PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)
Disusun Oleh:
JUNAEDIH
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
OLEH:
JUNAEDIH NIM:102045225164
Di Bawah Bimbingan
Dr. Rumadi, M.Ag. Muharrom, M.Ag
NIP :150 283 352 NIP : 150 250 003
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)” Telah diujikan
dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 November 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam pada Jurusan Mu’amalat
Jakarta, 27 November 2008 Mengesahkan
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 394
Sekretaris : Dra Sri Hidayati, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 403
Pembimbing I : Dr. Rumadi, M.Ag (………...)
NIP. 150 283 352
Pembimbing II : Muharrom, M.Ag (………..…)
NIP.150 250 003
Penguji I : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 394
Penguji II : Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, MA (………...)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan sholawat dan
salam kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah kebenaran dan suri tauladan
bagi manusia.
Penulisan skripsi ini tidaklah dapat diselesaikan oleh penulis sendiri, tanpa
adanya perhatian, bantuan dan pengorbanan baik doa maupun wujud kongkrit yang
penulis terima dari orang-orang yang selalu ada di dalam hati dan fikiran penulis.
Didasari hal tersebut, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H.Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati,M.Ag. Sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan
Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada
penulis.
3. Dr. Rumadi, M.Ag dan Muharrom, M.Ag selaku Dosen Pembimbing skripsi
penulis, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran
sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak
4. Teristimewa buat Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga tercinta. Terima
kasih atas segala doa dan kesabarannya atas jerih payah dan pengorbanan yang
tak terhingga serta senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anaknda
dapat menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang
dapat dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.
5. Kepada teman-teman seperjuangan di jurusan Sillaza Syar’iyyah angkatan 2002
terimaksih atas ide, dukungan, kehangatan dan kebersamaannya selama penulis
belajar di UIN Jakarta
6. Terakhir kepada semua teman-teman yang telah memberikan batuan moril
maupun materiil kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga teman-teman mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4
D. Tinjauan Pustaka... 5
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan... 11
BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA... 14
A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia... 14
1. Paradigma Integralistik... 15
2. Paradigma Simbiotik... 17
3. Paradigma Sekularistik... 20
BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL 30
A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid ... 30
B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid ... 34
1. Tradisi Pesantren ... 34
2. Perkenalan Abdurrahman Wahid dengan dunia modern ... 39
3. Karya-karya dan pembagian pemikiran Abdurrahman Wahid ... 45
C. Abdurrahman Wahid dan Perkembangan NU ... 50
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA ... 59
A. Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid ... 59
B. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan ... 65
C. Pribumisasi Islam Sebagi Model ... 75
D. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara... 83
BAB V PENUTUP ... 98
A. Kesimpulan ... 98
B. Saran-saran ... 100
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1.1 Jumlah tulisan Abdurrahman Wahid sejak awal tahun
1970-an hingga akhir tahun 1990-an dengan berbagai
Bentuknya 45
2. Tabel 1.2 Tema Pokok Pemikiran Abdurrahman Wahid 45
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi setiap muslim syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah
hukum Allah dan dengan demikian secara esensial tidak dapat diubah. Disamping
itu, ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum. Karena itu
dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum mana pun, bahkan
ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Tetapi bila kita menengok
ke dunia Islam—baik yang di pusat maupun pinggiran—kita mendapati
perubahan-perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam
sistem peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan.1
Dalam konteks Indonesia, hukum Islam telah mengalami proses irelevansi
secara berangsur-angsur tapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi,
dirubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya
hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum
ketatanegaraan dan internasionalnya hampir-hampir tidak diketahui orang lagi.
Tinggal soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam
kehidupan, itu pun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang dan
1
bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih
taat.2
Dalam praktek walau tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh,
hukum Islam masih memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan para
pemeluknya. Islam setidaknya turut menciptakan tata nilai yang mengatur
kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik
dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan dan larangan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum Islam di Indonesia bersifat
statis dan terkesan apologetis. Ia masih berbentuk “pos pertahanan” untuk
mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang
bersifat sekular. Justru watak statis inilah yang menjadikan hukum Islam hanya
berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita dewasa ini.3
Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran claim hukum
Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin, dan
dengan demikian merupakan salah satu faktor yang secara sadar harus dibina
untuk menjadi salah satu unsur pembinaan hukum nasional?
Persoalann ya akan semakin rumit dan berkelidan ketika dikaitkan dengan
realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan plural. Sehingga penerapan hukum
2
Abdulahi An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia
dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta, Lkis, 2004) Cet, 4. Tentang perubahan hukum
Islam di Negara-negara Muslim dapat dilihat di JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern,
(Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994)
3
Islam di Indonesia tidak sedikit juga mengundang kontroversi karena dituding
mengancam stabilitas dan integrasi nasional.
Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam dalam
konteks ke Indonesiaan, tentunya menarik untuk dijadikan kajian utama. Hal ini
tidak saja karena sosok bernama Abdurrahman Wahid menduduki kelas elit dalam
khasanah intelektual di Indonesia. Tetapi juga karena orientasi pemikirannya yang
cenderung dianggap sekular, tetapi pada saat yang bersamaan ia dianggap
sebagai tokoh sepiritual dan figur mistik. Bahkan hebatnya dia adalah seorang
kyai yang pernah memimpin ormas keagamaan terbesar di tanah air yakni
Nahdlatul Ulama (NU) selama 15 tahun lamannya.. Posisi demikian menjadikan
Abdurrahman Wahid dikatakan orang yang hidup dalam dua dunia sekaligus,
dunia langit yang penuh dengan nuansa keagamaan dan dunia bumi yang penuh
dengan realitas-realitas.
Dalam kerangka itulah, penulis tertarik mengkaji pemikiran Abdurrahman
Wahid lebih jauh dalam sebuah karya tulis skripsi. Tema tersebut penulis kemas
dengan sebuah judul “PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(STUDI ATAS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model penerapan
hukum Islam di Indonesia dalam pandangan Abdurrahman Wahid.
Gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid akan memungkinkan untuk dipahami secara
keagamaanmya. Oleh karena itu pemahaman tentang diskursus keagamaan
Abdurrahman Wahid sangat signifikan. Begitu pentingnya aspek ini, hingga
mustahil dapat memahami dan mengkaji secara objektif tentang model penerapan
hukum Islam Abdurrahman Wahid tanpa memahami pemahaman keagamaannya.
Dengan demikian fokus kajian ini adalah realita-realita secara mendalam dan
kritis tetang pemikiran Abdurrahman Wahid dalam kaitannya dengan penerapan
hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka penelitian skripsi ini dapat di
rumuskan dalam poin-poin berikut ini:
a) Bagaimana konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri,
dilacak dan dibangun?
b) Bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam di
Indonesia?
c) Bagaimana signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan
berbangsa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ditulisnya skripsi ini tidak lain diharapkan untuk dapat mencapai
tujuan-tujuan dibawah ini:
a) Menjelaskan konstruksi pemikiran kegamaan Abdurrahman Wahid ditelusuri,
dilacak dan dibangun?
b) Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang penerapan hukum Islam
c) Mengetahui signifikansi pemikiran tersebut dengan konteks kehidupan
berbangsa?
Melalui penelitian ini juga diharapkan akan membawa beberapa manfaat,
diantaranya:
a) Dapat menginventarisir berbagai hal menyangkut pemikiran Abdurrahman
Wahid pada umumnya dan khususnya tentang model penerapan hukum Islam
yang menjadi bagian penting dalam keseluruhan pemikiran dan aktifitas
politiknya.
b) Bermanfaat dalam upaya melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran,
aktifitas publik dan orientasi spiritual Abdurrahman Wahid dengan menelusuri
aspek yang berkaitan dengan pemunculannya dalam konstelasi intelektual di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka.
Abdurrahman Wahid sebagai intelektual Muslim yang banyak melahirkan
pemikiran-pemikiran di berbagai bidang keilmuan, cukup banyak mendapat
perhatian berbagai kalangan, apalagi ide-idenya seringkali kontroversial dan
berseberangan dengan khalayak pemikir lainnya dan berujung pada polemik.
Abdurrahman Wahid adalah sosok yang tergolong cukup produktif dalam
menulis. Menurut catatan INCReS (Institute for Cultur and Relegion Studies)—
sebuah komunitas anak muda NU Bandung—yang melakukan studi bibliografis
atas tulisan-tulisan wahid sejak awal tahun 1970-an hingga akhir 1990-an,
pengantar, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom maupun makalah. Adapun
khusus tulisan yang dibukukan, setidaknya terdapat 12 buku. Di antara buku-buku
yang relevan terhadap pembahasan tema ini antara lain adalah: Muslim Di Tengah
Pergumulan; buku ini merupakan buku kedua Gus Dur setelah Bungai Rampai
Pesantren, banyak bercerita tentang sumbangsih agama dalam pembangunan. 4
Prisma Pemikiran Gus Dur; merupakan buku yang memperkenalkan
pemikiran-pemikiran lama Gus Dur mengenai hubungan agama dan ideologi, negara dan
gerakan keagamaan, hak asasi manusia, budaya dan integrasi nasional dan juga
masalah pesantren.5 Tuhan Tak Perlu Dibela,6 Islam Negara dan Demokrasi;
bertutur tentang bagaimana masa membangun dan menegakkan masa depan
demokrasi di Indonesia.7 Mengurai Hubungan Agama dan Negara; buku ini
banyak membahas bagaimana mencari format hubungan agama dan Negara
modern.8 Pergulatan Negara Agama dan Kebudayan; seperti buku lainnya pada
buku ini gusdur banyak mengoksentrasikan pada aspek kebudayaan, terutama
tarik ulur kebudayaan dalam hubungannya dengan negara dan agama.9 Islamku,
Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi; buku ini
4
Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tengah Pergumulan, (Jakarta, Leppenas, 1981).
5
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
6
Abdurrahman Wahid, Tuhan Takperlu Di Bela, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
7
Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, (Jakarta, Erlangga, 1999).
8
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999).
9
merupakan kumpulan beberapa tulisan Gus Dur yang pernah terbit dibeberapa
majalah maupun jurnal, banyak berisi tentang masalah Islam dan kaitannya
dengan diskursus ideologi, Hak Asasi Manusia, Ekonomi, Sosial Budaya dan juga
beberapa masalah tentang terorisme. 10
Sebagai seorang pemikir kontoversial, Abdurrahaman Wahid memiliki pesona
tersendiri bagi beberapa kalangan intelektual untuk mendiskusikan gagasan
maupun ide-ide liar beliau dalam pembahasan yang komprehensif. Namun
demikian, buku-buku yang mengkaji secara khusus pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang model pemberlakuan hukum Islam boleh dikatakan minim, di
tengah banyaknya buku yang membahas Abdurrahman Wahid. Diantara
buku-buku yang membahas pemikiran baik yang berhubungan langsung atau tidak
dengan Wahid antara lain adalah; buku-buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy dan
Ulil Absar Abdallah,11 Abdurrahim Ghozali,12 Listiyono Santoso,13 Arif Afandi,14
Ma’mun Murad,15 Greg Barton16 maupun buku yang ditulis oleh Greg Fealy.17
10
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, The Wahid Institut, 2006).
11
Ahmad Suedy dan Ulil Absar Abdallah, Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, Lkis, 2001).
12
Abdurrahim Ghozali (ed), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhamadiyah, (Bandung, Mizan, 1999).
13
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2004).
14
Arif Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah; Polemik Startegi Perjuangan Model Gus Dur dan Amien Rais, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996).
15
Buku yang ditulis oleh Ahmad Suedy maupun Abdurrahim Ghozali
merupakan buku yang berisi tentang refleksi pemikiran Wahid yang tersebar
dalam beraneka tema. Sementara yang ditulis oleh beberapa penulis selanjutnya
lebih mengurai pandangan politik Wahid tentang negara. Kajian tentang model
penerapan hukum Islamnya terselip dalam gemerlap pembahasan tema yang lain.
Buku Greg Barton yang merupakan biografi paling otoritatif tentang Wahid
sangat membantu dalam penulisan tema ini, juga buku yang di editori oleh Greg
Fealy dan Barton, membantu dalam melihat potret perkembangan Nahdlatul
Ulama—organisasi di mana Wahid dibesarkan dan akhirnya berkiprah dan
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan darinya.
Dengan mencermati buku-buku tersebut, pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang model penerapan hukum Islam di Indonesia nampaknya belum dikaji dan
ditulis secara khusus dan mendalam, padahal menurut pendapat penulis tema
tersebut merupakan tema sentral dalam pemikiran beliau. Oleh karena itu dalam
skripsi ini penulis akan menekankan pada hal tersebut.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
16
Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta, LKiS, 2003).
17
Penulisan skripsi ini adalah penelitian dengan kajian kepustakaan atau kajian
Library Reseach yaitu dengan mengumpulkan, memilih dan mengkaji secara kritis
bahan-bahan bacaan dan referensi yang representatif dan relefan dengan obyek
studi ini atau literatur lainnya yang berbentuk dokumentasi.18
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Yakni prosedur
penelitian yang mencari fakta lewat interpretasi yang tepat dengan maksud
membatasi deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang
fakta-fakta, sifat-sifat serta relasi antar fenomena yang diselidiki.19
3. Sumber Data
Sumber data dalam penulisan ini meliputi data primer dan sekunder dan
pendukung. Sumber primer disandarkan pada beberapa tulisan-tulisan
Abdurrahman Wahid yang dibukukan dalam beberapa buku seperti Tuhan Tak
Perlu Dibela (LkiS;1999), Islam Negara dan Demokrasi (Erlangga;1999),
Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo;1999), Membangun
Demokrasi, Pribumisasi Islam; Islam Indonesia Menatap Masa Depan
(P3M;1989), Prisma Pemikiran Gus Dur (LkiS;1999), Negara Agama dan
Kebudayaan (Desantara;2001), dan Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama
Masyarakat Negara Demokrasi (The Wahid Institut;2006). Sementara data
sekunder disandarkan pada buku-buku maupun terbitan-terbitan lain yang
18
M Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, Galia Indonesia,1988), h.112 cet ke 2.
19Ibid.,
berkenaan dengan Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh orang lain, adapun
sumber pendukung merupakan data-data lain yang berkaiatan dengan pembahasan
penulisan skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif dilandasi strategi berfikir fenomenologis yang selalu
lentur dan terbuka dengan menggunakan analisis induktif. Penelitian kualitatif
meletakkan data penelitian sebagai model dasar bagi pemahaman. Karena itu
proses pengumpulan datanya merupakan kegiatan yang lebih dinamis.
Data-datanya berdiri sebagai realita yang merupkan elemen dasar yang membentuk
teori.20 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter, yakni
cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan katagorisasi dan klasifikasi
bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari
sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lainnya.21
5. Analisis Data
Analisis data yang dugunakan adalah dengan pendekatan deskriptif analitis.
Bersifat deskriptif karena penelitian ini lebih menekankan kepada pengumpulan
informasi mengenai status suatu gejala yang ada yakni kedaan gejala menurut
apa adanya pada saat penelitian dilakukan.22 Metode analisis yang digunakan
adalah dengan analisis isi (content analysis) yakni penguraian data melalui
20
Imam Suprayogi dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung, Rosda Karya, 2001), h.161.
21Ibid.,
h. 95
22
katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan
analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data
untuk diambil kesimpulan) maupun metode deduktif (berangkat dari ungkapan
umum kemudian disempitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sempit).
Pendekatan pertama bermanfaat untuk menjelaskan pembahasan pada bab-bab
awal baik itu bab dua maupun bab tiga. Sementara pendekatan kedua digunakan
untuk menguraikan bab ke empat.
Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada pedoman yang berlaku di
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN sayarif Hidayatullah Jakarta, yakni buku
Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka penulis membagi
penulisan pada lima bab, yang masing masing bab membahas pokok persoalan
yang berbeda. Adapun rincian masing bab-bab tersebut adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bagian ini membahas tentang latar belakang penulisan skripsi. Disusul
kemudian pembahasan tentang Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan ditutup
BAB II PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA
Pada bab ini akan dibahas tentang tiga paradigma hubungan agama dan
Negara yang selalu mengiringi pembahasan tentang penerapan sebuah hukum
Islam disebuah negara, yakni paradigma integralistik, simbiotik dan
sekularistik. Ketiga paradigma tersebut berperan penting dalam menentukan
seperti apakah Islam dan hukumnya diejawantahkan. Pembahasan tentang
pergumulan agama dan negara di Indonesia tak luput untuk diikutsertakan
dalam pembahasan bab ini.
BAB III ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL
Pada ini akan mencoba mendiskripsikan siapa sebenarnya sosok bernama
Abdurrahman Wahid, juga untuk menelusuri lebih dalam tentang bagaimana
latar belakang pemikiran beliau terbentuk, apa saja yang mempengaruhi
pemikiran beliau serta karya-karya dapa saja yang sudah Wahid tulis. Bab ini
juga akan menjelaskan tentang tipologi pemikiran Abdurrahman Wahid yang
terceraiberai dalam berbagai tulisan, juga untuk memotret perkembangan NU
tempat dimana Wahid dibesarkan dan berkiprah.
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID TENTANG MODEL PENERAPAN
HUKUM ISLAM DALAM KONTEKS KEHIDUPAN BERBANGSA
Pada bab ini akan dibahas tentang posisi idoelogis Wahid, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum Islam sebagai komplementer
pembangunan, pribumisasi Islam sebagai model penerapan hukum Islam
BAB V PENUTUP
Pada bagian ini penulis berupaya menyimpulkan dan menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadirkan pada bab-bab sebelumnya, serta
tidak lupa memberikan beberapa saran atas permasalahan-permasalahan
BAB II
PARADIGMA TENTANG AGAMA DAN NEGARA
A. Pergumulan Relasi Agama dan Negara di Indonesia.
Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu
subjek penting yang meski telah diperdebatkan oleh para pemikir Islam sejak
hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara tuntas.
Diskusi tentang hal ini bahkan belakangan makin hangat, melanda hampir seluruh
dunia Islam. Pengalaman masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia,
khususnya sejak usai perang dunia II menegaskan terdapat hubungan yang
canggung antara Islam (din) dan negara (dawlah) atau bahkan politik pada
umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan antara din
dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim; dan
eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam.23
Keragaman bentuk dan pengalaman politik “negara-negara Islam” dewasa ini
bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan
23
Selama periode pasca kemerdekaan hingga sekarang terdapat tiga pola umum sistem kenegaraan di dunia Islam, yakni Sekular, Islam dan Muslim. Model Sekular diadopsi oleh Turki, sementara model Islam diadopsi oleh Arab Saudi, Iran, maupun Pakistan hal ini paling tidak dinilai dari dijadikannya Islam sebagai agama resmi negara. Sementara negara-negara lainnya seperti Mesir, Syria, Yordania, Malaysia dan juga Indonesia—dengan mayoritas muslimnya—tidak sedikit memasukkan warna Islam dalam kehidupan berbangsa meski masih kita jumpai sistem politik, hukum dan lainnya masih berhutang pada Barat. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta, Paramadina,1999), h.20 Lihat juga
para pemikir politik muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa
modern.24
Menurut Munawir Sjadzali, secara umum pemikiran politik Islam dewasa ini
terbagi dalam tiga kelompok besar yakni paradigma holistik, sekularistik dan
simbiotik-mutualistik. Hal senada juga diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan
Rumadi dengan bahasa yang sedikit berbeda yakni: intergalistik, sekularistik dan
simbiotik.25
1. Paradigma Integralistik.
Paradigma pertama adalah paradigma integralistik yang memahami Islam
sebagai agama holistik. Paradigma ini berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna
dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bernegara.26
24
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik…h.1
25
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Pres, 1993), h.2. Hal senada diungkapkan juga oleh Marzuki Wahid dan Rumadi dalam Fiqih Madzhab Negara; Politik Hukum Islam Masa Orde Baru, (Yogyakarta, LKiS, 2000), h.23. Sementara itu Din Syamsyudin dengan rumusan yang tidak jauh berbeda mengungkapkan tiga paradigma, yakni: paradigma integratif, simbiotis dan Instrumental. Din Syamsyuddin, Islam dan Politik; Masa Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2000). Sementara itu bagi sebagian kalangan, pembagian itu terkesan apologetis dan menunjukan stagnannya kajian politik Islam yang berkaitan dengan hal tersebut. Menurut Bahtiar, kajian politik Islam memang sulit beranjak pada tuntutan atau artikulasi yang baru. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan disiplin ilmu filsafat politik Barat, Pemikiran Politik Islam mengalami situasi stagnan, decasy, disartikuklatif bahkan mati. Bahtiar Effendy, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam? Kata pengantar dalam buku Olivier Roy, Gagalnya Politik Islam, (Jakarta, Serambi, 1996), h.vi Penggunaan istilah dalam tulisan ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi.
26
Paradigma integralistik ini kemudian melahirkan paham negara-agama,
dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip
keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam Din wa Dawlah (Islam agama dan
(sekaligus) negara).27 Paradigma ini beranggapan bahwa Islam harus menjadi
dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa
kedaulatan politik di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara-bangsa
(nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak
mengenal batas-batas politik atau kedaerahan.28
Paradigma sebagaimana di ungkap di atas, mempunyai beberapa implikasi.
Satu sisi pandangan tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan
untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang “literal” yang hanya
mementingkan dimensi “luar”nya. Dan kecenderungan seperti ini telah
dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi
“kontekstual” dan “dalam” dari prinsip-prinsip Islam.29
Di sisi yang lain, pandangan ini juga akan melahirkan sebuah model negara
yang otoriter dan sewenang-wenang, karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol
terhadap penguasa yang selalu berlindung di balik agama.30 Bahkan beberapa
pemikir Islam seperti Ibnu Taimiyah, menegaskan bahwa seorang pemimpin
27
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 25
28
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.12
29Ibid.,
h. 9
30
muslim yang zalim sekalipun tidak berhak untuk dibrontak. Ini menegaskan
betapa kuatnya posisi negara yang bersembunyi di balik slogan-slogan agama.
Absolutisme agama sebagai sistem dunia—sebagaimana disinggung di atas—
dimana agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan
memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan
oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akhirat. Agama itu politis dan
politis itu relegius, maka tak satupun gerak gerik individu dapat luput dari
kontrol kekuasaan.
Jika agama melebur dalam negara, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan
negara pun menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan
yang dipilih rakyatnya. Kebebasan individu di pasung dan pemakain rasio pun
dicurigai sebagai racun bagi iman.31 Akhirnya, atas nama Tuhan, suatu otoritas
politis dianggap sah untuk mengawasi fikiran, keinginan, perasaan dan iman
individu. Secara amat ganjil, kehawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun
menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan
pikiran dan keyakinan moral-religius warganya.
2. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Paradigma ini
berpendirian bahwa agama mutlak urusan individu dengan Tuhan. Kehadiran
31
Muhammad adalah semata-mata sebagai seorang rasul dengan tugas tunggal
mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung
tinggi budi pekerti luhur. Kehadiran Muhammad tidak dimaksudkan untuk
mendirikan dan mengepalai satu negara.32
Salah satu pemrakarsa gagasan ini adalah Ali Abdul Ar-Raziq (1887-1966),
seorang cendekiawan Mesir. Abd. Ar-Raziq berpendapat bahwa Islam hanya
sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan
agama dengan sistem pemerintahan kehalifahan. Kehalifahan, termasuk
kehalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin, bukanlah suatu sistem politik keagamaan
atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi.33
Pemikiran jenis kedua ini cenderung menekankan terbentuknya sebuah negara
yang sekular, dimana urusan agama dipisahkan dari urusan negara. Namun
demikian menurut Yudi Latif, setidaknya terdapat empat karakteristik
sekularisasi.34 Pertama, Polity-Separation Secularization, yakni pemisahan jagad
politik (polity) dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan. Kedua,
Polity-Expansion Secularization, yakni perluasan otoritas politik untuk menjalankan
fungsi pengaturan dalam wilayah sosial-ekonomi yang sebelumnya berada dalam
32
Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta, UII Press, 2006), h.1
33
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara…, h. 29
34
yuridiksi agama. Ketiga, Polity-Transvaluation Secularization, yakni
demistifikasi budaya politik untuk menekankan sasaran-sasaran temporal
non-transedental serta cara-cara yang rasional dan pragmatis, yaitu nilai-nilai politik
sekular. Keempat, Polity-Dominance Secularization, yakni dominasi polity atas
keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan.
Paradigma ini juga tidak kurang memiliki implikasi yang oleh Budi Hardiman
di sebut sebagai Patologi Sekularisme. Yakni dialektika sekularisasi yang sama
sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan iman relegius dan alasan
relegius dalam kehidupan bersama secara politis. Agama dianggap irasional,
maka tidak berhak bersuara dalam ruang publik.35
Di sini sekularisme yang ingin membangun ruang publik yang pro-pluralisme
malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan relegius. Negara liberal
sekular ingin mempertahankan netralitas di hadapan berbagai orientasi nilai yang
majemuk dalam masyarakat, tetapi ini dilakukan sering dengan ongkos
memblokade alasan-alasan relegius sebagai privat dan mengancam kepentingan
keseluruhan, dalam konteks eksesif, negara hukum liberal ingin menjadi semacam
mesin legal-politis yang bergerak sendiri lepas dari suber-sumber relegius, tetapi
ia lupa bahwa warga negara memiliki motivasi mematuhi hukum lewat
orientasi-orientasi nilai yang antara lain bersumber dari nilai-nilai relegius.36
35
Budi Hardiman, Agama dalam Ruang Publik…, h. 42
36Ibid.,
3. Paradigma Simbiotik
Paradigma Simbiotik ini tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu
agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem
kenegaraan yang lengkap pula. Namun paradigma ini , tidak sependapat juga bila
Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan kenegaraan.
Menurut paradigma ini, Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk
petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kedatipun dalam Islam tidak terdapat
sistem ketata negaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat
sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.37
Salah seorang pemikir yang mendukung paradigma ini adalah Muhammad
Musain Haikal. Pemikir Mesir ini—sebagaimana di kutip oleh Munawir
Sjadzali—berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan
yang diberikan oleh al-Qur’an dan sunah tidak ada yang langsung berkaitan
dengan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan dasar tentang tentang kehidupan
bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti dalam wahyu tidak
menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara, dan tidak secara
langsung menyinggung sistem pemerintahan.
Kepindahan Muhammad dari Makah ke Madinah sebagi awal kehidupan
bernegara, nyatanya juga tidak serta merta merubah sedikitpun sistem
pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hijaz, dan juga tidak meletakkan
dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Apa yang beliau lakukan adalah
37
mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam
untuk mengajarkan agama dan mengatur pola hidup dengan prinsip-prinsip dasar
seperti, keimanan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.38
Agama dan negara, dalam paradigma ini, berhubungan secara simbolik, yakni
suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini,
agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang,
sebaliknya, negara juga butuh agama, karena dengan agama, negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.39
Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara Islam
dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi
paradigma ini, yang terpenting adalah bahwa negara—karena posisinya yang bisa
menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama—menjamin
tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka tidak ada
alasan teologis atau relegius untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai
kedaulatan rakyat, negara bangsa sebagai unit teritorial yang sah, dan
prinsip-prinsip umum teori politik modern. Karena wataknya yang substansialis itu
(dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi,
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu
38Ibid.,
h.185
39
mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat
menghubungkan Islam dengan sistem politik modern.40
Namun demikian paradigma ini dapat melahirkan tiga bentuk model negara,
tergantung dari perbedaan kualitas keterikatan agama dan negara.41 Pertama,
meski agama dan negara memiliki keterikatan, namun aspek keagamaan yang
masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga akan melahirkan sebuah model negara
yang lebih dekat dengan “negara sekular”. Kedua, jika determinasi agama yang
lebih tinggi, dimana 75% konstitusi negara diisi oleh hukum agama, maka akan
melahirkan model negara yang lebih dekat kepada “negara agama”. Ketiga, jika
determinasi keduanya berimbang maka akan melahirkan model negara netral.
B. Sejarah Pergumulan Agama dan Negara di Indonesia.
Sejarah pemunculan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara disadari telah
terjadi berbagai perdebatan panjang tentang negara. Polemik tersebut pada
dasarnya bermuara dari bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara
diletakan dalam konteks ke-Indonesia-an yang akan dan telah terbentuk. Hal
semacam ini terus mewarnai dinamika historis perpolitikan Indonesia.
Di Indonesia hubungan Islam dan negara sering memancing konflik, bahkan
kearah antagonistik. Salah satu butir penting dalam pergolakan tersebut adalah
40
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara…, h.14
41
apakah negara Indonesia bercorak Islam atau nasional42 Jika konstruk kenegaraan
pertama yang dipilih, maka dengan keholistikannya Islam harus diterima sebagai
ideologi negara. Namun bila jatuh pada preferensi kedua, maka sebuah ideologi
yang sudah didekonfensionalisasi yakni “Pancasila” harus didukung.43
Asal-usul polemik tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke tahun-tahun
pertama kemunculan pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam
perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka.
Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus
berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Karena tidak kunjung
ditemukan, maka diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan
berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan
negara, terutama sepanjang dua dasawarsa pertama periode Orde Baru. Bahkan
polemik tersebut kembali mencuat pada masa-masa reformasi lewat proses
amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar
masalah watak nasionalisme. Seokarno sebagai juru bicara kelompok nasionalis
42
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h.60
43
Dekonfensionalisasi merupakan salah satu pendekatan dalam memahami politik Islam di Indonesia. Teori ini dikembangkan oleh Van Nieuwenhuijze yang mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembarunan bangsa. Teori ini dipinjam dari kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik di negeri Belanda. Lebih jelas lihat di Bahtiar Effendy,
memandang pentingnya sebuah nasionalisme bagi landasan Indonesia merdeka.
Pandangan ini ditentang oleh Agus salim dan Ahmad Hasan, yang dianggap
sebagai representasi kelompok Islam. Baik Salim maupun Hasan menganggap
nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang sempit dan Chauvanistik
padahal seharusnya nasionalisme Indonesia haruslah berdasar pada Islam.
Perdebatan religius-ideologis tersebut semakin panas ketika seorang murid
Ahmad Hasan yakni Mohamad Natsir—yang berlatar belakang pendidikan
Barat—ikut serta dalam perdebatan tersebut.
Polemik Soekarno dan Natsir sebenarnya masih bersifat eksploratif. Ini
terlihat bahwa sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan
konsep-konsep yang siap-pakai mengenai hubungan agama dan negara. Namun
keduanya juga tidak bermaksud untuk menemukan titik temu diantara mereka.
Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing.
Akibatnya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai
perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok politik yang
berseberangan.44 Perdebatan tersebut mereda seiring datangnya penjajahan
Jepang.
Perdebatan kembali muncul dalam sebuah badan baru bernama BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam
berbagai pertemuan di badan tersebut, perseteruan antara kedua kubu kembali
berlangsung. Kelompok Islam, yang saat itu dipelopori oleh Ki Bagus
44
Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno dan Wahid Hasyim
berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka
negara harus di dasarkan kepada Islam. Di pihak lain berdiri kelompok nasionalis,
yang dipelopori oleh Soekarno, Hatta dan Soepomo yang membela pandangan
bahwa untuk mempertahankan kesatuan bangsa, maka watak negara harus
di-dekonfessionalisasi.45
Ketegangan terus berlanjut, sehingga untuk mencairkan suasana maka
dibentuklah sebuah tim kecil yang berfungsi untuk menjembatani berbagai
perbedaan di antara kelompok Islam dan nasionalis. Panitia kecil tersebut terdiri
dari; Soekarno, Hatta, Soebarjo, M Yamin, Abikusno, Kahar Muzzakir, Agus
Salim, Wahid Hasyim dan A.A Maramis. Panitia kecil ini, lewat perdebatan yang
cukup alot, akhirnya menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal sebagai
Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan pancasila sebagai dasar
negara dan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi
“Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Menurut Bahtiar, bagaimanapun kompromi tersebut pada dasarnya dibangun
di atas landasan yang tidak kokoh dan menandai kekalahan pertama kelompok
Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan hubungan
45
antara Islam dan negara secara legalistik formalistik.46 Ini terbukti, satu hari
setelah kemerdekaan Piagam Jakarta kembali dipersoalankan. Sebuah kondisi
yang memaksa para elit kelompok Islam untuk mengalah dengan menghapus
ketentuan menjalankan syariat bagi umat Islam demi mempertahankan dan
menjaga kemerdekaan yang baru saja diperoleh.
Kekalahan tersebut, seperti tampak beberapa tahun kemudian, hanya bisa
diterima untuk sementara, hingga Majelis Konstituante hasil pemilihan umum
terbentuk mulai bekerja menyusun undang-undang baru. Sebagaimana diketahui
bahwa pemilu tahun 1955, telah menempatkan kekuatan politik Islam (Mayumi,
NU, PSII dan Perti) berada di atas angin dengan mengantongi 43,5% suara atau
114 dari 254 kursi di parlemen. Meski ini bukan suara mayoritas untuk
menggolkan pemberlakuan Piagam Jakarta, namun suara tersebut cukup
signifikan dalam upaya tawar menawar politik nantinya.
Dalam sidang majelis konstituante, perdebatan-perdebatan religius-ideologis
kembali menyeruak dan berlangsung dengan sengit dan panas. Meski bukan tanpa
kesulitan, majelis akhirnya dapat menyelesiakan beberapa tugasnya. Selama dua
setengah tahun keberadaannya, majelis berhasil menyelesaikan 90%
tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak asasi
manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Sayangnya
perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan tentang
46Ibid.,
masalah-masalah lain di atas. Bahkan perdebatan tentang hal tersebut amat besar
andilnya dalam membawa majelis konstituante ke jalan buntu. Kondisi yang
kemudian dimanfaatkan sangat baik oleh Soekarno untuk mengeluarkan dekrit
yang membekukan mejalis dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit
Soekarno tersebut menandai kekalahan kedua kelompok Islam dan membawa ke
arah peminggiran kekuatan Islam politik di pentas nasional secara simultan.
Harapan kelompok Islam sempat merekah ketika orde lama tumbang dan
digantikan oleh orde baru di bawah kepemimpinan jendral Soeharto. Namun
harapan tersebut segera pupus, ketika orde baru dengan sedemikian rupa ternyata
menolak malakukan rehabilitasi terhadap Mayumi dan tokoh-tokohnya. Lewat
ideologi pembangunan, orde baru juga Memperlakukan kekuatan Islam seperti
kucing kurap, dicurigai dan di pinggirkan dari pentas politik.47 Bagi orde baru,
agama (Islam) dikawatirkan dapat menjadi ancaman dan sumber konflik yang
dapat menggangu stabilitas kehidupan politik, sebagaimana yang diperlihatkan
pada masa orde lama.48
Dengan program trilogi pembangunan, beberapa kebijakan yang
meminggirkan kekuatan Islam dijalankan. Di antaranya adalah, fusi beberapa
partai Islam (NU, Perti, PSII dan Parmusi) kedalam satu partai politik yaitu PPP
pada tahun 1973 yang kemudian diperkuat dengan UU No.3 tahun 1975. Usaha
47
Pembahasan tentang proses peminggiran Islam politik dari pentas politik nasional dapat dibaca lebih jauh dalam karya M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999).
48
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam Periode 1967-1987,
ini dipandang sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Islam,
karena fusi artifisial tidak akan membawa persatuan. Sejarah telah mencatat,
bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik.49 Usaha ini juga dipandang
sebagai penggiringan umat Islam menjauh dari pentas politik dan mencoba
mendesain agama untuk ditempatkan pada peranan pengontrol moral etis, yang
menjadi bagian dari peran aktif umat beragama dalam pembangunan.50
Secara umum hubungan agama dan negara pada masa orde baru oleh
M.Syafi’i Anwar digambarkan dalam tiga periode, yaitu hegemonik, resipokal
dan akomodatif.51
Pertama, pola hubungan hegemonik (sejak awal kelahirannya hingga
1970-an). Periode ini ditandai oleh kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai
wacana pemikiran sosial politik dikalangan masyarakat, sehingga lahir
kebijakan-kebijakan sebagaimana disinggung di atas (fusi partai Islam maupun
pemberlakuan asas tunggal pancasila).
Kedua, periode resipokal (tahun 1980-an), yakni suatu hubungan yang
mengarah pada tumbuhnya saling pengertian, timbal balik serta pemahaman di
antara kedua belah pihak. Negara dalam periode ini mulai menyadari bahwa Islam
merupakana denominasi politik yang tak dapat dikesampingkan, juga disadari
49
Din Syamsyuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta, Logos, 2001), h.42, Cet ke 1
50
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi…h. 93
51
bahwa upaya memarginalisasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan
merupakan tindakan kontra produktif.
Ketiga, periode akomodatif (akhir dekade 1890-an). Periode ini ditandai
dengan semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam, yang antara lain
ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodir aspirasi umat
Islam. Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN),
diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi
Hukum Islam (KHI), diubahnya kebijakan tentang jilbab serta penghapusan
SDSB, merupakan bukti kongkrit dari hubungan akomodatif agama dan negara
pada akhir masa kekuasaan Soeharto.
BAB III
ABDURRAHMAN WAHID SKETSA BIOGRAFI INTELEKTUAL
A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid
Abdurrahman ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari. Demikian
nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal dengan sebutan
Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas
personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan,
setidaknya dari latar belakang keluarganya.52
Sosok yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia ini, lahir di desa
Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940.53 Ia adalah putra dari
mantan menteri Agama RI pertama, K.H Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj.
Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kiai besar di Jawa. Kakek dari
Ayahnya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari seorang ulama besar pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku
jabatan sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU).
52
Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais; Dakwah Kultural-Struktural, (Yogyakarta, Laelathinkers, 2003), h.65
53
Sementara itu, kakek dari pihak ibu, adalah K.H Bisri Syamsuri, juga
pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku
jabatan Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Kedua kakek
Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh cikal bakal pendiri organisasi
keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), di samping K.H.A.Wahab Hasbullah.54
Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan
sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul Ulama, sebagai
pewaris cita-cita ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan
ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama
yang diberikan kepadanya; Abdurrahman ad-Dakhil. Secara leksikal ad-Dakhil
berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil K.H Wahid Hasyim dari
seorang perintis dinasti Bani Umayah yang telah menancapkan tonggak kejayaan
Islam di Spanyol berabad silam.55
Sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman
agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Diambang
usianya yang masih sangat muda (12 Tahun),56 perasaan tanggung jawab ini
54
Ibid., h. 27. Untuk mengetahui silsilah keluarga Abdurrahman Wahid dapat di lihat di buku
Beyond The Symbols; Jejak Antropologis, Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung, Rosdakarya dan INCReS, 2000), h. 29
55
A. Gafar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama, Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.95
56
Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta, LKiS, 1998), h.152. Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Barton, yang menyebut usia Wahid saat itu adalah 13 tahun. Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,
secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya
dalam sebuah kecelakaan mobil.
Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah
diterapkan oleh kedua orang tuanya, baik sebelum maupun sesudah kematian
ayahnya. Secara periodik, Abdurrahman Wahid kecil dititipkan dalam asuhan
seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam.
Pada waktu itulah, ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang
kemudian menjadi kegemarannya.57
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953, Abdurrahman Wahid
melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Yogyakarta dan lulus pada tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H
Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin
modernis K.H Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majlis Tarjih
Muhamadiyah.58
Pendidikan keagamaan Abdurrahman Wahid selanjutnya diasah di beberapa
Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama terkemuka, antara lain di Pesantren
Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajar kurang dari separo
waktu santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia
belajar di Mu’allima Bahrul Ulum, Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa
57Ibid.,
h. 46
58Ibid.,
Timur, kepada K.H Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta
untuk mondok di Pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul
Ulama terkemuka K.H Ali Ma’shum.59 Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu
Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.60
Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai seorang “pemberontak”,61
ketidakpuasannya dengan sistem pendidikan di Universiatas Al-Azhar Kairo, ia
salurkan dengan melakukan kegiatan lain yang lebih mencerahkan. Berbagai
kajian ia ikuti, dan waktunya banyak dihabiskan untuk membaca di perpustakaan
nasional Mesir Dar al-Kutub, serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan
Prancis. Ia juga mengadakan kontak dengan Syaikh dan cendekiawan terkemuka
Mesir, seperti Zaki Nuqaib Mahmoud, Sohier al-Qalamawi dan Syauqi Deif.62
Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak
sampai dengan tahun 1970, saat ia dipanggil pulang ke Jombang dan memulai selesai dan mempunyai gelar atau tidak. Ada yang mengungkapkan bahwa Abdurrahman Wahid lulus dan memperoleh gelar L.C. dari Universitas Baghdad, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak sampai lulus dalam pendidikannya. Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta, Rajawali Pres, 1999), h.67
61
Pembrontakan Wahid terhadap institusi Al-Azhar dimulai ketika, perguruan tersebut memasukkan ia dalam kelas pemula. Sebuah kelas kusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Padahal studinya di Jombang pada tahun 1960-an telah membuatnya mendapat sertifikat yang menunjukan bahwa ia telah lulus studi yurisprudensi Islam, Teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuannya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang tinggi. Pembrotakan terus berlanjut seiring dengan tidak cocoknya Wahid dengan pendekatan pendidikan yang digunakan universitas tersebut yang lebih menekankan pada penghafalan. Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 84
62
kehidupan barunya sebagai seorang putra kyai, yaitu dengan mengajar di
pesantren Tebuireng yang didirikan oleh kakeknya sendiri.63
B. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid
1. Tradisi Pesantren
Munculnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden ke-4 membuat posisi
pesantren naik daun dan kembali diperbincangkan dalam relasinya dengan
kekuasaan dan negara. Hal ini mudah dipahami, karena Aburrahman Wahid
merupakan produk pesantren. Sebagaimana yang telah kita ketahui pada bab
sebelumnya, sebagian waktu Abdurrahman Wahid dihabiskan dibeberapa
peantren Nahdalatul Ulama terkemuka.
Pandangan Abdurrahman Wahid tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia
pesantren. Dalam seluruh pengembaraan intelektual yang dialami sejak dari
pesantren di Tegalrejo hingga kuliah di Baghdad, ia tetap tidak bisa meninggalkan
rumah tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren. Tulisan pertama
Abdurrahman Wahid sendiri adalah tentang pesantren sebagai sub kultur, yang
merupakan penjelasan sangat canggih bagi nalar pesantren.
Pesantren sebagai basisi utama kekuatan Nahdalatul Ulama (selanjutnya di
tulis NU)—dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan bagi kalangan NU—
sesungguhnya memainkan peran penting, karena dari sinilah bengkel intelektual
warga NU diasah. Dari lembaga ini pulalah lahir pemimpin-pemimpin
63
masyarakat, baik itu tingkat lokal maupun nasional.64 Dunia pesantren tidak
pernah bisa dipisahkan dari tiga hal penting, yakni kyai, pedesaan dan kitab
kuning. Tiga hal tersebut akan mewarnai dinamika pesantren nantinya.
Kyai dalam hal ini memegang peran sentral karena berada di pusat aktifitas
pesantren, namun demikian para kyai sering dikenal sebagai kelompok yang
berpandangan konservatif dan tradisional sehingga dikenal sebagai kelompok
tradisional. Disebut tradisonal dan konservatif karena masih terikat kuat dengan
pikiran-pikiran ulama ahli fiqh (hukum Islam), hadis, tasawuf, tafsir dan tauhid,
yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas.65 Pandangan tradisional
dan konservatif para kyai, karenanya tidak menghasilakan sistem statis, tetapi
justru melahirkan sistem di mana terjadi perubahan-perubahan, kendati dengan
cara yang amat sulit diamati. Hal tersebut terkait dengan kehidupan kelompok
tradisional. Menyangkut persoalan ajaran, dalam pengertian memperbaharui
pemahaman keagamaan yang mengarah pada pelepasan diri dari pengaruh mistik,
tarekat, taqlid berlebihan, dan pada gilirannya nanti memberikan perspektif
pemahaman keagamaan baru, yaris tidak ada. Dengan demikian keterikatan pada
para ulama fiqih abad pertengahan tidak berubah.66
64
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta, Erlangga, 1992), Cet 1, h. 42
65
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1982), Cet 1, h.1
66
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran
Ciri lain dari pesantren, meski tidak sepenuhnya mutlak, adalah bahwa
pesantren tumbuh dan berkembang di pedesaan. Ciri demikian bukan
semata-mata karena antara pesantren dan pedesaan sama-sama bercap komunitas
tradisional. Konteks kesejarahannya memang memungkinkan berkembangnya
pesantren di pedesaan.67 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kaitan
erat dengan masyarakat sekitar pedesaan, yang pada kenyataannya telah berfungsi
sebagai akar yang memperkuat keberlangsungan pesantren. Sebagai kelompok
tradisonal yang mayoritas tinggal di pedesaan, pada mulanya mereka adalah
kelompok ekslusif; dalam taraf-taraf tertentu mengabaikan persoalan duniawi—
hidup dalam semangat asketisme, sebagai akibat keterlibatan mereka dalam
kehidupan sufisme dan tarekat; bertahan tidak saja terhadap pengaruh
modernisasi, tapi juga terhadap pengaruh santri kota; serta cenderung
mempertahankan apa yang telah dimiliki, di mana kesemuanya itu mereka
pusatkan dalam dunia pesantren.68
Adapun secara ideologis, di mana hal itu kemudian mempengaruhi seluruh
tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, adalah keterikatan
mereka pada paham Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipahami secara khusus.
Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah sendiri dalam pengertian yang lebih rinci,
sebagaimana dikutip dari K.H Bisri Mustofa, seorang ulama asal rembang, adalah
sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: Pertama,
67
Kacung Marijan, Quo Vadis NU..., h.41
68
dalam bidang-bidang hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat
madzhab. Dalam praktik para kyai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i.
Kedua dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan imam Abu Mansyur al-Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf,
menganut dasar-dasar imam Abu Qosim al-Junaidi.69
Keterikatan mereka pada paham ini menjadi semakin ketat, dan seakan pada
gilirannya berfungsi sebagai ideologi tandingan terhadap perkembangan
pemikiran kelompok modernis yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran
Islam dan menganjurkan umat Islam untuk tidak terbelenggu dengan ajaran-ajaran
empat madzhab fiqih. Satu hal penting dicatat adalah, bahwa ideologi Ahl
al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang mengenal relativisme internal Islam, berperan
penting dalam menyiapkan sikap-sikap yang lebih toleran di banding
kelompok-kelompok Islam lainnya, menjadi dasar logika munculnya suatu pandangan
kemasyarakatan yang tidak bercorak “hitam putih”.70
Transformasi keilmuan pesantren kemudian dibakukan dalam kitab kuning,
yang berperan sebagai penyambung tradisi keilmuan lama yang telah
beratus-ratus tahun, yang mengandung ajaran tauhid, fiqih, akhlaq. Kandungan isi kitab
69
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang…, h.149 lihat juga Abdurrahman Wahid, NU dan Islam Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 154
70
Yang dimaksud dengan relatifisme internal Islam adalah meski suatu kelompok sudah menganut faham atau aliran madzhab tertentu, namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hukum-hukum agama dengan kondisi sosial yang sedang dihadapi. Zamaksyari Dhofier,
kuning, karenanya bersifat pengulangan dari disiplin ilmu-ilmu keagamaan yang
telah lama mapan dan tidak berkembang lagi. Disosialisasikannya kitab kuning di
pesantren-pesantren, menurut Fachry Ali, bukan tidak mengandung
maksud-maksud ideologis tertentu.71 Ia berperan penting dalam melahirkan ulama-ulama
yang setia dan paham pada ideologi tradisionalis juga berperan penting dalam
mengontrol perkembangan pemikiran keagamaan kelompok yang disebut
tradisionalis tersebut.
Meski tiap hari bergelut dengan kitab-kitab fiqh, dengan ajaran-ajaran tertulis,
dalam kenyataannya, para kyai dan santri di pesantren kurang suka diidentikkan
dengan skriptualisme. Kalau mereka terbentur semacam dilema, maka mereka
biasanya dengan segala cara berusaha mencari alasan untuk lolos dari
cengkraman teks. Inilah yang dalam tradisi pesantren disebut dengan hillah, atau
siasat untuk lolos dari teks. Yang penting dari hillah ini bukanlah erudisi atau
kedalaman dan kecanggihan sebuah argumen, tetapi kebutuhan praktis untuk
memecahkan masalah. Pragmatisme keagamaan inilah yang mencirikan
pandangan hidup seorang santri Jawa. Dalam beberapa hal, tampak juga instink
semacam ini pada diri Abdurrahman Wahid. Oleh sebab itu, segi pragmatisme
dalam cara berfikir dan tindak Abdurrahman Wahid ini ditengarai berasal dari
tradisi pesantren yang lama ia geluti.72
71
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam..., h. 62
72
Ulil Absar Abdallah, Pada Mulanya Gus Dur Seorang Santri. Dalam Mustafa Ismail (ed).
Melawan Melalui Melucon, kumpulan kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO (Pusat Data dan
Selanjutnya K.H Cholil Bisri berpendapat bahwa inti pemikiran Abdurrahman
Wahid adalah berangkat dari keinginan untuk menunjukan kepada khalayak ramai
bahwa ajaran Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang dipertahankan oleh kalangan
kyai pesantren, dengan kitab-kitab klasik sebagai obyek kajiannya masih sangat
relevan untuk dicerdasi sebagai pijakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, Abdurrahman Wahid
mencoba mengadaptasikan gagasan modern dengan sikap, tindakan dan kebijakan
yang disesuaikan dengan kondisi riil negari ini. Sehingga terkesan Abdurrahman
Wahid telah meloncat jauh ke depan, sementara warga NU berlari
terpontang-panting. Hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami jalan penalaran yang
pada dasarnya timbul dari obsesi ingin membumikan syari’ah Islam ahl sunah wal
jama’ah. Karena menurutnya, ahlussunah wal jama’ah adalah keislaman yang
manusiawi atau humanistik.73
2. Pertemuan Abdurrahman Wahid dengan Dunia Modern.
Sejak kecil Abdurrahman Wahid dididik dan dibesarkan dalam keluarga
pesantern, di bawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri Hadratus Syaikh
Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU dan pelopor Pesantren Tebuireng Jawa
Timur. Sementara ayahnya, K.H Wahid Hasyim, adalah menteri Agama RI pada
tahun 1950.
73