KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA
KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
T E S I S
OLEH
LAMRIA BANJARNAHOR
087030013
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA
KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
OLEH
LAMRIA BANJARNAHOR
087030013
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR DI MUARA SUNGAI ASAHAN
Nama : LAMRIA BANJARNAHOR
NIM : 087030013
Program Studi : BIOLOGI
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc Prof.Dr.Syafruddin Ilyas, M.BioMed Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M.Sc Anggota : Prof. Dr. Syafruddin Ilyas M.BioMed
PERNYATAAN
KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2010 Penulis
PENGHARGAAN
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan” dalam waktu yang telah ditetapkan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada progam studi Magister Biologi Sekolah pascasajana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus.,M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas M.Biomed selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan, serta perhatian selama Penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih banyak kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti,.MS dan Ibu Dr. Suci Rahayu sebagai dosen
penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membekali penulis dalam berbagai disiplin ilmu.
4. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Bapeda Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan studi S2 Biologi pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Suami tercinta Drs. Pelman Sinaga dan ananda Luna Caroline, Agriva Amelia dan Oliver Orlando yang telah banyak memberikan motivasi, dorongan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 ini.
6. Keluarga besar orang tuaku tercinta Ayahanda St. R. Banjarnahor (alm) dan Ibunda tersayang T. Lumbangaol yang telah membesarkan dan mendidik penulis, serta seluruh keluarga abang kakak dan adik serta keponakanku yang telah banyak memberikan dukungan materil maupun moril.
7. Keluarga besar mertua tersayang Bapak Dj. Sinaga (alm)/ Ibu B.br Siringoringo dan keluarga abang, adek iparku yang telah banyak memberikan dukungan.
8. Keluarga besar SMA negeri 5 Medan, Kepala Sekolah Bapak Drs. Salmi Effendi M.Pd. PKS, rekan-rekan guru dan pegawai serta karyawan yang sangat banyak membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan studi S2 ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap memberikan kasihNya yang besar kepada kita, sehingga kita tetap semangat dalam mengejar ilmu dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Agustus 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Doloksanggul Kabupaten Humbahas pada tanggal 12 Nopember 1970. Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar (SD) negeri 1 Hutapaung dari tahun 1977 – 1983
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri Pollung dari tahun 1983 -1987
3. Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMT Pertanian) negeri Pematang Raya dari tahun 1987-1990
4. Sarjana (S1) Fakultas MIPA Program Studi Biologi Universitas Palangkaraya dari tahun 1991-1996 (memperoleh gelar S.Pd)
5. Tahun 2008 – 2010 mendapat kesempatan belajar pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Biologi program beasiswa dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.
Riwayat Pekerjaan
ABSTRAK
Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia air di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel dengan metode Purposiv random sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan untuk setiap stasiun dengan menggunakan serok. Sampel bivalvia yang didapat diidentifikasi di laboratorim Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.
Hasil analisis laboratorim terhadap parameter faktor fisik- kimia air dengan mengacu pada baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan surat keputusan No 51 tahun 2004 mengindikasikan bahwa perairan muara Sungai Asahan masih tergolong baik untuk kelangsungan hidup biota termasuk bivalvia.
Dari hasil penelitian diperoleh Bivalvia yang terdiri dari 4 ordo, 9 famili dan 13 genus yaitu genus Anadara 1, Anadara 2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, dan Ruditapes.Indeks keanekaragaman bivalvia di muara Sungai Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051, indeks keseragaman tergolong tinggi dengan nilai 0,886 – 0,993, sedangkan indeks similaritas (kemiripan) genus bivalvia yang diperoleh pada stasiun 1 dan stasiun 2 adalah mirip dengan nilai 72,72%, antara stasiun 2 dan stasiun 3 dengan nilai 14,28% (tidak mirip) dan antara stasiun 1 dan stasiun 3 dengan nilai 40% juga tidak mirip. Selanjutnya indeks morista (distribusi) setiap genus adalah mengelompok.
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya, intesitas cahaya,TDS, pH, salinitas, DO, BOD5, dan PO4 berkorelasi positif (+) atau searah terhadap keanekaragaman bivalvia sedangkan TSS, COD, kandungan organik dan NO3 berkolerasi negatif (-) atau berlawanan terhadap keanekaragaman bivalvia, selanjutnya TSS, DO, NO3 dan kandungan substrat organik berkorelasi positif (+) atau searah terhadap distribusi bivalvia sedangkan suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, BOD, COD, dan PO4 berkorelasi negatif (-) atau berlawanan terhadap distribusi bivalvia.
ABSTRACT
This study deals with the diversity and distribution of bivalve and its relations with the physical and chemical factors of water on the Mouth of Asahan River carried out Augst 2009. Establishment of sampling location for taking the sample is by Purposive random sampling method on 3 (three) stations. It took samples with 30 repetitions on each station using scoop. The bivalve sample as obtained then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management,Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University.
On laboratory analysis over parameter of physics and chemistry factors in water with the result relied on quality standard of sea water for marine biota as appointed by The State Minister on Environment under the Decision No. 51 of 2004 indicated that the water of Sungai Asahan’s mouth is classified properly for having survival on biota included bivalve.
The result of study there are obtained Bivalve comprising of 4 ordo, 4 family and 13 genus such as Anadara sp1, Anadara sp2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, and Ruditapes. The diversity index of Bivalve on Asahan River mouth is classified lower with its rate of 1,426 – 2,051, its equality index is classified high with rate of 0,886 – 0,993, while the similarities index (resemblance) genus bivalve as obtained on station 1 and station 2 are its resemblance with rate of 72,72%, between station 2 and station 3 with rate of 14,28% (not resembled) and between station 2 and station 3 with rate 14,28% (not resembled) and between station 1 and station 3 with rate 40% it is also not resembled. Further, its morista index (distribution) of each genus is run to group.
The analysis result in Pearson correlation showed that the temperature, light penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, BOD5, and PO4 is correlated positive (+) or same direction over diversity bivalve while TSS, COD, its organic content and NO3- is correlated negative (-) or be opponent over diversity bivalve, further TSS, DO, NO3 and the content of organic substrate is correlated positive (+) or be directive over distribution bivalve while the temperature, light intensity, light penetration, TDS, pH, salinity, BOD, COD, and PO4 is correlated negative (-) or be opponent over distribution bivalve.
3.4 Pangambilan Sampel... 23
3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan ... 24
3.6 Analisis Data ... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Biota ... 31
4.2 Nilai Kepadatan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi kehadiran Bivalvia pada Masing-masing Stasiun Penelitian ... 41
4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’) ... 46
4.4 Indeks Similaritas... 48
4.5 Indeks Distribusi ( Morista ) ... 49
4.6 Parameter Faktor Fisik-Kimia... 51
4.7 Analisis Korelasi Keanekaragaman Bivalvia dengan Faktor Fisik – Kimia Perairan ... 64
4.8. Analisis Korelasi Distribusi Bivalvia dengan Faktor Fisik – Kimia Perairan ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 69
5.2 Saran... 70
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran... Faktor Fisik Kimia Perairan ... 27 Tabel 4.1. Hasil Identifikasi ... 31 Tabel 4.2. Nilai Kepadatan Populasi ( ind./m2 ), Kepadatan Relatif ( % ) dan
Frekuensi Kehadiran ( % ) pada Setiap Stasiun Penelitian ... 41 Tabel 4.3. Nilai Indeks Keanekaragaman ( H’ ) dan Indeks Keseragaman ( E’ )
Bivalvia pada Setiap Penelitian... 47 Tabel 4.4. Nilai Indeks Similaritas ( IS ) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun
Penelitian... 48 Tabel 4.5. Nilai Indeks Morista pada Setiap Stasiun Penelitian ... 49
Tabel 4.6. Nilai Rata-rata Parameter Fisik-Kimia Perairan pada
Masing-masing Stasiun di Perairan Muara Sungai Asahan ... 51 Tabel 4.7. Tingkat Kesuburan Menurut Joshimura dalam
Simanjuntak (2006)... 63
Tabel 4.8. Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Bivalvia dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan ... 64 Tabel 4.9. Nilai Analisis Korelasi Distribusi Bivalvia dengan Faktor
Fisika - Kimia Perairan ... 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1.1 Bentuk Morfologi Cangkang Anadara 1 ... 32
Gambar 4.1.2 Bentuk Morfologi Cangkang Anadara 2 ... 33
Gambar 4.1.3 Bentuk Morfologi Cangkang Aequipecten ... 34
Gambar 4.1.4 Bentuk Morfologi Cangkang Ensis ... 34
Gambar 4.1.5 Bentuk Morfologi Cangkang Macoma ... 35
Gambar 4.1.6 Bentuk Morfologi Cangkang Marcia ... 36
Gambar 4.1.7 Bentuk Morfologi Cangkang Meretrix ... 36
Gambar 4.1.8 Bentuk Morfologi Cangkang Nutallia ... 37
Gambar 4.1.9 Bentuk Morfologi Cangkang Paphia ... 38
Gambar 4.1.10 Bentuk Morfologi Cangkang Perna ... 38
Gambar 4.1.11 Bentuk Morfologi Cangkang Pinctada ... 39
Gambar 4.1.12 Bentuk Morfologi Cangkang Ruditapes ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO... 76
Lampiran B : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 ... 77
Lampiran C : Bagan Kerja Untuk Mengukur COD ... 78
Lampiran D : Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat... 79
Lampiran E : Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)... 80
Lampiran F : Bagan Kerja Analisis Fospat (PO4) ... 81
Lampiran G : Alat Penangkap Kerang... 82
Lampiran H : Alat Spectofotometri ... 83
Lampiran I : Peta Lokasi Penelitian ... 84
Lampiran J : Foto Lokasi Penelitian ... 85
Lampiran K : Data Mentah Bivalvia yang Diperoleh ... 86
Lampiran L : Contoh Hasil Perhitungan ... 87
ABSTRAK
Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia air di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel dengan metode Purposiv random sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan untuk setiap stasiun dengan menggunakan serok. Sampel bivalvia yang didapat diidentifikasi di laboratorim Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.
Hasil analisis laboratorim terhadap parameter faktor fisik- kimia air dengan mengacu pada baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan surat keputusan No 51 tahun 2004 mengindikasikan bahwa perairan muara Sungai Asahan masih tergolong baik untuk kelangsungan hidup biota termasuk bivalvia.
Dari hasil penelitian diperoleh Bivalvia yang terdiri dari 4 ordo, 9 famili dan 13 genus yaitu genus Anadara 1, Anadara 2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, dan Ruditapes.Indeks keanekaragaman bivalvia di muara Sungai Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051, indeks keseragaman tergolong tinggi dengan nilai 0,886 – 0,993, sedangkan indeks similaritas (kemiripan) genus bivalvia yang diperoleh pada stasiun 1 dan stasiun 2 adalah mirip dengan nilai 72,72%, antara stasiun 2 dan stasiun 3 dengan nilai 14,28% (tidak mirip) dan antara stasiun 1 dan stasiun 3 dengan nilai 40% juga tidak mirip. Selanjutnya indeks morista (distribusi) setiap genus adalah mengelompok.
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya, intesitas cahaya,TDS, pH, salinitas, DO, BOD5, dan PO4 berkorelasi positif (+) atau searah terhadap keanekaragaman bivalvia sedangkan TSS, COD, kandungan organik dan NO3 berkolerasi negatif (-) atau berlawanan terhadap keanekaragaman bivalvia, selanjutnya TSS, DO, NO3 dan kandungan substrat organik berkorelasi positif (+) atau searah terhadap distribusi bivalvia sedangkan suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, BOD, COD, dan PO4 berkorelasi negatif (-) atau berlawanan terhadap distribusi bivalvia.
ABSTRACT
This study deals with the diversity and distribution of bivalve and its relations with the physical and chemical factors of water on the Mouth of Asahan River carried out Augst 2009. Establishment of sampling location for taking the sample is by Purposive random sampling method on 3 (three) stations. It took samples with 30 repetitions on each station using scoop. The bivalve sample as obtained then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management,Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University.
On laboratory analysis over parameter of physics and chemistry factors in water with the result relied on quality standard of sea water for marine biota as appointed by The State Minister on Environment under the Decision No. 51 of 2004 indicated that the water of Sungai Asahan’s mouth is classified properly for having survival on biota included bivalve.
The result of study there are obtained Bivalve comprising of 4 ordo, 4 family and 13 genus such as Anadara sp1, Anadara sp2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, and Ruditapes. The diversity index of Bivalve on Asahan River mouth is classified lower with its rate of 1,426 – 2,051, its equality index is classified high with rate of 0,886 – 0,993, while the similarities index (resemblance) genus bivalve as obtained on station 1 and station 2 are its resemblance with rate of 72,72%, between station 2 and station 3 with rate of 14,28% (not resembled) and between station 2 and station 3 with rate 14,28% (not resembled) and between station 1 and station 3 with rate 40% it is also not resembled. Further, its morista index (distribution) of each genus is run to group.
The analysis result in Pearson correlation showed that the temperature, light penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, BOD5, and PO4 is correlated positive (+) or same direction over diversity bivalve while TSS, COD, its organic content and NO3- is correlated negative (-) or be opponent over diversity bivalve, further TSS, DO, NO3 and the content of organic substrate is correlated positive (+) or be directive over distribution bivalve while the temperature, light intensity, light penetration, TDS, pH, salinity, BOD, COD, and PO4 is correlated negative (-) or be opponent over distribution bivalve.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, meluas ke sungai sejauh batas pasang naik dan bercampur dengan air tawar yang berasal dari drainase daratan (Supriharyono, 2006). Menurut Dahuri (2003) estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran air tawar dengan air laut. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Partikel yang mengendap kaya akan bahan organik yang berperan sebagai cadangan makanan bagi organisme estuaria.
Perairan muara memiliki ciri fluktuasi salinitas yang bergantung pada musim, pasang surut dan jumlah air tawar. Demikian pula dengan suhu perairan muara lebih cenderung bervariasi dibandingkan perairan di dekatnya karena volume air kecil sedangkan luas permukaan lebih besar. Sementara itu tingkat kecerahan perairan muara cenderung lebih rendah dibanding perairan sekitarnya terutama saat aliran sungai maksimum (Dahuri, 2003).
Asahan. Kawasan muara Sungai Asahan terdiri dari vegetasi mangrove, daerah pemukiman / perkotaan, pergudangan dan pengolahan ikan.
Muara Sungai Asahan juga telah mengalami eksploitasi karena sudah dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas manusia antara lain; pemukiman, sarana transportasi, pelabuhan, pergudangan dan tempat penangkapan biota laut berupa ikan, kepiting, udang dan kepah. Adanya aktifitas tersebut dapat memberikan dampak negatif berupa pencemaran (Jovita et al., 2003).
Menurut Dahuri (2003) sebagian besar bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan. Sumber pencemaran dapat di kelompokkan sebagai berikut; (1) industri, (2) limbah cair pemukiman (sewage), (3) limbah cair perkotaan (urban stormwater), (4) pertambangan, (5) pelayaran (shipping), (6) pertanian, dan (7) budidaya perikanan. Pencemaran di daerah pesisir dan laut dapat juga terjadi akibat frekuensi transportasi lalu lintas yang sangat tinggi mengakibatkan adanya tumpahan minyak.
Menurut Darmono (2001) minyak mengandung senyawa aromatik hidrokarbon toksik seperti benzena dan toluena yang dapat membunuh karang. Selanjutnya Connel dan Miller (1995) menyatakan buangan yang mengandung minyak baik sengaja maupun tidak sengaja akibat penambangan dan pengangkutan menimbulkan penurunan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Berbagai aktivitas tersebut merupakan sumber pencemaran bagi perairan pantai sekitarnya.
manusia di daerah pemukiman, pertambakan, pertanian dan industri di sekitarnya. Masukan buangan ke dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisik, kimia dan biologi dalam perairan.
Ditinjau dari sudut pandang ekologi, kawasan pesisir merupakan suatu ekosistem alami yang terbentuk puluhan tahun silam. Disamping fauna juga terdapat berbagai flora seperti bakau (Rhizophora sp), api api (Avicenni sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp) nyirih (Zylocarpus sp), tengar (Ceriop sp) dan buta-buta (Exoecaria sp) yang umum dijumpai di Indonesia. Tumbuhan tersebut memberi perlindungan dan dukungan bagi kehidupan fauna-fauna di dalamnya (Dahuri 2003).
Peningkatan aktivitas manusia di sekitar perairan muara Sungai Asahan akan mempengaruhi beberapa faktor lingkungan yang pada akhirnya akan memberi pengaruh pada individu dan juga komunitas bentik. Faktor lingkungan dalam suatu ekosistem akan mempengaruhi jumlah dan jenis biota yang hidup di dalamnya. Hal ini selaras dengan pendapat Nybakken (1992) bahwa kehidupan hewan bentik pada ekosistem perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, baik lingkungan biotik maupun abiotik yang dapat mempengaruhi kelimpahan dan keseragaman jenis biota di lingkungan tersebut.
Anadara antiquata (kerang bulu). Mytilus viridis (kerang hijau) Crassostrea cucullata (tiram bakau) sebagai perhiasan dan lainnya (Nontji, 1987). Selanjutnya Nurdin et al., (2008) menyatakan kerang hidup pada semua tipe perairan yaitu air tawar, estuaria dan perairan laut.
Muara Sungai Asahan yang telah mengalami eksploitasi dapat mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota laut termasuk kelompok Bivalvia. Sampai saat ini informasi mengenai keanekaragaman Bivalvia di muara Sungai Asahan belum pernah didapatkan, oleh itu karena perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui secara ilmiah tentang keanekaragaman dan distribusi Bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik kimia.
1.2 Permasalahan
a. Bagaimana pengaruh aktivitas masyarakat terhadap keanekaragaman dan distribusi Bivalvia di perairan muara Sungai Asahan, khususnya di daerah pemukiman, mangrove dan muara.
b. Bagaimana pengaruh sifat fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap keanekaragaman dan distribusi Bivalvia khususnya di tiga lokasi tersebut.
1.3 Tujuan
b. Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia perairan muara Sungai Asahan dengan keanekaragaman dan distribusi Bivalvia.
1.4 Hipotesis
a. Terdapat perbedaan keanekaragaman Bivalvia antar stasiun di perairan muara Sungai Asahan.
b. Terdapat perbedaan distribusi Bivalvia antar stasiun di perairan muara Sungai Asahan.
c. Ada hubungan faktor fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap keanekaragaman Bivalvia.
d. Ada hubungan faktor fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap distribusi Bivalvia.
1.5. Manfaat
a. Dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang keanekaragaman dan distribusi Bivalvia di muara Sungai Asahan Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Bivalvia
Bivalvia memiliki tubuh bilateral simerti, pipih secara lateral kaki berbentuk seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin terpisah, tetapi beberapa diantaranya hermaprodit. Tubuh biasanya dilindungi oleh cangkang yang terdiri dari tiga lapis yaitu; periostrakum, lapisan primatik dan lapisan mutiara (Sugiri, 1989).
Bivalvia atau lebih umum dikenal dengan nama kerang-kerangan, mempunyai dua keping atau belahan kanan dan kiri yang disatukan oleh satu engsel yang bersifat elastis disebut ligamen dan mempunyai dua otot yaitu abductor dan adductor dalam cangkangnya, yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan cangkang tersebut (Barnes, 1982).
Menurut Prawirohartono (2003) secara umum cangkang kerang tersusun atas zat kapur dan terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu:
a. Periostrakum, merupakan lapisan terluar, tipis, gelap dan tersusun atas zat tanduk. b. Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun atas kristal-kristal
CaCO3 berbentuk prisma.
c. Nakreas, merupakan lapisan terdalam disebut juga lapisan mutiara, tersusun atas kristal CaCOз yang halus dan berbeda dengan kristal-kristal pada lapisan prismatik. Perbedaan yang khas dari cangkang dapat menjadi petunjuk identifikasi sampai ke tingkat jenis. Permukaan cangkang, lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu bangunan seperti kipas.
Hewan kelas pelecypoda termasuk kerang, tiram, remis dan sebangsanya. Biasanya bilateral simetris, mempunyai cangkang setangkup dan sebuah mantel yang berupa dua daun telinga atau kuping. Karena cangkang disebut tangkup (valve) dan jumlahnya dua maka kelas ini dinamakan Bivalvia. Bentuk cangkangnya digunakan untuk identifikasi (Romimohtarto dan Sri, 2001). Untuk lebih jelasnya morfologi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.1
Pergerakan Bivalvia dibantu oleh kaki di antara valves yang melebar atau mengait pada dasar material dengan mekanisme tarik ulur dan kontraksi otot. Aktivitas ini diaktivasi dari keluar masuknya darah ke dalam sinus otot-otot kaki (Nybakken et al., 1982). Selanjutnya menurut (Robet et al, 1982 dalam Syafikri 2008 ) Bivalvia tidak memiliki kepala dan mata di dalam tubuhnya. Bivalvia terdiri dari tiga bagian utama yaitu kaki, mantel dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan di antara dua cangkang tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak. Untuk lebih jelasnya anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.2
2.2 Habitat Bivalvia
Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya, makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan dan cenderung untuk memilih kondisi lingkungan serta tipe habitat yang terbaik untuk tetap tumbuh dan berkembangbiak.
Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kelimpahan biota tersebut pada suatu area ataupun ketidakmampuannya berdistribusi mencapai area tersebut (Dodi, 1998).
Pada umumnya Bivalvia hidup membenamkan dirinya di dalam pasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis di antaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan menggunakan byssus atau sifon (Kastoro, 1988).
Selanjutnya menurut Nontji (1987) Bivalvia hidup menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri di dalam pasir atau lumpur bahkan pada karang-karang batu. Akan tetapi pada beberapa spesies Bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken, 1992).
Bivalvia ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit. Oleh karena itu jumlahnya cenderung melimpah pada sediment lumpur dan sediment lunak.
Di daerah intertidal kehidupan pelecypoda dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya pasang surut menyebabkan daerah ini kering dan faunanya terkena udara terbuka secara periodik. Bersentuhan dengan udara terbuka dalam waktu lama merupakan hal yang penting, karena fauna ini berada pada kisaran suhu terbesar akan memperkecil kesempatan memperoleh makanan dan akan mengalami kekeringan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kematian. Oleh karena itu perlu melakukan adaptasi untuk bertahan hidup dan harus menunggu pasang naik untuk memperoleh makanan. Bivalvia dapat mati bila kehabisan air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu. Gerakan ombak berpengaruh pula terhadap komunitasnya dan harus beradaptasi dengan kekuatan ombak. Perubahan salinitas turut juga mempengaruhinya, ketika daerah ini kering oleh pasang surut kemudian digenangi air atau aliran air hujan salinitasnya akan menurun. Kodisi ini dapat melewati batas toleransinya dan akan mengakibatkan kematian (Nybakken, 1992).
Menurut (Sumich, 1992) berdasarkan habitatnya Bivalvia dapat dikelompokkan ke dalam:
a) Bivalvia yang hidup di perairan mangrove.
miskin oksigen. Contoh jenis Bivalvia yang hidup di daerah mangrove; Oatrea spesies dan Gleonia cocxans.
Menurut (Nybakken, 1982 dalam Hari, 1999) Bivalvia merupakan kelompok kedua dari moluska yang menempati hutan mangrove. Tiram adalah Bivalvia dominan dan melekat pada akar-akar mangrove. Bivalvia mempunyai adaptasi khusus untuk dapat bertahan hidup di lingkungan hutan mangrove yang sering mengalami perubahan salinitas secara ekstrem. Salah satu bentuk adaptasi untuk melindungi hewan tersebut jika terjadi hujan deras atau aliran air tawar yang berlebihan adalah dengan cara menutup cangkang.
b) Bivalvia yang hidup di perairan dangkal
Bivalvia yang hidup di perairan dangkal dikelompokkan berdasarkan lingkungan tempat di mana mereka hidup antara lain; hidup di garis pasang tinggi, hidup di daerah pasang surut dan yang hidup di bawah garis surut terendah sampai kedalaman 2 meter. Contoh jenis yang hidup di daerah ini adalah; Vulsella sp, Osterea sp, Maldgenas sp, Mactra sp dll.
c) Bivalvia yang hidup di lepas pantai
2.3 Ekologi Wilayah Pesisir
Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2006)
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2004).
Selanjutnya menurut (Odum, 1998) pada kawasan pesisir di samping hutan mangrove terdapat juga rawa non-mangrove yaitu rawa pasang surut. Rawa pasang surut merupakan daerah antara pasang naik dan pasang surut. Daerah ini dapat meluas jauh melalui muara ke daerah sekitarnya, sehingga membentuk daerah pantai setengah tertutup. Daerah pantai setengah tertutup berhubungan langsung dengan laut terbuka, dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Keadaan air di dalamnya adalah pencampuran antara air laut dengan air tawar. Dilihat dari kondisi demikian daerah ini sering digolongkan ke dalam estuaria atau zona transisi.
Melalui mekanisme pasang surut (pasut) dan aliran sungai terciptalah pencampuran kedua massa air tawar dan air laut secara intensif di estuaria. Selain itu adanya hutan mangrove yang memiliki produksi primer tinggi di sungai besar menyebabkan kandungan detritus organik yang tinggi sehingga produktivitas sekunder di estuaria menjadi tinggi pula. Oleh karena itu, habitat estuaria menjadi sangat produktif hingga dapat berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenile dari berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan dan daerah penangkapan (fising ground) (Dahuri, 2003 ).
Selanjutnya menurut Nybakken (1992) dilihat dari struktur tanah dan bahan penyusunnya pantai intertidal dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu
a) Pantai Berbatu
Daerah ini tersusun dari bahan keras dan merupakan dasar paling padat makroorganismenya dan mempunyai keanekaragaman besar baik spesies hewan maupun tumbuhan. Hamparan tumbuhan vertikal pada zona intertidal berbatu amat beragam, tergantung pada kemiringan permukaan berbatu, kisaran pasang surut dan keterbukaannya terhadap gerakan ombak. Keterangan yang lebih jelas mengenai terjadinya zona adalah bahwa zona-zona tersebut terbentuk dari hasil kegiatan pasang surut di pantai dan oleh karena itu mencerminkan perbedaan toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan terhadap udara dan hasilnya adalah kekeringan dan suhu yang ekstrim. Faktor biologis yang utama adalah persaingan, pemangsa dan grazing (herbivora).
b) Pantai Berpasir
Pantai pasir intertidal umumnya terdapat di seluruh dunia dan lebih terkenal dari pada pantai berbatu, karena pantai pasir ini merupakan tempat yang dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi.
c) Pantai Berlumpur
pantai pasir yaitu berbagai cacing polikaeta, moluska Bivalvia dan krustacea besar dan kecil tetapi dengan jenis yang berbeda tipe cara makan yang dominan di dataran lumpur adalah pemakan deposit dan pemakan bahan yang melayang (suspensi) sama halnya dengan pantai pasir, contohnya tiram telinidae yang kecil dari genus macoma atau Scrobicularia.
2.4 Pencemaran Pesisir
Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) terhadap biota, sumber daya dan kekayaan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1987).
Dampak negatif pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia bahkan penyebab kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan dan merugikan secara sosial ekonomi. Bentuk dampak pencemaran berupa sedimen, eutrofikasi, anoksia (kekurangan oksigen) masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace elemen dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing dan kerusakan fisik habitat.
Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut tidak tepat, baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leeching) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya (Dahuri, 2004).
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia merupakan dua faktor pembatas distribusi populasi selain faktor tingkah laku dan interaksi antara organisme. Setiap organisme mempunyai kisaran toleransi faktor fisik dan kimia tertentu dalam menunjang kehidupannya tergantung spesies dan lingkungannya serta keterkaitan antara keduanya. Beberapa faktor fisik dan kimia antara lain:
a. Suhu
b. Penetrasi Cahaya
Kejernihan air sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton, 1982). Selanjutnya menurut Romimohtarto (1985) kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa.
c. Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis air. Sebagian cahaya tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar permukaan air. Bagi organisme air intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme dalam habitatnya (Barus, 2004).
d. TDS (Total Dissolved Solid)
Nilai total dissolved solid mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu perairan. Nilai TDS mempengaruhi kecerahan dan warna air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton, 1982).
e. TSS (Total Suspension Solid)
TSS merupakan zat-zat tersuspensi yang ada di dalam air. Secara teoritis muatan padatan tersuspensi adalah semua bahan yang masih tetap tertinggal sebagai sisa penguapan dan pemanasan pada suhu 103 – 105 0C. Semakin besar kandungan muatan tersuspensi di dalam air akan mengakibatkan terhalangnya berbagai proses fisika kimia di dalam perairan (Dahuri dan Damar, 1994 dalam Arthana, 2006). f. Kandungan Organik Substrat
Kandungan bahan organik terlarut maupun dalam sedimen mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan organisme (Levinton, 1982).
g. Tipe Substrat
h. Salinitas
Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air biasanya dinyatakan dalam satuan per mil ‰. Berdasarkan nilai salinitas air diklasifikasikan sebagai berikut: air tawar <0,5 ‰, air payau (0,5 – 30 ‰) laut (30 – 40 ‰) dan hiperhalin (>40 ‰) (Barus, 2004). Selanjutnya komponen fauna di estuaria berdasarkan salinitasnya di kelompokkan menjadi 3 (tiga) yakni fauna air tawar, payau dan laut (Dahuri, 2003). Menurut Romimohtarto, (1985) pada salinitas 18‰ keberhasilan menempel kerang darah (Anadara granosa) lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah dari pada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah.
i. pH
Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. pH sangat penting sabagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju
j. Oksigen Terlarut ( Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2004).
k. Biological Oxygen Demand (BOD5)
Nilai BOD5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 20°C. Pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari atau BOD5 (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Angka BOD5 tinggi menunjukan terjadinya pencemaran organik di perairan. Brower et al., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.
l. COD (Chemical Oxygen Demand)
m. Nitrat (NO3)
Menurut Barus (2004) nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitiplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.
n. Fosfat
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai
Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada
02059’30,2”- 03003’33,8” LU dan 099051’43,7”- 099051’22,3” BT.
3.2 Metoda Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan
sampel adalah ”Purposive Random Sampling” pada 3 (tiga) stasiun pengamatan.
3.3 Deskripsi Area
Di perairan Muara Sungai Asahan ini banyak terdapat aktifitas antara lain
pemukiman, sarana transportasi, pergudangan, pengolahan ikan, dan juga eksploitasi
biota seperti penangkapan ikan, udang, kepiting dan kepah. Berbagai aktifitas tersebut
dapat berpengaruh negatif terhadap perairan.
a. Stasiun 1
Stasiun ini secara geografis terletak pada 02059’30,2” LU – 99051’43,7” BT.
Daerah ini merupakan daerah mangrove. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat
b. Stasiun 2
Stasiun ini secara geografis terletak pada 0301’20,8” LU – 99051’37,6” BT.
Daerah ini merupakan daerah pemukiman penduduk dan pelabuhan. Denah dan
lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran G dan H.
c. Stasiun 3
Stasiun ini secara geografis terletak pada 0303’33,8” LU – 99051’22,3” BT.
Daerah ini merupakan mulut muara. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada
lampiran G dan H.
3.4 Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam penentuan titik pengambilan sampel
”purposive random sampling”. Pengambilan sampel Bivalvia dilakukan dengan
menggunakan alat penangkap kerang (serok) dengan lebar 47 cm. Pada setiap stasiun
pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan. Alat tersebut dimasukkan
ke dasar perairan, kemudian diseret sejauh 5 m, selanjutnya ditarik ke atas permukaan
lalu disaring. Sampel Bivalvia yang didapatkan dibersihkan dan disortir, kemudian
dimasukkan ke plastik yang berisi formalin 10% dan diberi label. Sampel tersebut
dibawa ke laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas
MIPA Universita Sumatera Utara untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku
3.5 Pengukuran Faktor Fisika, Kimia
Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup :
a. Suhu
Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan ember, kemudian
dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air
raksa yang dimasukkan ke dalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya
(Suin,2002).
b. Penetrasi Cahaya
Diukur dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan ke dalam badan
air sampai keping secchi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke
dalam air (Barus, 2002)
c. Intensitas Cahaya
Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya
cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut (Suin, 2002).
d. TDS
Pengukuran TDS dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian
Lingkungan Universitas Sumatera Utara.
e. TSS
Pengukuran TSS dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian
f. Kandungan Organik Substrat
Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa
abu, dengan cara substrat diambil, lalu ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan
ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substart
yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan
dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering.
Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C
selama 3,5 jam. Selanjutnya substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan
dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:
KO = x100%
A B A
dengan:
KO = Kandungan organik A = Berat konstan substrat B = Berat abu
Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat
Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir
(Lampiran F).
g. Tipe Substrat
Tipe substrat diamati dengan mengambil substrat dasar perairan dan diamati
h. Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan
sampel air ke kaca refraktometer, dan di baca skala salinitas yang tertera (Suin,
2002).
i. pH (Derajat Keasaman)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH
meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada
alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut (Barus, 2004).
j. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)
Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian
dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).
k. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja
terlampir (Lampiran B).
l. COD (Chemycal Oxygen Demand)
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia
Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja
m. NO3 (Nitrat)
Pengukuran nitrat dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian
Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir pada Lampiran D.
n. PO4 (Fospat)
Pengukuran fospat dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian
Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir pada Lampiran E.
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisika kimia beserta satuan dan alat
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisika/ Kimia.
2 Penetrasi Cahaya cm Keping Secchi In-situ
3 Intensitas Cahaya Lux Lux Meter In-situ
4 TDS mg/l Spectrofotometri Laboratorium
5 TSS mg/l Spectrofotometri Laboratorium
6 Kandungan Organik Substrat % Oven dan Tanur Laboratorium
7 Tipe Substrat - Visual In-situ
Kimia Air
8 Salinitas 0/00 Refraktometer In-situ
9 pH Air - pH meter In-situ
10 DO mg/l Metoda Winkler In-situ
11 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium
12 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium
13 NO3 mg/l Spectrofotometri Laboratorium
3.6. Analisis Data
a. Hasil pengukuran parameter faktor fisik kimia yang diperoleh dibandingkan
dengan baku mutu air laut untuk biota yang diterbitkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004.
b. Data Bivalvia yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi,
kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shanon Wienner, indeks
keseragaman, indeks kesamaa, Indek morista dan analisis korelasi menurut Kreb
(1985), Michael (1994) dengan persamaan sebagai berikut :
a. Kepadatan Populasi (KP)
d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)
H’= -
pilnpiIn = logaritma nature
pi = ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)
dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang
H’>6,907 = keanekaragaman tinggi
Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wienner
(H’), dimana:
Dengan nilai H’ : > 2,0 = Tidak Tercemar 1,6-2,0 = Tercemar Ringan 1,0-1,6 = Tercemar Sedang < 1,0 = Tercemar Berat/Parah
e. Indeks Equitabilitas (E)
Indeks equitabilitas (E) =
max H
H'
dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum
= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1
Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil keseragaman suatu populasi,
sebaliknya semakin besar nilai E, maka populasi akan menunjukkan keseragaman
Bila IS = 75 – 100 % = sangat mirip 50 – 75% = mirip 25 – 50% = tidak mirip
e. Indeks Morista
Untuk mengetahui distribusi atau sebaran Bivalvia apakah berkelompok,
acakdan teratur di dalam perairan dicari melalui indeks Morista dengan rumus
sebagai berikut (Krebs, 1985) N = Jumlah total individu per plot untuk total n plot
Dengan kriteria sebagai berikut:
Id = 0 distribusi acak atau random Id > 1 distribusi berkelompok Id < 1 distribusi normal
f. Analisis Korelasi (r)
Analisis korelasi antara faktor-faktor fisik kimia perairan dengan
keanekaragaman dan distribusi Bivalvia dilakukan dengan metoda analisis korelasi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Biota
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun
diperoleh jumlah genus Bivalvia yang cukup bervariasi, secara keseluruhan terdiri
dari 4 ordo, 9 famili dan 12 genus. Berdasarkan jumlah genusnya paling banyak
ditemukan pada stasiun 3 (mulut muara) yaitu sebanyak 9 genus, stasiun 2
(pemukiman) 6 genus dan stasiun 1 (mangrove) 5 genus. Untuk lebih jelasnya seperti
tertera pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Hasil Identifikasi
Banyaknya jumlah genus yang ditemukan pada masing-masing stasiun
memiliki jumlah genus yang berbeda-beda. Masing-masing Bivalvia yang diperoleh
di lokasi penelitian memiliki ciri khusus secara morfologi pada cangkangnya sebagai
berikut:
a. Anadara 1 (kerang darah)
Cangkang memiliki ukuran lebar ± 4,2 cm, bentuk cangkang elongasi oval,
memiliki dua belahan yang sama, cangkang tebal dan keras, jalur-jalur radial sangat
jelas dari dorsal mengarah ke tepi yang tersusun dengan rapi dan bergerigi.
Sedangkan cangkang sebelah dalam berwana putih dan memiliki jalur-jalur sesuai
dengan jalur luar dan berwarna kecoklatan lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.1
Gambar 4.1.1 Bentuk morfologi cangkang Anadara 1 (kerang darah)
b. Anadara 2 (kerang bulu)
Cangkang memiliki panjang ± 4 cm dan lebar ± 6 cm, bentuk cangkang
dorsal ke arah tepi yang dilengkapi dengan bulu-bulu halus yang berwarna hitam
dan tidak bergeri sedangkan cangkang sebelah dalam berwarna putih. Untuk lebih
jelasnya seperti Gambar 4.1.2
Gambar 4.1.2 Bentuk morfologi cangkang Anadara 2 (kerang bulu)
c. Aequipecten (kerang bare)
Cangkang memiliki panjang ± 3,7 cm dan lebar ± 3,8 cm memiliki jalur-jalur
radial yang jelas, terdapat cuping di daerah umbo, pada cangkang luar berwarna
hitam berbelang, sedangkan cangkang sebelah dalam berwarna putih. Untuk lebih
Gambar 4.1.3 Bentuk morfologi cangkang Aequipecten (kerang bare)
d. Ensis (kerang bambu)
Cangkang memiliki lebar ± 2 cm, panjang ± 9 cm, cangkang luar tidak
memiliki garis-garis radial, berwarna hijau kecoklat-coklatan, sedangkan permukaan
dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.4
e. Macoma (kepah putih)
Cangkang memiliki lebar ± 2,5 cm dan panjang ± 3,2 cm, cangkang luar
memiliki permukaan yang licin, tidak terdapat jalur radial, berwarna coklat muda,
sedangkan cangkang bagian dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti
Gambar 4.1.5
Gambar 4.1.5 Bentuk morfologi cangkang Macoma (kepah putih)
f. Marcia (Kerang salome)
Cangkang luar memiliki lebar ± 4 cm dan panjang ± 5,6 cm, terdapat
garis-garis sirkuler yang sangat rapat yang mengarah ke arah dorsal, sedangkan permukaan
cangkang bagian dalam tidak memiliki garis-garis sirkuler, berwarna coklat
Gambar 4.1.6 Bentuk morfologi cangkang Marcia (kerang salome)
g. Meretrix ( kepah tahu)
Cangkang memiliki lebar ± 2,5 cm dan panjang ± 3 cm permukaan cangkang
luar licin, berwarna kecoklatan. Sedangkan permukaan cangkang dalam berwarna
putih dan terdapat bagian warna hitam pada arah ventralnya. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.1.7
h. Nutallia (Kerang ungu)
Cangkang memiliki lebar ± 1,9 cm panjang ± 2,5 cm, cangkang luar berwarna
coklat mengkilap, pada cangkang bagian dalam terdapat bagian berwarna ungu,
cangkangnya tipis dan bentuknya seperti oval. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar
4.1.8
Gambar 4.1.8 Bentuk morfologi cangkang Nutallia (kerang ungu)
i. Paphia (Kerang batik)
Cangkang memiliki lebar ± 2,8 cm dan panjang ± 4,9 cm, permukaan
cangkang luar licin, berwarna putih yang dilengkapi dengan garis-garis berwarna
coklat yang saling menyilang dan tersusun rapat. Sedangkan permukaan dalam
Gambar 4.1.9 Bentuk morfologi cangkang Paphia (kerang batik)
j. Perna (kerang kemudi kapal)
Cangkang memiliki lebar ± 5 cm dan panjang ± 11,4 cm, permukaan
cangkang luar licin, terdapat garis-garis sirkuler yang halus, berwarna coklat
kehijauan sedangkan permukaan cangkang dalam berwarna putih kehijauan. Untuk
lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.10
k. Pinctada (Kerang mutiara)
Cangkang memiliki lebar ± 5,3 cm dan panjangnya ± 5 cm, permukaan
cangkang luar kasar seolah-olah berduri, bewarna coklat kehitaman, sedangkan
cangkang dalamnya berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gambar 4.1.11
Gambar 4.1.11 Bentuk morfologi cangkang Pinctada (kerang mutiara)
l. Ruditapes (kerang tausi)
Cangkang memiliki lebar ± 2 cm dan panjang ± 2,5 cm, permukaan cangkang
luar licin,berwarna coklat dilengkapi bangun warna hitam, sedangkan permukaan
Gambar 4.1.12 Bentuk morfologi cangkang Ruditapes (kerang tausi)
m. Placuna (kerang simping)
Cangkang sangat tipis dan transparan, pada cangkang luar terdapat garis-garis
sirkuler sedangkan pada cangkang dalamnya licin, berwarna putih. Untuk lebih
jelasnya terlihat pada Gambar 4.1.13
4.2 Nilai Kepadatan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Bivalvia Pada Masing-masing Stasiun Penelitian
Data dari hasil penelitian setelah dilakukan analisis diperoleh nilai kepadatan
(K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) seperti pada Tabel 4.4
berikut ini :
Tabel 4.2. Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan
Frekuensi Kehadiran (%) Bivalvia pada setiap stasiun penelitian
ST 1 ST 2 ST 3
Berdasarkan analisis data terhadap nilai kepadatan, kepadatan relatif serta
frekuensi kehadiran Bivalvia yang diperoleh pada masing-masing stasiun pengamatan
dapat diketahui bahwa pada stasiun 1 (mangrove) dijumpai 5 genus Bivalvia. Genus
yang memiliki nilai tertinggi sampai nilai terendah dengan urutan sebagai berikut :
Meretrix dengan nilai kepadatan 7,035 individu, kepadatan relatif sebesar 41,470%
serta frekuensi kehadiran 100%. Kemudian diikuti Ruditapes dengan kepadatan 3,589
Nutallia dengan kepadatan 3,035 individu, kepadatan relatif 17,892% serta frekuensi
kehadiran sebesar 63,33%. Berikutnya Macoma dengan nilai kepadatan 2,539
individu, kepadatan relatif 14,966% serta frekuensi kehadiran 60,00%, sedangkan
nilai paling rendah adalah Anadara 1 dengan kepadatan 0,766 individu, kepadatan
relatif sebesar 4,515% serta frekuensi kehadiran 7,177%.
Tingginya nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi Meretrix pada
stasiun ini menunjukkan bahwa faktor fisik-kimianya sangat mendukung, atau
merupakan habitat yang ideal untuk Bivalvia dalam hal ini Meretrix (kepah).
Keadaan ini sesuai dengan pendapat Morton (1983) dalam Dodi (1998) yang
menyatakan kerang kepah termasuk kerang yang hidup di dalam substrat berlumpur
pada daerah estuaria, hutan mangrov dan sungai-sungai besar dengan kisaran pH 5,00
– 6,40.
Selanjutnya Boominathan et al., (2008) Bivalvia (Meretrix meretrix, M.lycra)
banyak ditemukan pada dataran lumpur di daerah mangrove pada ekosistem estuaria.
Pernyataan ini jika dikaitkan dengan tipe substrat pada stasiun 1 (substrat berlumpur)
sangatlah sesuai.
Genus yang memiliki nilai terendah adalah Anadara 1 keadaan ini
menunjukkan bahwa habitat ini kurang cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup Anadara. Menurut Nurdin et al.,(2006) menyatakan rendahnya kepadatan
populasi Anadara granosa (kerang darah) disebabkan oleh toleransi kerang tersebut
kurang terhadap salinitas dan substrat dasar. Anadara kurang cocok pada salinitas
Pada stasiun 2 (pemukiman) diperoleh 6 genus Bvalvia dengan nilai tertinggi
adalah Anadara 1 dengan kepadatan 7,177 individu, kepadatan relatif 32,004% serta
frekuensi kehadiran 100%. Selanjutnya Nutallia dengan nilai kepadatan 4,170
individu, kepadatan relatif 18,595% serta frekuensi kehadiran sebesar 70%.
Kemudian Paphia dengan nilai kepadatan 3,418 individu, kepadatan relatif sebesar
15,245% serta frekuensi kehadiran 60%. Berikutnya Ruditapes dengan kepadatan
3,177 individu, kepadatan relatif 14,168% serta frekuensi kehadiran 56,66%.
Selanjutnya Macoma dengan kepadatan 2,979 individu, kepadata relatif 13,282%
serta frekuensi kehadiran 60%. Sedangkan nilai paling rendah adalah genus Perna
dengan kepadatan 1,504 individu, kepadatan relatif 6,704% serta frekuensi kehadiran
53,33%.
Tingginya nilai kepadatan, kepadatan relatif serta frekuensi kehadiran
Anadara 1 pada stasiun ini dapat dijadikan indikasi bahwa habitat tersebut merupakan
habitat yang cocok bagi kelangsungan hidup Anadara. Menurut Dodi et al., (2000)
kepadatan Anadara granosa meningkat pada lokasi yang terlindung dari hempasan
ombak maupun arus serta memiliki bahan organik total yang relatif tinggi pada
substrat lumpur berpasir. Selanjutnya tipe substrat dasar yang disukai kerang darah
adalah pasir berlumpur (Nurdin et al., 2006). Seperti parameter fisik kimia pada
Tabel 4.2 tipe substrat pada stasiun 2 adalah lumpur berpasir yang berarti sangat
Selanjutnya keberhasilan benih kerang darah untuk menepel pada kolektor
tergantung pada salinitas. Salinitas 18‰ keberhasilan jauh lebih tinggi
(Romimohtarto dan Sri, 1985).
Sedangkan genus yang memiliki nilai terendah pada stasiun 2 adalah genus
Perna. Rendahnya nilai kepadatan relatif serta frekuensi kehadiran genus Perna
pada stasiun ini mengindikasikan bahwa stasiun ini tidak cocok sebagai habitatnya.
Menurut Boominathan et al., (2008) Perna viridis banyak terdapat di pantai berpasir
dan pasir berbatu di daerah muara sungai. Selanjutnya KLH (1984) dalam Edward
(1995) menetapkan nilai salinitas untuk budidaya kerang hijau (Perna viridis) 26 ‰ –
35 ‰.
Jika dilihat dari tipe substrat (lumpur berpasir) dan salinitas (24‰) yang
terdapat pada stasiun 2 setelah dikaitkan dengan pernyataan di atas kedua parameter
tersebut tidaklah mendukung untuk habitat Perna. Hal ini terlihat dari nilai
kepadatan, kepadatan relati maupun frekuensi kehadiran yang sangat rendah.
Pada stasiun 3 (mulut muara) diperoleh 9 genus Bivalvia nilai tertinggi
adalah genus Anadara 1 dengan nilai kepadatan 8,585 individu, kepadatan relatif
25,063% frekuensi kehadiran 100%. Lalu diikuti dengan Anadara 2 dengan nilai
kepadatan 5,759, kepadatan relatif 17,181% serta frekuensi kehadiran 70%.
Kemudian Perna dengan nilai kepadatan 3,660 individu, kepadatan relatif 10,918%
serta frekuensi kehadiran 70%. Selanjutnya Ensis dengan nilai kepadatan 3,348
individu, kepadatan relatif 9,987% serta frekuensi kehadiran 63,33%. Berikutnya
9,310% dengan frekuensi kehadiran 60%. Kemudian Aequipecten dengan nilai
kepadatan 3,092 individu, kepadatan relatif 9,225% serta frekuensi kehadiran 60%.
Selanjutnya Placuna dengan nilai kepadatan 2,865 individu, kepadatan reltif 8,548%
serta frekuensi kehadiran 63,33%. Kemudian Marcia dengan nilai kepadatan 2,156,
kepadatan relatif 6,342% serta frekuensi kehadiran 46,66%. Sedangkan genus dengan
nilai paling rendah adalah Pinctada dengan nilai kepadatan 0,936 individu, kepadatan
relatif 2,793% serta frekuensi kehadiran sebesar 36,66%.
Kepadatan dan kepadatan relatif Anadara 1 pada stasiun 3 ini lebih tinggi
nilainya dibandingkan dengan stasiun 2 dalam arti stasiun 3 masih lebih cocok
sebagai habitat Anadara 1 dilihat dari nilai kepadatan dan kepadatan relatifnya lebih
tinggi. Menurut Dodi (1998) semakin tinggi kelimpahan biota pada suatu area maka
habitat tersebut semakin cocok. Seperti halnya stasiun 2, stasiun 3 pun memiliki tipe
substrat lumpur berpasir yang merupakan substrat yang disukai Anadara.
Selanjutnya KLH (1984) dalam Edward (1995) menetapkan nilai beberapa
parameter fisik kimia untuk budidaya kerang darah atau kerang bulu sebagai berikut :
salinitas sebesar 18 ‰ – 30 ‰, DO 3 mg/l – 8 mg/l, suhu 15°C - 32°C. Dari
beberapa parameter ini setelah dikaitkan dengan sifat fisik-kimia pada stasiun 3
antara lain : salinitas 26,8 ‰, DO 6,0 mg/l dan suhu 29,83°C. Keadaan ini sangatlah
relevan yang berarti stasiun 3 (mulut muara) adalah habitat yang ideal untuk
Genus yang memiliki nilai terendah pada stasiun ini adalah Pinctada yang
berarti habitat ini kurang cocok dengan kehidupan Pinctada, keadaan ini nampak dari
kepadatan yang sangat rendah. Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya
suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kelimpahan biota tersebut pada suatu area
ataupun ketidakmampuannya untuk berdistribusi mencapai areal tersebut (Dodi,
1998). Selanjutnya (Hamzah, 2009) menyatakan semakin tinggi kadar kekeruhan air,
maka semakin tinggi tingkat kematian anakan kerang mutiara keadaan ini diduga
disebabkan suspensi lumpur ikut terserap kedalam lambungnya sehingga
mengganggu sistem metabolisme pencernaan.
Selanjutnya menurut TTG Budidaya Perikanan (2000) menetapkan lokasi
budidaya kerang mutiara (Pintada maxima) sebagai berikut salinitas 30 ‰ – 34 ‰,
dasar perairan pasir karang, dan keserahan cukup tinggi. Menurut Hamzah (2009)
presentase ketahanan hidup kerang mutiara cenderung lebih berhasil pada tingkat
kecerahan air laut sebesar 6 m. Setelah dibandingkan dengan beberapa parameter
fisik-kimia pada stasiun 3 antara lain kecerahan 120 cm, salinitas 26,8 ‰ dan
substrat dasar lumpur berpasir beberapa nilai paramaeter tersebut menunjukkan
bahwa stasiun ini kurang cocok untuk habitat Pinctada.
4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’)
Berdasarkan hasil analisis terhadap indeks keanekaragaman (diversitas) dan
keseragaman (equitabilitas) Bivalvia pada masing-masing stasiun diperoleh nilai yang
Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E’) Bivalvia Pada Setiap Stasiun Penelitian
Stasiun Indeks
1 2 3
Keanekaragaman (H’) 1,426 1,690 2,051
Keseragaman (E) 0,886 0,943 0,933
Indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun berkisar antara 1,426 – 2,051
sedangkan indeks equitabilitas (keseragaman) berkisar antara 0,886 – 0,943. Indeks
keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (mulut muara). Pada stasiun ini
diperoleh genus Bivalvia paling banyak.
Menurut Barus (2004) suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu
masing-masing relatif merata. Pada stasiun 3 dengan lokasi sudah mengarah ke laut
lepas memiliki salinitas yang lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan stasiun 2.
Menurut Setyono (2006) kerang ada yang hidup di air tawar, air payau, di perairan
pesisir dan laut, namun mayoritas kerang hidup di laut baik perairan laut dangkal
maupun laut dalam yang berarti sangat erat kaitannya salinitas. Indeks
keanekaragaman paling rendah terdapat pada stasiun 1 dengan salinitas 12 ‰.
Beberapa jenis Bivalvia tidak tahan terhadap salinitas yang rendah bahkan tidak dapat
hidup pada salinitas yang sangat rendah (Nurdin et al., 2006).
Menurut Krebs (1985) jika keanekaragaman 0<H'<2,302 maka
keanekaragaman tinggi. Dengan demikian keanekaragaman Bivalvia di Muara Sungai
Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051.
Untuk nilai equitabilitas (keseragaman) pada ke tiga stasiun berkisar antara
0,886 – 0,933. Menurut Krebs (1985) menyatakan indeks equitabilitas berkisar antara
0 – 1 nilai yang mendekati 0 keseragaman rendah sedangkan nilai yang mendekati 1
maka keseragaman tinggi. Dengan demikian indeks keseragaman Bivalvia di Muara
Sungai Asahan tergolong tinggi.
4.4 Indeks Similaritas
Analisis data terhadap indeks similaritas (kemiripan) seperti tertera pada Tabel
4.4
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun Penelitian
Stasiun 1 2 3
1 72,72% 14,28%
2 40%
Dari Tabel di atas diketahui bahwa indeks similaritas (kesamaan) antara stasiun 1
dan 2 sebesar 72,72%, stasiun 1 dan 3 14,28% serta stasiun 2 dan 3 sebesar 40%.
Menurut Krebs (1985) menyatakan indeks similaritas 75 - 100% sangat mirip, 50 –
75% mirip dan 25 – 50% tidak mirip. Selanjutnya Brower et al.,(1990) dua komunitas
yang dibandingkan dikatakan relatif sama apabila indek kesamaan komunitas lebih
besar atau sama dengan 50 %. Sebaliknya jika indeks kesamaan komunitas < 50 %
yang berbeda. Dengan demikian berdasarkan indeks similaritas yang diperoleh dapat
dikategorikan bahwa antara stasiun 1 dan stasiun 2 genus Bivalvia yang didapat
adalah mirip, antara stasiun 2 dengan stasiun 3 tidak mirip serta antara stasiun 1
dengan stasiun 3 juga tidak mirip.
Stasiun 1 dan 2 berdasarkan indeks similaritas yang di peroleh mirip hal ini
mungkin disebabkan nilai faktor fisik kimia air antara kedua stasiun masih berada
dalam kisaran toleransi yang dikehendaki biota (bivalvia) untuk kelangsungan
hidupnya. Hal ini sesuai pendapat Krebs (1985) kesamaan komunitas yang tinggi
antara dua lingkungan yang dibandingkan sangat ditentukan oleh kondisi faktor-
faktor lingkungan yang terdapat pada kedua lingkungan tersebut.
4.5 Indeks Distribusi (Morista)
Dari hasil analisis terhadap indeks morisita (distribusi) Bivalvia pada ketiga
stasiun penelitian diperoleh indeks morista seperti tertera pada Tabel 4.5
Tabel 4.5. Nilai Indeks Morista pada Setiap stasiun Penelitian
N0 Genus Indeks Morista Keterangan
1 Aequipecten 8.660 Berkelompok
2 Anadara 1 1.722 Berkelompok
3 Anadara 2 5.094 Berkelompok
4 Ensis 6.910 Berkelompok
5 Macoma 3.526 Berkelompok
6 Marcia 8.930 Berkelompok
7 Meretrix 3.459 Berkelompok
8 Nutallia 2.735 Berkelompok
9 Paphia 2.910 Berkelompok
10 Placuna 7.040 Berkelompok
11 Pinctada 8.510 Berkelompok
12 Perna 3.190 Berkelompok
Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa nilai indeks morista setiap genus berkisar antara
1,722 – 8,930. Berdasarkan kriteria jika Id = 0 maka distribusi acak random, Id < 1
distribusi normal dan jika Id > 1 maka distribusi berkelompok. Dengan demikian dari
hasil analisis terhadap indeks morista seperti yang tertera pada tabel maka dapat
dikatakan bahwa distribusi masing-masing genus Bivalvia yang ditemukan di muara
Sungai Asahan berdistribusi berkelompok.
Indeks distribusi yang berkelompok disebabkan hewan tersebut memilih
tempat hidup pada habitat yang paling sesuai baik faktor fisik kimia maupun
tersedianya nutrisi di dasar perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suin (2002)
faktor fisik kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan
bagi hewan yang hidup di dalamnya sangat menentukan hewan tersebut hidup
berkelompok. Selanjutnya pola penyebaran suatu organisme bergantung pada sifat
fitokimia lingkungan yang berupa nutrisi, substrat atau berupa faktor fisik kimia
perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme