• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PERUBAHAN EKOLOGI LANSKAP TAMAN NASIONAL TESSO NILO

2. Para Penggarap

Para penggarap ini adalah mereka yang mengerjakan perkebunan sawit namun bukan pemilik, jadi hanya sebagai pekerja (biasanya ini dilakukan oleh individu atau kelompok) Lahan yang mereka kerjakan biasanya dimiliki oleh orang luar yang tidak bermukim didalam kawasan. Biasanya para pemodal dari kota

Para pekerja ini yang kemudian membentuk pemukiman baru didalam kawasan hutan yang menjadi cikal bakal dusun baru dari desa induk yang berada diluar kawasan dan merupakan masyarakat asli atau lokal 3. Para Pemilik dan Penggarap

Kelompok ini bisa terdiri dari individu atau kelompok. Dari individu biasanya mendapat hak tanah berupa hibah dari komunitas adat atau desa, sementara untuk kelompok biasanya bernaung dalam lembaga yang berbentuk koperasi yang melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan melalui skema Kredit Koperasi Primer Individu biasanya memperoleh lahan dari desa namun kemudian secara swadaya memperluas lahannya sendiri, dan menggarapnya sendiri dengan modal swadaya, sementara untuk kelompok ada yang swadaya dari anggota namun juga ada dari kerjasama dengan pihak lain. Penguasaan lahan dikeluarkan oleh desa,bahkan ada yang melaui program sertifikasi tanah (kasus koperasi MK, koperasi Dengan semakin luasnya pemukiman didalam taman nasional maka perluasan kebun juga semakin cepat.

TB dan koperasi TLI). Program sertifikasi tanah skema KKPA digunakan untuk melegitimasi penggunaan lahan didalam kawasan taman nasional 4. Para Pemodal

Para pemodal ini merupakan pihak luar yang memberikan modal kepada para perambah, baik berupa modal untuk perkebunan maupun untuk pemukiman. Para pemodal ini bisa dari perusahaan atau individu yang berkepentingan dengan politik seperti pemilihan kepala daerah. Besarnya jumlah produksi sawit mendorong pembangunan pabrik-pabrik baru disekitar kawasan, dampak pembangunan pabrik pabrik ini juga merubah kondisi sosia ekonomi masyarakat tempatan.

Akses merupakan kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability toderive benefit from things). Defenisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang property yang didefenisikan sebagai hak untuk memperoleh sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam pengertian ini mengandung makna sekumpulan kekuasaan (bundle of powers) sedangkan property dipandang sebagai kumpulan hak (bundle of right) (Ribot dan Peluso 2003). Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003) mengatakan bahwa akes dalam kekuasaan diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi politik yang terhimpun sedemikian rupa sehingga membentuk bundle kekuasaan (bundle of powers) dan jaringan kepentingan (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke akses sumber daya.

Pemanfaatan hutan alam sebagai HPH oleh negara bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, namun yang terjadi adalah masyarakat kehilangan hak hak atas hutan untuk mengakses, memungut hasil, mengelola, melarang dan mentransfer hutan. Penguasaan lahan yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat melalui sistem ladang berpindah menjadi tidak bisa lagi dilakukan karena hutan telah menjadi milik privat dalam hal ini adalah pemegang HPH. Untuk dapat memanfaatkan hasil hutan masyarakat dikategorikan sebagai perambah

karena mengambil hasil hutan yang bukan lagi menjadi haknya. Hak masyarakat atas hutan hilang seiring dengan penetapan kawasan tersebut baik sebagai HPH maupun kemudian sebagai taman nasional.

Dalam kasus okupasi yang dilakukan oleh pendatang kedalam taman nasional, ditenggarai merupakan jaringan bundle of power yang dimanfaatkan oleh web of power untuk kepentingan sepihak. Para perambah memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemuka adat untuk mendapatkan legitimasi atas tanah yang digarap sementara para pemuka adat mengambil keuntungan secara sepihak atas jual beli lahan kawasan ini dengan menggunakan kekuasaan yang ada pada mereka. Hal ini menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat adat kepada pimpinan adat.

Persepsi Masyarakat Lokal Tentang Hutan dan Perubahan Lanskap TNTN

Menurut masyarakat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir aktivitas yang paling menonjol dilakukan oleh masyarakat adalah berkebun kelapa sawit. Pembukaan lahan didalam kawasan tidak lagi dilakukan oleh masyarakat. Pada awalnya masyarakat membuka hutan setelah mendapat persetujuan dari pimpinan adat yang kemudian lahan tersebut diolah oleh masyarakat tempatan. Sejak adanya penetapan kawasan sebagai TNTN masyarakat tidak lagi bisa membuka kebun baru. Masyarakat memiliki kebiasaan adat turun temurun dimana bila ada keluarga baru yang terbentuk dalam komunitas maka para pimpinan adat akan memberikan lahan untuk mereka berusaha tani. Lahan ini dibuka didalam hutan ulayat milik suku.

Masyarakat melihat bahwa yang aktivitas yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit, seluruh masyarakat berpendapat sama bahwa kelapa sawit telah menjadi trend yang sangat tinggi di desa, dan akitivitas ini mulai marak semenjak adanya akses jalan masuk ke dalam hutan. Mekanisme pembukaan hutan pada awalnya enam puluh persen mengatakan dilakukan secara secara berkelompok, tiga puluh persen secara individu dan sepuluh persen dengan cara lainnya. Yang menjadi latar belakang pembukaan hutan 25 persen mengatakan untuk pertanian, 55 persen mengatakan untuk perkebunan, 15 persen untuk pemukiman dan 5 persen untuk pemanfaatan kayunya. Namun untuk saat ini masyarakat mengatakan bahwa mereka sudah tidak lagi mengambil kayu dari hutan serta pembukaan hutan untuk perkebunan dilakukan oleh para pendatang dari luar desa.

Tabel 4. Persepsi masyarakat desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam tentang hutan

Parameter Persepsi Persentase

(%)

Aktivitas yang paling menonjol dalam 5 tahun ini

Mekanisme Pembukaan Hutan

Sejak kapan mulai maraknya perkebunan kelapa sawit dalam hutan

Latar belakang membuka hutan

Apakah saat ini masih ada pembukaan hutan oleh masyarakat

Jika dibolehkan untuk apa masyarakat ingin membuka hutan

Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelompok Sendiri Lainnya

Sejak turun temurun Sejak adanya akses jalan Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional

Untuk Pertanian Untuk Perkebunan Untuk Pemukiman

Untuk memanfaatkan kayu Ada

Tidak ada

Ada, oleh para pendatang dari luar

Untuk Pertanian Untuk Perkebunan Untuk Pemukiman

Untuk memanfaatkan kayu

100 60 30 10 0 100 0 25 55 15 5 0 0 100 20 70 10 0

Sumber daya alam yang masih tersedia di dalam TNTN menurut masyarakat adalah madu. Madu dapat dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk menambah pendapatan keluarga. Madu diperoleh dari lebah yang mendiami pohon sialang yang berada didalam kawasan taman nasional. Anggraheni (2012) menyatakan bahwa petani madu menginformasikan bahwa sejak tahun 2008 jumlah pemanenan mulai menurun, sangat berbeda dengan pemanenan yang diperoleh dari tahun tahun sebelumnya. Beberapa pohon sialang yang biasanya secara teratur bisa dipanen madunya, tidak ada lebah yang bersarang hingga sepanjang tahun 2011. Hal tersebut diakibatkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan yang juga menimbulkan kabut asap. Lebih lanjut menurut Notohadinegoro (2006) dikutip Anggraheni (2012) kebakaran mengakibatkan kerusakan habitat karena dapat mempengaruhi kemampuan fotosintesis tumbuhan dan kehidupan satwa. Pada saat daur hidup kehidupan tumbuhan sebagai sumber pakan madu terganggu, maka akan berefek buruk pada kelangsungan hidup lebah madu.

Persepsi masyarakat lokal mengenai perubahan hutan ditinjau dari manfaat dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Hutan merupakan penyedia berbagai sumber daya yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. Secara tradisional manusia mengembangkan pemanfatan hasil hutan secara lestasi dan bijaksana, terbukti dengan pengetahuan mereka yang bersumber pada nilai-nilai budaya, mampu bersifat lentur dalam menghadapi berbagai tantangan dan dapat bertahan dari generasi kegenerasi (Adimihardja 2008).

Masyarakat mengetahui bahwa Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan konservasi yang harus dijaga, namun masyarakat melihat bahwa aktivitas yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat berpendapat bahwa kelapa sawit telah menjadi trend yang sangat tinggi di desa, dan aktivitas ini mulai marak semenjak hadirnya perkebunan kelapa sawit skala besar yang ada disekitar desa. Pembukaan lahan didalam Taman Nasional juga dipicu oleh akses jalan masuk ke dalam hutan. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menurut persepsi masyarakat dilakukan oleh para pendatang yang kemudian membuka pemukiman baru didalam kawasan.

Gambar 18. Persepsi masyarakat desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam mengenai penyebab kerusakan hutan Persepsi masyarakat mengenai menyebabkan hutan tidak bisa dimanfaatkan lagi dalam kurun waktu 5 tahun mendatang adalah masyarakat menyatakan status hutan yang tidak jelas, masyarakat mengetahui hutan sebagai kawasan konservasi sehingga aktivitas kedalam hutan adalah kegiatan terlarang, namun masyarakat melihat banyaknya pendatang kedalam kawasan yang membuka hutan untuk perkebunan dan tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat dan pemerintah. Mansyarakat juga merasa adanya pembatasan manfaat terhadap hutan dan lahan. Ini disebabkan oleh banyaknya kawasan konsesi dan perkebunan besar yang berada dalam kawasan desa dan penetapan sebagai taman nasional. Hal ini menurut persepsi masyarakat menyebakan ketersediaan lahan untuk dibuka berkurang, hasil hutan yang bisa dikonsumsi oleh rumah tangga juga berkurang, pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat dari hutan juga berkurang (madu, damar, rotan, dll), sehingga jika dibandingkan dengan lima tahun yang lalu kehidupan keluarga petani menjadi lebih susah.

Berikut ini merupakan persepsi masyarakat mengenai perubahan yang dialami oleh masyarakat akibat berubahnya lanskap ekologi taman nasional.

10 75 5 10 Penebangan Liar Pembukaan untuk perkebunan sawit Pembukaan pemukiman dalam kawasan

Tabel 5. Persepsi masyarakat tentang perubahan hutan

Parameter Persepsi

Persentase Responden

(%) Bagaimana Perubahan tutupan

hutan dalam lima tahun terakhir?

Hutan menjadi kebun sawit 75

Hutan menjadi pemukiman 8

Hutan menjadi tanaman industri 15

Hutan menjadi jalan 2

Permasalahan apa yang menonjol dalam lima tahun terakhir?

Tidak ada 0

Kebakaran Hutan 20

Konflik dengan satwa 25

Banyaknya pendatang 35

Kesulitan air bersih 20

Apakah mengetahui bahwa Taman Nasional Tesso Nilo Merupakan Kawasan Konservasi?

Ya 100

Tidak 0

Bagaimana kondisi hutan saat ini?

Bagus 0

Lumayan 10

Jelek/Rusak 90

Tidak tahu 0

Apa penyebab kerusakan hutan? Penebangan liar 20

Pembukaan untuk perkebunan

kelapa sawit 70

Pembukaan pemukiman didalam

hutan 10

Siapakah yang melakukan pembukaan kebun sawit dalam hutan?

Masyarakat lokal 5

Pendatang dari luar 95

Dalam lima tahun terakhir bagaimana ketersediaan lahan hutan untuk dibuka?

Meningkat 0

Berkurang 90

Tidak Tahu 10

Permasalahan yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah banyaknya pendatang kedalam kawasan taman nasional serta kebakaran hutan. Masyarakat mengetahui bahwa TNTN merupaka kawasan konservasi, namun masyarakat tidak mengetahui dengan pasti batas yang jelas antara TNTN dan kawasan desa. Masyarakat desa juga memahami bahwa banyaknya para pendatang yang memasuki kawasan TNTN telah menyebabkan kondisi hutan rusak parah, kerusakan hutan ini juga merugikan masyarakat. Diantaranya habitat harimau dan gajah sumatra yang telah rusak menyebabkan satwa yang dilindungi tersebut mendatangi pemukiman warga dan merusak perkebunan milik warga. Menurut Paramita ( 2010) yang melakukan penelitian mengenai konflik manusia dengan gajah di Desa Lubuk Kembang bahwa potensi kerugian ekonomi yang diderita oleh

warga Desa Lubuk Kembang Bunga adalah Rp 812.282.197,64 dalam rentang tahun 2007 sampai 2008.

Masyarakat mengetahui bahwa hutan yang berada di kawasan desa mereka merupakan kawasan konservasi. Namun mereka juga menyadari bahwa kondisi hutan yang ada saat ini berada salam kondisi rusak parah. Penyebab utama keruskan hutan ini adalah 80 persen masyarakat menyatakan akibat adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Kemudian 10 persen akibat penebangan liar, 5 persen akibat adanya pembukaan pemukiman baru didalam kawasan taman nasional serta 5 persen akibat kurangnya sosialisasi dari pihak pengelola mengenai batas kawasan. Beberapa hal yang menyebabkan hutan tidak bisa dimanfaatkan lagi dalam kurun waktu 5 tahun mendatang adalah status hutan yang tidak jelas (25 persen), batas hutan yang tidak jelas (25 persen), status lahan yang tidak jelas (25 persen), dan adanya pembatasan manfaat oleh pemerintah (25 persen). Hal ini menyebakan ketersediaan lahan untuk dibuka berkurang, hasil hutan yang bisa dikonsumsi oleh rumah tangga juga berkurang, pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat dari hutan juha berkurang (madu, damar, rotan, dll), sehingga jika dibandingkan dengan lima tahun yang lalu kehidupan keluarga petani menjadi lebih susah.

Gambar 19. Persepsi Masyarakat desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Mengenai Masalah yang paling menonjol dalam 5 tahun terakhir

Pada Gambar 19 menggambarkan permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Masalah yang paling besar adalah masyarakat merasakan tingginya kerugian akibat adanya konflik dengan satwa. Akibat rusaknya habitat satwa tersebut maka mereka kemudian mencari wilayah baru untuk mencari makan, sehingga mereka terbawa kearah pemukiman masyarakat. Satwa satwa ini kemudian merusak area pertanian warga dan juga memasuki pemukiman warga. Konflik ini bahkan memicu adanya korban jiwa. Maslah lain yang juga meresahkan masyarakat adalah kebakaran hutan yang terjadi akibat pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Bencana asap seperti telah menajdi langganan setiap tahun bagi masyarakat. Tingginya angka para pendatang

25

40 10

25

Masalah Yang paling menonjol dalam 5 tahun terakhir Kebakaran hutan

Konflik dengan satwa

Kesulitan air bersih Banyaknya pendatang

juga merupakan masalah tersendiri bagi masyarakat. Semakin banyak para pendatang yang bermukim didalam kawasan hutan, bahkan menurut data dari desa jumlah warga yang tinggal didalam pemukiman berjumlah hampir dua kali lipat dari warga yang bermukim di dusun induk. Sehingga bila dalam pemilihan berdasarkan suara seperti pemilihan kepala desa maka masyarakat lokal bisa kalah suara sehingga yang menjadi pimpinan bukan lagi penduduk asli namun pendatang. Kesulitan lain yang mulai dirasakan adalah air bersih. Semenjak hampir seluruh wilayah menjadi perkebunan kelapa sawit, masyarakat mulai merasakan kesulitan air bersih. Hal ini merupakan dampak dari hadirnya perkebunan kelapa sawit diwilayah tersebut.

Ihtisar

Potensi yang dimiliki daearah Riau dalam pembangunan perkebunan menjadi pendorong utama pesatnya perkebunan kelapa sawit. Faktor pendorong tersebut adalah kondisi fisik dan lingkungan yang sesuai dengan sehingga dapat menekan biaya produksi, pemasaran yang menguntungkan karena letaknya yang strategis dan berdasarkan hasil yang telah dicapai perkebunan kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis tanaman pangan sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk merubah sistem pertanian yang selama ini mereka jalankan menjadi perkebunan kelapa sawit yang pada akhirnya mendorong tingginya angka konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkembangan industri kelapa sawit di Propinsi Riau yang sangat pesat menarik minat masyarakat untuk menanam kelapa sawit. Hal ini juga terjadi di desa-desa sekitar Taman Nasional. Ekspansi kelapa sawit yang sangat besar telah membuat banyak petani mengkonversi hampir seluruh lahan yang mereka miliki menjadi sawit.

Taman Nasional Tesso Nilo yang pada mulanya merupakan lanskap hutan tropis dataran rendah yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Kawasan ini lebih dikenal sebagai Hutan Langgam oleh mansyarakat setempat, memiliki luas 1,6 juta Ha pada tahun 1980-an. Perubahan ekologi lanskap hutan tersebut bermula dengan ditetapkannya kawasan sebagai Hutan Produksi Terbatas ( HPT) yang pengelolaannya diberikan kepada swasta melalui Hak Penguasaan Hutan (HPH). Setelah ijin HPH berakhir peruntukan kawasan sebagian dirubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri bubur kertas dan produk kayu olahan lainnya. Salah satu faktor yang mempercepat perubahan ekologi lanskap ini adalah dibukanya koridor ditengah hutan yang merupakan jalan bagi Hutan Tanaman Industri.

Tingginya angka perubahan tutupan hutan akibat ekspansi kelapa sawit kedalam kawasan telah menyebabkan TNTN mengalami degradasi yang sangat tinggi sebagai konsekuensi alih fungsi lahan. Konservi lahan disuatu wilayah biasanya terjadi searah dan tidak dapat kembali. Seperti lahan hutan yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian, lahan perkebunan atau pemukiman. Apabila konversi ini terjadi secara besar-besaran seperti yang terjadi di TNTN akan berakibat buruk bagi lingkungan, inefisiensi ekonomi serta masalah pemerataan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Perubahan lanskap menurut persepsi maryarakat menggambarkan permasalahan yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah banyaknya pendatang kedalam kawasan taman nasional serta kebakaran hutan. Masyarakat mengetahui bahwa TNTN merupakan kawasan konservasi, namun masyarakat tidak mengetahui dengan pasti batas yang jelas antara TNTN dan kawasan desa. Masyarakat desa juga memahami bahwa banyaknya para pendatang yang memasuki kawasan TNTN telah menyebabkan kondisi hutan rusak parah, kerusakan hutan ini juga merugikan masyarakat. Diantaranya habitat harimau dan gajah sumatra yang telah rusak menyebabkan satwa yang dilindungi tersebut mendatangi pemukiman warga dan merusak perkebunan milik warga.

Hutan ALam