• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

ABDURRAHMAN WAHID DAN MODEL PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

H. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sejarah kontemporer Indonesia, yang diwarnai perdebatan ideologi dalam mengisi wacana kebangsaan, mengilhami setiap diskursus-diskursus pemikiran

kenegaraan Abdurrahman Wahid. Sangat logis manakala gagasannya bernuansa melerai antara Islam dan wacana kebangsaan. Oleh karena itu secara konsisten Wahid menolak Islam Formalistik sebagai konstruksi masyarakat Islam Indonesia, sekalipun agama tersebut sebagai anutan mayoritas. Di mata Wahid, agama memiliki logika sendiri, begitu juga negara. Sebagaimana ungkapannya :

“Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga Negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan”.151

Jika ditilik cara pandangnya, rupanya Wahid telah mengemukakan argumen tentang “pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara”.152 Ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat, melalui kesadaran masyarakat sendiri dan bukan melalui perundangan negara. Jika tidak demikian, agama “tertentu” akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturnya. Sehingga negara bukan hanya mengambil satu pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolah-oleh sebagai yang benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas apa yang dimaui negara. Agama lalu

151

Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisas Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1994),h. 583.

152

Abdurrahman Wahid, dalam kata pengantar buku karya Einar Martahan Sitompul,

berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara.153

Sebab itu Wahid tidak bosan-bosannya, memperingatkan agar setiap upaya mencari legetimasi negara dalam masalah-masalah keagamaan harus dijauhi sedapat mungkin, demikian pula sebaliknya. Ini berarti negara harus pandai-pandai membawakan diri untuk tidak memasuki wilayah yang bukan urusannya.154

Menurut Greg Barton, kata kunci dari berbagai pola perjuangan pemikiran Abdurrahman Wahid adalah “dinamisasi”. Dinamisasi baginya adalah faktor yang bisa membangkitkan kualitas progresif yang memungkinkan Islam untuk terus relevan dan diterima. Tanpa ini, Islam menjadi rumusan doktriner dan kering. Proses dinamisasi yang diterapkan Abdurrahman Wahid merupakan penerjemahan dari konsep Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah yang ditawarkannya untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesiasebagai wujud keterlibatannya dalam wacana dan kiprah modernitas sebagai jawaban atas persoalan konkret umat Islam.155

Abdurrahman Wahid melakukan pembaharuan bidang politik yang berorientasikan pada komitmen kemanusiaan yang ada dalam ajaran Islam.

153

Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Liberal, (Jakarta, Erlangga, 2006), h.287.

154

Abdurrahman Wahid, A Wahid Hasyim, NU dan Islam dalam Membangun Demokrasi,

(Bandung, Rosdakarya, 1999), h.11

155

Pandangan tersebut dapat memberikan pijakkan kepada posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat modern dan pluralistik di Indonesia yang menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kerukunan sosial.

Sikap saling menghargai perbedaan yang ditanamkan oleh Abdurrahman Wahid berikut prinsip perlindungan terhadap komunitas minoritas dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa. Greg Barton dalam pengantar buku “Prisma Pemikiran Gusdur” mengatakan :

“...Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Gusdur adalah bahwa ia penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas. Dengan kata lain Abdurrahman dipandang sebagai muslim non-chauvinis, serta figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam...156

Abdurrahman Wahid sangat mencintai Islam dan memahami Islam dari pesan utama Islam itu sendiri. Pandangan Abdurrahman Wahid tentang negara adalah pandangan kulturalnya yang menyetujui bahwa di dalam Islam tidak diatur tentang kewajiban membentuk negara Islam.

Jika demikian, bagaimana peran agama dalam kemasyarakatan?. Sikap Wahid jelas dengan ide “Etika Sosial”. Upaya menuju penyejahteraan masyarakat tersebut, manusia diciptakan dengan kelengkapan (ahsan taqwim) sebagai makhluk, sehingga mampu membentuk kepribadian (personality) yang anggun menuju tata pergaulan yang santun dan toleran.

Untuk mendiskripsikan gagasan “etika sosial” lebih lanjut, Wahid memaparkan:

156

“Islam berfungsi dalam dua bentuk. Pertama, sebagai akhlak masyarakat (etika sosial) warga masyarakat. Kedua, partikel-partikel dirinya yang dapat dan memungkinkan untuk diundangkan, dengan mempertimbangkan realitas sosiologis masyarakat. Dengan catatan proses perundangan harus melalui mekanisme konstitusi yang absah”.157

Namun demikian muncul persoalan bagaimana etika tersebut mempengaruhi proses pemerintahan dalam posisi dirinya yang berada di luar negara, sementara apa yang disebutnya dengan partikel-partikel agama bisa masuk ke dalam negara dalam bentuk undang-undang. Menurut beliau:

“Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara di negeri ini.”158

Wahid menyadari bahwa tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara di negeri kita ini. Lalu dimanakah nilai-nilai normatif tersebut dapat berlaku secara utuh dan menyeluruh?. Dalam hal ini Wahid kemudian bicara soal “hukum Islam” menurutnya, hukum Islam dalam kenyataannya hanya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat. Sementara kebutuhan mengundangkan hukum agama atau fiqih hanya pada “apa yang dapat di

157

Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos…, h. 585.

158Ibid.,

undangkan” (wad’u al-ahkam fi halati imkaniyati wad’ihi). Yakni pada segmen yang bisa dipertimbangkan untuk berlaku bagi segenap komponen masyarakat.159

Beakangan, Ide-ide liberal yang didengungkan Abdurrahman Wahid, yang membuat merah kuping kaum konservatif, sebenarnya berangkat dari komitmen Wahid terhadap universalisme Islam dan khasanah klasik yang mempunyai potensi masif untuk membangun basis-basis kehidupan politik yang adil, egaliter dan demokratis. Dari landasan tersebut, Wahid mampu memilah mana prinsip yang harus dipertahankan dan mana sisi ornamentalnya.

Dalam memaknai ajaran agama, menurut Abdurrhaman Wahid, juga tidak dapat dilepaskan dari sisi kemanusiaan. Menurut beliau, penganut Islam yang baik, selain meyakini ajaran agamanya, juga harus menghargai kemanusiaan. Ketika nilai kemanusiaan dihilangkan, menurut Abdurrahman Wahid, maka pada waktu itu hilang pula nilai-nilai keagamaan yang benar.160

Bagi Abdurrahman Wahid ajaran Islam cukup ditarik sejumlah prinsip-prinsip fundamental-universalnya, seperti kedaulatan hukum ditegakkan, perlakuan yang sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama, ras, suku di depan hukum atau undang-undang, pengambilan putusan berdasarkan mekanisme suara terbanyak. Wahid juga berpendirian, dalam Islam sendiri tidak pernah mempersoalkan mana yang lebih unggul antara “masukan Islam” dan masukan

159

Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa, dalam Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta, Grasindo, 1999), h. 76.

160

. Mohammad Bakir dan M. Zaid Wahyudi, Abdurrahman Wahid –Ketegaran Pluralisme Akar Rumput- Kompas, Jumat, 23 Mei 2008. h. 52.

nilai lain yang datang dari manapun. Dari sini wajar manakala secara pribadi Wahid menyatakan akan menyampaikan kebenaran yang datang dari manapun yang sesuai dengan hati nurani, apakah kebenaran itu datang dari Injil, Bhagawad Gita atau lainnya.161 Sebab dalam konteks kebangsaan, Islam tidak berfungsi sebagai hipotesis operatif, tetapi sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.162

Jadi bagi Abdurrahman Wahid, dalam bermasyarakat, Islam “seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk ekslusif” yakni “tidak menampilkan warna keislamannya, tapi mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan”. Pola fikir semacam ini secara diametral berlawanan dengan kelompok formalisme. Wahid menampilkan diri sebagai intelektual muslim Indonesia, yang terikat pada nilai-nilai keagamaan Islam, tetapi pada saat yang sama juga menyadari relitas pluralisme masyarakat di mana mereka hidup.

Pluralisme manjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, karena merupakan kondisi objektif bangsa ini. Bangsa ini mempunyai tingkat kemajemukan yang tinggi baik secara fisik maupun sosial budaya. Secara fisik, kepulauan nusantara terdiri dari sekitar 13.000 pulau. Selain itu, Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, dan bahkan agama yang menunjukan heteroginitas sosial budaya.

161

Abdurrahman Wahid, Intelektual di Tengah Ekslusivisme,dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 1999), h. 202.

162

M Dawam Rahadjo, Melihat Ke Belakang, Merancang Ke Depan, pengantar dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed), Islam Indoensia Menatap Masa Depan, (Jakarta, P3M, 1989), h. 12.

Jadi, dalam hidup berbangsa umat Islam perlu mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah umat Islan terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini bukan menempatkan Islam sebagai alternatif tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.163

Maka dalam konteks ini Wahid melihat hubungan antara Islam dan pluralisme dalam kerangka manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Di mana Islam memberikan lima jaminan dasar bagi individu maupun kelompok, yakni jaminan terhadap keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk pindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan jaminan terhadap keselamatan profesi.164

Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti

163

Mohammad Bakir dan M. Zaid Wahyudi, Abdurrahman Wahid –Ketegaran Pluralisme Akar Rumput- Kompas, Jumat, 23 Mei 2008. h. 52.

164

sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup

(Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.

Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal

paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.

Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga

memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyrakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.

Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga

masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?

Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan

adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam.

Tetapi Wahid mengingatkan kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Kosmopolitanisme peradaban Islam itu menurut Wahid hanya muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batas etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heteroginitas politik.165

Mengenai kosmopolitanisme Islam ini Wahid menulis :

“...kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, menekala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme seperti ini adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran”.166

165Ibid.,

h. 549.

166Ibid.,

Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka. Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu akan mengotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.

Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama

hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.

Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti.

Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan

memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat

mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan penjelasan panjang dalam bab-bab sebelumnya, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, Pesantren dan NU memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan pemikiran Abdurrahman Wahid. Ini karena lebih dari separuh usianya dihabiskan untuk bergulat dengan dunia pesantren dan NU. Tradisi keilmuagamaan yang dikembangkan, pandangan kemasyarakatan NU dan Pesantren akhirnya melekat dalam diri Abdurrahman Wahid. Maka tidak heran jika dari tradisi keagamaan

Ahlusunnah wal jama’ahnya—yang di dalamnya merupakan perpautan tiga elemen

penting Islam, yakni tauhid, fiqih dan tasawuf—melahirkan pandanganya yang tidak bercorak “hitam-putih”

Kedua, pandangan tersebut akan terlihat jelas dalam sikap Wahid tentang agama dan negara. Wahid menolak Islam sebagai konstruk masyarakat Indoensia, sekalipun Islam sebagai anutan mayoritas. Di mata Wahid, agama memiliki logika sendiri, begitu juga negara. Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya. Sedangkan negara seperti Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan