upaya penguatan dukungan kerjasama parapihak tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

 Penguatan dukungan berdasarkan kearifan masyarakat lokal didalam pemanfaatan buaya muara di Provinsi Papua. Sebagaimana diketahui, selama ini masyarakat lokal di Papua secara tradisional dan turun temurun telah melakukan kegiatan pemanfaatan buaya dengan cara berburu buaya pada waktu-waktu tertentu sebagai wujud kearifan masyarakat lokal (BBKSDA 2009). Secara tidak langsung kearifan lokal tersebut berkaitan dengan pengaturan pembatasan pemanfaatan buaya dari alam. Oleh karena itu kearifan ini dapat bermanfaat sebagai modal dasar didalam memperkuat kerjasama pengawasan penangkapan anakan buaya yang dapat menjamin kelestarian populasinya di alam.

 Penguatan dukungan kerjasama dari masyarakat yang tergabung sebagai anggota plasma dalam sistem PIR penangkaran buaya. Dalam pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR, masyarakat sebagai anggota plasma baik plasma penangkap maupun plasma pengumpul memiliki peranan sangat penting dan menentukan terhadap jaminan kelestarian populasi buaya di

alam, karena merekalah yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengumpulan anakan buaya dari alam. Buaya di alam merupakan sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat khususnya yang menjadi anggota plasma didalam pengawasan langsung terhadap kegiatan penangkapan tentu sangat penting dan menentukan keberhasilan usaha pelestarian populasi buaya di alam dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, upaya menjadikan anggota plasma sebagai karyawan/pegawai ataupun menjadi bagian tak terpisah dari pelaku usaha pengembangan penangkaran buaya tentu akan berdampak positif terhadap pengamanan kelestarian potensi sumber daya buaya di habitat alaminya.

 Penguatan peran pemerintah melalui peningkatan tindakan pengawasan dan penegakan peraturan pemanfaatan buaya. Untuk menjamin kelestarian populasi buaya di alam dan keberlanjutan pemanfaatannya, maka sesuai tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), pemerintah khususnya instansi kehutanan di daerah harus secara konsisten dan bertanggungjawab meningkatkan tindakan pengawasan dan penegakan hukum yang terkait dengan ketentuan pemanfaatan buaya khususnya dalam hal penangkapan anakan buaya di alam. Instansi-instansi Kehutanan daerah seperti Dinas Kehutanan Mamberamo Raya di tingkat kabupaten, Unit Pelaksana Terpadu Daerah Wilayah I Jayapura, dan BBKSDA Papua (Bidang KSDA Wilayah II Nabire dan Seksi Konservasi Wilayah IV Sarmi serta dibantu oleh Resort-resort yang terbentuk) termasuk aparat Kepolisian Sektor di daerah Kecamatan dan petugas karantina hewan, perlu ditingkatkan koordinasi dan kerjasamanya dalam melakukan pengawasan dan penegakan aturan yang berlaku. Upaya pengawasan dan penegakan aturan main yang terjadi selama ini dapat dinyatakan masih belum optimal dan tidak memberikan dampak positif terhadap keseluruhan upaya konservasi buaya khususnya, maupun konservasi sumberdaya alam hayati secara luas. Oleh karena itu, ke depan diperlukan penguatan peran pemerintah seperti dimaksudkan di atas.

 Penguatan dukungan kerjasam monitoring populasi buaya muara di daerah- daerah potensi buaya melalui kerjasama parapihak baik lembaga-lembaga

penelitian seperti LIPI, perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat dengan BBKSDA sebagai pemegang otoritas konservasi sumberdaya alam. Pada prinsipnya, pelaksanaan kegiatan penangkapan akan menjadi benar dan tidak berdampak negatif terhadap kondisi populasi di alam, apabila didasarkan pada dukungan data dan informasi yang akurat tentang kondisi populasi buaya di alam. Oleh karena itu penguatan dukungan kerjasama monitoring populasi buaya menjadi penting dan harus ditingkatkan pada masa mendatang.

(2) Transportasi dan teknik pengiriman anakan buaya dari alam

Transportasi anakan buaya dari plasma ke penangkaran inti diketahui mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan kegiatan penangkaran di penangkaran inti, karena ternyata banyak terjadi kematian dan luka pada buaya baik selama transporasi maupun masa-masa awal di penangkaran inti. Di antara faktor penyebabnya adalah kekurangan kuantitas dan kualitas sarana transportasi serta jauhnya jarak transportasi dari plasma ke penangkaran inti. Oleh karena itu diperlukan penguatan kerjasama parapihak terutama pemerintah daerah di dalam meningkatkan perbaikan sarana-prasarana transportasi. Selain itu juga perlu dilakukan usaha penyempurnaan teknik pengangkutan terutama terkait dengan pengepakan buaya dalam proses pengangkutannya.

Pembangunan sarana transportasi oleh Pemda juga dimaksudkan untuk dapat membantu mempercepat pembangunan daerah sekitar. Selain itu, terkait dengan kepentingan pengangkutan buaya dari plasma ke inti, maka pembangunan sarana transportasi tersebut juga sekaligus menjawab permasalahan masyarakat anggota plasma penangkap maupun pengumpul yang harus berkorban tenaga dan waktu yang cukup besar untuk mengirim anakan dari plasma pengumpul ke penangkaran inti. Besarnya pengorbanan tersebut ternyata tidak seimbang dengan hasil atau besarnya pendapatan yang diperoleh karena banyak anakan buaya yang mati dan kulit buaya yang dihasilkan mempunyai kualitas rendah bahkan menjadi rusak. Bolton (1990), mengemukakan bahwa dalam pengepakan dan pengiriman buaya hendaknya diupayakan dilakukan sebaik mungkin untuk menghindari luka akibat persinggungan fisik yang berakibat kematian pada buaya. Berdasarkan hal

itu, maka pandangan parapihak ini menjadi penting dan harus mendapat perhatian perbaikannya agar usaha penangkaran buaya ke depan menjadi lebih berhasil.

(3) Peningkatan kerjasama penyediaan kebutuhan pakan buaya di penangkaran Pakan merupakan unsur penting yang memerlukan perhatian karena ketidakcermatan penanganannya berdampak besar terhadap keberhasilan dan keberlanjutan pengelolaan usaha penangkaran buaya muara pola pembesaran. Hasil penelitian seperti telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa salah satu permasalahan yang terkait dengan pengelolaan penyediaan pakan adalah kontinuitas penyediaan pakan baik jumlah maupun mutu yang sesuai dengan kebutuhan buaya di penangkaran.

Berdasarkan wawancara parapihak diperoleh kesatuan pendapat bahwa untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan koordinasi dan kerjasama antar berbagai pihak agar usaha penyediaan pakan tersebut dapat dipenuhi. Salah satunya dari sektor peternakan dan perinakan dimana belum dimanfaatkannya secara optimal sisa produksi daging hasil usaha peternakan dan perikanan terutama untuk mengatasi penyediaan pakan untuk penangkaran buaya. Laporan Tahunan dari Dinas Kelautan dan Perikanan mengenai pasokan daging dan ikan beku (frozen) untuk memenuhi kebutuhan ikan di Kota Jayapura ternyata tidak seluruhnya habis dimanfaatkan dimana pada data akhir tahun diketahui masih ada sisa ikan beku yang tidak dimanfaatkan (DKP 2012).

Jumlah pasokan ikan beku tahun 2011 sebanyak 36 653 kg namun hanya dimanfaatkan sebanyak 35 070 kg, sehingga terdapat sisa sekitar 1 583 kg atau 1.583 ton per tahun. Pada nilai pertumbuhan sektor perikanan menunjukkkan ada peningkatan produksi perikanan selama periode tahun 2006-2011 sebesar 2.36% atau sebanyak 278.58 kg ikan (DKP 2012). Selain itu DKP telah berupaya menggalakkan program penambahan armada kapal penangkap ikan, penerapan teknologi tangkap yang lebih baik, serta menggalakkan peningkatan usaha budidaya perikanan darat melalui penambahan jumlah kolam-kolam tambak dan luasan wilayah pengembangan sektor perikanan di beberapa wilayah potensi perikanan (DKP 2012).

Artinya sektor perikanan sebenarnya memberikan harapan pada pemenuhan kebutuhan pakan penangkaran buaya apabila ada koordinasi dan kerjasama yang terbangun dengan baik antar parapihak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua dapat terwujud dengan baik.

b. Peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi sebagai landasan pemanfaatan buaya muara

Hal kedua yang menjadi penekanan pandangan parapihak terkait dengan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua adalah peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat tentang konservasi dalam arti luas, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan buaya secara berkelanjutan. Dikemukakan, bahwa penyadartahuan masyarakat tentang pengetahuan konservasi akan sangat membantu usaha-usaha pengembangan penangkaran buaya termasuk pengawasan peredaran pemanfaatan buaya sebagai satwa liar yang dilindungi dan bernilai ekonomi tinggi. Dengan penguasaan pengetahuan konservasi yang memadai, maka akan timbul kesadaran dan pemahaman yang benar tentang batasan-batasan yang harus diperhatikan seseorang atau kelompok masyarakat di dalam mengambil tindakan pemanfaatan yang berpijak pada prinsip-prinsip pemanfaatan lestari (Alikodra 2010).

Terkait dengan upaya peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi tersebut, maka sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan konservasi dari masyarakat. Di antara upaya- upaya tersebut yang perlu terus didorong peningkatannya ke depan, sebagai berikut:

 Pembentukan dan pembinaan kader konservasi, penggalakan penyuluhan dan pendidikan konservasi bagi masyarakat di daerah-daerah yang dinilai sebagai kantong potensial populasi buaya. Berdasarkan data BBKSDA (2012) kegiatan-kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh BBKSDA dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wilayah I Jayapura dan Dinas Kehutanan Mamberamo Raya maupun instansi Pemda setempat lainnya.

 Pembinaan Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia (APPBI). APPBI sebagai organisasi para pengusaha penangkar buaya, pada dasarnya

mempunyai peranan penting dalam menjembatani keinginan dan memfasilitas upaya pemecahan permasalahan yang dihadapi pengusaha dan penangkar dengan industri serta menggali potensi pasar internasional (Ditjen PHKA 2001). Oleh karena itu, untuk memperkuat peran dan tanggungjawabnya diperlukan upaya pembinaan dan penguatan kapasitasnya agar dapat berfungsi lebih optimal.

 Pembinaan kapasitas SDM pengelola penangkaran di tingkat plasma penangkap dan plasma pengumpul, terutama terkait dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknik penangkapan anakan buaya dan pemeliharaannya sebelum diangkut ke penangkaran inti. Beberapa aspek teknis yang perlu diperkuat kemampuannya pada anggota plasma adalah berupa pengetahuan konservasi tentang memilih anakan yang berkualitas di alam dan sesuai dengan ketentuan ukuran badan yang ditetapkan, dan pembuatan catatan asal-usul daerah tangkap anakan sebagai langkah awal registrasi buaya di penangkaran baik dalam bentuk stuudbook maupun logbook (catatan harian di lapangan). Upaya pembinaan ini diharapkan dapat berdampak positif terhadap penguatan ikatan kerjasama dalam pengelolaan penangkaran sehingga upaya pengembangan penangkaran buaya ke depan menjadi lebih berbahasil.

 Pembinaan mental dan tanggung jawab petugas di lapangan. Secara umum telah diketahui bahwa kendala yang dihadapi di lapangan dalam usaha menjaga konservasi menurut Supriatna (2008) terkait dengan kekurangan jumlah dan kemampuan SDM, dukungan pendanaan yang tidak merata, degradasi moral dan disiplin para petugas, tidak adanya perhatian dan penghargaan untuk petugas di lapangan, serta kurangnya penegakan hukum dan dukungan pusat. Kelemahan ini membuka peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran, dan apabila pelanggaran tersebut terus dibiarkan maka dapat berdampak luas terhadap keberhasilan usaha pelestarain buaya dan pengembangan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat. Bentuk pembinaan mental dan tanggungjawab petugas dan aparat pemerintah dapat juga ditekankan pada usaha penyegaran penguasaan peraturan perundangan

dan penegakannya, serta ketegasan pemberian sanksi bagi siapa saja yang melanggar.

5.3.2. Harapan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keberlanjutan Program