• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.5 Partisipasi Masyarakat di Kemukiman Meuraksa

Dalam pelaksanaan program rehabilitasi dan rekontruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam pemerintah telah melakukan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang dilakukan pemerintah adalah menekankan partisipasi masyarakat setempat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam dan pemerintah juga telah mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) yang bertugas untuk mengkoordinasikan keseluruhan upaya rehabilitasi dan rekontruksi

wilayah dan kehidupan masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. BRR dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005.

Pendekatan awal pada saat penanganan bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam adalah top down kemudian menjadi bottom up dikarenakan adanya penolakan keras masyarakat terhadap rencana pembebasan tanah sepanjang 2 km sepanjang pantai sebagai wilayah bebas pemukiman, masyarakat berkeinginan membangun kembali pemukiman mereka di tempat semula, mereka tidak mau pindah ke tempat lain, keinginan masyarakat adalah membangun kembali rumah di atas tanah mereka sendiri, di atas bangunan rumah semula. Lokasi tempat tinggal memiliki latar belakang historis, ini sebabnya masyarakat keberatan untuk pindah.

Bantuan untuk rehabilitasi rumah penduduk yang rusak, pada awalnya jarang melibatkan masyarakat, mereka membangun rumah sesuai dengan proyek lembaganya masing masing. Sehingga rumah-rumah di Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah jadi terkadang tidak sesuai dengan standar terkesan asal jadi. Sebagian masyarakat enggan menempati rumah-rumah tersebut karena letaknya jauh dari tempat tinggal mereka terdahulu.

Sudah seharusnya pembangunan rumah juga melibatkan masyarakat, masyarakat sebagai perencana, sebagai pelaksana, dan masyarakat tersebut dilibatkan dalam setiap proses rehabilitasi rumah-rumah mereka, kalaupun ada tenaga kerja

yang digunakan, diambil dari masyarakat setempat yang memang sedang memerlukan pekerjaan, jadi dana bantuan yang ada memang untuk masyarakat, tidak untuk pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari situasi yang ada saat ini.

Berdasarkan pengalaman tersebut akhirnya masyarakat dilibatkan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini beberapa LSM domestik dan Internasional sudah mengunakan pendekatan partisipatif pada setiap program pemberdayaan masyarakat yang terdapat di lembaga mereka, adanya pendampingan masyarakat dengan menempatkan salah satu stafnya untuk melihat secara langsung apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan masyarakat di Gampong tersebut sehingga program pemberdayaan tersebut tidak menjadi sia-sia karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam yang direalisasikan dengan program rehabilitasi dan rekontruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, harus melibatkan masyarakat, dengan partisipasi dari masyarakat pembangunan akan cepat berjalan.

Proses pembangunan rumah penduduk di Gampong Jambo Mesjid Kemukiman Meuraksa diawali dengan musyawarah terlebih dahulu, masyarakat melalui kepala Gampong mendata rumah warga yang rusak dan selanjutnya NGo yang berkeinginan membantu melakukan survei langsung ke lokasi. Caritas Germany misalnya menawarkan 3 model rumah bantuan dengan tipe yang berbeda yaitu :

1. Model rumah yang terbuat dari kayu, berbentuk rumah panggung tipe 6 x 7 meter

2. Model rumah permanen tipe 7 x 9 meter

3. Model rumah tipe 36 dengan dua kamar tidur, ruangan tamu, ruangan tengah dan kamar mandi.

Pada tahap awal Caritas Germany sesuai dengan suara terbanyak pilihan masyarakat memilih model rumah yang kedua, namun setelah selesai dibangun 2 unit rumah permanen ukuran 7 x 9 meter oleh Pihak Caritas Germany melakukan perubahan model dan ini disampaikan secara musyawarah dengan masyarakat setempat, maka untuk selanjutnya masyarakat memilih model yang ketiga, memang ada masyarakat yang menginginkan rumah kayu, tapi mengingat kelangkaan kayu saat itu, akhirnya rumah ini tidak dipilih, sementara masyarakat sudah terbiasa dengan rumah Aceh yang lebar. Sebelum gempa dan tsunami model rumah masyarakat adalah rumah panggung yang memanjang ke belakang, pada umumnya disambung dengan dapur. Rumah-rumah penduduk relatif lebih besar dari pada rumah bantuan yang didapat, karenanya masyarakat lebih memilih model rumah yang ketiga.

Caritas Germany menyerahkan pembangunan rumah kepada komite pembangunan setempat dan komite tersebut mempekerjakan para pemilik rumah dan para tukang lainnya sementara Caritas Germany hanya membantu material dan membayar upah pekerjaan yang membangun rumah tersebut. Caritas Germany juga

menempatkan salah satu stafnya untuk mendampingi masyarakat, memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan masyarakat dalam proses rehabilitasi rumah mereka yang rusak.

Dalam pertemuan-pertemuan yang difasilitasi Caritas Germany sehubungan dengan proses rehabilitasi rumah korban gempa dan Tsunami di Kemukiman Meuraksa, perempuan juga dilibatkan, ini merupakan perubahan yang baik perempuan di Gampong Jambo Mesjid yang dulunya jarang dilibatkan dalam pertemuan Gampong. Dengan dilibatkannya perempuan dalam pertemuan Gampong, maka kebutuhan perempuan juga akan diakomodir, sehingga perempuan di Gampong ini juga akan lebih berdaya.

Masyarakat juga mengadakan pertemuan Caritas Germany untuk memilih penangung jawab internal, tanpa melibatkan dalam proses rehabilitasi rumah yang rusak tersebut, melalui kesepakatan masyarakat akhimya dibentuk Komite Pembangunan Rumah, komite ini bertanggung jawab atas proses rehabilitasi rumah yang rusak. Komite pembangunan rumah adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk mengorganisir proses rehabilitasi rumah korban gempa dan tsunami di masing-masing Gampong dalam Kemukiman Meuraksa Kecamatan Blang Mangat.

Hal yang sama juga dilakukan di gampong-gampong lainnya pada Kemukiman Meuraksa. IOM misalnya memberikan bantuan untuk perumahan dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat di 5 Gampong yaitu Teungoh dengan 50 unit rumah, Blang Teue 55 unit rumah, Kuala 50 unit rumah. Blang Cut 38 unit

rumah, dan Tunong 54 unit rumah. Begitu juga Muslim Aid di gampong Blang Cut memberikan bantuan 40 unit rumah.

Organisasi penting dibentuk seperti pendapat Wirutomo (2003:12) bahwa : Alat terpenting pemberdayaan masayarakat adalah organisasi, artinya masyarakat harus tergabung dalam suatu organisasi dan melalui organisasi itulah aspirasi masyarakat diperjuangkan bersama-sama. Melalui organisasi pula seluruh potensi warga masyarakat dapat disinergikan sehingga menghasilkan sosial energy yang lebih besar dan lebih kuat. Pemerintah wajib memberikan hak hidup, memfasilitasi organisasi tersebut dan memberikan power share yang memadai. Dalam rangka pengembangan komunitas, semua warga sebaiknya tergabung dan aktif tergabung dalam organisasi komunitas. Komite pembangunan rumah yang dibentuk masyarakat di tiap-tiap gampong dalam Kemukiman Meuraksa diberi nama sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Proses rehabilitasi rumah korban tsunami di Kemukiman Meuraksa, memberikan proritas kepada masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan rumah, dimulai sejak awal dengan dilibatkan masyarakat dalam musyawarah Gampong, menanyakan pendapat masyarakat tentang model rumah yang diinginkan, menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap proses rehabilitasi rumah korban tsunami di Gampong mereka.

Tenaga kerja yang digunakan dari masyarakat Gampong sendiri, jika kekurangan tenaga baru pihak komite mendatangkan tenaga kerja dari luar Gampong. Upah yang dibayarkan perharinya adalah 35.000 Rupiah. Ini sangat berarti bagi masyarakat yang sedang kehilangan mata pencahariannya, mata pencaharian masyarakat adalah bertani, sementara lahan pertanian rusak parah, mereka belum bisa

alat untuk bertani dan melaut. Menurut Imam Mukim Meuraksa (Tgk. Idris):

Untuk tenaga kerja dalam proses pembangunan rumah korban tsunami di Kemukiman Meuraksa, mengutamakan masyarakat setempat, yang bertujuan agar mereka mempunyai penghasilan, karena masyarakat saat ini belum punya penghasilan tetap disebabkan lahan pertambakan dan peralatan nelayan mereka yang rusak parah, mereka belum bisa kembali mengolah tambak dan untuk melaut sebagai mata pencaharian pokok masyarakat Gampong Ini. (27/4/2006)

Informasi pengajuan masyarakat, dalam satu rumah ditinggali beberapa kepala keluarga. Membangun rumah bukan untuk mengantikan rumah ganti rumah, tetapi pembangunan rumah dimaksudkan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi korban Tsunami yang selamat. Kebijakan dari Camat Blang Mangat sendiri bantuan rumah diberikan berdasarkan kepala keluarga. Untuk menyikapi masalah yang ada, apabila dalam satu rumah yang hanyut atau hancur tersebut terdapat beberapa kepala keluarga, namun dalam pemberian bantuan rumah diutamakan terlebih dahulu kepada para pemilik rumah sedangkan bagi kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah tersebut tetap juga diberikan bantuan perumahan dengan ketentuan dapat menyediakan tanah yang sah, pengajuan bisa diterima tentunya dengan informasi dari kepala Gampong.

Apabila tanah juga tidak tersedia apalagi bagi para korban yang rumahnya hanyut akibat hilangnya pertapakan rumah, dalam hal ini pemerintah kota dalam menyikapi permasalahan ketiadaan tanah untuk pertapakan rumah Pemerintah Kota Lhokseumawe pada tahun 2007 telah menyediakan tanah pertapakan rumah untuk para korban tsunami di Kemukiman Meuraksa yaitu di Gampong Jambo Timu seluas

+ 1 Ha, Gampong Jambo Mesjid + 2000 M2 dan di Gampong Blang Cut + 1 Ha. Hal ini sebagaimana diuangkapkan oleh Kabag Pemerintahan Setdako Lhokseumawe (Bukhari, S.Sos, M.Si)

“Dalam penanganan masalah lahan pertapakan rumah bagi korban tsunami yang tidak memiliki tanah, Pemerintah Kota Lhokseumawe pada tahun 2007 telah melakukan pengadaan tanah untuk pertapakan rumah korban tsunami seluas + 22.000 M2 yang terdapat di Gampong Jambo Timu, Jambo Mesjid dan Kuala dan saat ini pada tanah tersebut di Jambo Timu dan Jambo Mesjid telah dibangun rumah korban tsunami oleh NGo Malteser International (20/03/2007).

Lain halnya dengan pembangunan rumah yang dibantu oleh Oxfam di Gampong Kuala sebanyak 16 unit. Pembangunan rumah diserahkan kepada masyarakat melalui komite pembangunan rumah termasuk penyediaan tukang dan pengorganisasian material, sedangkan ongkos tukang dan pembelian material enginer dan fasilitator pendamping disediakan oleh Oxfam. Untuk monitoringnya, diadakan beberapa kali pertemuan lalu berdiskusi dengan masyarakat tentang perkembangan pembangunan rumah yang dikerjakan oleh masyarakat, apa saja kendalanya dan bagaimana solusinya.

Hal lain yang muncul dari proses pemberdayaan melalui rehabilitasi rumah korban tsunami adalah menguatnya kembali modal sosial masyarakat di Kemukiman Meuraksa. Sebelum gempa dan tsunami modal sosial masyarakat di Kemukiman Mueraksa lemah, dikarenakan konflik yang terjadi, mengakibatkan masyarakat mencurigai sesamanya, rendahnya kepercayaan terhadap sesama masyarakat apalagi terhadap pendatang. Sesudah tsunami modal sosialnya menguat ini dikarenakan rasa

senasib akibat bencana gempa dan tsunami yang melanda NAD.

Pasca tsunami dengan berjalannya waktu, tumbuh kembali rasa saling percaya di antara masyarakat, adanya rasa senasib di antara masyarakat yang selama ini telah terpecah karena konflik, apalagi setelah adanya penandatanganan nota kesepakatan antara GAM dan pemerintah, kehidupan masyarakat relatif lebih aman, sehingga perlahan-lahan mengikis rasa saling mencurigai berganti dengan rasa kebersamaan dan saling percaya untuk membangun kembali NAD yang telah porak poranda akibat bencana gempa dan tsunami.

Munculnya semangat kebersamaan di masyarakat, untuk mencapai tujuan bersama yaitu bangkit kembali dari ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh bencana yang menimpa Gampongnya. Adanya kesadaran nasib bersama akan ditentukan oleh usaha bersama, tumbuhnya sikap partispatif, sikap saling percaya, saling memberi dan menerima.

Dibalik manfaat yang terdapat pada program pemberdayaan masyarakat terdapat juga pengaruh negatif dalam kegiatan pemberdayaan yang berlangsung di Kemukiman Meuraksa. Kebiasaan mendapat upah untuk kegiatan yang dikerjakan menimbulkan pengaruh yang negatif bagi masyarakat di Kemukiman Meuraksa. Pengaruh negarif yang terjadi adalah terkikisnya semangat gotong royong yang ada di masyarakat. Satu sisi pemberdayaan dimaksudkan untuk memberikan keberdayaan bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian, tapi disisi lain menimbulkan efek negatif. Oleh sebab itu perlu direnungkan kembali dan dipikirkan lebih lanjut

tentang cara pemberdayaan masyarakat yang tidak menciptakan atau tidak membawa pengaruh negatif bagi masyarakat, pemberdayaan yang memperhatikan nilai budaya masyarakat setempat.

Dokumen terkait