• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Parameter Faktor Fisik-Kimia

Setelah penelitian berlangsung diperoleh hasil pengukuran parameter sifat fisik-kimia dari masing-masing stasiun seperti tertera pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Nilai Rata-rata Parameter Fisik-Kimia Perairan Pada Masing-masing Stasiun di Perairan Muara Sungai Asahan.

Baku Stasiun Pengamatan No Parameter

Lingkungan Satuan Mutu I II III Fisik

1 Suhu °C 28-32 28 29,5 29,83

2 Penetrasi cahaya cm - 50 100 120

3 Intensitas cahaya Lux - 248 384 343

4 TDS mg/l - 12752 21178 23036

5 TSS mg/l 80 84 68 62

6 Kandungan organik substrat % - 3,3269 1,3635 1,7944

7 Tipe substrat - - lumpur

lumpur berpasir lumpur berpasir Kimia 8 pH - 7-8,5 5,20 5,60 6,03 9 Salinitas ‰ s/d 34 12,83 24 26,80 10 COD mg/l <80 42,40 54,40 25,60 11 BOD5 mg/l <20 0,40 1,20 0,80 12 DO mg/l >5 5,80 5,20 6,00 13 NO3 mg/l 0,008 0,13 0,11 0,09 14 PO4 mg/l 0,015 0,10 0,11 0,14

Keterangan : Stasiun 1 kawasan mangrove, stasiun 2 pemukiman dan pelabuhan, stasiun 3 mulut muara.

a. Suhu

Hasil pengukuran suhu berkisar antara 28ºC – 29,83ºC. Suhu terendah 28º terdapat pada stasiun 1 yaitu kawasan mangrove, hal ini mungkin disebabkan pada stasiun 1 terdapat kanopi dari tumbuhan mangrove yang terdapat di tepi sungai sehingga dapat menghalangi sinar matahari. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 3 (mulut muara) pada daerah ini tidak terdapat kanopi, sinar matahari langsung kontak ke badan air sehingga dapat meningkatkan suhu perairan.

Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara di sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi.

Selanjutnya Edward (1995) menyatakan tingginya nilai suhu disebabkan oleh pengaruh suhu udara lokal yang tinggi pada saat pengamatan, sehingga pemanasan massa air di lapisan permukaan berlangsung efektif. Namun demikian hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut. setalah dibandingkan dengan baku mutu air laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Selanjutnya Sidabutar dan Edward (1995) menyatakan suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25ºC- 32ºC. DEPTAN KLH 1984 dalam Edward dan Sidabutar (1995) nilai suhu antara 15° C - 32º C untuk budidaya kerang hijau dan tiram dan suhu 15° C - 31° C untuk budidaya kerang bulu.

b. Penetrasi Cahaya

Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada ketiga stasiun berkisar antara 50 cm - 120 cm. Terendah pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 50 cm. Keadaan ini bisa terjadi dilihat dari tipe substratnya bahwa pada daerah mangrove merupakan sedimen berlumpur.

Sediadi dan Edward (1999) menjelaskan tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi massa air yang berasal dari sungai dan pengadukan oleh gelombang terhadap sedimen dalam hal ini sedimen berlumpur. Dan tertinggi pada stasiun 3 (mulut muara) sebesar 120 cm, hal ini mungkin disebabkan pengadukan oleh gelombang terhadap sedimen tidak begitu berarti seperti di daerah mangrove.

Menurut Wardhana (2004) kekeruhan pada perairan lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus. Bahan buangan industri yang berbentuk padat jika tidak dapat larut sempurna akan mengendap dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid.

Selanjutnya menurut Edward (1995) kecerahan yang baik untuk kehidupan biota adalah jumlah cahaya yang masuk tidak terlalu besar, sehingga proses fotosintesis dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplanton memadai untuk kehidupan semua biota perairan. Hasil pengukuran kecerahan pada ketiga stasiun jika dibandingkan dengan baku mutu air laut berada dibawah normal.

c. Intensitas Cahaya

Hasil pengukuran intensitas cahaya berkisar antara 248 – 384 cm, nilai terendah pada stasiun 1 (stasiun mangrov) sebesar 248 cm dan tertinggi pada stasiun 2 (pemukiman) sebesar 384. Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan jasad hidup di perairan. Dalam hubungannya dengan fotosintesis, intensitas dan panjang gelombang sinar matahari sangat penting.

Menurut Erlina (2007) intensitas cahaya dipengaruhi oleh faktor kedalaman dan cuaca yaitu adanya awan. Awan yang melintas mengakibatkan isolation (pemanasan lautan atau daratan oleh sinar matahari) berkurang karena awan menyerap dan menyebarkan sinar-sinar yang datang.

d. TDS (Total Dissolved Solid)

Hasil pengukuran TDS atau padatan terlarut total yang diperoleh pada ketiga stasiun berkisar antara 12752 mg/l – 23036 mg/l, terendah pada stasiun 1 sebesar 12752 mg/l sedangkan tertinggi pada stasiun 3 sebesar 23036 mg/l.

Menurut Hutter (1990) dalam Barus (2004) pada perairan yang konsentrasi mineralnya sedikit mempunyai harga total dissolved solid berkisar antara 50 mg/l – 400 mg/l, sementara pada perairan yang kaya akan mineral mempunyai harga total dissolved solid pada kisaran antara 500 mg/l – 2000 mg/l. Keputusan Gubernur Bali No 8 tahun 2007 menetapkan baku mutu TDS adalah 2000 mg/l. Dari hasil pengukuran bahwa nilai TDS pada ketiga stasiun melebihi baku mutu air.

e. TSS (Total Suspended Solid)

Nilai TSS atau total padatan tersuspensi yang diperoleh pada ketiga stasiun berkisar antara 62 mg/l – 84 mg/l, tertinggi pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 84 mg/l. Hal ini mungkin disebabkan terbawanya zat padat tersuspensi oleh aliran sungai. Sedangkan pada stasiun 3 nilai TSS paling rendah sebesar 62 mg/l ini mungkin diakibatkan lokasi yang sudah mengarah ke laut.

Tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi massa air yang berasal dari sungai. Kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan (Prayitno dan Edward, 2003). Selanjutnya Poppo et al,. (2008) menyatakan zat padat tersuspensi (TSS) berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai zat padat tersuspensi maka nilai kekeruhan akan semakin tinggi.

Setelah dibandingkan dengan hasil pengukuran nilai TSS dan penetrasi cahaya pada masing-masing stasiun seperti tertera dalam Tabel 4.1 pernyataan di atas sangatlah relevan. Hasil pengukuran TSS pada stasiun 1 melebihi standar baku mutu, sedangkan stasiun 2 dan 3 masih berada dalam ambang batas. Menurut Keputusan Gubernur Bali No. 8 tahun 2007 bahwa standar baku mutu padatan tersuspensi pada air laut untuk biota laut adalah 20-80 mg/l.

f. Kandungan Substrat Organik

Hasil pengukuran kandungan substrat organik pada ketiga stasiun berkisar antara 1,36% - 3,33% tertinggi pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 3,33%. Hal ini disebabkan adanya sumber bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove dan juga limbah-limbah organik dari pemukiman yang terbawa oleh aliran sungai. Nontji (1986) mengatakan tingginya kandungan organik pada lokasi mangrove berasal dari guguran daun bakau dan merupakan sumber bahan organik yang penting dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7 – 8 ton/ tahun.

Menurut Fitriana (2006) bahan organik tanah merupakan material penyusun tanah yang berasal dari sisa tumbuhan dan binatang, baik yang berupa jaringan asal maupun yang telah mengalami pelapukan. Sumber utama bahan organik tanah berasal dari daun, ranting, cabang dan akar tumbuhan yang telah mengalami pembusukan.

Kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat berdasarkan prosentase adalah sebagai berikut : < 1% kategori sangat rendah, 1% - 2% rendah, 2,01% - 3% sedang, 3,01% - 5% tinggi dan > 5 sangat tinggi (Djaenuddin et al., 1994). Dengan demikian kandungan organik substrat perairan Sungai Asahan khususnya stasiun 1 tergolong tinggi.

g. Tipe Substrat

Hasil pengamatan tipe substrat menunjukkan bahwa pada stasiun 1 (mangrove) merupakan substrat berlumpur. stasiun 2 (pemukiman) terdiri dari substrat lumpur berpasir dan stasiun 3 (mulut muara) juga lumpur berpasir. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang seringkali sangat lunak. Substrat berlumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa ke dalam estuaria baik dari air laut maupun air tawar. Substrat pada tempat yang arusnya kuat akan menjadi kasar (pasir atau kerikil) karena hanya partikel besar yang mengendap, sedangkan jika perairan tenang dan arus lemah lumpur haluslah yang akan mengendap. Diantara partikel-partikel yang mengendap di estuaria bersifat organik. Akibatnya substrat ini sangat kaya bahan organik. Bahan inilah yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuaria.

h. pH ( Derajat Keasaman)

Hasil pengukuran tentang pH berkisar antara 5,20-6.00, paling rendah pada stasiun 1 (magrove) sebesar 5,20 dan tertinggi pada stasiun 3 (muara). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik yang berasal dari mangrove, limbah pemukiman dan juga limbah dari pergudangan- pergudangan ikan maupun aktivitas lainnya yang langsung dibuang ke sungai.

Menurut Poppo et al., (2008) rendahnya nilai pH disebabkan oleh proses penguraian bahan organik dalam limbah oleh bakteri anaerob yang menghasilkan asam organik. Kondisi anaerob dengan zat organik yang mengandung nitrogen dan belerang menyebabkan peningkatan asam sulfida dan amonia sehingga senyawa tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH.

Timbulnya pengasaman atau penurunan nilai pH pada ekosistem air disebabkan oleh peningkatan emisi pencemar udara yaitu NOx dan SO2 yang berasal dari aktivitas industri. Di atmosfir emisi pencemar tersebut akan membentuk asam kuat seperti asam sulfat dan asam nitrit dan akan menyebabkan penurunan pH air hujan sehingga berakibat pada penurunan pH ekosistem perairan (Wardhana, 2004).

Baku mutu air laut No 51 tahun 2004 dan Barus (2004) menyatakan nilai pH yang ideal bagi organisme air berkisar antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi.

Hasil pengukuran nilai pH pada ketiga stasiun berada di bawah ambang batas, namun keadaan ini masih mampu ditolelir oleh biota dalam perairan, Hal ini selaras

dengan pendapat Edward (1995) menyatakan di alam umumnya pH berkisar antara 4 -9, kecuali di daerah bakau nilai pH dapat menjadi lebih rendah.

i. Salinitas

Hasil pengukuran terhadap salinitas berkisar antara 12,80 – 26,80 ‰, salinitas terendah terdapat pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 12,80 ‰. Hal ini mungkin disebabkan debit air tawar yang berasal dari Sungai Asahan lebih besar dibanding dengan air pasang dari laut. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Dahuri (2003) sirkulasi air di daerah estuaria sangat dipengaruhi oleh aliran air tawar yang bersumber dari badan sungai di atasnya dan air pasang yang berasal dari laut. Besar atau kecilnya debit kedua aliran massa air tersebut akan mempengaruhi pola stratifikasi massa air berdasarkan salinitas.

Salinitas paling tinggi pada stasiun 3 sebesar 26,80 ‰, stasiun 3 berada pada mulut muara yang berarti pencampuran air laut lebih banyak dibanding dengan air tawar. Namun hasil pengukuran salinitas pada setiap stasiun masih berada dalam batas yang normal. Menurut Barus (2004) salinitas air payau berkisar antara 0,5- 30 ‰, sedangkan Baku Mutu Air Laut no 51 Tahun 2004 menetapkan salinitas untuk biota laut s/d 34 ‰.

Selanjutnya (KLH, 1984 dalam Romimohtarto dan Sri 1985) menetapkan nilai ambang salinitas antara 26 -35‰ untuk budidaya kerang hijau sedangkan untuk budidaya tiram 15 – 35 ‰. Hasil pengukuran terhadap salinitas pada ketiga stasiun berada dalam batas yang normal.

j. COD (Chemical Oxygen Demand)

Hasil pengukuran COD berkisar antara 25,6 mg/l – 54,4 mg/l, terendah pada stasiun 3 (mulut muara) sebesar 25,6 mg/l dan tertinggi pada stasiun 2 (pemukiman dan pelabuhan) sebesar 54,4 mg/l. Tingginya kadar COD pada stasiun ini mungkin diakibatkan oleh adanya limbah dari pemukiman dan limbah kimia dari aktivitas operasional mesin-mesin kapal yang mengakibatkan makin sulitnya penguraian limbah melalui reaksi oksidasi.

Dilihat dari nilai COD pada ketiga stasiun nilainya masih dibawah baku mutu air laut, yang artinya perairan ini belum tercemar oleh limbah kimia.

k. BOD5 (Biological Oxygen Demand)

Nilai BOD5 yang diperoleh dari ketiga stasiun berkisar antara 0,76 mg/l – 1,80 mg/l, terendah terdapat pada stasiun 3 ( mulut muara) sebesar 0,76 mg/l dan tertinggi pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 1,80 mg/l. Keadaan ini diakibatkan bahwa di daerah ini terdapat bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Untuk peristiwa dekomposer bahan organik tersebut diperlukan oksigen yang cukup.

Menurut Slamet et al., (2007) peningkatan nilai BOD5 merupakan petunjuk tingginya kandungan bahan organik pada perairan tersebut yang ditunjukkan oleh penurunan kandungan oksigen terlarut. Selanjutnya Menurut Wardhana (2004) sebenarnya peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

Hasil pengukuran pada ketiga stasiun setelah dibandingkan dengan baku mutu air laut nilai BOD5 ini masih jauh dibawah normal. Yang artinya perairan muara sungai Asahan tergolong baik. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Salmin (2005) suatu perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik, maka kadar oksigen terlarutnya (DO) >5 ppm dan kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar 0 – 10 ppm. Dengan demikian jika ditinjau dari hasil pengukuran DO dan BOD5 pada ketiga stasiun masih berada dalam kisaran ambang batas yang berarti perairan tersebut belum tercemar oleh limbah organik.

l. DO (Dissolved Oxygen)

Nilai oksigen terlarut pada ketiga stasiun berkisar antara 5,20 mg/l – 6,00 mg/l terendah pada stasiun 2 sebesar 5,20 mg/l hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya buangan sampah-sampah organik yang mudah membusuk yang berasal dari pemukiman dan pelabuhan. Menurut Poppo et al., (2008) penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam air adalah adanya buangan bahan-bahan yang mudah membusuk. Untuk proses penguraian sampah-sampah organik tersebut mikroorganisme (pengurai) membutuhkan oksigen.

Selanjutnya rendahnya kadar oksigen pada suatu perairan diduga disebabkan oleh banyaknya sampah-sampah organik yang berasal dari darat sehingga membutuhkan banyak oksigen untuk penguraiannya (Taraundu, 1993). Nilai DO tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6,00 mg/l ini mungkin disebabkan mengingat lokasi

stasiun 3 sudah jauh dari pemukiman (terhindar dari buangan limbah-limbah organik).

Nyibaken (1992) mengemukakan masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuaria karena kondisinya yang dangkal, pengadukan serta pencampuran oleh angin biasanya akan memberikan persediaan oksigen terlarut yang cukup dalam kolom air. Selanjutnya Sidabutar dan Edward (1995) menyatakan sumber utama oksigen terlarut di dalam air adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesa biota yang memiliki klorofil yang hidup di perairan.

Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu, salinitas, pergerakan air di permukaan, luas daerah permukaan air yang terbuka dan prosentase oksigen di sekelilingnya. Menurut Barus (2004) setiap kenaikan suhu 10º C akan meningkatkan laju metabolisme, termasuk ikan sebesar 2 – 3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme maka konsumsi oksigen juga meningkat dan akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan menjadi berkurang.

Hasil pengukuran ini setelah dibandingkan dengan baku mutu air laut kadar oksigen pada ketiga stasiun tergolong normal. KLH (1984) dalam Edward (1995) menetapkan nilai ambang oksigen terlarut antara 3 ppm – 8 ppm untuk budidaya kerang hijau dan tiram, dan 2 ppm – 3 ppm untuk budidaya kerang bulu dan kerang darah.

m. NO3 (Nitrat)

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar nitrat pada ketiga stasiun berkisar antara 0,09 mg/l – 0,12 mg/l, terendah pada stasiun 3 (mulut muara) sebesar 0,09 mg/l dan tertinggi pada stasiun 1 sebesar 0,13 mg/l. Tingginya kadar nitrat pada stasiun 1 mungkin disebabkan adanya serasah dari tumbuhan mangrove yang membusuk dan diuraikan mikroorganisme menjadi zat hara.

Menurut Rheinheimer et al., (1998) dalam Barus (2004) pada badan air terjadi oksidasi nitrit menjadi nitrat dengan adanya mikroorganisme dan oksigen, peristiwa ini dikenal dengan proses nitrifikasi. Nitrat merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang.

Hasil pengukuran terhadap parameter nitrat pada ketiga stasiun melebihi baku mutu air laut untuk biota laut. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh adanya bahan organik maupun anorganik yang berasal dari daratan yang terkikis dan menjadi mineral terlarut yang terbawa oleh aliran sungai. Salmin (2005) menyatakan bahan organik dan anorganik yang terbawa aliran sungai menjadikan estuaria menjadi perairan yang subur.

Selanjutnya menurut Edward dan Tarigan (1997) tingginya kadar nitrat selain berasal dari aliran-aliran air tawar juga berasal dari air hujan.

m. PO4 (Posfat)

Kandungan posfat yang diperoleh pada ketiga stasiun berkisar antara 0,10 mg/l – 0,13 mg/l. Terendah pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 0,10 mg/l dan

tertinggi pada stasiun 3 (mulut muara) sebesar 0,13 mg/l. Setelah dibandingkan dengan baku mutu air laut kandungan posfat pada muara sungai Asahan nilainya di atas baku mutu air laut. Hal ini diduga bersumber dari limpasan limbah industri perikanan dan pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah organik .

Menurut Manik (2003) fosfat dalam suatu perairan bersumber dari limbah industri, limbah domestik dan pertanian hancuran-hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfat. Kandungan fosfat di suatu daerah estuaria selain berasal dari perairan itu sendiri, juga tergantung pada keadaan di sekelilingnya seperti sumbangan dari daratan melalui sungai ke perairan tersebut dan hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri sebagai menguraikan serasah menjadi zat hara fosfat.

Selanjutnya Joshimura dalam dalam Simanjuntak (2006) menyatakan tingkat kesuburan suatu perairan dapat ditinjau dari kadar fosfat dengan kisaran 0,07 – 1,61

ȝg/l adalah kategori perairan cukup subur. Dengan demikian dari hasil pengukuran pada ketiga stasiun perairan muara Sungai Asahan tergolong kategori cukup subur. Untuk lebih jelasnya klasifikasi tingkat kesuburan dapat di lihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7. Tingkat kesuburan menurut Joshimura dalam Simanjuntak (2006)

Fosfat (μg A/l) Tingkat Kesuburan

0 – 0,06 Kurang subur

0,07 – 1,61 Cukup subur

1,62 – 2,32 Subur

4.7 Analisis Korelasi Keanekaragaman Bivalvia Dengan Faktor Fisik Kimia

Dokumen terkait