• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.11 Skin Analyzer

2.11.2 Parameter pengukuran

Hasil pengukuran kulit dengan menggunakan skin analyzer dapat dilihat kriterianya pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Parameter hasil pengukuran dengan skin analyzer

Pengukuran Parameter (%)

Moisture (Kadar air)

Dehidrasi Normal Hidrasi

0-29 30-50 51-100

Evenness (Kehalusan)

Halus Normal Kasar

0-31 32-51 52-100

Pore (Pori) Kecil Beberapa besar Sangat besar

0-19 20-39 40-100

Spot (Noda) Sedikit Beberapa noda Banyak noda

0-19 20-39 40-100

Wrinkle (Keriput)

Tidak keriput Berkeriput Banyak keriput

0-19 20-52 53-100

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah eksperimental. Penelitian meliputi formulasi sediaan, pemeriksaan homogenitas sediaan, penentuan tipe emulsi sediaan, pengukuran pH sediaan, penentuan stabilitas sediaan, uji iritasi terhadap kulit sukarelawan, dan pembuktian kemampuan sediaan sebagai anti-aging dengan menggunakan 15 orang sukarelawan. Terdiri dari 5 kelompok uji dan masing kelompok terdiri dari 3 orang sukarelawan, 4 kelompok uji masing-masing diberikan sediaan krim dengan variasi konsentrasi minyak bekatul yang diformulasikan dan 1 kelompok uji dengan pemberian blanko, yang dilakukan selama 1 bulan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kosmetologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.1 Alat -Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah pH meter (Hanna Instruments), skin analyzer dan moisture checker (Aramo-SG), neraca listrik (Boeco Germany), lumpang porselin, stamfer, objek gelas, alat-alat gelas, cawan penguap, penangas air.

3.2 Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian pada pembuatan krim anti-aging adalah asam stearat, setil alkohol, trietanolamina, metil paraben, butil hidroksitoluen (BHT), akuades, minyak bekatul, metil biru, larutan dapar pH asam (pH 4,01), dan pH netral (pH 7,01).

3.3 Sukarelawan

Sukarelawan yang dijadikan panel pada uji iritasi dan pembuktian kemampuan sediaan sebagai anti-aging berjumlah 15 orang dengan kriteria sebagai berikut (Ditjen POM RI, 1985):

1. Wanita berbadan sehat 2. Usia antara 20-30 tahun

3. Tidak ada riwayat penyakit alergi 4. Bersedia menjadi sukarelawan.

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Formulasi sediaan krim anti-aging 3.4.1.1 Formula standar

Formula standar yang dipilih adalah dari buku (Young, 1972).

R/ Asam stearat 12 g

Formula krim anti-aging dimodifikasi dengan penambahan antioksidan berupa (butil hidroksitoluen), dan tidak menggunakan sorbitol, propilen glikol, dan gliserin. Kemudian pada sediaan krim anti-aging, sampel yang akan digunakan adalah minyak bekatul dalam beberapa konsentrasi. Adapun formula krim anti-aging yang akan dibuat adalah:

R/ Asam stearat 12 g kemudian ditambahkan butil hidroksitoluen. Metil paraben dan trietanolamina dilarutkan dalam akuades yang telah dipanaskan (fase air). Kemudian, fase minyak dimasukkan ke dalam lumpang porselin panas, ditambahkan fase air dan diaduk secara konstan hingga diperoleh dasar krim yang homogen.

3.4.2 Pembuatan sediaan krim anti-aging

Konsentrasi pada penambahan minyak bekatul yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan krim anti-aging masing-masing sebanyak 3%, 6%, 9%, dan 12%.

Formula krim yang dirancang dapat dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini, yaitu:

Tabel 3.1 Komposisi bahan krim anti-aging

Cara pembuatan:

Minyak bekatul dimasukkan dalam lumpang porselin, lalu ditambahkan dasar krim sedikit demi sedikit, kemudian digerus hingga homogen, setelah itu

3.5 Pemeriksaan Mutu Fisik Sediaan 3.5.1 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Sejumlah tertentu sediaan jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM RI, 1979).

3.5.2 Penentuan tipe emulsi sediaan

Penentuan tipe emulsi dilakukan dengan pengecatan atau pewarnaan.

Sejumlah tertentu sediaan diletakkan di atas objek gelas, ditambahkan 1 tetes metil biru, diaduk dengan batang pengaduk. Bila metil biru tersebar merata berarti sediaan tersebut tipe emulsi m/a, tetapi bila hanya bintik-bintik biru berarti sediaan tersebut tipe emulsi a/m (Ditjen POM RI, 1985).

3.5.3 Pengukuran pH sediaan

Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.

Alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan akuades, lalu dikeringkan dengan tissu. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1%, yaitu ditimbang 1 g sediaan dan dilarutkan dalam akuades hingga 100 ml, diaduk. Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat penunjuk nilai pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.5.4 Penentuan stabilitas sediaan

Pengamatan stabilitas sediaan dilakukan pada penyimpanan suhu kamar dengan cara:

Masing-masing sediaan krim dimasukkan ke dalam pot plastik, ditutup bagian atasnya. Selanjutnya pengamatan dilakukan pada saat sediaan telah selesai dibuat

dan penyimpanan selama 1, 4, 8, dan 12 minggu.Bagian yang diamati berupa pemisahan fase, perubahan warna dan bau dari sedíaan (Ansel,2008).

3.6 Pengujian Aktivitas Anti-aging

Pengujian aktivitas anti-aging menggunakan sukarelawan sebanyak 15 orang dan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu: Kelompok I: 3 orang sukarelawan untuk krim F0 (blanko), Kelompok II: 3 orang sukarelawan untuk krim FI (konsentrasi minyak bekatul 3%), Kelompok III: 3 orang sukarelawan untuk krim FII (konsentrasi minyak bekatul 6%), Kelompok IV: 3 orang sukarelawan untuk krim FIII (konsentrasi minyak bekatul 9%), Kelompok V: 3 orang sukarelawan untuk krim FIV (konsentrasi minyak bekatul 12%). Semua sukarelawan diukur kondisi kulit wajah awal meliputi: kadar air (moisture), kehalusan (evenness), besar pori (pore), banyaknya noda (spot), keriput (wrinkle) dengan menggunakan skin analyzer sesuai dengan parameter pengukuran. Setelah pengukuran kondisi kulit awal, perawatan mulai dilakukan dengan pengolesan krim hingga merata seluas area yang telah diukur, krim dioleskan berdasarkan kelompok yang telah ditetapkan di atas, pengolesan dilakukan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu.

Perubahan kondisi kulit diukur setiap minggu selama 4 minggu dengan menggunakan skin analyzer.

3.7 Uji Iritasi Terhadap Kulit Sukarelawan

Uji iritasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat iritatif sediaan.

Teknik yang digunakan pada uji iritasi ini adalah uji pakai (usage test).

Percobaan ini dilakukan pada 15 orang sukarelawan yaitu terdiri dari 3 orang sukarelawan untuk tiap formula yang dengan cara dioleskan sediaan krim di

bagian belakang telinga sukarelawan kemudian dibiarkan selama 24 jam dan diamati reaksi yang terjadi. Reaksi iritasi positif ditandai oleh adanya kemerahan, gatal-gatal, atau bengkak pada kulit sukarelawandi bagian belakang telinga yang diberi perlakuan (Wasitaatmadja, 1997).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penentuan Mutu Fisik Sediaan 4.1.1 Hasil penentuan homogenitas

Berdasarkan uji yang dilakukan pada sediaan krim dengan konsentrasi 3%, 6%, 9% dan 12% maupun blanko, sediaan krim yang diperoleh berupa krim putih, tidak diperoleh butiran-butiran kasar pada objek gelas, maka sediaan krim dikatakan homogen. Menurut Ditjen POM RI (1979), sediaan dinyatakan homogen jika tidak ada butiran kasar pada kaca, maka sediaan memenuhi syarat.

Hasil percobaan untuk pengujian homogenitas sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data pengamatan terhadap homogenitas sediaan dengan menggunakan objek gelas.

+ : Homogen (tidak terdapat butiran kasar) - : Tidak homogen (terdapat butiran kasar) 4.1.2 Hasil penentuan tipe emulsi pada sediaan krim

Menurut Ditjen POM RI (1985), penentuan tipe emulsi suatu sediaan dapat dilakukan dengan menggunakan metil biru, jika metil biru terlarut atau tersebar merata saat diaduk dengan batang pengaduk maka emulsi tersebut adalah tipe m/a, tetapi bila hanya bintik-bintik biru berarti krim tersebut bertipe a/m.

Hasil percobaan untuk pengujian tipe emulsi sediaan dengan menggunakan metil biru dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data penentuan tipe emulsi sediaan Formula Sediaan Kelarutan Metil Biru

Blanko +

FI +

FII +

FIII +

FIV +

Keterangan: Blanko, krim anti-aging minyak bekatul FI:3%, FII: 6%, FIII: 9%, FIV: 12%

+ : Larut - :Tidak larut

Berdasarkan hasil uji tipe emulsi yang telah di lakukan, diperoleh bahwa sediaan blanko dan sediaan yang mengandung minyak bekatul dengan konsentrasi 3%, 6%, 9% dan 12% dapat bercampur atau tersebar merata dengan metil biru.

Hal ini menunjukkan bahwa tipe emulsi dari sediaan yang telah diuji adalah tipe emulsi m/a.

4.1.3 Hasil penentuan pH sediaan

Hasil pengukuran pH sediaan pada saat selesai dibuat dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Data pengukuran pH sediaan pada saat selesai dibuat

Formula pH

Menurut Balsam dan Sagarin (1972), pH untuk sediaan krim adalah 5-8, sehingga sediaan diatas memenuhi syarat pH untuk krim anti-aging. Hasil pengukuran pH sediaan saat sediaan selesai dibuat adalah 6,0-6,4. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan masih memiliki pH yang aman untuk digunakan pada kulit.

Hasil pengukuran pH setelah penyimpanan sediaan selama 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Data pengukuran pH sediaan setelah penyimpanan selama 12 minggu

Formula pH

Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa pH sediaan mengalami sedikit kenaikan saat selesai dibuat hingga sediaan disimpan selama 12 minggu, akan tetapi pH sediaan masih berada pada pH yang aman untuk digunakan pada kulit.

4.1.4 Hasil penentuan stabilitas sediaan

Hasil pengamatan stabilitas sediaan memperlihatkan bahwa seluruh formula yang dibuat yaitu blanko dan formula sediaan yang mengandung minyak bekatul tidak mengalami perubahan pada saat pertama kali dibuat, penyimpanan 1 minggu, 4 minggu, 8 minggu, dan 12 minggu. Pada seluruh sediaan yang dibuat masih sama baik dari bau, warna, dan bentuk sediaan seperti pertama kali dibuat.

Hasil pengamatan stabilitas sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini.

Tabel 4.5 Data pengamatan terhadap kestabilan sediaan pada saat selesai dibuat, penyimpanan selama 1, 4, 8, dan 12 minggu

No Formula

Menurut Anief (2004), ketidakstabilan emulsi dapat dilihat dari keadaan creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan dimana lapisan satu mengandung lebih banyak butiran-butiran dibanding lapisan lainnya. Cracking yaitu pecahnya emulsi dan inversi yaitu peristiwa berubahnya tipe emulsi. Inversi yaitu berubahnya tipe emulsi a/m menjadi m/a dan sebaliknya.

4.2 Hasil Uji Iritasi Terhadap Kulit Sukarelawan

Berdasarkan hasil uji iritasi terhadap kulit sukarelawan, tidak terlihat adanya reaksi seperti kemerahan, gatal-gatal maupun bengkak pada kulit dari setiap sediaan, hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan sediaan tersebut aman untuk digunakan. Hasil dari uji iritasi terhadap kulit sukarelawan, dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut, yaitu:

Tabel 4.6 Data uji iritasi terhadap kulit sukarelawan.

Formula Relawan Kemerahan Gatal-gatal Bengkak

Blanko

Salah satu cara untuk menghindari terjadinya efek samping pada penggunaan kosmetik adalah dengan melakukan uji pakai. Percobaan ini dilakukan pada 15 orang sukarelawan, yaitu 3 orang sukarelawan untuk tiap formula. Dioleskan di bagian belakang telinga sukarelawan, kemudian dibiarkan 24 jam dan diamati reaksi yang terjadi. Reaksi iritasi positif ditandai oleh adanya kemerahan, gatal-gatal, atau bengkak pada kulit bagian belakang telinga yang diberi perlakuan (Wasitaatmadja, 1997).

4.3 Hasil Pengujian Aktivitas Anti-aging

Pengujian efektivitas anti-aging menggunakan skin analyzer Aramo, parameter uji meliputi pengukuran kadar air (moisture), kehalusan (evenness),

pori (pore), banyaknya noda (spot) dan keriput (wrinkle). Pengukuran efektivitas anti-aging dimulai dengan mengukur kondisi awal kulit wajah sukarelawan.Pengujian ini dilakukan dari minggu ke-1 sampai pada minggu ke-4.

Data yang diperoleh pada setiap parameter dianalisis secara statistik dengan metode Kruskal-Wallis lalu dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar formula.

4.3.1 Kadar air (moisture)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat moisture checker yang terdapat dalam perangkat skin analyzer Aramo dengan menekan tombol power dan dilekatkan pada permukaan kulit yang akan diukur.

Pada Tabel 4.7 dapat di lihat bahwa semua kelompok sukarelawan memiliki kadar air dehidrasi yaitu 25,3-29,3. Perawatan yang di lakukan menunjukkan adanya efek peningkatan kadar air kulit sukarelawan setelah pemakaian krim. Persentase peningkatan kadar air kulit dari FI, FII dan FIII masing-masing 15,1%, 22,2% dan 34,8%. Persentase peningkatan kadar air kulit paling tinggi ditunjukkan oleh kelompok sukarelawan dengan perawatan menggunakan FIV yaitu sebesar 37,9% bila dibandingkan dengan blanko yang hanya naik sebesar 3,3%. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengetahui efektivitas formula terhadap kadar air kulit sukarelawan dan diperoleh nilai p < 0,05 pada minggu kedua hingga keempat yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan efektivitas antar formula. Untuk mengetahui formula mana yang berbeda maka dilakukan uji Mann-Whitney. Dari hasil uji Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kadar air yang signifikan antara blanko dengan F2, F3, dan F4, F1 dengan F3 dan F4, F2 dengan F3 dan F4 (nilai p < 0,05).

Menurut Mitsui (1997), nutrisi, aktivitas serta lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kadar air dalam epidermis dan dermis. Kulit harus mampu menjaga kadar air untuk mempertahankan fungsinya sebagai kulit yang sehat. Apabila kadar air menurun secara drastis, kulit akan kekurangan nutrisi dan menyebabkan kulit menjadi kering, kasar, pecah-pecah dan terkelupas.

Data hasil pengukuran kadar air (moisture)pada kulit sukarelawan dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil pengukuran kadar air (moisture) pada kulit wajah sukarelawan

Formula Suka-

0

Grafik pengaruh pemakain krim terhadap kadar air kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik hasil pengukuran kadar air (moisture) selama 4 minggu Keterangan:

Kadar air dehidrasi: 0-29 Normal : 30-44

Hidrasi : 45-100 (Aramo, 2012).

Gambar di atas menunjukkan bahwa pemakaian krim memberikan efek terhadap peningkatan kadar air kulit wajah sukarelawan. Kadar air kulit meningkat setelah penggunaan krim selama empat minggu perawatan.

4.3.2 Kehalusan (evenness)

Pengukuran kehalusan kulit (evennes) dengan menggunakan perangkat skin analyzer yangmenggunakan lensa perbesaran 60 kali dengan warna lampu sensor berwarna biru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Dari data yang diperoleh setelah perawatan selama empat minggu dianalisis dengan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengetahui efektivitas formula terhadap kehalusan kulit sukarelawan dan diperoleh nilai p < 0,05 pada minggu awal hingga minggu keempat yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang

signifikan antar formula. Untuk mengetahui formula mana yang berbeda, maka data selanjutnya diuji menggunakan Mann-Whitney. Dari hasil uji Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kehalusan kulit yang signifikan antara blanko dengan F1, F2, F3 dan F4, F1 dengan F3 dan F4, F2 dengan F3 dan F4 serta F3 dengan F4 (nilai p < 0,05).

Tabel 4.8 Hasil pengukuran kehalusan (evenness) pada kulit wajah sukarelawan

Formula Suka-

Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat dilihat bahwa kondisi awal kehalusan kulit sukarelawan berkisar antara 23-35 yaitu pada kondisi normal dan

0

halus. Setelah penggunaan krim, kelompok blanko tidak menunjukkan peningkatan kehalusan kulit (0%), sedangkan pada FI, FII, FIIIdan FIV menunjukkan peningkatan kehalusan kulit dengan persentase pemulihan masing-masing sebesar 12,96%, 14,86%, 21,16% dan 22,26%. FIV menunjukkan peningkatan kehalusan kulit. Grafik pengaruh pemakaian krim terhadap peningkatan kehalusan kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran kehalusan (evenness) selama 4 minggu Keterangan:

Kulit halus : 0-31 Normal : 32-51

Kasar : 52-100 (Aramo, 2012)

Gambar di atas menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi minyak bekatul yang digunakan mempengaruhi peningkatan kehalusan kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan. Krim pada FIV lebih efektif dalam menghaluskan kulit sukarelawan dibandingkan dengan blanko yang tidak mengalami peningkatan kehalusan kulit.

Ketika kulit terlalu sering terpapar oleh sinar matahari, kolagen dan elastin yang berada dalam lapisan kulit akan rusak. Sehingga sel-sel mati yang bertumpuk pada stratum korneum menyebabkan permukaan kulit menjadi kurang halus. Akibatnya kulit tampak lebih kasar (Bogadenta, 2012).

4.3.3 Pori (pore)

Pengukuran pori dengan skin analyzer secara otomatis ikut terbaca pada pengukuran kehalusan. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil pengukuran pori (pore) pada kulit wajah sukarelawan

Formula Suka-

0

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilihat bahwa kelompok blanko sedikit menunjukkan pengecilan ukuran pori (5,23%), sedangkan pada FI, FII, FIII dan FIV, menunjukkan adanya pengecilan ukuran pori masing-masing sebesar 14%, 16%, 23,94%, 25% dan 29,29%, dan pada salah satu relawan terdapat perubahan dari pori berukuran beberapa besar (24) menjadi pori berukuran kecil (16). Grafik pengaruh pemakaian krim terhadap ukuran pori kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran pori (pore) selama 4 mingggu Keterangan:

Pori kecil : 0-19 Beberapa besar : 20-39

Sangat besar : 40-100 (Aramo, 2012)

Gambar di atas menunjukkan bahwa krim FIV lebih cepat mengecilkan pori-pori kulit dari pada blanko. Data yang diperoleh setelah perawatan selama empat minggu selanjutnya dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan diperoleh nilai p < 0,05 pada minggu pertama hingga minggu keempat yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar formula dalam mengecilkan ukuran pori

kulit sukarelawan. Data selanjutnya diuji menggunakan Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda.Berdasarkan dari hasil uji Mann-Whitney yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara formula blanko dengan F1, F2, F3 dan F4, F1 dengan F3 dan F4, serta F2 dengan F4 (nilai p < 0.05).

Peningkatan suhu akibat aktivitas masing-masing sukarelawan juga dapat menyebabkan membesarnya pori-pori pada kulit. Menurut Sulastomo (2013), salah satu parameter untuk menentukan kulit wajah yang sehat adalah mempunyai pori-pori yang kecil. Pori-pori dapat membesar apabila terkena sinar matahari yang terlalu terik, peningkatan suhu menyebabkan pembukaan pori-pori pada kulit. Pori-pori yang besar dapat menyebabkan kotoran mudah masuk dan tersumbat di dalamnya sehingga menyebabkan jerawat lebih mudah timbul.

Besarnya pori dapat disebabkan oleh sinar matahari dan sel kulit mati.

4.3.4 Noda (spot)

Pengukuran banyaknya noda dengan menggunakan perangkat skin analyzer dengan lensa perbesaran 60 kali dengan warna lampu sensor jingga.

Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh memperlihatkan bahwa kondisi awal kulit wajah semua kelompok sukarelawan berkisar antara 32-41 yaitu pada kondisi beberapa noda dan banyak noda. Setelah penggunaan krim dan dilakukan pengukuran pada kulit wajah sukarelawan dapat dilihat bahwa blanko tidak memberikan efek pengurangan noda pada kulit wajah sukarelawan dengan persentase pemulihan sebesar 0,9%. FI, FII, FIII dan FIV menunjukkan adanya efek pengurangan noda (spot) pada kulit sukarelawan dengan persentase pemulihan masing-masing sebesar 5,2%, 30,2%, 33,33% dan 37,77%. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil pengukuran noda (spot) pada kulit wajah sukarelawan

Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisa statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dan diperoleh nilai p < 0,05 yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antar formula dalam mengurangi nodapada kulit sukarelawan pada minggu pertama hingga minggu keempat. Kemudian data diuji menggunakan Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda.

Berdasarkan dari hasil uji Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat

0

perbedaan yang signifikan banyaknya noda kulit sukarelawan antara blanko dengan F1, F2, F3 dan F4, F1 dengan F2, F3 dan F4, F2 dengan F3 dan F4 serta F3 dengan F4 (nilai p < 0,05).

Grafik pengaruh pemakaian krim terhadap banyaknya noda (spot) kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Grafik hasil pengukuran noda (spot)selama 4 minggu Keterangan:

Sedikit noda : 0-19 Beberapa noda : 20-39

Banyak noda : 40-100 (Aramo, 2012)

Sel utama kedua epidermis (setelah keratinosit) adalah melanosit yang ditemukan dalam lapisan basal. Di dalam melanosit disintesa granula-granula pigmen yang disebut melanosom. Melanosom mengandung biokroma coklat yang disebut melanin. Jumlah melanin dalam keratinosit dalam kulit menentukan warna kulit seseorang. Melanosit melindungi kulit dari pengaruh-pengaruh sinar matahari yang merugikan. Sebaliknya, sinar matahari yang berlebihan juga dapat meningkatkan pembentukan melanosom dan melanin. Semakin banyak sinar

matahari yang terkena kulit menyebabkan semakin aktif pembentukan melanin dan menimbulkan pembentukan bintik-bintik noda berwarna coklat pada kulit (Fitzpatrick, dkk.,1983).

4.3.5 Keriput (Wrinkle)

Pengukuran keriput dengan menggunakan perangkat skin analyzer lensa perbesaran 10 kali dengan warna lampu sensor biru. Hasil pengukuran keriput (wrinkle) pada kulit dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Hasil pengukuran keriput (wrinkle) pada kulit wajah sukarelawan

Formula Suka-

0

Hasil pengukuran yang diperoleh memperlihatkan bahwa kondisi awal kulit wajah semua kelompok sukarelawan berkeriput (23-29). Setelah penggunaan krimdan dilakukan pengukuran dapat dilihat bahwa formula blanko sedikit memberikan efek pengurangan keriput pada kulit wajah sukarelawan dengan persentase pemulihan sebesar 1,23%. FI, FII, FIII dan FIV menunjukkan adanya efek pengurangan banyaknya keriput pada kulit sukarelawan dengan persentase pemulihan masing-masing sebesar 16,46%, 19,91%, 23,88 dan 27,63%.

Grafik pengaruh pemakaian krim erhadap jumlah keriput (wrinkle) kulit sukarelawan selama empat minggu perawatan dapat dilihat pada Gambar 4.5 di bawah ini.

Gambar 4.5 Grafik hasil pengukuran keriput (wrinkle) selama 4 minggu Keterangan:

Tidak berkeriput : 0-19 Berkeriput : 20-52

Berkeriput parah : 53-100 (Aramo, 2012)

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan diperoleh nilai p < 0,05 yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang

signifikan antar formula dalam mengurangi keriput pada kulit sukarelawan pada minggu keempat. Kemudian data diuji menggunakan Mann-Whitney untuk mengetahui formula mana yang berbeda. Dari hasil uji Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara formula blanko dengan F2, F3 dan F4, F1 dengan F2 (nilai p < 0,05).

Dalam hal ini, proses penuaan yang gejalanya terlihat jelas pada kulit seperti timbulnya keriput, kelembutan kulit berkurang, menurunnya elastisitas kulit, tekstur kulit menjadi kasar, hiperpigmentasi, serta kulit berwarna gelap.Keriput yang timbul dapat diartikan secara sederhana sebagai penyebab menurunnya jumlah kolagen dermis (Jaelani, 2009).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Minyak bekatul (Rice bran oil) dapat diformulasikan menjadi krim m/a, bersifat homogen, tetap stabil setelah penyimpanan selama 12 minggu, dan memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit serta tidak mengiritasi kulit.

2. Krim yang mengandung minyak bekatul (Rice bran oil) dengan konsentrasi 12% lebih baik dalam memperbaiki kondisi kulit wajah sukarelawan yaitu kadar air semakin meningkat (37,9%), kulit semakin halus (22,26%), pori-pori yang semakin mengecil (29,29%), dan banyak noda (37,77%), serta kerutan yang semakin berkurang (27,63%), daripada krim yang mengandung minyak bekatul 3%, 6% dan 9% selama empat minggu perawatan.

5.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk memformulasikan minyak bekatul dalam bentuk sediaan kosmetik lain seperti sabun.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2004). Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Halaman 96.

Anonim. (2017). http:// kulit.com

Ansel, H. C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaam Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:

Universitas Indonesia. Halaman 158-159, 162, 389.

Aramo. (2012). Skin and Hair Diagnostic System. Sugnam: Aram Huvis Korea Ltd. Halaman 1-10.

Ardhie, A M. (2011). Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah Penuaan. Medicinus 24 (1): 4-9.

Auliana, R. (2011). Manfaat Bekatul dan Kandungan Gizinya. Yogyakarta:

Halaman 1-11.

Balsam, M. S. dan Sargarin, E. (1972). Cosmetics: Science and Technology.

Volume II. Edisi II. New York: John Willey and Sons, Inc. Halaman 179-219.

Bogadenta, A. (2012). Antisipasi Gejala Penuaan Dini dengan Kesaktian Ramuan Herbal. Jogjakarta: Buku Biru. Halaman 15, 17, 19, 25 - 27, 43.

Ditjen POM RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen

Ditjen POM RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen

Dokumen terkait