• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik filtrat M. rouxii maupun

Saccharomyces sp dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus (Gambar 11

dan 12 . Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke -3,6, 9, dan 12 berturut-turut 1,04 ; 1,42 ; 1,91 ; 1,57 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 11).

0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 3 6 9 12 waktu (hari)

berat kering miselia

(mg/ml) A B 0 0 . 5 1 1 . 5 2 2 . 5 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

Gambar 11 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia A. parasiticus,

A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus

ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii

Fenomena serupa juga terlihat pada pertumbuhan A. parasiticus pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. A. parasiticus dapat tumbuh pada medium yang hanya mengandung filtrat Saccharomyces sp. walaupun pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 12).

Gambar 12 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia

A. parasiticus A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB,

B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat

Saccharomyces sp.

Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 0,89 ; 0,79 ; 1,34 ; 0,92 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB menghasilkan berat kering miselium sebagai

berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 12).

Menurut Rahman (1990), kapang genus Mucor dapat memproduksi asam fumarat, suksinat, sitrat ataupun laktat. Sedangkan Saccharomyces sp. dapat menghasilkan filtrat seperti etanol, gliserol, asam asetat, asam piruvat, asam suksinat, asam á-ketoglutarat, dan asam fumarat pada medium yang mengandung amonium (Albers et al. 1996). Filtrat-filtrat tersebut di atas diduga dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus. Hasil penelitian Davis dan Diener (1968) menyebutkan bahwa asam suksinat 6% dan asam sitrat 8% dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus sedangkan etil alkohol 3%, asam

α-ketoglutarat 4% dan asam piruvat 5% dapat menjadi sumber karbon bagi pertumbuhan A. parasiticus namun berat kering miselium yang terukur masih lebih rendah dibandingkan bila menggunakan glukosa sebagai sumber karbon.

Gambar 13 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii

Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh filtrat M. rouxii

berpengaruh juga terhadap biosintesis aflatoksin. Filtrat M. rouxii mampu 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 0 . 5 1 1.5 2 2 . 5 3 3 . 5 0 3 6 9 12 waktu (hari) kadar AFG2 (ppb) A B (4) (3) (2) (1) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 2 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 0. 5 1 1.5 2 2. 5 3 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

menghambat biosintesis keempat jenis aflatoksin yang dihasilkan A. parasiticus

yaitu Aflatokain B1, B2, G1 dan G2 (Gambar 13, Lampiran 15 dan 16). Penurunan kemampuan biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh filtrat

M. rouxii yang dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Menurut Choundary

(1992), metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dapat menyebabkan perubahan lingkungan biokimia dari substrat, yang selanjutnya akan mempengaruhi biosintesis aflatoksin.

Biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 oleh A. parasiticus juga dapat dihambat pada saat kapang tersebut ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. sehingga kadar aflatoksin yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 14, Lampiran 19 dan 20). Terhambatnya pertumbuhan A. parasiticus

oleh adanya filtrat Saccharomyces sp. diduga menjadi penyebab biosintesis aflatoksin juga menurun.

Gambar 14 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus

ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.

0 5 10 15 2 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 0 . 5 1 1.5 2 2 . 5 3 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B (4) (3) (2) (1)

0 1 2 3 4 5 6 0 3 6 9 12 waktu (hari) A B

Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005) menunjukkan bahwa medium yang mengandung filtrat Candida sp. dapat menghambat pertumbuhan A. flavus

sekaligus biosintesis aflatoksin. Hua et al. (1999) menyatakan bahwa khamir

Pichia anomala WRL-076 dapat menghambat biosintesis aflatoksin.

Pada Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa biosintesis aflatoksin mencapai titik tertinggi pada hari ke-9 inkubasi dan pada hari ke-12 mengalami penurunan. Menurut Marth dan Doyle (1979), produksi aflatoksin maksimal terjadi setelah inkubasi 5-9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin menurun. Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas enzim P450 monooksigenase yang berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987).

Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp.

yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus

dan Biosintesis Aflatoksin

Pertumbuhan A. parasiticus di dalam medium yang mengandung filtrat

M. rouxii dan MEB (1:1) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kontrol

A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 15). Berat kering

miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya yang mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,66 ; 5,04 ; 4,38 ; 3,43 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium normal menghasilkan berat kering miselium sebagai berikut 2,54 ; 3,67 ; 3,00 ; dan 2,34mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 13).

Gambar 15. Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat

0 0 . 5 1 1.5 2 2 . 5 3 3 . 5 4 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

Demikian halnya dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berat kering miselium (Gambar 16). Nilai berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,28 ; 2,84 ; 2,56 ; 2,30 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 2,52 ; 2,55 ; 2,35 dan 2,02 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 14).

Gambar 16. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)

Peningkatan pertumbuhan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada kedua medium di atas diduga disebabkan oleh pengkayaan nutrisi yang berasal dari penambahan MEB sebanyak 50%. MEB (Malt Extract Broth) merupakan medium pertumbuhan kapang yang mengandung malt extract, maltosa, dekstrosa

dan yeast extract. Selain itu konsentrasi filtrat kedua mikroba yang menjadi

separuhnya dibandingkan penggunaan filtrat 100% seperti pada penelitian sebelumnya diduga sebagai promotor pertumbuhan kapang. Hasil penelitian Graham dan Graham (1987) menunjukkan penggunaan konsentrasi bawang putih 0,3% pada medium YES dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus, namun

pada konsentrasi bawang putih 0,1-0,2% ternyata menstimulir pertumbuhan

0 5 10 15 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 4 6 8 10 12 14 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

Selain dapat menstimulir pertumbuhan A. parasiticus, filtrat M. rouxii dan

Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) juga menyebabkan biosintesis

aflatoksin menjadi lebih tinggi dibandingkan kontrol . Pada Gambar 17 terlihat bahwa kadar aflatoksin B1, B2, G1, G2 yang dihasilkan oleh A. parasiticus lebih tinggi pada saat A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat

M. rouxii dan MEB (1:1)

Gambar 17 Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 A, A. parasiticus

ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)

Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang diperkaya dan mengandung filtrat M. rouxii mencapai produksi maksimal pada hari ke -9, hal ini sesuai dengan pernyataan Marth dan Doyle (1979) bahwa produksi aflatoksin maksimum terjadi setelah inkubasi 5-9 hari.

A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat

Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) mampu melakukan biosintesis aflatoksin B1,

B2, G1 dan G2 lebih tinggi dibandingkan bila hanya ditumbuhkan pada medium (4) (3) (2) (1) 0 1 2 3 4 5 6 7 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 0. 4 0. 8 1.2 1.6 2 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

0 2 0 0 0 4 0 0 0 6 0 0 0 8 0 0 0 1 0 0 0 0 0 3 6 9 12 w ak t u ( har i) A B

MEB. Biosintesis keempat jenis aflatoksin maksimum terjadi pada hari ke-3, bahkan produksi aflatoksin B1 bisa mencapai 10 kali lipat jika dibandingkan kontrol (Gambar 18). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa gula-gula seperti maltosa, dekstrosa ya ng terkandung di dalam medium setelah suplementasi dengan MEB (1:1) menyebabkan terjadinya peningkatan biosintesis aflatoksin. Hasil penelitian Buchanan dan Lewis (1984) menunjukkan bahwa miselium kapang A. parasiticus yang semula ditumbuhkan pada medium pepton-mineral

salts tidak memproduksi aflatoksin, kemudian setelah dipindahkan ke dalam

medium glucose -mineral salts, terjadi kenaikan berat miselium sebesar 50% antara 22-53 jam waktu inkubasi. Produksi aflatoksin juga terjadi setelah 23 jam waktu inkubasi dengan produksi maksimum terjadi antara 47-70 jam kemudian menurun.

Gambar 18 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2,

A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus

ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) (4) (3) (2) (1) 0 5 0 1 0 0 150 2 0 0 2 5 0 3 0 0 3 5 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 0 0 4 0 0 6 0 0 8 0 0 1 0 0 0 1 2 0 0 1 4 0 0 1 6 0 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0 1 4 0 1 6 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

Secara umum, terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh adanya suplementasi MEB sebesar 50% dari total campuran medium. Penambahan medium MEB tersebut ditujukan sebagai sumber nutrisi bagi kapang A. parasiticus dalam biosintesis aflatoksin selain pengaruh dari filtrat kapang dan khamir kompetitor. MEB (Malt Extract Broth) merupakan medium pertumbuhan kapang yang berisi malt extract, maltosa, dekstrosa dan yeast extract yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin. Dutton (1988) melaporkan jenis gula sukrosa yang disuplementasi dengan yeast extract akan menstimulir produksi aflatoksin. Lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981a) menyebutkan bahwa glukosa atau produk hasil metabolitnya merupakan inducer bagi satu atau lebih enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis aflatoksin.

Selain pengaruh dari sumber nutrisi pada medium MEB, filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii dan Saccharomyces sp. diduga menyebabkan peningkatan aktivitas biosintesis. Hasil penelitian Shantha dan Murthy (1981) menunjukkan bahwa asam asetat secara tunggal atau dikombinasi dengan asam fumarat dapat mendukung sintesis aflatoksin oleh A. flavus, namun pada saat dikombinasi dengan asam piruvat terjadi penghambatan sintesis toksin. Hal ini diduga disebabkan oleh terbentuknya asam oksaloasetat akibat reaksi antara asam asetat dengan asam piruvat dan kondisi tersebut menyebabkan siklus TCA menjadi aktif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam asetat merupakan senyawa yang terkandung di dalam filtrat M. rouxii dan

Saccharomyces sp., sedangkan asam fumarat terkandung di dalam filtrat

M. rouxii.

Gliserol yang terkandung di dalam filtrat Saccharomyces sp. diduga juga dapat menstimulir biosintesis aflatoksin. Hasil penelitian Davis dan Diener (1968) menunjukkan bahwa gliserol 15% merupakan sumber kar bon yang baik untuk pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin, lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981b) mengemukakan bahwa gliserol merupakan senyawa yang dapat menginduksi biosintesis aflatoksin.

Gareis et al. (1984) melaporkan bahwa asam sorbat 0,025% dapat menstimulir produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus. Stimulasi produksi aflatoksin

diduga disebabkan kerja senyawa antimikroba dari asam sorbat yang mengganggu kerja siklus TCA (tricarboxylic acid) dan menghambat kerja enzim pada sel seperti suksinat dehidrogenase dan malat dehidrogenase. Siklus TCA diketahui sangat berperan dalam proses katabolisme dan anabolisme kapang. Apabila siklus TCA terganggu maka akan terjadi akumulasi asetil-KoA yang merupakan senyawa intermediat dalam biosintesis aflatoksin melalui jalur poliketida.

Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam Mendegradasi Aflatoksin

Degradasi aflatoksin secara biologi melibatkan transformasi dari molekul aflatoksin menjadi derivat yang kurang toksisitasnya ataupun menjadi tidak toksik. Menurut Mishra dan Das (2003), perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1 diharapkan mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau membuka cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi berkurang.

Gambar 19. Degradasi aflatoksin(1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii

(4) (3) (2) (1) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 1 2 3 4 5 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 4 6 8 10 12 14 0 3 6 9 12 waktu (hari) kadar AFG1 (ppb) A B 0 . 0 0 . 5 1.0 1.5 2 . 0 2 . 5 3 . 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

0 2 4 6 8 10 12 0 3 6 9 12 waktu (hari) kadar AFB1 (ppb) A B

M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat mendegradasi aflatoksin yang

dihasilkan oleh A. parasiticus. Degradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 oleh

M. rouxii berturut -turutsebesar 76,9 % ; 83,3 %; 77,8 % ; dan 81,8 %, sedangkan

Saccharomyces sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 sebesar

36,4 % ; 55,6 %; 37,8 %; dan 46,7% (Gambar 19 dan 20).

Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii diduga disebabkan ole h enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut. Hasil penelitian Cole dan Kirksey (1971) menunjukkan bahwa R. oryzae dapat memetabolisme aflatoksin G1 menghasilkan AF-1. AF-1 tersebut mulai terdeteksi di dalam kultur R. oryzae pada minggu pertama inokulas i dan proses biodegradasi lengkap terjadi pada minggu ke -4 setelah inokulasi. Proses biodegradasi tersebut dapat disebabkan oleh enzim yang diproduksi selama pertumbuhan kapang R. oryzae. Kapang Rhizopus sp. dan

A. flavus non-aflatoksigenik diketahui dapat mengubah aflatoksin B1 menjadi

aflatoksikol. Proses degradasi tersebut diduga disebabkan oleh enzim intraseluler yang dihasilkan oleh kedua mikroorganisme (Nakazato et al. 1991)

Gambar 20. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh

Saccharomyces sp. (4) (3) (2) (1) 0 1 2 3 4 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 2 4 6 8 10 12 14 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B 0 . 0 0 . 5 1.0 1.5 2 . 0 2 . 5 3 . 0 0 3 6 9 12 w a k t u ( h a r i ) A B

Hasil penelitian Cole et al. (1972) menunjukkan bahwa R. arrhizus dapat mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 50-60%, sedangkan Marth dan Doyle (1979) menyatakan bahwa Mucor alternans NRRL 3358 dapat mengubah AFB1 menjadi aflatoksikol dalam waktu 3-4 hari. Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005) menunjukkan bahwa Rhizomucor pusillus dan Candida sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 27,3% dan 50%, sedangkan degradasi aflatoksin B2 oleh kedua mikroba tersebut sebesar 22,7% dan 27,3%.

Selain itu degradasi aflatoksin dapat juga disebabkan karena pengikatan aflatoksin oleh mikroorganisme ataupun komponen dari mikroorganisme tersebut. Mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12% (Galvano et al 2001).

Pada Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa kadar aflatoksin total yang tidak diinokulasi dengan M. rouxii dan Saccharomyces sp. mengalami penurunan sebesar 60,77%. Hal ini menunjukkan selama waktu inkubasi 12 hari pada suhu 30oC terjadi perubahan sebagian struktur aflatoksin di dalam campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1). Medium MEB merupakan medium pertumbuhan kapang memiliki nilai pH 4,7 ± 0,2. Kondisi medium MEB yang cenderung asam diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi aflatoksin pada campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1) yang tidak diinokulasi dengan kapang/khamir.

Marth dan Doyle (1979) menyebutkan bahwa aflatoksin dapat terdegradasi oleh larutan asam dan basa kuat. Tabata et al. (1994) melaporkan bahwa larutan asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1. Hasil penelitian Mendez-Albores et al. (2005) menunjukkan bahwa larutan asam sitrat 1N dapat mendegradasi aflatoksin B1 (93 ng/g) sebesar 96,7% pada jagung membentuk senyawa yang kurang mutagenik dibandingkan aflatoksin B1 yakni aflatoksin D1. Pembentukan senyawa ini disebabkan oleh medium asam dapat mengkatalisis pembentukan struktur β-keto acid yang dilanjutkan dengan proses hidrolisis cincin lakton menghasilkan aflatoksin D1 (senyawa turunan dari dekarboksilasi cincin lakton yang terbuka dari aflatoksin B1).

Lebih lanjut Hafez dan Megalla (1982) melaporkan bahwa larutan asam laktat 2% dari silage dapat mendetoksifikasi aflatoksin B1 menjadi senyawa yang kurang toksik yaitu aflatoksin B2a (hidroksidihidro-aflatoksin B1).

Selain faktor kondisi asam, degradasi aflatoksin dapat disebabkan oleh adanya kontaminan karena senyawa-senyawa lain yang mungkin terekstrak yang dapat mengganggu kestabilan larutan aflatoksin.Maggon et al. (1977) melaporkan bahwa selain keempat jenis aflatoksin, A. parasiticus dapat menghasilkan

senyawa lain seperti sterigmatosistin dan senyawa turunannya seperti O-metilsterigmatosistin, aspertoxin serta versikolor C dan A. Senyawa-senyawa

SIMPULAN

Dari hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir dari ragi tape dapat disimpulkan bahwa ragi tape memiliki tingkat keragaman mikroorganisme yang cukup tinggi, di mana kapang yang sering dijumpai adalah Chlamydomucor

oryzae dan Mucor rouxii sedangkan Saccharomycopsis sp adalah isolat khamir

yang ditemukan hampir di seluruh ragi tape. Semua isolat kapang dan khamir yang teridentifikasi memiliki kemampuan untuk mereduksi kadar aflatoksin.

Mucor rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan

tertinggi dalam mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan Saccharomyces sp. asal Ragi NKL adalah isolat khamir dengan reduksi aflatoksin tertinggi yakni sebesar 98,1%.

M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat menghambat pertumbuhan

dan mempengaruhi morfologi A. parasiticus, namun aktivitas penghambatan

Saccharomyces sp. lebih tinggi dibandingkan M. rouxii. Hal ini diduga berkaitan

dengan kemampuan khamir Saccharomyces sp. menghasilkan enzim β-glukonase yang dapat melisis miselium A. parasiticus.

Baik filtrat M. rouxii maupun Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Namun filtrat M. rouxii

dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi dengan MEB (1:1) ternyata

menstimulir pertumbuhan A. parasiticus dan bios intesis aflatoksin. Kemampuan kapang M. rouxii mendegradasi aflatoksin lebih baik dibandingkan khamir

Saccharomyces sp. yakni sebesar 76,9 % AFB1; 83,3 % AFB2 ; 77,8 % AFG1;

dan 81,8% AFG2, sedangkan Saccharomyces sp. sebesar 36,4 % AFB1; 55,6 % AFB2 ; 37, 8 % AFG1; dan 46,7% AFG2.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan perlunya peninjauan kembali penggunaan medium APDA untuk mengisolasi khamir dan batasan waktu umur sampel yang akan diidolasi. Mengingat M. rouxii diketahui sebagai kapang the

first saprophyte colonizer, oleh sebab itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai

suksesi antara M. rouxii dengan A. parasiticus. Isolasi dan pengujian aktivitas enzim β-glukanase yang dihasilkan oleh Saccharomyces sp. dapat diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemampuan menempel pada hifa kapang.

Selain itu, perlunya dilakukan identifikasi metabolit yang terdapat di dalam filtrat Mucor rouxii dan Saccharomyces sp. sertaanalisis terhadap senyawa turunan aflatoksin yang terbentuk akibat adanya degradasi aflatoksin. Dari hasil penelitian ini perlunya penelitian lanjutan mengenai aplikasi secara teknis penggunaan isolat kapang dan khamir sebagai biokompetitor A. parasiticus dan pereduksi aflatoksin

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Natural Poison. Di dalam : Hoewitz W (ed.). Official Methods Analysis of The Association of

Official Analytical Chemist. 11th ed. Washington DC : Association of

Analytical Chemist

Abdollahi A, Buchanan RL. 1981a. Regulation of aflatoxin biosynthesis : characterization of glucose as an apparent inducer of aflatoxin production.

J. Food. Sci. 46 : 143-416

________________________. 1981b. Regulation of aflatoxin biosynthesis : induction of aflatoxin pr oduction by various carbohydrates. J. Food. Sci. 46 : 633-635

Albers E, Larsson C, Liden G, Niklasson C, Gustafsson L. 1996. Influence of the nitrogen source on Saccharomyces cerevisiae anaerobic growth and product formation. Appl. Environ. Microbiol. 62(9) : 3187-3195

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Bahri S. 1998. Aflatoxin problems in poultry feed and its raw materials in

Indonesia. Media Veteriner. 5(2) : 7-13

Bahri S, Maryam R. 2004. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. J. Mikologi Kedokteran Indonesia. 5(1-2) : 31-43

Barnett JA, Payne RW, Yarrow D. 2000. Yeast Characteristic and Identification. 3rd ed. Cambridge : Cambridge University Press

Beuchat LR. 1978. Food and Beverage Mycology. Westport : AVI Publ. Co. Inc.. Bhatnagar D, Cleveland TE, Payne GA. 2000. Aspergillus flavus. Encyclopedia

of Microbiology. Vol 1. Robinson RK, Batt CA. Patel PD (eds.). Academic Press. New York. Hlm. 72-79

Botha A, du Preez JC. 2000. Mucor. Encyclopedia of Microbiology. Vol 2. Robinson RK, Batt CA. Patel PD (eds.). Academic Press. New York. Hlm. 1493-1498

Buchanan RL, Lewis DF. 1984. Regulation of aflatoxin biosynthesis : effect of glucose on activities of various glycolytic enzymes. Appl. Environ.

Chan Z, Tian S. 2005. Interaction of antagonistic yeasts postharvest pathogens of apple fruit and possible mode of action. Postharvest Biology and

Technology. 36 : 215-223

Choundary AK. 1991. Influence of microbial co-inhibitant on aflatoxin synthesis

of Aspergillus flavus on maize kernels. Letter in Appl. Microbiol 14 :

143-147.

Cole JR, Kirksey JW. 1971. Aflatoxin G1 metabolism by Rhizopus spesies.

J. Agr ic. Food Chem. 19(2) : 1100-1102

Cole JR, Kirksey JW, Blankenship BB. 1972. Conversion of aflatoxin B1 to isomeric hydroxy compound by Rhizopus spp. J. Agric. Food Chem. 20(6) :222-223

Daulay D. 1989. Identifikasi Mikroba yang Berperan dalam Fermentasi Tauco. Laporan Penelitian. Laboratorium Mikrobiologi Pangan PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor

Davis ND, Diener UL. 1968. Growth and aflatoxin production by Aspergillus

parasiticus from various carbon sources. Applied Microbiology. 16(1) :

158-159

De Vries HR, Maxwell SM, Hendrickse RG. 1990. Aflatoxin excretion in children with kwashiorkor or marasmic kwashiorkor – a clinical investigation. Mycopathologia. 110 : 1-9

Devegowda G, Aravind BIR, Rajendra K , Morton MG. 1994. S. cerevisiae to counteract aflatoxicosis in broilers and ducklings. Di dalam : Proceeding

of Feed Ingredients Asia’95. Singapore International Convention and

Exhibition Centre ; Singapore, 19-21 September 1995. hlm 161-171 Devegowda G, Aravind BIR, Morton MG, Rajendra K. 1995. A biotechnological

approach to counteract aflatoxicosis in broiler chickens and ducklings by the use of Saccharomyces cerevisiae. Sustainable Animal Production and

the Environment. Proceeding of the 7t h AAAP Animal Congress ; Bali,

11-16 Juli 1994. hlm. 447-449

Dewipadma JK. 1980. Khamir Industri Diisolasikan dari Berbagai Ragi Tape. FATEMETA. IPB. Bogor.

Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo H, Sulaswati 1991. Aspergillus flavus

and aflatoxin of peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Proceedings of the 12th ASEAN Seminar on Grain Postharvest

Technology ; Surabaya, Indonesia, 29-31 Agustus 1989 : 110-123

Dharmaputra OS, Retnowati I, Purwadaria HK, Sidik M. 1996. Surve ys on Postharvest Handling, A. flavus infection and aflatoxin contamination of

maize collected from farmers and traders. Paper presented at the 17th

ASEAN Technical Seminar on Grain Postharvest Technology ; Lumut

Perak, Malaysia, 25-27 Juli 1995. ACIAR Technical Reports 37 : 38-53 Dharmaputra OS, Putri ASR. 1996. Aspergillus flavus population and aflatoxin

content in maize, maize product and chicken feed. Paper Presented at The

National Microbiology Seminar and Annual Meeting ; Malang, Indonesia,

12-13 November 1996

Dharmaputra OS. 2002. Review on aflatoxin in Indonesian food and feedstuffs and their products. Biotropia. 19 : 26-46

Dharmaputra OS, Putri ASR, Retnowati I, Saraswati S. 2003. Penggunaan

Trichoderma harzianum untuk mengendalikan Aspergillus flavus

penghasil aflatoksin pada kacang tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia

7(1) : 28-37

Dharmaputra OS, Retnowati I, Ambarwati S, Maysra E. 2005a. Aspergillus

flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages

of delivery chain in Cianjur regency, West Java, Indonesia. Biotropia. 24 : 1-19

Dharmaputra OS, Retnowati I, Putri ASR, Ambarwati S. 2005b. Aspergillus

flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of

delivery chain in Wonogiri regency, Central Java, Indonesia. Paper

presented at International Peanut Conference ; Bangkok, 9-12 Januari

2005

Dutton MF. 1988. Enzymes and aflatoxin biosynthesis. Microbiological

Reviews. 52(2) : 274-295

Dwijoseputro D. 1976. Microbiological studies of Indonesian Ragi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Diten DIKTI, Depdikbud. Jakarta.

Fan JJ, Chen JH. 1999. Inhibition of aflatoxin -producing fungi by Welsh Onion extract. J. Food Protection. 62(4) : 414-417

Faraj K, Smith JE, Harran G. 1993. Aflatoxin biodegradation : effect of temperature and microbes. Mycological Research. 98 : 1388-1392

Fardiaz S. 1991. Khamir dan Produk Khamir. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. IPB. ________. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta : PT. Grame dia Pustaka Utama Galvano F, Piva A, Ritieni A,Galvano G. 2001. Dietary strategies to counteract

Gardener BMS. 2005. Commercial Biocontrol Products Available in The USA

for Use against Plant Pathogens.

http://www.oardc.ohio-state.edu/apsbcc/productlist2005USA.htm [15 Juni 2005]

Gareis M, Bauer J, von Montgelas A, Gedek B. 1984. Stimulation of aflatoxin B1 and T-2 toxin production by sorbic acid. Appl. Environ. Microbiology. 47(2) : 416-418

Gilbert J. 1991. Regulatory aspects of mycotoxins in the European Community and USA. Di dalam : Champ BR, Highley E, Hocking AD, Pitt JI (eds.)

Fungi and Mycotoxins in Stored Products. Proceeding of an International

Conference ; Bangkok, Thailand. 23-26 April 1991. ACIAR Technical

Reports 36. hlm 194-197

Gilman JC. 1957. A Manual of Soil Fungi 2n d ed. Iowa : The Iowa State College Press.

Gowda NKS, Malathi V, Suga nthi RU. 2004. Effect of some chemical and herbal

Dokumen terkait