• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid

ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

E. Posisi Ideologis Abdurrahman Wahid

Salah satu masalah yang di hadapi oleh negeri-negeri Islam pada masa-masa awal pembentukan negara adalah, bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana disinggung oleh Deliar Noor, bahwa Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yakni agama dan masyarakat atau politik. Akan tetapi, menurut Deliar Noor, untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan ternyata masih menjadi suatu problem tersendiri.107

Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen ilahiyah untuk memahami dua dunia, seringkali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.108 Tetapi pemahaman ini ketika diartikulasikan pada tingkat praktis berhadapan dengan sesuatu yang problematis. Di samping karena memang ciri umum

107

Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta, LP3ES, 1996), h.1

108

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, (Jakarta, LP3ES, 1996), h.15

sebagian ajaran Islam memungkinkan multiinterpretasi, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Sementara itu, hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia sendiri pada sebagian tahapan sejarahnya merupakan cerita antagonis, saling berhadap-hadapan. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini–yang pada dasarnya semuanya muslim—mengenai Indoensia merdeka yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perdebatan tersebut adalah apakah negera bercorak Islami atau nasionalis.109

Konstruk kenegaraan pertama mengharuskan agar Islam diakui dan diterima sebagi dasar ideologi negara. Sementara konstruk kenegaraan yang kedua menghendaki agar Indoensia di dasarkan atas Pancasila, sebuah ideologi yang sudah di dekonfensionalisasi.110

Tak dapat dipungkiri bahwa kemelut ideologi mengawali kelahiran negara Republik Indonesia, yang berakhir dalam suatu “kompromi khas”. Indonesia secara konstitusional bukanlah negara Islam, tetapi juga bukan negara sekular yang memandang agama sebagai masalah pribadi yang sama sekali lepas dari negara. Dalam ungkapan Munawir Sjadzali ini disebut sebagai negara Pancasila, bukan negara agama dan bukan negara sekular. Model ini merupakan suatu jalan tengah yang dicapai untuk mengatasi kemelut dari gagasan mengenai suatu

109

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1998), h. 60

110Ibid.,

negara yang ingin mengakui suatu keagamaan tertentu atas pandangan bahwa agama merupakan unsur mutlak nation and character building.111

Bagi Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pancasila sebagai basis nasionalisme bagi negara penting karena beberapa intelektual Islam memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Wahid berpendapat, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme, dan ia bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan Islam.

Walaupun Abdurrahman Wahid menerima Pancasila sebagai ideologi nasional, tetapi benturan-benturan dan kesalahpahaman antar pemimpin negara dengan “petinggi” agama tidak dapat terelakkan. Bahkan, Abdurrahman Wahid mensinyalir semakin banyak bukti yang menunjukan besarnya hambatan dalam proses pembangunan yang disebabkan oleh kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggung jawab ideologi dengan pemimpin gerakan-gerakan keagamaan. Kenyataan itu, sudah begitu jauh menghantui hubungan agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik menjadi sengat labil112 Namun demikian kesalahpahaman tersebut tidak dibiarkan “telanjang” sedemikian rupa,

111

B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta, Grafiti Pers, 1985), h.40

112

Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h.2

terutama oleh pemerintah, agar seolah-olah terlihat harmoni. Sebagaimana ungkapan Abdurrahman Wahid:

“Retorika politik pun disusun sedemikian rupa untuk membungkus kenyataan pahit serapat mungkin. Dalam pada itu, retorika politik tersebut dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan gerakan-gerakan keagamaan. Di satu pihak gerakan-gerakan-gerakan-gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara dalam jumlah sangat besar untuk keperluan peribadatan ritual, sedangkan dipihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politik korektif terhadap politik pemerintah.113

Fakta yang diungkapkan Wahid, paling tidak menggambarkan bahwa hubungan ideologi negara dan agama tidak selamanya mulus, bahkan kenyataannya seringkali justru bersifat antagonistik. Karena itu perlu dirumuskan sebagai upaya mencari format sintesis atas ketegangan-ketegangan antar keduanya. Menurut Wahid, ideologi nasional perlu diletakkan pada neraca penilaian yang sangat berbeda dalam wilayah keramat, yang meskipun tetap di pandang sebagai “benda sakral” dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Wahid juga memandang bahwa fungsi ideologi tak lebih hanya sebagai alat pemersatu bangsa dan pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. Penyelewengan terhadap penggunaan ideologi negara misalnya, hanya sebagai legetimasi bagi otoritarianisme suatu rezim terhadap masyarakat, justru akan mendorong kehancuran ideologi tersebut. Jadi ideologi Pancasila beserta asas tunggalnya merupakan wewenang negara, sementara agama punya tugas yang

113

Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo,1999), h.114

berbeda. Dalam hal ini aqidah dan keimanan merupakan hal yang tak boleh di tundukkan di bawah negara. Wahid dalam hal ini menulis:

“Memang benar, agama dan pancasila tidak boleh diidentikan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain menjadi kerangka kemasyarakatan kita sebagai bangsa. Dalam keadan demikian, pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Sementara agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motifasi, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekedar bersifat insidental belaka. Agama adalah faktor utama yang memberikan prespektif dinamis bagi kehidupan dalam pengertian yang paling dasar pertanggung jawaban manusia pada sang Maha Pencipta”114

Namun Wahid juga menolak jika Pancasila berada di luar masalah agama dan penerimaannya sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan. Jika demikian, menurut Wahid berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada Pancasila dan setia pada agama. Orang semacam ini di mata Wahid adalah orang yang mendua dalam menyikapi antara Islam dan Pancasila.115 Padahal menurutnya, kalau kita setia pada Islam, kita juga harus setia pada negara.116 Karena negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama komponen bangsa yang lain, sementara aqidah bukan demikian. Jadi ada pembedaan, namun tetap dalam satu ikatan.

114

Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Objektif kehidupan Beragama, dalam Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1997), h. 99.

115

Abdurrahman Wahid, Terserah Suara Rakyat, dalam Membangun Demokrasi, (Bandung, Rosda Karya, 1999), h.14

116

Abdurrahman Wahid, Islam, Negara dan Pancasila, dalam Mengurai hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999), h. 93.

Dalam pandangan Wahid antara ideologi nasional, Pancasila dan agama tidak boleh diidentikan secara keseluruhan, karena fungsi keduanya saling berbeda. Sebagai sebuah ideologi negara, Pancasila harusnya mewadahi aspirasi agama-agama dan menopang kedudukan secara fungsional. Di sisi yang lain, agama-agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif yang memberikan warna spiritual pada keyakinan mereka.117

Namun demikian ia juga menolak pemisahan hubungan agama dan ideologi negara secara keseluruhan. Ia menyayangkan selama ini Pancasila hanya dilihat sebagai “pengatur lalulitas” hubungan antar agama dan tidak lebih dari itu. Dan perumusannya pun bersifat sepihak, yaitu Pancasila tidak menggusur keberadaan agama dari kedudukan historisnya dan juga tidak dimaksudkan untuk mengganti posisi agama. Agama juga dirumuskan demikian, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila.118 Pola hubungan semacam ini jelas bukan keinginan Wahid, karena berwatak defensif dan cenderung menutup diri.

Wahid dalam konteks bernegara menawarkan ideologi Pancasila sebagai rule

of game yang menghubungkan semua agama dan paham dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurutnya;

”...jika Pancasila hanya berfungsi membenarkan suatu agama saja, katakanlah Islam, ia akan berhenti sebagai rule of game yang disepakati bersama. Sebab Pancasila merupakan kesepakatan semua komponen bangsa. Dengan demikian Pancasila harus memperlakukan semua agama sama di muka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.”

117

Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Objektif kehidupan Beragama..., h. 99.

118Ibid.,

Lebih jauh Wahid menandaskan bahwa pola hubungan antara agama dan Pancasila harus berwatak simbiotik, artinya antara keduannya harus ada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Agama, menurut Wahid harus memberi legetimasi pada Pancasila, sebaliknya Pancasila memberi keabsahan terhadap agama-agama, tanpa melihat mayoritas atau minoritas.

”...Pancasila adalah “hilir” dari berbagai “hulu” agama dan ia merupakan ekspresi dari suatu negara yang sekular secara politik, namun tetap mendukung perkembangan agama-agama secara umum, dan itu berarti tanpa adanya Pancasila, maka sama halnya kita akan berhenti sebagai negara. Dan berarti juga tanpa Pancasila, negara Indonesia tidak akan pernah ada.” 119 F. Hukum Islam Sebagai Komplemen Pembangunan.

Potret sejarah hukum Islam di Indonesia sebenarnya dapat dibaca dari masuknya Islam ke negeri ini. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu kredo yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dan filsafat hukum Islam yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Dalam bahasa Gibb sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum

119

Dougles E Remage, Demokrasi, Toleransi Agama dan Pancasila; Pemikiran Politik

Abdurrahman Wahid dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal,

Islam atas dirinya. 120 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indoensia ketika itu. Sebagai sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini.

Karena kedudukan hukum Islam yang sedemikain memusat, maka hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluknya saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup. Faktor-faktor lain seperti tasawuf dan lainnya, yang merupakan penentu pada tingkat lebih lanjut, baru memiliki arti jika telah diberi legitimasi oleh hukum Islam.

Tetapi kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami proses inrelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti.121

Menurut Abdurrahman Wahid, peranan hukum dewasa ini masih bersifat statis, dan apologetis. Wahid menjelaskan:

“...kestatisan hukum Islam terlihat dari peran hukum Islam sebagai “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keIslaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekular. Sebagai alat penahan lajunya proses

120

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,

(Yogyakarta, LKiS, 2005), h. 50

121

Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan dalam

sekularaisasi kehidupan yang berlangsung secara merata, hukum Islam tidak berperan banyak karena dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itupun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang ini dan menentang itu. Hukum Islam hanya mampu mencanangkan suatu gambar dunia terlalu idiil, di mana hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan duniawi ukhrowi, dunia mana merupakan kota Tuhan (Civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera”.122

Untuk memperoleh relevansinya, maka hukum Islam harus mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yakni pendekatan suplementer dan komplementer.123

Menurut pendekatan pertama, agama adalah penunjang bagi upaya pembangunan, karena ia mempengaruhi pola tingkah laku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Karenannya agama (hukum Islam) harus memberikan sumbangsih dengan jalan melegitimasi upaya mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan. Keluarga Berencana misalkan, dengan berbagai pertimbangan ekonomis dan lain hal menuntut pelaksanaan sebuah program nasional tentang kependudukan, yang bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran dalam titik tertentu dalam waktu tertentu pula, maka agama dituntut peran sertanya untuk memberi legitimasi upaya tersebut, tanpa dilibatkan dalam penentuan saran yang hendak dicapai.

122Ibid.,

h. 38.

123

Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan,

Pendekatan kedua, justru bergerak sebaliknya. Pendekatan ini menuntut peran lebih agama dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan, serta menetapkan orientasi pembangunan itu sendiri. Agama dalam hal ini terlibat dalam pembangunan sejak semula. Bersama dengan unsur-unsur lain dalam pembangunan, agama berperan saling tunjang menunjang dalam menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara menyelenggarakannya.

Abdurrahman Wahid dalam hal ini, lebih memilih pendekatan kedua dibanding pendekatan pertama.124 Bagi Wahid pendekatan pertama, lebih ber nuansa manipulasi terhadap agama terlihat kental, agama pada akhirnya juga akan dipolitisir. Wahid lebih memilih pendekatan kedua, karena melihat agama dalam hal ini hukum Islam yang lebih dinamis. Kedinamisan tersebut akan dimiliki jika meletakkan titik berat perhatiannya pada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bagsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan aktual yang di hadapi masa kini.

Namun demikian, menurut Abdurrahman Wahid, pendinamisan hukum Islam sendiri akan menemui kegagalan jika tidak mempertimbangkan tiga ciri penting dalam hukum Islam itu sendiri.125

Pertama adalah keterlepasannya dalam perspektif kesejarahan. 126 Hukum Islam dalam hal ini berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri

124Ibid,

h. 6.

125

Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai …, h.39.

126Ibid.,

memiliki potensi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah; ia memiliki sejarahnya sendiri (tarikh al-tasyri’), tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Ciri inilah yang menerangkan mengapa tidak ada konflik tajam antara hukum Islam yang teoritis dan yang dipraktikkan oleh pemerintahan Islam di mana-mana selama ini.

Kedua, keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiah bahasa Arab atas kehendak Tuhan, baik yang berbentuk ayat al-Qur’an mapun Hadits. 127 Pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberi nama (dan dengan demikian status hukum) kepada suatu perbuatan. Definisi-definisi yang dibuat untuk membatasi status hukum dari suatu perbuatan, karena keterikatan kepada penafsiran linguistik yang ketat dan kaku ini, pada akhirnya meniadakan kemungkinan pengembangan pola diversifikasi dan multi-dimensional hukum Islam.

Ketiga, adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan-keputusan hukumnya di masyarakat. 128 Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih pribadi sebagai pendapat perseorangan para juristen (fuqoha). Akibatnya, hampir tidak dapat

127

Reformasi al-Syafi’i, berhasil menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang siur. Metodenya yang dikenal dengan nama tariq al-istiqra, berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian kita kenal sebgai ushul fiqh. Tetapi usaha al-Syafi’i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literal. Ibid., h. 41-42.

128Ibid.,

ditemui kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negara, atau bahkan untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah negeri.

Oleh karenanya Wahid menekankan perlunya kesediaan dari para fuqoha untuk memberikan batasan atas ruang lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional. Hal ini penting untuk menghindarkan diri dari penghamburan waktu dan fikiran dari pembicaraan panjang tentang soal-soal yang tidak urgen. Seperti pembahasan yang terjadi di Mesir dan Irak misalnya, pembahasan hanya dibatasi pada wilayah perdata perkawinan dan waris, sehingga dapat menghasilkan hukum yang responsif.

Pembatasan ini pun harus diikuti oleh upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa kini. Bagi Wahid;

”...pertimbangan-pertimbangan manusia harus memperoleh tempat yang layak. Bahkan titik berat proses pengambilan keputusan hukum harus ditunjukan kepada integrasi pertimbangan manusiawi ini ke dalam pranata jurisprudensi”.129

Untuk itu dalam jangka panjang perlu disusun sebuah sistem jurisprudensi yang lebih berantisipasi kepada kemungkinan-kemungkinan hidup masa mendatang. Yang tak kalah penting adalah perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk tujuan penyusunan metodologi, sehingga ada pranata yang secara sadar dan berencana, berusaha menyegarkan yurisprudensi yang telah ada, hingga ditetapkannya yurisprudensi yang baru. Lembaga ini paling tidak harus mampu

129Ibid.,

menciptakan sarana administratif bagi upaya pengintegrasian hukum Islam kedalam hukum nasional.130

Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran Wahid bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. 131 Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yakni upaya membuatnya lebih peka kepada kebutuhan masa kini dan masa depan. Adapun pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintah dengan menjadi bagian hukum formil, atau dilaksanakan secara sukarela oleh masyarakat.

Pelaksanaan hukum Islam dalam hukum formil di Indonesia—terutama sejak akhir tahun 1890-an, memang terlihat mulai menunjukan perkembangan cukup berarti. Lahirnya Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, lahirnya Bank Muamalat Indonesia serta lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah wujud kongkrit dari hal itu.

Terbitnya Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), membawa dampak positif bagi perkembangan peradilan Agama di Indonesia. 132 Sebagaimana diketahui bahwa sebelum di keluarkannya inpres tentang KHI, para 130 Ibid., h. 48. 131Ibid., h. 50. 132

Cik Hasan Basri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, Rosdakarya, 1997), h. 30

hakim di peradilan agama mengalami kesulitan dalam memutuskan perkara, karena tidak ada sebuah peraturan yang bisa dijadikan rujukan tetap, kecuali bersandar pada kitab-kitab fiqih klasik. Potensi terjadinya putusan-putusan yang berdisparitas tinggi antara peradilan satu dengan peradilan yang lain, serta antara hakim satu dengan hakim yang lain menjadi tak terhindarkan.

KHI merupakan wajah positif Hukum Islam bagi pembangunan Indonesia, karena ia lahir dari penggalian dari beberapa kitab fiqih klasik, penelaahan yurisprudensi peradilan agama, wawancara dengan ulama besar di Indonesia serta kajian perbandingan dengan hukum keluarga di Maroko, Mesir dan Turki. Disamping itu KHI memperlihatkan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, baik secara vertikal maupun horisontal.133

Namun demikian, dalam prosesnya, dominasi birokrat Depag RI dan Hakim Agung MA RI terlihat sangat kental134 Hal tersebut berakibat pada terpinggirkannya kelompok-kelompok sosial umat Islam dan individu-individu dalam masyarakat, menjadi pasif dan non-partisipatif dalam proses reformasi hukum Islam ini. Benar bahwa ulama/tokoh muslim dan intelektual dilibatkan, akan tetapi keterlibatan mereka bukan pada posisi kebijakan, lebih-lebih kebijan strategis. Keberadaan mereka hanya sebagai responden pada lokakarya.

133 Ibid.,

h. 28. Untuk melihat lebih jauh tentang proses kelahiran KHI dapat dilihat di Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia,

(Yogyakarta, LkiS, 2001), h. 141-171.

134

Dengan kata lain, bahwa kehadiran mereka adalah hanya sebagai pelengkap dan pengabsah kerja eksekutif dan yudikatif. Padahal proyek seperti ini sangat penting, karena bukan hanya sekedar tindakan reformulasi hukum Islam, melainkan penciptaan hukum Islam baru yang lebih bernuansa Indonesia.

Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Wahid, ia menegaskan;

”...bahwa meski hukum Islam dapat dilaksanakan oleh para pejabat negara, namun usaha-usaha penyesuaian yang bersifat individual dan tradisional antara kebutuhan masa kini dan keputusan yang telah ada, harus diikuti dengan cermat dan tidak boleh diabaikan”.135

Dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam soal agama, pemekaran agama yang satu, dapat menjadi ancaman bagi agama yang lainnya. Legislasi hukum agama yang satu, dapat menimbulkan keterasingan dan kecemburuan agama yang lain. Oleh karena itu, untuk menjaga perasaan orang lain, hukum Islam harus direduksi sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa tidak diancam eksistensinya, penganut agama lain pun mempunyai kepentingan yang sama.

Karenanya, Wahid memiliki pandangan bahwa hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan, katanya:

”...kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi masyarakat yang bernama agama. Dan bukankah memaksakan hukum Islam melalui instrumen (perangkat) negara, hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat pemaksaan? Kita sebagai bangsa tidak ingin dipaksa-paksa oleh orang dengan alasan apapun. Bukankah dengan

135

demikian berarti kita dilarang melakukan tindak kekerasan untuk memaksa kehendak juga?”136

Demikian pertanyan-pertanyaan retorik Abdurrhaman Wahid dalam berupaya agar legislasi hukum Islam tidak merugikan kelompok non muslim. Legislasi Islam, tanpa mempertimbangkan realitas sosiologis, kedalam kenegaraan, kata Abdurrahman Wahid: