HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON
DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
TESIS
OLEH
MAIDAR BR. GALINGGING
087030015
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON
DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
OLEH
MAIDAR BR. GALINGGING
087030015
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Faktor Fisik Kimia Air Di Muara Sungai Asahan Nama : MAIDAR BR. GALINGGING
NIM : 087030015 Program Studi : BIOLOGI
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M.Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto M. Sc Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Dwi Suryanto M. Sc Dr. Sutarman M. Sc
PERNYATAAN
HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON
DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Agustus 2010 Penulis,
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini yang berjudul ”Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan faktor Fisik Kimia Air Di Muara sungai asahan” dalam waktu yang telah ditetapkan.
Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan
Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku Dosen Pembimbing II, atas segala kesabaran,
kebaikan, perhatian dan kemurahan hati yang telah diberikan yang tidak mungkin
bisa saya balas.
2. Prof. Dr. Sengli J. Damanik, M.Sc dan Dr. Suci Rahayu, sebagai dosen penguji
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan hasil
penelitian ini.
3. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Jurusan Biologi
Universitas Sumatera Utara Medan yang telah membekali penulis dengan
berbagai disiplin ilmu.
5. Gubernur Sumatera Utara dan Kepala Bapeda Sumatera Utara Medan yang telah
memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
S2 pada Sekolah Pascasaarjana Biologi Universitas Sumatera Utara.
6. Teman-teman S2 dan adik-adik mahasiswa S1 Departeman Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah
meluangkan waktunya menemani penulis sejak awal survey sampai saat
menyelesaikan penelitian.
7. Keluarga Besar SMA Negeri 18 Medan yang telah memberikan dorongan kepada
8. Khusus kepada ayahanda P. Galingging (alm.), Ibunda E. Br. Naibaho ananda
ucapkan dari lubuk hati yang paling dalam terima kasih yang tiada terhingga atas
segala pengorbanan dan doanya.
9. Mertua K. Br. Sitanggang dan keluarga besar Sinurat terima kasih atas segala
dukungan dan doanya.
10.Abang, Kakak beserta keluarga besar Galingging terima kasih atas doa dan
dukungannya
11.Suami tercinta St. Maruli Tua Sinurat ucapan terima kasih dari lubuk hati yang
paling dalam atas segala kasih sayang, doa, dorongan, pengorbanan, waktu, dan
kesabaran mendampingi saya dalam menyelesaikan studi ini. Kepada
anak-anakku tersayang, Yoshua Abib Mula, Yoshua Anggi, Hayeta Dorea Maylita,
Gracia Hineni Paidevo terima kasih mama ucapkan atas doa dan pengertiannya.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihi, menolong dalam
segala aktivitas kita,dan semoga penelitian ini bermanfaaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sunggal Kota Madya Medan Sumatera Utara, pada tanggal 11
Mai 1966 anak ke enam dari enam bersaudara.
Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar (SD) Swasta Brigjen Katamso, kecamatan Medan Sunggal, Kota
Medan dari tahun 1973-1979.
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Sunggal, Kecamatan Sunggal Kota
Medan dari tahun 1979-1982.
3. Sekolah Menengah Atas di Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan Negeri
24 (SMPP N 24) Medan Sunggal Kota Medan dari tahun 1982-1985.
4. Diploma III, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara,dari tahun
1985-1988.
5. Tingkat Sarjana (S1) Jurusan Biologi IKIP Negeri Medan dari tahun 1996-1997
(Memperoleh Gelar S.Pd).
6. Tahun 2008 mendapat kesempatan belajar pada Sekolah Pascasarjana Program
Studi Biologi FMIPA USU Medan, dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Riwayat pekerjaan penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1988 Guru honorer di SMA Swasta Kalam Kudus Pekan Baru Riau.
2. Tahun 1988 CPNS, Guru SMA Negeri kaway XVI Kabupaten Aceh Barat.
3. Tahun 1989-1994 PNS, Guru SMA Negeri Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat.
ABSTRAK
Penelitian tentang hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan faktor fisik kimia air di Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan titik stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Penelitian dilakukan pada 3 lokasi dan masing-masing lokasi terdiri dari 3 kedalaman. Nilai produktivitas primer diukur dengan menggunakan metode winkler yang menggunakan botol terang dan botol gelap, sedangkan klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Dari hasil penelitian diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 150,144 hingga 375,360 mgC/m3/hari dengan rata-rata tertinggi diperoleh pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2. Berdasarkan hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai produktivitas primer antar stasiun dan antar kedalaman. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara faktor fisik kimia, konsentrasi klorofil a dan kelimpahan fitoplankton dengan produktifitas primer, ditemukan bahwa oksigen terlarut, fosfat, klorofil a dan kelimpahan fitoplankton berkorelasi sangat kuat dan positif dengan produktivitas primer.
ABSTRACT
A study on primary productivity of phytoplankton and it’s relationship with physical and chemical factors of water in Estuary of Asahan River was done in August 2009. The sampling station was determinated by Purposive random sampling method. Samples were collected from 3 sampling station with 3 water depth. The primary productivity was measured by the Winkler method, while the concentration of chlorophyll a was measured by spectrophotometer.
The result showed that of primary productivity range from 150,144 to 375,360 mgC/m3/day with the highest value at station 3 and the lowest value at station 2. There is no significance difference of value primary productivity between station and deepness. Analysis of correlation between physical and chemical factors, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton with value of primary productivity showed that dissolved oxygen, phosphate, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton had very strong and positive correlation with primary productivity.
DAFTAR ISI
1.5Manfaat Penelitian 4
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Ekosistem Estuari 6
2.2 Produktivitas Primer 7
2.3 Klorofil a 8
2.4 Fitoplankton 10
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 11
Bab 3. Bahan dan Metode
3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 24
3.7 Analisis Data 28
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan
Kelimpahan Fitoplankton 31
4.2 Faktor Fisik Kimia Perairan 38
4.3 Hubungan antara Produktivitas Primer dengan faktor
Fisik Kimia Perairan 50
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 54
5.2 Saran 55
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
28
Tabel 2 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan Kelimpahan Fitoplankton
31
Tabel 3 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
39
Tabel 4 Nilai Analisis Korelasi Produktivitas Primer dengan Faktor Fisik - Kimia Perairan
45
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 60 Lampiran B Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 61
Lampiran C Bagan Kerja Untuk Mengukur COD 62
Lampiran D Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3) 63
Lampiran E Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-) 64
Lampiran F Bagan Kerja Pengukuran absorban Klorofil a 65
Lampiran G Gambar Spektrofotometer 66
Lampiran H Peta Lokasi Penelitian 66
Lampiran I Foto Lokasi Penelitian 67
Lampiran J Nilai Konsentrasi Klorofil a 68
Lampiran K Contoh Perhitungan 68
Lampiran L Hasil Analisis Variance 69
Lampiran M Lampiran Analisis Korelasi SPSS 70
Lampiran N Lampiran Baku Mutu Air Laut 71
Lampiran O Hasil Analisis Laboratorium Nitrat dan Fosfat 72 Lampiran P Hasil Analisis Laboratorium COD, TDS dan TSS 73 Lampiran Q Hasil Analisis Laboratorium Substrat Organik 74
HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON
DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR
DI MUARA SUNGAI ASAHAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Agustus 2010 Penulis,
Telah diuji pada
Tanggal 13 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc
ABSTRAK
Penelitian tentang hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan faktor fisik kimia air di Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan titik stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Penelitian dilakukan pada 3 lokasi dan masing-masing lokasi terdiri dari 3 kedalaman. Nilai produktivitas primer diukur dengan menggunakan metode winkler yang menggunakan botol terang dan botol gelap, sedangkan klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Dari hasil penelitian diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 150,144 hingga 375,360 mgC/m3/hari dengan rata-rata tertinggi diperoleh pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2. Berdasarkan hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai produktivitas primer antar stasiun dan antar kedalaman. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara faktor fisik kimia, konsentrasi klorofil a dan kelimpahan fitoplankton dengan produktifitas primer, ditemukan bahwa oksigen terlarut, fosfat, klorofil a dan kelimpahan fitoplankton berkorelasi sangat kuat dan positif dengan produktivitas primer.
ABSTRACT
A study on primary productivity of phytoplankton and it’s relationship with physical and chemical factors of water in Estuary of Asahan River was done in August 2009. The sampling station was determinated by Purposive random sampling method. Samples were collected from 3 sampling station with 3 water depth. The primary productivity was measured by the Winkler method, while the concentration of chlorophyll a was measured by spectrophotometer.
The result showed that of primary productivity range from 150,144 to 375,360 mgC/m3/day with the highest value at station 3 and the lowest value at station 2. There is no significance difference of value primary productivity between station and deepness. Analysis of correlation between physical and chemical factors, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton with value of primary productivity showed that dissolved oxygen, phosphate, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton had very strong and positive correlation with primary productivity.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muara Sungai Asahan yang berada di Kota Tanjung Balai merupakan perairan
yang sangat padat aktivitas, karena di wilayah ini terdapat dua pelabuhan yang
letaknya berhadapan langsung dengan pelabuhan negara tetangga Malasya atau Port
Klang. Lokasi pelabuhan yang pertama terletak di Teluk Nibung dan lebih dikenal
dengan nama Pelabuhan Teluk Nibung yang berada di ambang luar Sungai Asahan.
Letak kedua pelabuhan yang berada di pemukiman yang sangat padat penduduknya
menyebabkan berbagai dampak lingkungan seperti berkurangnya kualitas dan
kuantitas sumber daya yang ada di perairan tersebut. Selain limbah domestik dari
pemukiman, terdapatnya beberapa gudang ikan dan industri di sepanjang muara
sungai ini tentunya akan memberi andil terjadinya degradasi ekosistem di perairan
ini.
Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu sumber oksigen di
perairan. Oksigen yang dihasilkan digunakan dalam proses-proses ekologis di
perairan, misalnya respirasi dan dekomposisi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas primer fitoplankton, khususnya di perairan estuari diantaranya adalah
ketersediaan nutrien, cahaya matahari, suhu dan salinitas (Nybakken, 1992).
masyarakat dapat menyebabkan perubahan pada faktor-faktor tersebut. Keberadaan
dan aktivitas fitoplankton berhubungan dengan lingkungan perairan sekitarnya.
Kondisi lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap fitoplankton diantaranya
adalah cahaya dan unsur hara (Madubun, 2008). Kedua faktor tersebut terdistribusi
secara tidak merata di perairan. Hal ini terjadi karena adanya masukan berbagai zat
buangan dari darat dan sifat hidromorfologi perairan sehingga berdampak terhadap
produktivitas primer fitoplankton dan pada akhirnya berdampak pada perairan Muara
Teluk Nibung.
1.2 Rumusan Masalah
Pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
unsur hara, cahaya matahari, suhu, salinitas. Tingginya tingkat pemanfaatan di
perairan Muara Teluk Nibung menjadi penyebab limpahan bahan organik.
Bertambahnya kandungan bahan organik di perairan meningkatkan kebutuhan
oksigen untuk dekomposisi. Salah satu yang mensuplai kebutuhan oksigen di perairan
adalah fitoplankton. Di sisi lain bertambahnya bahan organik akibat berbagai aktivitas
masyarakat di sepanjang perairan seperti pelabuhan, pemukiman padat penduduk,
industri dapat mengakibatkan penurunan atau pengurangan kecerahan perairan
sehingga menurunkan penetrasi cahaya secara mencolok, yang selanjutnya hal ini
dapat menurunkan fotosintesis fitoplankton dan mempengaruhi nilai produktivitas.
1. Bagaimana produktivitas primer fitoplankton di perairan Muara Sungai Asahan
Tanjung Balai.
2. Bagaimana hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton tersebut dengan
faktor biofisik kimia perairan Muara Sungai Asahan.
3. Bagaimana korelasi antara produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi
klorofil a di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai.
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian yang akan dilakukan di perairan Muara
Sungai Asahan untuk mengetahui :
1. Nilai produktivitas primer fitoplankton di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung
Balai Sumatera Utara.
2. Hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton dengan faktor biofisika kimia
lingkungan di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara.
3. Hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi klorofil di
perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara.
1.4 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan nilai produktivitas primer pada setiap lokasi penelitian dan
2. Terdapat korelasi antara faktor abiotik (fisik-kimia) dan faktor biotik (kelimpahan
fitoplankton) dengan nilai produktivitas primer.
3. Terdapat korelasi antara nilai produktivitas primer dengan konsentrasi klorofil a.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang nilai
produktivitas primer dan kaitannya dengan faktor biofisik kimia lingkungan di
perairan Muara Teluk Nibung yang untuk selanjutnya sebagai acuan kepada
pemerintah daerah dan instansi yang terkait dalam pengelolaan pengembangan dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Estuari
Estuari merupakan teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar
dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat
berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar
dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat
organik. Bahan ini menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari
(Dahuri et al., 1996). Keberadaan substrat berlumpur di estuari dapat mempengaruhi
tingkat kekeruhan perairan yang berakibat adanya variasi produktivitas fitoplankton
(Cloern, 1989).
Estuari merupakan daerah yang mempunyai sejumlah besar bahan organik,
sejumlah besar organisme, dan produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer di
sekitar estuari, kenyataannya bukan sumber bahan organik satu-satunya. Estuari
bertindak sebagai tempat penimbunan bahan-bahan organik yang di bawa oleh sungai
atau dibawa masuk dari laut. Sukar untuk memperkirakan peranan produktivitas
primer dalam sistem estuari pada sumbangannya terhadap produksi organik total
karena beberapa alasan. Pertama hanya sedikit herbivora yang langsung makan
tumbuhan. Oleh karena itu, kebanyakan bahan tumbuhan harus dihancurkan dulu
ini melibatkan kerja bakteri. Begitu pula bahan tumbuhan menjadi detritus, tidak
mudah membedakannya dari detritus organik lainnya yang dibawa ke dalam sistem
tersebut dari sungai dan laut (Nybakken, 1992).
Jumlah organisme yang menghuni estuari jauh lebih sedikit jika dibandingkan
dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies
ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang
sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di
estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin flora. Perairan
estuari sangat keruh sehingga tumbuhan mencuat saja yang dapat tumbuh (Dahuri et
al., 1996).
Walaupun tingkat nutrien di estuari tinggi, keadaannya tidak seimbang,
nitrogen sering kali rendah dan bahkan dapat menjadi faktor pembatas bagi
fitoplankton di estuari. Populasi fitoplankton yang rendah biasanya terjadi pada akhir
musim gugur dan musim dingin karena berkurangnya cahaya dan kekeruhan yang
tinggi, sebagai akibat besarnya debit air sungai dan turbulensi. Hal ini diikuti juga
oleh pertumbuhan diatoma yang pesat pada akhir musim dingin. Pertumbuhan yang
pesat ini berhenti pada akhir musim semi, seringkali bukan karena dimakan
zooplankton tetapi karena berkurangnya sumber nitrogen dan menyebabkan
penumpukan diatom diatas permukaan lumpur (Nybakken, 1992).
Rendahnya produktifitas primer di kolom air, sedikit herbivora dan
terdapatnya sejumlah besar detritus secara nyata menunjukkan bahwa jaring-jaring
membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga, yang kemudian menjadi
sumber makanan penting bagi binatang pemakan suspensi dan detritus (Dahuri et al.,
1996).
2.2 Produksivitas Primer
Adanya kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau
dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-molekul
organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Proses ini ialah
fotosintesis yang mempunyai persamaan umum.
6CO2 + 6H2O C2H12O6 + 6O2
Pangkal semua kehidupan di dalam laut berupa aktivitas fotosintetik
tumbuhan akuatik. Namun kondisi-kondisi kimia dan fisik tertentu mengakibatkan
terdapatnya perbedaan-perbedaan besar dalam bentuk tumbuhan dan lokasi, serta
tingkat aktivitas fotosintetik maksimum di laut (Nybakken, 1992). Jadi jumlah
seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses fotosintesis dinamakan produksi
primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan
tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, yang secara kolektif disebut
respirasi, tinggal sebagian dari produksi total yang tersedia bagi pemindahan atau
pemanfaatan oleh organisme lain. Produksi primer bersih adalah istilah yang
digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan
tingkatan-tingkatan trofik, Odum (1971) menyatakan bahwa produktivitas yang tinggi di daerah
estuari disebabkan oleh estuari adalah perangkap nutrien, secara fisika dan biologi.
Daur ulang nutrien yang sangat cepat oleh aktivitas mikroba, bentos, dan
hewan penggali menciptakan semacam sistim penyuburan sendiri. Namun
kecenderungan alami ini menyebabkan estuari rentan terhadap polusi, karena polutan
akan terperangkap termasuk nutrien-nutrien yang bermanfaat. Perangkap nutrien
secara fisika terkait gerakan pasang surut.
1. Estuari memiliki keanekaragaman jenis produser yang dapat berfotosintesis.
Banyak estuari yang ditemukan memiliki semua tiga tipe produser yang ada di
dunia, yaitu makrofita (rumput laut, lamun, dan rumput gambut/marsh grass),
mikrofita dasar, dan fitoplankton.
2. Peran pasang surut dalam menciptakan sebuah ekosistim dengan tinggi muka air
yang berfluktuasi. Pada umumnya, semakin besar amplitudo pasang maka
semakin besar potensi produksi, jika arus yang terjadi tidak terlalu abrasif.
Goldman dan Home (1983) menyatakan air yang dangkal dan lumpur yang
dengan mudah terpapar cahaya matahari saat surut, dapat meningkatkan daur
ulang nutrien melalui dekomposisi oleh bakteri dan dapat mempercepat
pertumbuhan hewan bentik.
2.3 Klorofil a
Proses fotosintesis berlangsung dalam kloroplas, suatu organel yang terdapat
mengelilingi suatu ruas pusat yang besar yang dinamai stroma. Stroma mengandung
beberapa banyak enzim larut yang berbeda yang berfungsi untuk menggabungkan
sebagian organik. Di dalam stroma, membran juga membentuk granum. Setiap
granum terdiri dari satu timbunan kantung atau ceper yang dinamai tilakoid. Granum
dihubungkan antara satu sama lain oleh lamella stroma. Klorofil ada pada membran
granum, dan menjadikannya sistem penyimpanan energi bagi kloroplas. Setiap
tilakoid berbentuk seperti kantung. Pergerakan ion-ion dari ruang ini melintasi
membran tilakoid dipercaya penting dalam proses sintesis. Klorofil tidak menyerap
panjang gelombang cahaya dengan banyak. Karena itu, cahaya ini dipantulkan ke
mata dan kita melihat klorofil sebagai suatu pigmen hijau (Mader, 1995).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa klorofil a memainkan peranan penting
pada fotosistem I dan II (dahulu disebut fotoreaksi gelombang pendek dan gelombang
panjang). Pada tahun 1957, Bessel Kok menemukan adanya klorofil a khusus yang
dinamakan P700 dan menurut pendapatnya bahwa P700 adalah pusat reaksi klorofil a
fotosintesis. Selanjutnya diperkirakan keberadaan klorofil a khusus lainnya berada di
pusat reaksi lainnya, yakni pusat reaksi P680 dari sistem gelombang pendek. Klorofil
a tidak hanya berperan dalam cahaya permanen dan pengubahan energi cahaya
menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama (P680,
P700), maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan
penggantian Mg dengan H+ di pusat struktur kimia klorofil (Salisbury dan Ross,
1995). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2003), terdapat
kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke atas
(upwelling) di laut.
2.4 Fitoplankton
Plankton merupakan organisma yang berukuran sangat renik yang hidup
melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah
sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton
yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan
disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum, 1971; Nybakken,
1992).
Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan net-net
plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton
dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992)
mengelompokkan plankton atas ultraplankton (<2 µm), nanoplankton (2-20 ȝm),
mikroplankton (20-200 ȝm), makroplankton (0,2-2 mm), dan megaplankton (>2 mm).
Menurut Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri
dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithopore dan alga coklat
emas lainnya (kelas Heptophyceae), blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut
juga Cyanobacteria), alga hijau (kelas Chlorophyceae) dan Flagellata Cryptomonas
(kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh
pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan
kondisi lingkungan tertentu.
Kennish (1992) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae),
dinoflagellata (kelas Dinophyceae), cocolitthopor (kelas Prymnesiophyceae),
silicoflagellata (kelas Chrysophyceae), dan blue-green (kelas Cyanophyceae) adalah
taksa utama dari produser planktonik di laut. Organisme autotrof ini mempunyai
peranan penting di laut karena melakukan paling sedikit 90% fotosintesis di laut.
Oleh karena laut menutupi 72% permukaan bumi, fitoplankton merupakan produser
primer yang paling penting.
Menurut Kennish (1992), Mallin (1994), dan Thoha (2003), fluktuasi kondisi
lingkungan estuari seperti salinitas, musim dan zat makanan menyebabkan
fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer
berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda
menurut musim di wilayah geografi yang sama. Faktor alam dan antropogenik dapat
mengatur faktor lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan suksesi
fitoplankton di estuari (Kepel et al., 1999). Hubungan antara keragaman fitoplankton
dan faktor kualitas air memperlihatkan bahwa keragaman fitoplankton memiliki
keterkaitan dengan alkalinitas dan bahan organik terlarut (BOT) (Pirzan dan Petrus
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan
Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam
ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti
plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan
mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma dengan faktor-faktor
abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004).
Parsons et al. (1984), menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat
ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas, oksigen
dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan
kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan tertentu.
Faktor abiotik (fisika kimia) perairan yang mempengaruhi produktivitas
primer antara lain:
a. Suhu
Cahaya matahari merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua
perairan, sehingga permukaan air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat
dibanding air yang dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan
lapisan air yang hangat disebut hipolimnion. Pemisah dari kedua lapisan tersebut
dinamakan metalimnion dan diantara kedua lapisan tersebut terjadi peningkatan suhu
yang tajam yang disebut termoklin (Whitten et al., 1987).
Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai
sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu
sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan
aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola
suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya
matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor
kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm dan
Maijering 1990 dalam Barus, 2004).
Menurut Nontji (1984), suhu air permukaan di Perairan Nusantara umumnya
berkisar pada 23-31°C. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan yang
lebih hangat karena mendapat radiasi matahari siang pada siang hari. Oleh karena
kerja angin, maka lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m dapat terjadi
pengadukan, akibatnya di lapisan kedalaman 50-70 m terdapat suhu hangat yang
homogen (sekitar 28°C). Di perairan dangkal lapisan homogen ini dapat berlanjut
sampai ke dasar. Suhu di permukaan dipengaruhi oleh kondisi metereologi.
Faktor-faktor metereologi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban,
udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu
suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman.
b. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman
berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini
dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya
proses fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya
matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002).
Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi
organisme fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi
vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke
suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa
fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana
intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi
cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton
masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi
cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh
permukaan laut, lintang geografik, dan musim (Nybakken, 1992).
Dengan demikian kedalaman yang dapat dicapai oleh cahaya dengan
intensitas tertentu merupakan fungsi dari kecerahan air dan absorpsi dari berbagai
panjang gelombang yang merupakan komponen cahaya. Karena absorpsi cahaya oleh
air bersifat konstan, perbedaan kedalaman efektif yang dapat dicapai oleh cahaya
terutama disebabkan oleh perbedaan dalam kadar partikel-partikel yang tersuspensi
dalam air. Dalam perairan yang banyak mengandung partikel, seperti dalam perairan
pesisir, kedalaman penetrasi cahaya dapat sangat berkurang dan hanya beberapa
berlangsungnya fotosintesis. Sebaliknya, di wilayah tropik, dalam laut yang cerah
yang tidak banyak mengandung partikel, intensitas cahaya di kedalaman 100-120 m
mungkin masih besar bagi berlangsungnya fotosintesis.
Menurut Levinton (1982), intensitas cahaya umumnya sangat tinggi dekat
permukaan sehingga fotosintesis dapat terhambat melalui pemutihan (bleaching)
pigmen fotosintesis seperti klorofil a, atau produksi pigmen penangkap sinar matahari
lainnya. fotosintesis fitoplankton menggunakan klorofil a, b, c, dan berbagai variasi
accesory pigmen seperti fucoxantin dan peridinin, untuk menggunakan secara
maksimal semua radiasi cahaya dalam spectrum cahaya tampak. Dalam penggunaan
panjang gelombang 400-700 nm, cahaya yang diserap oleh pigmen fitoplankton dapat
dibagi atas (a) cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 600 nm, diserap
terutama oleh klorofil, dan (b) cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600
nm, diserap terutama oleh accessory pigmen.
Kelompok-kelompok fitoplankton akan merespon secara berbeda terhadap
jumlah intensitas cahaya matahari yang tiba. Respon ini kemudian mengelompokkan
fitoplankton yang senang cahaya sun type dan yang kurang senang dengan cahaya
shade type. Tipe sun memiliki nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya
yang juga tinggi. Yang tergolong tipe shade, akan beradaptasi dengan baik pada
intensitas cahaya rendah, dan menghasilkan nilai fotosintesis yang tinggi pada
intensitas cahaya rendah (Parsons et al., 1984).
Penelitian Tambaru (2000) mendapatkan hubungan nilai produktivitas primer
Teluk Harun Lampung, yang menunjukkan inhibitor dengan nilai rata-rata
produktivitas primer fitoplankton yang optimal 36,97 - 38,81 (mgC/m3/jam) dengan
intensitas 30671 - 55213 (lux) pada kedalaman 5 - 10 m. Intensitas cahaya yang
memasuki lapisan perairan menurun sejalan dengan penambahan kedalaman dengan
kata lain cahaya mengalami peredupan. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada tiap
meter kedalaman menujukkan nilai peredupan bervariasi. Hal ini menujukkan
terdapatnya bahan-bahan tersuspensi yang berbeda pada tiap kedalaman (Sunarto et
al., 2004).
c. Salinitas
Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada
fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah
estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas
salinitas yang kecil atau stenohalin.
Nontji (1984) menyatakan bahwa meskipun salinitas mempengaruhi
produktivitas individu fitoplankton namun peranannya tidak begitu besar, tetapi di
perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis
pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan suhu
menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan dan
d. pH
Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai
pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH
yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7
sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa
membahayakan kelangsungan hidup organisma karena menyebabkan terjadinya
gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah
menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin
tinggi yang tentunya mengancam kelangsungan organisma akuatik. Sementara pH
yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air
akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral meningkatkan konsentrasi amoniak yang
juga bersifat sangat toksik bagi organism (Barus, 2004).
Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas
pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran
pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara
pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002).
Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air
yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis
e. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem
perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama
oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air
terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan terjadinya peningkatan
suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu
yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).
Menurut Effendi (2004), oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut
dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut alami bervariasi, tergantung pada suhu,
salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian
serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Semakin
tinggi suatu tempat dari permukaan air laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada
percampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah
yang masuk ke badan air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air
dan fitoplankton. Difusi oksigen kedalam air dapat terjadi secara langsung pada
f. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada
temperatur 20oC. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan
senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna,
mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa
waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara
dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari,
jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka
pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang
disebut BOD5 (Barus, 2004).
BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air untuk menguraikan senyawa
organik. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisma di dalam lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah
terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).
g. Kandungan Nitrat dan Fosfat
Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika
tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken, 1992).
Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah
khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi
lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi
dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil,
sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Bahan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mengontrol perkembangan
dari fitoplankton yang berperan sebagai makanan utama dari sumber daya biologi
Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari
industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat
biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di
daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts dan Santika, 1984).
Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai
organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran
energi dari organisme yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat
berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan
konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan
algae dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan fosfat akan menyebabkan
timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan
terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya kondisi
anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan
Karbon, oksigen dan hidrogen dibutuhkan dalam jumlah paling besar karena
nutrien ini merupakan komponen penting dalam senyawa organik seperti karbohidrat,
lemak dan protein, tetapi untuk elemen-elemen ini dapat diperoleh dengan mudah
dari H2O (untuk hidrogen) dan CO2 (untuk karbon dan oksigen). Pada perairan laut
CO2 terdapat dalam keadaan berlimpah. Zat anorganik utama yang diperlukan
fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dan fosfor.
Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan
mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme
laut (Nybakken, 1992). Kelimpahan komunitas fitoplankton di laut sangat
berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya.
Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya
fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan
komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai
Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada
02o59’30,2”- 03o03’33,8” LU dan 099o51’43,7”- 099o51’22,3” BT. Di sepanjang
muara sungai ini banyak terdapat aktifitas manusia, diantaranya adalah: aktivitas
sehari-hari penduduk sekitar lokasi penelitian, penangkapan ikan, dan pelabuhan.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan
sampel air adalah Purposive Random Sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan.
Pengambilan sampel dilakukan pada tiga kedalaman yaitu pada permukaan (0 meter),
kedalaman 1,2 meter, kedalaman 1,5 meter dengan masing-masing kedalaman dibuat
2 ulangan pada setiap stasiun pengamatan.
3.3 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel di lokasi penelitian adalah
botol terang, botol gelap, botol alkohol, tool box, cool box, keping secchi, luxmeter,
buret, mikroskop, gelas objek, spektrofotometer, pipet tetes, pipet serologi, alu,
lumping, kain kasa, dan tabung sentrifus.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel air sebagai bahan
utama. Beberapa bahan pendukung untuk analisis parameter kimia adalah asam sulfat
pekat, natrium thiosulfat, HCl, aseton, MnSO4, KOH_KI, amilum dan larutan lugol
1%.
3.4 Deskripsi Area
Di perairan hilir Sungai Asahan ini banyak terdapat aktifitas, seperti
pelabuhan, pemukiman, daerah mangrove, dan berbagai aktifitas lain yang dapat
berpengaruh terhadap perairan.
a. Stasiun 1
Stasiun ini secara geografis terletak pada 02o59’30,2” LU – 99o51’43,7” BT.
Daerah ini merupakan daerah mangrove. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat
pada lampiran H dan I.
b. Stasiun 2
Stasiun ini secara geografis terletak pada 03o1’20,8” LU – 99o51’37,6” BT.
Daerah ini merupakan daerah pemukiman penduduk dan pelabuhan. Denah dan
c. Stasiun 3
Stasiun ini secara geografis terletak pada 03o3’33,8” LU – 99o51’22,3” BT.
Daerah ini merupakan muara. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada
lampiran H dan I.
3.5 Faktor Biologi yang Diukur
a. Pengukuran Nilai Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan metode
botol winkler terang dan gelap. Masing-masing botol tersebut diberi label dan
ditandai dengan kedalaman serta ulangannya. Untuk memperoleh sampel air dari
kedalaman 1,2 m dan 1,5 m dilakukan dengan menggunakan lamnot. Sampel air yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian ditutup rapat dan
dilakban, lalu diikat dengan tali, ukuran tali disesuaikan berdasarkan kedalaman
setiap sampel. Sebelum perendaman botol dilakukan, DO awal masing-masing
sampel setiap kedalaman dihitung terlebih dahulu. Perendaman botol-botol winkler
dimulai pada pukul 09.00 – 15.00 WIB. Setelah 6 jam lamanya, botol-botol yang
sudah direndam diangkat kembali kemudian diukur nilai DO akhir dan dihitung nilai
produktivitas primernya (Barus et al., 2008).
b. Klorofil a
Air laut diambil sebanyak 1000 ml dari kedalaman 0 meter, 1,2 meter, 1,5
Penelitian USU dan diukur konsentrasi klorofil a dengan menggunakan
spektrofotometer. Bagan kerja terlampir (Lampiran G).
c. Kelimpahan Fitoplankton
Air laut diambil sebanyak 25 liter untuk setiap kedalaman. Untuk memperoleh
sampel air pada kedalaman 0 meter dipergunakan ember kapasitas 5 liter, sedangkan
kedalaman 1,2 meter dan 1,5 meter dipergunakan lamnot kapasitas 5 liter,
pengambilan air diulang sebanyak 5 kali dari setiap kedalaman. Air disaring dengan
menggunakan plankton net ukuran mata 25 µm. Air yang telah disaring ditampung
dalam botol bucket selanjutnya dimasukkan kedalam botol film kemudian diawetkan
dengan lugol sebanyak 2-3 tetes setiap botol film. Sampel plankton yang diperoleh
dari lapangan dibawa ke Laboratorium Ekologi Tumbuhan FMIPA USU dengan
menggunakan termos es yang berisi es agar suhu tidak terlalu tinggi, kemudian
disimpan di lemari es, selanjutnya diamati di bawah mikroskop.
Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan
menggunakan alat Hemositometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut
Isnansetyo dan Kurniatuty (1995), yaitu :
N =
P = jumlah plankter yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati
V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml) v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml) W = volume air media yang disaring dengan plankton net
Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada
Hemositometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19,6 mm3) dan luas
penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang
pandang (l) dengan jumlah lapang yang diamati. Sehingga rumusnya menjadi:
K =
3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:
a. Suhu
Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember, kemudian
dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air
raksa yang dimasukkan ke dalam air sekitar 10 menit kemudian skalanya dibaca
(Suin, 2002).
b. Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan
c. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping secchi, keping secchi
dimasukkan ke dalam badan air sampai tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali
yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).
d. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke
arah datangnya cahaya, kemudian angka yang tertera pada lux meter tersebut dibaca
(Suin, 2002).
e. pH (Derajat Keasaman)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH
meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada
alat konstan, kemudian angka yang tertera pada pH meter dibaca (Barus, 2004).
f. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian
dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).
g. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja
h. COD (Chemycal Oxygen Demand)
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia
Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja
terlampir (Lampiran C).
Tabel 1. Parameter dan Alat yang Dipakai untuk Mengukur Faktor Biofisik Kimia Perairan
No Parameter Satuan Alat Uji Tempat
A Fisika
1 Intensitas cahaya Lux Luxmeter In-situ
2 Suhu °C Termometer In-situ
3 Penetrasi Cahaya Cm Keping Secchi In-situ
4 TDS mg/l Spektrofotometer Lab
1 Klorofil-a mg m3 Spektrofotometer Lab
2 Produktivitas primer
mgCm-3 Metode Winkler In-situ
3 Fitoplankton Ind./l Pencacahan/mikroskop Lab
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan menghitung nilai produktivitas primer
perairan, konsentrasi klorofil a fitoplankton, analisis variasi (uji F), dan korelasi.
a. Produktivitas Primer
Metode pengukuran produktivitas primer dengan menggunakan metode botol
dan atau produktivitas bersih. Untuk menghitung produktivitas primer digunakan
rumus:
Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas kotor (PG) – Respirasi (R)
R = [O2] awal – [O2)akhir pada botol gelap
Pg = [O2]akhir pada botol terang – [O2]akhir pada botol gelap
Untuk mengubah nilai mg/l oksigen menjadi mg C/m3, maka nilai dalam mg/l
dikalikan dengan faktor 375,36, sehingga menghasilkan mg C/m3 untuk jangka
waktu pengukuran. Untuk mendapatkan nilai produktivitas dalam satu hari, nilai
perjam harus dikalikan dengan 12, mengingat cahaya matahari hanya diperoleh
selama 12 jam perhari (Barus, 2004).
b. Konsentrasi Klorofil a
Konsentrasi klorofil a dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Klorofil a (mg/m3) = (11,0) (2,43) (A1-A2) (V1/V2)/d
Dengan catatan:
11,0 adalah koefisien koreksi 2,43 adalah faktor koreksi
A1 adalah absorban klorofil a dan pheophytin sampel
A2 adalah absorban yang diberi HCl
V1 adalah volume ekstrak aseton (liter)
V2 adalah volume sampel yang disaring (m3)
c. Kelimpahan Plankton
Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan
menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), yaitu:
K =
l ind. W 0.0196
PV
e. Analisis Varian (uji F) dan Analisis Korelasi
Analisis varian (uji F) digunakan untuk mengetahui perbedaan signifikan nilai
produktivitas primer antar kedalaman dan antar stasiun penelitian, sedangkan analisis
korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan Kelimpahan Fitoplankton
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai produktivitas
primer, konsentrasi klorofil a, kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun
pengamatan seperti pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan Kelimpahan Fitoplankton
Produktivitas
Primer (mgC/m3/hari) Klorofil a (mg/m
3
) Kelimpahan
Fitoplankton (ind/L) Stasiun 1
Rata-rata 312,800 13,365 26.394,560
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
a. Produktivitas Primer
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai produktivitas primer
pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 150,144 – 375,360 mg
C/m3/hari. Nilai produktivitas primer tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu pada
permukaan dengan nilai sebesar 375,360 mg C/m3/hari dan nilai produktivitas primer
terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai sebesar
150,144 mgC/m3/hari.
Dari data yang diperoleh, diketahui nilai rata-rata produktivitas primer
tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai rata-rata sebesar 312,800 mgC/m3/hari
dan terendah pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 225,216 mgC/m3/hari. Tingginya
nilai produktivitas primer pada stasiun 3 disebabkan kelimpahan fitoplankton dan
nilai klorofil a yang cukup tinggi sehingga nilai oksigen terlarut pada stasiun ini
cukup tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan
memiliki korelasi yang positif (searah) antara produktivitas primer dengan suhu,
penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, fosfat, klorofil a, dan kelimpahan
fitoplankton.
Nilai produktivitas primer terendah yang terdapat pada stasiun 2. Rendahnya
nilai produktivitas primer di stasiun 2 dapat disebabkan oleh kandungan nutrisinya
yang rendah yaitu nitrat 0,106 mg/l dan fosfat 0,108 mg/l. Menurut Millero dan Sohn
(1991), bila konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0,0434 mg/l maka pembelahan sel
fitoplankton akan berhenti. Untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan
stasiun 2 menunjukkan angka di bawah optimal, sehingga kurang mendukung bagi
kehidupan fitoplankton yang melakukan fotosintesis.
Variasi nilai produktivitas primer fitoplankton secara vertikal atau antar
kedalaman pada setiap stasiun umumnya menunjukkan adanya penurunan dari
permukaan hingga kedalaman yang paling bawah yaitu 1,5 m. Variasi nilai yang
serupa mirip dengan konsentrasi klorofil a yang menujukkan adanya penurunan dari
permukaan hingga kedalaman yang paling bawah yaitu 1,5 m pada setiap stasiun.
Sedangkan kelimpahan fitoplankton menunjukkan adanya peningkatan dari
permukaan hingga kedalaman paling bawah yaitu 1,5 m. Dari hasil uji analisis
varian produktivitas primer antar kedalaman tidak berbeda signifikan. Hal ini dapat
disebabkan faktor fisik dan kimia peraiaran tidak berbeda jauh dan masih cocok bagi
pertumbuhan fitoplankton yang masih dalam kisaran batas toleransi yang mendukung
kehidupan fitoplankton yang melakukan fotosintesis, sehingga laju produktivitas
primer antar kedalaman tidak berbeda signifikan.
Dari hasil uji analisis varian produktivitas primer antar stasiun tidak berbeda
signifikan. Hal ini disebabkan faktor fisik kimia (oksigen terlarut, suhu, salinitas,
BOD, nitrat dan fosfat) perairan antar stasiun tidak berbeda jauh dan masih dalam
kisaran batas toleransi yang masih mendukung bagi kehidupan fitoplankton yang
melakukan fotosintesis, sehingga laju produktivitas primer antar stasiun tidak berbeda
signifikan.
Menurut Barus (2004), perubahan keanekaragaman plankton di suatu
menghasilkan produktivitas primer yang tinggi. Pada fotosintesis terjadi proses
penyerapan energi cahaya dan karbondioksida serta pelepasan oksigen yang berupa
salah satu produk fotosintesis tersebut.
b. Konsentrasi Klorofil a
Dari hasil pengukuran terhadap nilai konsentrasi klorofil a diketahui bahwa
nilai konsentrasi klorofil a dari setiap stasiun penelitian berkisar antara 0,214 –
22,533 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil a tertinggi terdapat pada stasiun 3 pada
kedalaman 1,2 meter dengan nilai 22,533 mg/m3 dan konsentrasi klorofil a terendah
terdapat pada stasiun 2 pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai 0,214 mg/m3. Dari
data yang diperoleh diketahui bahwa nilai rata-rata tertinggi konsentrasi klorofil a
terdapat pada stasiun 3 dengan nilai rata-rata 13,365 mg/m3 dan nilai rata-rata
konsentrasi klorofil a terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai rata-rata sebesar
1,933 mg/m3. Di stasiun 3 di kedalaman 1,2 meter, konsentrasi klorofil a jauh lebih
besar dari konsentrasi klorofil a di kedalaman yang sama pada kedua stasiun yang
lain. Fluktuasi konsentrasi klorofil a perkedalaman tidak menunjukkan kesamaan
dengan besarnya nilai kelimpahan fitoplankton, yang berarti walaupun kelimpahan
fitoplankton tinggi tidak berarti konsentrasi klorofil a tinggi. Hal seperti ini bisa
dilihat dari data di stasiun 2 kedalaman 1,5 meter dan di stasiun 3 kedalaman yang
sama ditemukan kelimpahan fitoplankton paling tinggi untuk setiap stasiun.
Sebaliknya konsentrasi klorofil a yang didapatkan justru yang paling rendah. Hal
mempengaruhi jumlah klorofil a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton,
sehingga diduga hal ini menyebabkan tinggi rendahnya kandungan klorofil a
(Madubun, 2008). Perbandingan konsentrasi klorofil a antar stasiun menunjukkan
adanya perbedaan nutrisi di stasiun 3, hal ini ditunjukkan dengan tingginya
kandungan nutrisi fosfat. Kondisi yang serupa ini dijumpai juga oleh Nontji (1984)
pada perairan pantai Bekasi yang tercatat konsentrasi klorofil a sebesar 14,28 mg/m3.
Pada stasiun dekat muara sungai nilai tersebut dua kali lebih tinggi dari nilai yang
diukur pada stasiun yang jauh dari pantai. Tingginya nilai klorofil a tergantung pada
jenis fitoplankton. Menurut Nybakken (1992), kandungan klorofil berbeda menurut
spesies fitoplankton, dan bahkan berbeda pada individu-individu dari spesies yang
sama, karena kandungan klorofil bergantung pada kondisi individu. Tingginya
konsentrasi klorofil a pada stasiun 3 dapat disebabkan jenis fitoplankton pada stasiun
ini memiliki konsentrasi klorofil a yang paling banyak. Berdasarkan hasil analisis
korelasi, bahwa produktivitas primer berkorelasi positif dengan konsentrasi klorofil a.
Klorofil a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil
sangat terkait dengan kondisi lingkungan suatu perairan. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Wehlr (1991) dalam Wang et al. (1997), bahwa pola distribusi
ukuran fitoplankton juga sangat berhubungan dengan kondisi trofik. Fitoplankton
dengan ukuran besar sering di temukan di perairan eutrofik. Beberapa parameter fisik
kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil a. Berdasarkan hasil
perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan kondisi masing-masing perairan dan
proses percampuran air dari bawah ke permukaan (upwelling) di laut.
c. Fitoplankton
Fitoplankton adalah organisme yang hidup melayang di perairan dan
merupakan organisme dominan yang menyediakan oksigen di perairan melalui
fotosintesis. Dari penelitian ditemukan 57 genus fitoplankton yang berasal dari 5
kelas yaitu Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Chrysophyceae, Myxophyceae, dan
Xanthophyceae. Nilai rata-rata kelimpahan fitoplankton yang ditemukan berkisar
antara 2.544,218 – 26.394,560 ind./L. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada
stasiun 3 di kedalaman 1,5 meter yaitu sebesar 36.653,061 ind./l. Nilai terendah
terdapat pada stasiun 1 di kedalaman 0 meter yaitu sebesar 1.836,736 ind/l.
Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 3. Tingginya fitoplankton
pada stasiun ini menyebabkan laju produktivitas primer lebih tinggi dan didukung
oleh tersedianya kandungan nutrisi yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran
konsentrasi fosfat di stasiun 3 merupakan kosentrasi tertinggi sebesar 0,139 mg/l.
Fosfat memainkan peranan penting penyedia sumber energi dalam proses fotosintesis.
Millero dan Sohn (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton
tergantung pada konsentrasi fosfat, bila konsentrasi di bawah 0,0186 mg/l maka
perkembangan sel fitoplankton menjadi terhambat. Untuk pertumbuhan optimum
fitoplankton, konsentrasi fosfat yang di butuhkan berkisar 0,27-5,51 mg/l. Dari hasil
sehingga pertumbuhan fitoplankton belum mencapai pertumbuhan optimum.
Berdasarkan nilai kelimpahan dapat dikatakan kelimpahan fitoplankton di muara
Sungai Asahan rendah. Hal ini diduga disebabkan tingkat kekeruhan yang cukup
tinggi sehingga perairan sulit ditembus cahaya, sementara fitoplankton adalah
organisme yang bersifat fototaksis.
Dari data yang di peroleh nilai kelimpahan fitoplankton di setiap stasiun
cenderung lebih rendah pada permukaan. Distribusi vertikal memperlihatkan
peningkatan dari permukaan dan mencapai maksimum di kedalaman 1,5 meter pada
setiap stasiun. Menurut Cloern (1989) di ekosisitem perairan dangkal yang
dipengaruhi oleh sungai, transport horizontal mengikuti sirkulasi air yang digerakkan
oleh arus pasang surut, hembusan angin di permukaaan air, dan perbedaan horizontal
densitas air. Selanjutnya transport tersebut memindahkan biomassa fitoplankton
secara memanjang sepanjang kontinum sungai laut dan secara lateral antara bagian
yang dangkal dan yang dalam, yang habitatnya sangat berbeda untuk pertumbuhan
fitoplankton. Stasiun 2 yang dangkal berada di daerah mangrove akan menerima
pengaruh aliran air sungai dan arus yang ditimbulkan oleh pasang surut lebih besar
dari kedua stasiun yang lain. Ketika surut aliran air sungai memasuki muara dan
mendorong massa air ke arah laut, sebaliknya ketika pasang air laut mendorong
masuk ke muara. Perpindahan massa air ini memindahkan pula fitoplankton masuk
dan keluar dari muara sesuai kondisi pasang surut
Kennish (1992) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae),
52
silicoflagellata (kelas Chrysophyceae), dan blue-green algae (kelas
Cyanophyceae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Di estuari atau
lagun, terdapat susunan taksonomi yang lain dan yang juga penting bagi lingkungan
setempat, misalnya alga hijau (kelas Chlorophyceae), fitoflagellata coklat (kelas
Haptophyceae), dan euglena (kelas Euglenophyceae). Fluktuasi kondisi lingkungan
estuari menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya
produktivitas primer berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi
lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama.
4.2. Faktor Fisik Kimia Perairan
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia pada
Tabel 3. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
Stasiun 1: Daerah Mangrove
a. Suhu
Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian suhu
berkisar antara 28-30,5°C. Fluktuasi suhu yang teramati selama penelitian tidak
menunjukkan variasi yang besar, baik antar stasiun maupun kedalaman. Hal ini di
mungkinkan karena kondisi cuaca selama pengamatan relatif sama. Rata-rata suhu
tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 29.83°C, tingginya suhu pada stasiun 3
disebabkan oleh tingginya intensitas cahaya dan adanya pencampuran air dengan
udara dari atmosfer yang tidak merata. Suhu yang terendah terdapat pada stasiun 1
dengan nilai 28°C, pada stasiun ini suhu relatif konstan yakni 28°C pada kedalaman
yang berbeda. Suhu yang konstan disebabkan adanya pencampuran air dengan udara
dari atmosfer yang merata dan gerakan angin permukaan sehingga air bercampur
dengan merata. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih
normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu air
laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Effendi (2003) menyatakan bahwa Chlorophyta dan diatom akan tumbuh
dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35°C dan 20-30°C. Dengan demikian,
suhu di muara sungai Asahan tidak menghambat aktivitas fitoplankton untuk
berfotosintesis. Menurut Basmi (1999) suhu berperan penting dalam proses
metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton. Pennock dan Sharp (1986)
menambahkan bahwa suhu yang lebih hangat dan ketersediaan cahaya pada musim
panas dapat meningkatkan produktivitas fitoplankton. Produksi fitoplankton juga
b. Penetrasi Cahaya
Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada ketiga stasiun berkisar antara 50 cm-
120 cm. Terendah pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 50 cm. Keadaan ini bisa terjadi
dilihat dari tipe substratnya bahwa pada daerah mangrove merupakan sedimen
berlumpur. Penetrasi cahaya yang paling tinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 120 cm.
Stasiun ini letaknya cenderung jauh dari sungai yang mengarah ke laut. Menurut
Agusnar (2007), padatan tersuspensi mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air
sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis. Selanjutnya menurut
Nybakken (1992), pengaruh ekologi dari kekeruhan berupa penurunan penetrasi
cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini menurunkan fotosintesis fitoplankton
dan tumbuhan bentik, yang mengakibatkan turunnya produktivitas.
Edward (1995) menyatakan kecerahan yang baik untuk kehidupan biota
adalah jumlah cahaya yang masuk tidak terlalu besar, sehingga proses fotosintesis
dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplanton memadai untuk kehidupan semua
biota perairan. Hasil pengukuran kecerahan pada ke tiga stasiun jika dibandingkan
dengan baku mutu air laut berada di bawah normal. Menurut Sastrawijaya (1991),
partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang datang, sehingga akan
menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan
mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan