• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI NILAI KERJA PERTANIAN DAN FAKTOR-FAKTOR

Lampiran 4. Panduan pertanyaan

Untuk Mahasiswa

a. Menurut anda, apakah lulusan IPB sebaiknya bekerja di sektor pertanian? b. Bagaimanakah pendapat anda tentang pertanian khususya pekerjaan

pertanian setelah belajar dan kuliah di IPB?

c. Apakah harapan orangtua kepada anda dengan kuliah di IPB?

d. Pernahkah orangtua anda menyinggung tentang manakah pekerjaan yang baik atau tidak baik? Mengapa?

e. Apakah pekerjaan orangtua akan mempengaruhi proses sosialisasi? Bagaimana dengan kedua orangtua anda, apakah mempengaruhi proses sosialisasi pekerjaan yang akan dilakukan? Mengapa? Bagaimana pendapat anda pada keadaan tersebut?

f. Apakah pendapat orangtua akan mempengaruhi proses sosialisasi yang akan anda terima? Bagaimana dengan kedua orangtua anda, apakah pendapatan yang diterima akan mempengaruhi proses sosialisasi pekerjaan yang diberikan kepada anda? Mengapa? Bagaimana pendapat anda pada keadaan tersebut?

g. Apakah domisili orangtua akan mempengaruhi proses sosialisasi yang akan anda terima? Bagaimana dengan kedua orangtua anda, apakah domisilinya akan mempengaruhi proses sosialisasi pekerjaan yang akan dilakukan? Mengapa? Bagaimana pendapat anda pada keadaan tersebut? h. Apakah kepemilikan lahan oleh orangtua anda akan berpengaruh pada

proses sosialisasi pekerjaan yang diangap baik atau buruk? Bagaimana dengan kedua orangtua anda, apakah kepemilikan lahan oleh orangtua anda mempengaruhi proses sosialisasi pekerjaan yang akan dilakukan? Mengapa? Bagaimana pendapat anda pada keadaan tersebut?

i. Apakah sosialisasi pekerjaan yang diberikan oleh kedua orangtua harus dilaksanakan ? Apakah sosialisasi pekerjaan yang dianggap baik atau buruk oleh orangtua anda mempengaruhi anda dalam menilai pekerjaan tertentu?

j. Jika ‘ya’ apakah pandangan anda tentang pekerjaan tersebut akan mempengaruhi anda dalam memilih pekerjaan?

k. Apakah anda mendapat sanksi apabila kelak anda bekerja di sektor pekerjaan yang bertolak belakang dengan pekerjaan yang diharapkan orangtua anda sebelumnya? Mengapa diberikan sanksi? Dalam bentuk apakah sanksi tersebut?

l. Apakah posisi anda dalam keluarga dan jenis kelamin berpengaruh terhadap proses sosialisasi pekerjaan? Bagaimakah pendapat anda menyikapi hal tersebut?

m. Apakah sosialisasi pekerjaan yang dihubungkan dengan posisi anda dalam keluarga serta jenis kelamin anda akan mempengaruhi anda dalam menilai setiap jenis pekerjaan?

n. Apabila anda sangat diharapkan oleh orangtua bekerja di pertanian, apakah anda bersedia? Mengapa?

o. Apakah yang pelajari dari kegiatan-kegiatan organisasi yang anda lakukan berpengaruh penilaian anda terhadap sesuatu hal terutama dalam menilai pekerjaan? Mengapa?

p. Apakah kegiatan-kegiatan organisasi yang anda lakukan kelak dapat membantu anda memilih pekerjaan yang anda ingin capai? Mengapa? q. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan serta terknologi saat ini

mempengaruhi anda dalam menilai suatu pekerjaan serta memilih pekerjaan? Bagaimana dengan anda dan bagaimana anda menyikapinya? r. Anda sebagai mahasiswa di perguruan tinggi negeri pertanian, melihat

kondisi pertanian sekarang, apakah anda tertarik untuk bekerja di pertanian? Jika “ya” mengapa? Jika “tidak” mengapa?

s. Apakah anda diberikan kebebasan oleh orangtua untuk memilih pekerjaan ketika lulus dari kuliah terutama dari IPB ? Mengapa?

t. Bagaimanakah pendapat orangtua anda terhadap pekerjaan pertanian dan non-pertanian?

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Salah satu unsur kebudayaan yang dilestarikan adalah sistem matapencaharian (Koentjraningrat,1990). Indonesia sebagai negara agraris yang terletak di daerah khatulistiwa menempatkan pertanian sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama. Hal ini dapat dibuktikan dari data Badan Pusat Statistika (2007) yang menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian mencapai 43,66 persen. Selain sebagai sumber mata pencaharian, sektor pertanian juga memiliki peranan yang kuat dalam pembangunan ekonomi nasional dan regional Indonesia antara lain (1) penghasil pangan, (2) lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku bagi agroindustri, (4) penghasil devisa, (5) pasar potensial bagi barang-barang yang dihasilkan oleh sektor industri dalam negeri

(www.faperta.ugm.ac.id).

Kontak kebudayaan antara kota dan desa melalui proses pendidikan, komunikasi dan tranportasi yang semakin lancar diduga turut menentukan proses pembentukan nilai kerja pemuda sehingga hal ini menciptakan sikap enggan untuk bekerja di sektor pertanian yang dianggap sebagai tradisional (Lubis dan Soetarto, 1991). Pendapat diatas juga didukung oleh Tarigan (2002) yang menyatakan bahwa terjadi gejala kurangnya minat angkatan kerja muda terhadap pekerjaan pertanian yang disebabkan oleh alasan yang bersifat sosial. Pekerjaan pertanian yang dipandang kotor, melelahkan dan kurang prospektif sehingga memunculkan perasaan “kurang terhormat” dengan status sebagai pekerja pertanian. Hal tersebut

sejalan dengan hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi) tahun 2008 yang menyisakan 2.894 kursi kosong pada program studi pertanian dan peternakan di 47 perguruan tinggi. Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor Yonny Koemaryono mengatakan, menurunnya minat generasi muda memilih bidang pertanian di jenjang pendidikan tinggi harus dipandang sebagai persoalan yang memprihatinkan bangsa, apalagi persoalan krisis pangan menjadi perhatian serius secara global (Kompas, 1 Agustus 2008)

Selain itu, Wirutomo (1994) mengemukakan bahwa pada era industrialisasi sekarang ini terjadi perkembangan pendidikan dan pekerjaan yang mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk untuk mencari pekerjaan dan meningkatkan taraf hidup ke kota-kota besar yang mempengaruhi proses sosialisasi dalam keluarga Indonesia. Suku Batak Toba merupakan salah satu suku yang telah melakukan migrasi ke seluruh pelosok Indonesia bahkan ke luar negeri untuk mencari pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang lebih baik.

Dalam masyarakat Batak, sebelum masuknya ajaran agama Kristen dan pada masa prapenjajahan, pertanian merupakan sumber kehidupan satu-satunya. Masyarakat Batak memandang status sosial sebagai hal yang selalu diimpikan semasa hidupnya. Status sosial ini akan dicapai apabila telah berhasil memenuhi ketiga cita-cita hidup masyarakat Batak yang dikenal dengan konsep 3H yaitu hagabeon (keturunan), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Ketidakberhasilan seorang anggota Batak dalam mewujudkan konsep 3H tersebut dianggap sebagai ketidaksempurnaan dalam hidupnya terutama dihadapkan pada suatu acara adat (Sitompul,1991). Dengan demikian, menarik untuk dikaji apakah

sektor pertanian mampu dijadikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan 3H.

IPB (Institut Pertanian Bogor) merupakan salah satu perguruan tinggi yang disebut sebagai center of excellent pertanian yang nantinya diharapkan mampu memberikan solusi masalah pertanian serta mengembangkannya. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika lulusan dari perguruan tinggi pertanian justru memilih untuk bekerja pada non-pertanian dan lebih berkonsentrasi di daerah perkotaan khususnya di wilayah JABOTABEK atau Pulau Jawa (www.ipb.ac.id). Oleh karena itu, menarik untuk dikaji bagaimana nilai kerja pertanian pada mahasiswa Batak Toba di perguruan tinggi pertanian terkait dengan konteks nilai budayanya.

1.1 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah nilai kerja pertanian mahasiswa Batak Toba di IPB?

2. Bagaimanakah hubungan proses sosialisasi nilai kerja pertanian pada mahasiswa Batak Toba di IPB?

1.2Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui nilai kerja pertanian mahasiswa Batak Toba di IPB?

2. Mengidentifikasi hubungan proses sosialisasi nilai kerja pertanian pada mahasiswa Batak Toba di IPB?

1.3Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan informasi mengenai nilai kerja pemuda pada pertanian terutama pada generasi muda Batak Toba. Bagi penulis, hasil penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan studi. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pertanian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dinamika Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 1997 sampai 2007

Secara umum lapangan pekerjaan dikategorikan menjadi sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa. Hingga kini, di berbagai daerah Indonesia, mayoritas dari jumlah tenaga kerja bekerja pada lapangan pekerjaan pertanian. Untuk Indonesia secara keseluruhan, persentase jumlah tenaga kerja dari tahun 1997 sampai 2007 yang bekerja di sektor pertanian dikatakan mengalami peningkatan khususnya sejak krisis ekonomi seperti yang gambar dibawah ini :

Sumber : BPS Tahun 1997 sampai 2007 (diolah)

Gambar 1. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas Menurut Lapangan Pekerjaannya di Indonesia Tahun 1997-2007

Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 1997 sektor pertanian menyerap 41,18 persen tenaga kerja yang ada. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian ini mengalami peningkatan sebesar 2,48 persen pada tahun 2007 (Lampiran 1 pada Tabel 1). Fakta ini menunjukkan bahwa sektor pertanian sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja sekaligus menjadi salah satu sumber perekonomian nasional termasuk pada saat krisis ekonomi melanda. Hal ini dapat

dilihat, pada data tahun 1997 dan 1998 dimana terjadi kenaikan tenaga kerja sebesar 3,78 persen (Lampiran 1 pada Tabel 1).

2.1.1 Tenaga Kerja Sektor Pertanian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu aspek umum ketenagakerjaan yang penting mendapat sorotan karena faktor pendidikan ini berhubungan dengan kualitas tenaga kerja (Rusli, dkk. 1989). Gambar 2 berikut ini, menggambarkan persentase komposisi tenaga kerja di sektor pertanian menurut tingkat pendidikan.

Sumber : BPS Tahun 1997 sampai 2007 (diolah)

Gambar 2. Persentase Tenaga Kerja Sektor Pertanian Menurut Tingkat Pendidikan di Indonesia Tahun 1997-2007

Dari Gambar 2, dapat dinyatakan terjadi peningkatan pendidikan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian (Lampiran 1 pada Tabel 2). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Boediono et al (1992) bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian semakin membaik yang disebabkan dengan seiring perubahan struktural yang dilakukan dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun, dari Gambar 2 tampak jelas bahwa tenaga kerja pertanian dominan dilakukan oleh tenaga kerja dengan pendidikan yang tergolong masih rendah.

2.1.2 Tenaga Kerja Pertanian Berdasarkan Jenis Kelamin

Ditinjau dari jenis kelamin, persentase penyerapan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi gender dalam pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari gambar di bawah ini :

Sumber : BPS 1997 sampai 2007 (diolah)

Gambar 3. Persentase Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Menurut Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 1997-2007

Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa jumlah tenaga kerja perempuan pada saat krisis ekonomi melanda mengalami kenaikan sebesar 0,51 persen. Namun, apabila dilihat secara keseluruhan, bahwa sepuluh tahun terakhir ini jumlah tenaga kerja pertanian perempuan masih rendah (Lampiran 1 pada Tabel 3).

2.1.3 Tenaga Kerja Pertanian Berdasarkan Golongan Umur Tahun 2007 Bila dibandingkan keterlibatan tenaga kerja antara golongan usia muda dengan usia tua pada sektor pertanian maka berdasarkan data BPS dari tahun 1997 sampai 2007 menunjukkan bahwa tenaga kerja usia muda lebih tertarik untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Penyerapan tenaga kerja pertanian berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber : BPS 1997 sampai 2007 (diolah)

Gambar 4. Persentase Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan Umur di Indonesia Tahun 1997-2007

Berdasarkan Gambar 4, diperoleh pernyataan bahwa terjadi gejala penurunan keterlibatan usia muda yang bekerja di sektor pertanian yang terjadi dari tahun 2002. Tenaga kerja usia muda lebih memilih pekerjaan di sektor non- pertanian yang ditunjukkan dari gambar diketahui bahwa terjadi penurunan tenaga kerja pertanian dari tahun 1997 sebesar 51,65 persen menjadi 48,91 persen tahun 2007. Berbeda dengan tenaga kerja usia muda di sektor non pertanian dimana pada tahun 2002 justru mengalami peningkatan (Lampiran 1 pada Tabel 4).

2.2 Masyarakat Batak Toba

Batak Toba merupakan salah satu sub etnis suku Batak. Suku bangsa Batak menempati seluruh wilayah tanah Batak yang terletak di antara Provinsi Aceh, Kabupaten Deli Serdang dan Langkat di bagian Utara serta Sumatera Barat di bagian Selatan. Batak Toba mendiami daerah yang meliputi daerah tepi danau Toba, pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran. Alam lingkungan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Batak berasal dari alam

pertanian dengan pola pertanian seperti sawah dan ladang. Suku Batak Toba mengenal kebudayaan yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga) yang berperan sebagai sistem pranata sosial yaitu sistem kekerabatan patrineal Batak. Dalam Dalihan Na Tolu ini terdiri dari tiga unsur yaitu hula-hula (keluarga dari pihak istri), dongan sabutuha (kawan semarga) dan boru (keluarga dari pihak menantu).

Selain itu, masyarakat Batak Toba juga memiliki cita-cita yakni hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Dari ketiga cita-cita tersebut, hasangapon merupakan nilai budaya utama yang mencirikan orang Batak Toba yang sempurna sesuai ukuran nilai-nilai budaya Batak Toba. Orang Batak Toba telah mencapai taraf sanggap apabila telah menjadi pemberi kebijakan, pemberi habisuhon, kearifan sekaligus teladan masyarakatnya (Harahap, 1997).

2.3 Nilai Kerja Pertanian

Koentjaraningrat (1990) mengemukakan pengertian nilai merupakan unsur dari sistem budaya yang merupakan perbendaharaan idiil subyek (manusia) sehingga nilai dipengaruhi oleh kebudayaan. Dikatakan sebagai perbendaharaan idiil subyek (manusia) karena berwujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya yang bersifat abstrak dan tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Sementara itu, kebudayaan idiil dapat juga disebut sebagai adat tata kelakuan yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan seseorang dalam masyarakat.

Selain itu, Kristono (1999) menyatakan bahwa pola tindakan manusia dipengaruhi oleh sikap dan nilai budaya baik secara langsung maupun melalui pola-pola cara berpikir. Sistem nilai budaya itu sendiri merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dan mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.

Mengutip pendapat para ahli, Tjakrawati (1988) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa nilai sebagai konsep baik buruknya yang dihayati seseorang dan sebagian besar warga masyarakat yang memberi pedoman untuk memilih perilaku dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan cara pandang suatu komunitas tentang baik atau buruknya suatu obyek yang dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat serta perkembangan pengetahuan yang diadopsi oleh masyarakat tersebut yang selanjutnya akan mempengaruhi seseorang dalam berfikir dan bertindak.

Nilai kerja merupakan pandangan masyarakat terhadap salah satu sektor pekerjaan yaitu sektor pertanian dan non-pertanian. Herlina (2002) juga menyimpulkan bahwa nilai kerja adalah persepsi dan penghargaan terhadap suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu bentuk materi ataupun non-materi yang memberi kepuasan terhadap seseorang. Persepsi dan penghargaan tersebut akan mengarahkan tindakan sosialnya. Dengan demikian, oleh Tjakrawati (1988) mendefinisikan bahwa nilai kerja pertanian terkait dalam konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud pada perilaku pelaku sosial dalam komunitasnya atau konsepsi baik atau buruknya tentang kerja pertanian

yang dianut sebagian besar masyarakat. Setiap komunitas memiliki budaya yang berbeda sehingga nilai kerja yang ada dalam komunitas pun akan berbeda-beda.

2.4Konsep Generasi Muda

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia dari ketika dilahirkan sampai akhir hayatnya. George Ritzer (dalam Soe’oed, 1999) membagi siklus kehidupan manusia dalam empat tahap yaitu tahap kanak-kanak, tahap remaja, tahap dewasa dan tahap orangtua. Setiap tahapan sosialisasi ini memiliki agen sosialisasi yang berbeda.

1. Tahap Kanak-kanak

Menurut Soe’oed (1999), setiap orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan pada anak-anaknya tentang kehidupan ini. Orangtua berkewajiban membentuk kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orangtua pada anak di masa awal pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak-anak tersebut. Misalnya, jika orangtua menginginkan anaknya bebas, maka ia harus mengajarkan tentang kebebasan. Sehingga pada tahap ini, keluarga dan orangtualah yang sangat berperan dalam sosialisasi.

2. Tahap Remaja

Seorang anak yang memasuki masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Adanya perubahan biologis yang sering digambarkan sebagai masa puber seringkali mempengaruhi perilaku masa remaja. Pada masa remaja ini merupakan suatu gejala yang disebut reverse

socialization dimana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka terhadap yang lebih tua.

3. Tahap Dewasa

Sosialisasi pada orang dewasa merupakan suatu proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Misal, peran sebagai pekerja dalam memasuki dunia kerja, peran sebagai suami/isteri dalam pernikahan, peran sebagai ayah/ibu ketika sudah mempunyai anak dan sebagainya. Umumnya orang dewasa menginginkan tiga hal yaitu bekerja, menikah dan memiliki anak dan tentu saja ini semua membutuhkan sosialisasi.

4. Tahap Tua

Menurut Eitzen dalam Soe’oed (1999), orang lanjut usia sama seperti remaja yang mengalami masa transisi dalam kehidupan dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang memasuki tahap ini, mereka harus bergantung kepada orang lain, belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk santai.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Kerja Generasi Muda

Bila ditinjau berdasarkan generasi penerus, perubahan nilai terkait dengan proses sosialisasi nilai orangtua kepada anak. Pada penelitian perubahan nilai kerja pertanian pada pemuda tani, Tjakrawati (1988) mengemukakan bahwa adanya perubahan nilai kerja dipengaruhi oleh proses sosialisasi dalam keluarga dan pengaruh dari luar, yakni kaitan desa-kota, kaitan pertanian dan non- pertanian. Nilai kerja tersebut diukur melalui tujuh dimensi, yaitu dimensi lahan,

dimensi tenaga kerja, dimensi modal, dimensi pasar, komoditi dan transportasi, dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, dimensi hubungan dengan teman dan kerabat, dimensi harapan-harapan. Kristono (1994) juga menyebutkan bahwa perubahan nilai seseorang terhadap pekerjaan pertanian diakibatkan oleh proses migrasi dan perubahan jenis pekerjaan, hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada masalah pokok lain dari sistem budaya.

Sunarto (1993) mendefinisikan sosialisasi sebagai keseluruhan kebiasaan yang dipunyai oleh manusia baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama dan sebagainya yang harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses. Proses sosialisasi merupakan pembinaan dan pengembangan budaya berlangsung berupa kegiatan-kegiatan yang melibatkan generasi “muda” dalam rangkaian proses belajar dan penghayatan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat dengan ajaran, bimbingan, keteladanan dari generasi “orangtua” (Sucipto, 1998). Dalam proses sosialisasi ini terdapat kemungkinan nilai diterima atau anak memberikan reaksi terhadap nilai orangtuanya sehingga ia memilih nilai sendiri karena dalam penerusan nilai secara vertikal bersamaan dengan penerusan nilai secara horizontal sebagai interferensi (Noerhadi, dalam Tjakrawati,1988). Selain itu, Tjakrawati (1998) menuturkan bahwa tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan nilai meskipun berlangsung dalam kurun waktu yang tidak cepat sehingga nilai ini tetap diajarkan ke generasi berikutnya.

Soe’oed (1999) mengatakan bahwa orientasi nilai kerja bukanlah faktor keturunan melainkan hasil interaksi sosial dimana diperoleh cara berfikir. Namun dalam prosesnya, sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang

disosialisasikan atau orang yang melakukan sosialisasi. Sosialisasi nilai kerja pertanian pada masyarakat dengan kultur pertanian tidak selalu terjadi. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Herlina bahwa orangtua tidak menginginkannya untuk bekerja sebagai buruh tani seperti dirinya tetapi mereka lebih suka menyekolahkan anaknya dengan harapan pemuda akan dapat pekerjaan di luar pertanian yang lebih baik daripada bekerja sebagai petani. Seorang petani yang cukup berhasil sangat membanggakan sektor ini dengan tegas mengatakan harapannya agar anaknya tidak meneruskan jejaknya sebagai petani. Secara tidak sadar orangtua telah mensosialisasikan pandangan kepada anaknya tentang kecapekan, kerendahan dan ketidakcerahan bekerja di pertanian, yang berarti orangtua telah mengalami pergeseran pandangan terhadap pekerjaan ini walaupun secara faktual mereka masih hidup di dalamnya.

Hal ini berbeda dengan Lubis dan Sutarto (1991) yang berpendapat bahwa adanya konsistensi antara pekerjaan anak dengan orangtua pada masyarakat petani sebagai akibat daya tarik pertanian. Meskipun dalam dua lokasi yang diteliti terdapat perbedaan, upaya untuk melibatkan anak laki-laki mengenal pekerjaan bertani lebih dominan dilakukan oleh masyarakat yang tigkat pendapatannya kecil sedangkan pada masyarakat petani cukupan ke atas gejala tersebut tidak terlalu tampak. Pemuda dibebaskan memilih jalan hidup, hal ini terlihat dalam cara pandang orangtua yang lebih suka menyekolahkan anaknya daripada menuntut mereka untuk bekerja di sektor pertanian.

Dalam mempelajari sosialisasi tentunya akan membicarakan siapa yang menjadi agen sosialisasi atau pihak yang menjalankan sosialisasi. Fuller dan Jacob Sunarto (1933) mengidentifikasi agen-agen sosialisasi yaitu:

a. Keluarga. Agen sosialisasi terdiri atas orangtua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas, agen sosialisasi bisa berjumlah banyak dan mencakup nenek, kakek, paman, bibi dan lainnya. b. Teman Bermain. Biasanya seorang anak yang tengah bepergian atau

merantau, maka anak tersebut akan memperoleh agen sosialisasi di luar keluarga yaitu teman bermain baik yang terdiri dari kerabat maupun tetangga atau teman sekolah.

c. Dalam sekolah, seorang anak akan mempelajari hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya dalam keluarga ataupun dalam kelompok bermain. d. Media Massa. Media massa sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh

terhadap perilaku khayalaknya. Perkembangan teknologi yang semakin maju telah meningkatkan kualitas pemberi pesan serta peningkatan frekuensi pengenaan masyarakat sehingga memberi peluang yang semakin tinggi bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi.

Menurut Van Doorm Lammers dalam Sajogyo (1982), proses sosialisasi dilakukan melalui pengendalian sosial yang meliputi empat proses yaitu :

1. Proses ajar didik atau pewarisan. Menurut Witting yang dalam Muhibbin dikutip oleh Aminah (2007), mengungkapkan bahwa proses belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau