• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia

3. Paradigma Simbiotik

Paradigma Simbiotik ini tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun paradigma ini , tidak sependapat juga bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut paradigma ini, Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kedatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketata negaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.37

Salah seorang pemikir yang mendukung paradigma ini adalah Muhammad Musain Haikal. Pemikir Mesir ini—sebagaimana di kutip oleh Munawir Sjadzali—berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an dan sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan dasar tentang tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti dalam wahyu tidak menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara, dan tidak secara langsung menyinggung sistem pemerintahan.

Kepindahan Muhammad dari Makah ke Madinah sebagi awal kehidupan bernegara, nyatanya juga tidak serta merta merubah sedikitpun sistem pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hijaz, dan juga tidak meletakkan dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Apa yang beliau lakukan adalah

37

mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam untuk mengajarkan agama dan mengatur pola hidup dengan prinsip-prinsip dasar seperti, keimanan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.38

Agama dan negara, dalam paradigma ini, berhubungan secara simbolik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga butuh agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.39

Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi paradigma ini, yang terpenting adalah bahwa negara—karena posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama—menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan teologis atau relegius untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan rakyat, negara bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu

38Ibid.,

h.185

39

mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.40

Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara, tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.41 Pertama,

meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang lebih tinggi, dimana 75% konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral. B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia.

Sejarah pemunculan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara disadari telah terjadi berbagai perdebatan panjang tentang negara. Polemik tersebut pada dasarnya bermuara dari bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara diletakan dalam konteks ke-Indonesia-an yang akan dan telah terbentuk. Hal semacam ini terus mewarnai dinamika historis perpolitikan Indonesia.

Di Indonesia hubungan Islam dan negara sering memancing konflik, bahkan kearah antagonistik. Salah satu butir penting dalam pergolakan tersebut adalah

40

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara…, h.14

41

apakah negara Indonesia bercorak Islam atau nasional42 Jika konstruk kenegaraan pertama yang dipilih, maka dengan keholistikannya Islam harus diterima sebagai ideologi negara. Namun bila jatuh pada preferensi kedua, maka sebuah ideologi yang sudah didekonfensionalisasi yakni “Pancasila” harus didukung.43

Asal-usul polemik tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke tahun-tahun pertama kemunculan pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Karena tidak kunjung ditemukan, maka diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang dua dasawarsa pertama periode Orde Baru. Bahkan polemik tersebut kembali mencuat pada masa-masa reformasi lewat proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme. Seokarno sebagai juru bicara kelompok nasionalis

42

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.60

43

Dekonfensionalisasi merupakan salah satu pendekatan dalam memahami politik Islam di Indonesia. Teori ini dikembangkan oleh Van Nieuwenhuijze yang mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembarunan bangsa. Teori ini dipinjam dari kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik di negeri Belanda. Lebih jelas lihat di Bahtiar Effendy,

Islam dan Negara…, h.24. Dua paradigma ini pada gilirannya melahirkan dua golongan yang tidak henti-hentinya bersitegang, yaitu kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

memandang pentingnya sebuah nasionalisme bagi landasan Indonesia merdeka. Pandangan ini ditentang oleh Agus salim dan Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai representasi kelompok Islam. Baik Salim maupun Hasan menganggap nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sempit dan Chauvanistik

padahal seharusnya nasionalisme Indonesia haruslah berdasar pada Islam. Perdebatan religius-ideologis tersebut semakin panas ketika seorang murid Ahmad Hasan yakni Mohamad Natsir—yang berlatar belakang pendidikan Barat—ikut serta dalam perdebatan tersebut.

Polemik Soekarno dan Natsir sebenarnya masih bersifat eksploratif. Ini terlihat bahwa sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap-pakai mengenai hubungan agama dan negara. Namun keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan titik temu diantara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Akibatnya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok politik yang berseberangan.44 Perdebatan tersebut mereda seiring datangnya penjajahan Jepang.

Perdebatan kembali muncul dalam sebuah badan baru bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam berbagai pertemuan di badan tersebut, perseteruan antara kedua kubu kembali berlangsung. Kelompok Islam, yang saat itu dipelopori oleh Ki Bagus

44

Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno dan Wahid Hasyim berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka negara harus di dasarkan kepada Islam. Di pihak lain berdiri kelompok nasionalis, yang dipelopori oleh Soekarno, Hatta dan Soepomo yang membela pandangan bahwa untuk mempertahankan kesatuan bangsa, maka watak negara harus di-dekonfessionalisasi.45

Ketegangan terus berlanjut, sehingga untuk mencairkan suasana maka dibentuklah sebuah tim kecil yang berfungsi untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara kelompok Islam dan nasionalis. Panitia kecil tersebut terdiri dari; Soekarno, Hatta, Soebarjo, M Yamin, Abikusno, Kahar Muzzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim dan A.A Maramis. Panitia kecil ini, lewat perdebatan yang cukup alot, akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan pancasila sebagai dasar negara dan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi

“Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Menurut Bahtiar, bagaimanapun kompromi tersebut pada dasarnya dibangun di atas landasan yang tidak kokoh dan menandai kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan hubungan

45

Perdebatan dalam badan tersebut masuk kedalam pembahasan-pembahasan yang lebih detail baik berkaiatan ideologi dan konstitusi negara. Apakah presiden harus seorang muslim atau tidak, apakah negara harus memiliki apparatus dan badan yang relefan untuk menerapkan hukum Islam, dan termasuk mengenai pembahasan akan kemungkinan hari Jum’at dijadikan sebagai hari libur. Ibid., h. 85

antara Islam dan negara secara legalistik formalistik.46 Ini terbukti, satu hari setelah kemerdekaan Piagam Jakarta kembali dipersoalankan. Sebuah kondisi yang memaksa para elit kelompok Islam untuk mengalah dengan menghapus ketentuan menjalankan syariat bagi umat Islam demi mempertahankan dan menjaga kemerdekaan yang baru saja diperoleh.

Kekalahan tersebut, seperti tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa diterima untuk sementara, hingga Majelis Konstituante hasil pemilihan umum terbentuk mulai bekerja menyusun undang-undang baru. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu tahun 1955, telah menempatkan kekuatan politik Islam (Mayumi, NU, PSII dan Perti) berada di atas angin dengan mengantongi 43,5% suara atau 114 dari 254 kursi di parlemen. Meski ini bukan suara mayoritas untuk menggolkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun suara tersebut cukup signifikan dalam upaya tawar menawar politik nantinya.

Dalam sidang majelis konstituante, perdebatan-perdebatan religius-ideologis kembali menyeruak dan berlangsung dengan sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, majelis akhirnya dapat menyelesiakan beberapa tugasnya. Selama dua setengah tahun keberadaannya, majelis berhasil menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan tentang

46Ibid.,

masalah-masalah lain di atas. Bahkan perdebatan tentang hal tersebut amat besar andilnya dalam membawa majelis konstituante ke jalan buntu. Kondisi yang kemudian dimanfaatkan sangat baik oleh Soekarno untuk mengeluarkan dekrit yang membekukan mejalis dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit Soekarno tersebut menandai kekalahan kedua kelompok Islam dan membawa ke arah peminggiran kekuatan Islam politik di pentas nasional secara simultan.

Harapan kelompok Islam sempat merekah ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh orde baru di bawah kepemimpinan jendral Soeharto. Namun harapan tersebut segera pupus, ketika orde baru dengan sedemikian rupa ternyata menolak malakukan rehabilitasi terhadap Mayumi dan tokoh-tokohnya. Lewat ideologi pembangunan, orde baru juga Memperlakukan kekuatan Islam seperti kucing kurap, dicurigai dan di pinggirkan dari pentas politik.47 Bagi orde baru, agama (Islam) dikawatirkan dapat menjadi ancaman dan sumber konflik yang dapat menggangu stabilitas kehidupan politik, sebagaimana yang diperlihatkan pada masa orde lama.48

Dengan program trilogi pembangunan, beberapa kebijakan yang meminggirkan kekuatan Islam dijalankan. Di antaranya adalah, fusi beberapa partai Islam (NU, Perti, PSII dan Parmusi) kedalam satu partai politik yaitu PPP pada tahun 1973 yang kemudian diperkuat dengan UU No.3 tahun 1975. Usaha

47

Pembahasan tentang proses peminggiran Islam politik dari pentas politik nasional dapat dibaca lebih jauh dalam karya M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999).

48

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam Periode 1967-1987,

ini dipandang sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Islam, karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah telah mencatat, bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik.49 Usaha ini juga dipandang sebagai penggiringan umat Islam menjauh dari pentas politik dan mencoba mendesain agama untuk ditempatkan pada peranan pengontrol moral etis, yang menjadi bagian dari peran aktif umat beragama dalam pembangunan.50

Secara umum hubungan agama dan negara pada masa orde baru oleh M.Syafi’i Anwar digambarkan dalam tiga periode, yaitu hegemonik, resipokal dan akomodatif.51

Pertama, pola hubungan hegemonik (sejak awal kelahirannya hingga 1970-an). Periode ini ditandai oleh kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat, sehingga lahir kebijakan-kebijakan sebagaimana disinggung di atas (fusi partai Islam maupun pemberlakuan asas tunggal pancasila).

Kedua, periode resipokal (tahun 1980-an), yakni suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian, timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Negara dalam periode ini mulai menyadari bahwa Islam merupakana denominasi politik yang tak dapat dikesampingkan, juga disadari

49

Din Syamsyuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2001), h.42, Cet ke 1

50

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi…h. 93

51

M Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentnag Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. ix-x, Cet ke 1.

bahwa upaya memarginalisasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan merupakan tindakan kontra produktif.

Ketiga, periode akomodatif (akhir dekade 1890-an). Periode ini ditandai dengan semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam, yang antara lain ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodir aspirasi umat Islam. Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), diubahnya kebijakan tentang jilbab serta penghapusan SDSB, merupakan bukti kongkrit dari hubungan akomodatif agama dan negara pada akhir masa kekuasaan Soeharto.

BAB III

ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL